Perlakuan tidak adil dari keluarga Killian pada Roselyn benar-benar sangat luar biasa. Setelah beberapa hari lalu aku berhasil menggertak mereka dengan menunjukkan kekuatan sihirku, mereka masih belum juga menyadari bahwa aku memiliki kemampuan untuk membalas mereka, bahkan aku bisa jauh lebih kejam dari yang mereka bayangkan.
Sudah 3 hari terlewat sejak kejadian aku mengamuk, dan sudah lewat hampir seminggu sejak aku mengirimkan surat permintaan pembatalan pribadi pertunangan Roselyn dengan Duke Avallon.
Aku mengetahui, tidak sepantasnya pembatalan pertunangan datang dari Putri bangsawan, harusnya permintaan dikeluarkan oleh orang tua dari pihak yang bertunangan, tapi aku melangkahi mereka.
Sampai saat ini tidak ada reaksi dari dari pihak Avallon, dan tidak ada pergerakan dari Killian. Aku sudah mempersiapkan diri akan menerima tekanan lain dari Ayah Roselyn, tapi hari-hari tenang seperti ini membuatku semakin cemas.
Yang aku ragukan sekarang, apakah suratku sampai pada Avallon?
Tapi itu tidak mungkin, kurir yang dikirim Lidya jelas-jelas menyampaikan bahwa surat diterima langsung oleh Duke Avallon.
Ataukah dia menganggap suratku tidak serius?
Mataku tertuju pada pohon oak, memperhatikan dua peri hutan yang terbang cepat dari dahan ke dahan, mereka bahkan tidak lagi malu-malu meledekku ketika aku hanya terdiam melihat tingkah mereka.
Sejak Aslan dan Sqeeth kembali, kekosongan dalam hatiku terobati, tapi tidak sekali dua kali aku merasakan keberadaan mereka yang sangat samar dalam diriku. Aku tidak memanggil mereka hanya demi menghilangkan kecemasanku, aku tidak ingin egois. Aku yakin ada sedikit kekecewaan dalam diri mereka ketika aku sembrono hilang kendali, jadi aku harus bersiap ketika mereka mengambil jarak.
Bukan karena aku tidak percaya pada ikatan jiwa dan perjanjian ini, namun tidak ada salahnya mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Karena pada akhirnya, tidak ada yang abadi di dunia ini. Jika suatu saat aku harus mengakhiri ikatan ini, maka aku pastikan akan mengakhirinya dengan damai.
"Arkais, kenapa kau tampak murung?"
Aku tersenyum ketika peri hutan bersayap hijau hinggap di bahuku.
"Apakah Aslan sedang meditasi?"
Kepalaku menggeleng cepat. Tubuhku membungkuk dan bersandar pada pilar batas beranda, membiarkan piyamaku bertemu dengan permukaan dingin, mengembalikan fokusku yang berceceran.
"Apakah kau tahu bagaimana perjanjian jiwa antara spirit dan manusia berakhir?" tanyaku sambil memiringkan kepala demi bisa melihat peri hutan yang memandangku penuh bingung.
"Oh, kau tidak perlu berpikir macam-macam. Aku hanya iseng bertanya."
Sang peri hutan berpindah ke tanganku yang memegang batas beranda, dia tampak berpikir keras sampai mengerutkan wajah, tapi kemudian menatapku lurus.
"Mengakhiri perjanjian antar jiwa tidak semudah mengakhiri hubungan di dunia manusia. Kalau kalian memutuskan ikatan hubungan hanya dengan kata-kata atau surat, tapi mengakhiri perjanjian dengan spirit harus dengan syarat salah satu jiwa tidak mampu lagi memenuhi tanggungjawabnya, dengan kata lain..."
"Mati?" selorohku, mencuri kalimat yang sepertinya sangat berat diucapkan peri hutan.
Sang peri hutan itu duduk bersila di punggung tanganku, hangat dari tubuh mungilnya berpindah ke permukaan kulitku.
"Mati sebutan untuk manusia, tapi untuk spirit, ada dua kategori. Pertama, mereka bisa dengan kemauan mereka tidak memenuhi perjanjian dengan konsekuensi musnah. Kedua, mereka mengorbankan diri untuk menyelamatkan manusia yang mereka kehendaki."
"Apa yang terjadi ketika mereka mengorbankan diri untuk menyelamatkan manusia yang mereka kehendaki? Apakah mereka musnah juga?" tanyaku bingung, dan peri hutan menjawab dengan gelengan kepala kuat.
"Spirit akan terlahir kembali, tapi terpenjara."
Aku terdiam, dan mengingat bagaimana Aslan menyebutkan Sqeeth yang terikat pada Pulau Ennius karena melanggar perjanjian.
"Pertukaran Jiwa..." kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku, dan peri hutan di tanganku bergidik dengan mata membelalak sempurna.
Hening seketika, dan aku mengingat wajah pucat ibuku saat menghembuskan napas terakhirnya. Ibuku yang pernah sakit, tiba-tiba sakit parah hingga tidak bisa bangun dari tempat tidur. Mungkinkah ibuku melakukan perjanjian...
Tidak, aku tidak boleh berpikiran buruk.
"Nona Ash?"
Suara lantang Lidya terdengar dari pintu kamar yang diiringi suara ketukan, sontak peri hutan di tanganku terbang cepat kembali ke pohon oak.
"Masuk Lidya!" jawabku sambil melangkah kembali ke kamar, menutup jendela beranda, membiarkan tubuhku kembali menerima hawa hangat dari dalam ruangan.
"Tuan meminta kehadiran Nona Ash di meja makan."
Alisku mengerut dengan cepat. Sebelumnya mereka bahkan melarangku menunjukkan wajah di depan mereka, sunggu ajaib mereka memintaku makan bersama mereka.
Lidya bahkan terlihat sedikit aneh, gerak geriknya menunjukkan kebahagiaan yang tidak lazim.
"Haa...! Apakah ini tanda mereka akan mengubah sikapnya?" gumamku seraya menyisir rambut pirang panjang yang sangat lembut sambil bercermin.
Setengah jam lalu Lidya baru saja membantuku mandi, dia memastikan rambutku bersih sempurna dan memberikan pelembut yang wanginya sampai memabukkan. Aku sempat curiga dengan dirinya yang sangat extra mempersiapkan semuanya, dan aku mendapatkan jawabannya sekarang.
Lidya biasanya akan membiarkanku yang bahkan bisa tidak mandi selama dua hari, memberikanku waktu untuk meditasi sesukaku, tapi hari ini ada yang berbeda.
"Baju mana yang mau Nona Ash pakai?" Lidya bertanya dengan senyum lebar, suasana hatinya terpancar jelas di wajahnya.
Kebahagiaan dalam diri Lidya justru memberikan sinyal waspada padaku. Aku mengerutkan alis, tapi tidak bertanya lebih jauh dan menjawab dengan lugas.
"Yang paling jelek."
"A-!!!" Lidya yang tengah tersenyum cerah sambil memeluk gaun berwarna hijau cerah mewah di tangannya, langsung berubah murung. Seperti dugaanku, ada sesuatu yang aneh. Aku jadi tidak tega karena dia seperti akan menangis.
"Aku tidak ingin memanjakan mata mereka, Lidya. Sekarang saatnya mereka memetik hasil ulah mereka. Aku akan menunjukkan pada mereka bahwa aku hidup sesuai belas kasih yang mereka berikan padaku."
Lidya menggigit bibirnya, matanya berubah murung. Tangan gempalnya terulur dan meraih rambutku, membelainya penuh kasih, seolah rambutku adalah harta paling berharga.
"Kau tidak perlu sedih, Lidya. Aku baik-baik saja. Aku ingin hidup apa adanya. Sedih, senang, kecewa, terluka, semua akan aku tunjukkan. Harus berapa lama lagi aku berpura-pura bahwa semua baik-baik saja?"
Lidya memelukku, kesedihannya menunjukkan ketulusannya yang bahkan lebih hangat dari orang tua kandung Roselyn.
"Nona Ash adalah perempuan tercantik di Lindbergh, tapi kenapa Tuan dan Nyonya tidak ingin Nona Ash bersinar. Selalu Tuan Muda Allan, padahal bakat Nona Ash lebih dari Tuan Muda."
Aku tersenyum datar.
"Kau bisa dihukum berat kalau orang lain mendengarnya, Lidya."
"Akh! Maafkan aku, Nona Ash!"
"Bagi mereka, aku hanya alat tukar. Lagi pula, mereka tidak bisa menghargai bintang jika bukan di atas langit, Lidya." Kataku seraya beranjak dari meja rias, memilih gaun berwarna hitam yang warnanya sudah pudar karena terlalu sering dicuci.
"Nona Ash …." Lidya menatapku penuh cemas.
"Aku tidak akan tinggal diam lagi, Lidya. Aku memang lupa ingatan, tapi bukan berarti aku menjadi manusia bodoh dan membiarkan mereka menyakitiku."
Lidya memberikan senyum getirnya padaku. Aku mengerti bahwa posisi Roselyn saat ini sangatlah tidak menguntungkan. Roselyn melawan semua orang berkuasa di rumah ini, sementara orang yang berada di sisinya tidak memiliki kemampuan apapun. Ini tidak ada bedanya dengan pertarungan solo.
Langkahku tegas, tekadku kuat, dan aku tidak akan kalah.
Kami turun ke ruang makan. Gaun yang aku kenakan sekarang berwarna hitam lengan panjang dan model usang yang paling tidak menarik. Aku tidak memiliki banyak ilmu tentang mode, tapi aku mengerti betapa tuanya usia gaun ini. Mungkin karena ukuran tubuh Roselyn yang tidak banyak berubah, sehingga gaun ini masih pas di tubuhnya sekalipun sudah bertahun-tahun,
Tangga yang panjang nan megah mengular panjang hingga kakiku pegal menuruninya dari lantai kamarku berada, setiap langkah aku menghitung jumlah anak tangga. Aku tidak pernah bosan melakukannya, karena dengan begitu aku tidak selalu mengutuk tentang betapa besarnya rumah Marquis Killian sebagai Kepala Asosiasi Perdagangan Lindbergh.
"Roselyn!"
Aku yang sedang memperhatikan beberapa anak tangga terakhir, tiba-tiba harus merasakan denging memekakkan akibat suara lantang istri dari Standford Killian.
Sosok wanita yang biasanya selalu berusaha terlihat elegan itu sekarang tampak seperti udang rebus, wajahnya memerah, dan matanya membulat sempurna. Tidak ada jejak luka bekas amukanku beberapa hari lalu, wajahnya tanpa cela karena Pendeta Kyan menyembuhkannya tanpa syarat.
Sikapku masih santai dan tidak peduli, meniti beberapa anak tangga sangat perlahan.
Kenapa dia terlihat marah sekali?
Bukankah kami memasuki masa tenang beberapa hari ini?
Aku menganggapnya seperti itu, karena mereka tidak melakukan apapun padaku sejak 3 hari lalu, jadi aku kira gertakanku cukup ampuh, tapi sepertinya aku salah.
Istri Killian Stanford itu mendelik, dengan tanduk tak terlihat mencuat dari sisi kepalanya.
Aku berjalan mendekatinya yang berdiri menjulang bak macan yang siap menerkam.
Jawaban atas pertanyaanku baru terkuak ketika pelayan membukakan pintu ruang makan.
Seseorang tinggi dengan proporsi sempurna, tengah mendominasi di pintu masuk ruangan, seolah hanya dirinya yang berhak menjadi pemeran utama dari sekian banyak manusia di mansion ini.
Pakaiannya sangat elegan, selaras dengan rambut hitam legam yang tertata rapi, dan mata emeraldnya yang menghipnotis hampir saja membuatku hampir kehilangan kemampuan untuk bernapas, tapi kemudian aku sadar, bahwa sosoknya tidak lagi sesempurna itu dalam hatiku.
"Duke Avallon, selamat datang." Standford Killian membungkuk menyambutnya.
"Oh Dewa, Duke Avallon, maafkan anakku yang masih belum sepenuhnya pulih, sepertinya dia belum bisa berpikir lurus karena amnesia yang dialaminya."
Istri Standford Killian menutupi pandanganku sambil membungkuk sempurna khas seorang bangsawan ke arah Duke Avallon.
Mendapati Duke Avallon yang melihat ke arahku tanpa berkedip, dan reaksi ibu kandung Roselyn yang panik ini, aku bisa memahami dengan cepat situasi yang sebenarnya sedang berlangsung.
Tidak heran jika mereka tampak sangat bersungut-sungut, ternyata memang ini kenyataan yang harus aku terima.
Bagiku, menjadi sebuah keajaiban ketika keluarga Roselyn mengajak makan bersama setelah sekian lama menganggapku seperti tidak ada di rumah ini, memberiku makanan sisa yang bahkan tidak lebih baik dari makanan para pelayan.
Lalu tiba-tiba Lidya melayaniku dengan sedemikian rupa, menyiapkan diriku demi menyambut tamu kebesaran, dengan dalih mengajakku makan siang bersama.
Tawaku tidak mampu aku tahan, sampai-sampai aku harus menutup mulutku dengan tangan dan menunduk dalam. Perutku keram dan sakit, seiring tubuhku yang bergetar karena tidak mampu menahan tawa.
Ah, ternyata memakai gaun usang ini bukanlah pilihan yang salah.
"Roselyn!"
Kali ini Marquis Killian yang memberiku peringatan, dan aku menanggapinya dengan santai, berjalan sambil sedikit mengangkat gaunku yang kusut dengan ujung keriting mengambang di atas mata kaki. Kulit kaki pucat yang hanya tertutup sandal ceper milikku terlihat seperti kaki mayat yang bergerak.
"Maafkan aku, Marquis. Apakah penampilanku terlalu buruk? Apakah kau akan menamparku lagi? Mengurungku di ruang bawah tanah?" tanyaku skeptis.
Mataku hanya melirik santai ke arah Marquis Killian yang terbelalak tak percaya, mungkin dia tidak menyangka aku akan menjabarkan aibnya dengan sangat santai.
"Memar bekas tamparan baru saja hilang, jika kau ingin menambahkannya lagi, aku harap kau bisa menunggu seminggu lagi."
"Ashley Roselyn Killian!" suara Standford Killian yang mendesiskan nama lengkap Roselyn sarat dengan ancaman.
Pandanganku berpindah pada Duke Avallon, wajahnya tampak bingung dan kerutan di alisnya, menunjukkan begitu banyak pertanyaan dalam benaknya, tapi aku memilih untuk pura-pura tidak melihatnya.
"Selamat datang Duke Avallon. Silahkan duduk. Bukankah kita mau makan bersama?" tanyaku seraya memberi salam dan melengos pergi memilih kursi tepat di sebelah Allan.
Kakak kandung Roselyn itu menatap ke arahku seolah aku ini hantu, dia sempat memberi tatapan mengancam, tapi saat aku mengangkat tanganku ke arahnya, dia langsung menutupi kepalanya dengan kedua tangan, gerakan defensive panik yang nyata.
Aku mengangkat gelas dari sisiku, menggesernya ke sebelah Allan, tapi wajah ketakutan Allah justru membuatku puas.
"Oh, aku hanya berpikir kau perlu minum, kau terlihat seperti dehidrasi parah, Allan."
Allan melirikku sengit, mempertanyakan sikapku dengan sorot matanya yang menusuk, tapi aku hanya mengendikkan bahu dan melihat ke arah Avallon yang masih berdiri di sisi meja makan. Matanya tidak beranjak dariku, dan kerutan di antara alisnya semakin dalam.
Sebagai tuan rumah, aku menunggu Duke Avallon duduk. Sekalipun dia tampak canggung ketika aku mempersilahkannya duduk, dia tidak juga bergerak. Lelah menunggu, aku tidak menghiraukannya sama sekali. Memilih tempat duduk dan mengambil sendok sekalipun Stanford belum memulai makan.
Terlihat tidak sopan? Aku tidak peduli!
Avallon baru duduk ketika aku mulai menyantap makanan pembuka yang disajikan. Makanan makanan tanpa permisi, membuat semua orang jengah dengan sikap kurang ajarku ini. Tapi aku terlalu lapar untuk mempertahankan tata krama, makanan berkelas yang tersaji ini terasa aneh sejak tidak pernah aku santap hampir sebulan ini.
Pada dasarnya aku bukan orang yang suka memilih makanan, jadi bukan masalah apa yang aku makan asalkan enak dan tidak beracun. Tapi lidahku yang sudah terbiasa dengan makanan rakyat jelata yang kebanyakan berupa roti sekeras kayu dan sup encer tanpa isi, harus kembali menyapa hidangan mewah, rasanya perutku akan menolaknya lagi.
Sekalipun begitu, aku menyantap semuanya, memastikan tidak ada yang tersisa. Aku tidak tahu kapan lagi bisa menikmati makanan seperti ini, jika bukan karena tamu kehormatan datang ke mansion Killian.
Selesai makan, pelayan membereskan meja dan menyajikan teh juga makanan ringan.
"Jadi apakah Duke Avallon mengunjungi rumah sederhana kami karena rindu pada Roselyn?" Marquis Killian bicara dengan lidah bermandikan madu. Aku bisa melihat bagaimana bisa dia menjadi Kepala Asosiasi Perdagangan Lindbergh dengan kemampuan seperti ini.
Ternyata tidak ada satu orangpun yang mengetahui surat yang aku kirim, hingga menerima kedatangan Avallon hari ini saja membuat mereka panik.
"Aku ingin membicarakan surat yang dikirim Roselyn minggu lalu."
Duke Avallon menatapku lurus, sementara peserta jamuan yang lain melihat ke arahku bingung.
"Surat apa, Duke?"
Duke Avallon mengerutkan alis, dan aku masih santai menyesap tehku.
"Kau tidak membicarakannya dengan keluargamu?" kali ini Duke bermata emerald itu menatapku bingung.
Aku menyunggingkan senyum terbaikku, dan meletekkan cangkir ke alasnya dengan gerakan seanggun mungkin. Sikap santaiku membuat semua orang bertukar pandang.
Ah, rasanya sungguh menyenangkan melihat semua orang menungguku melemparkan bom.
"Duke, apa yang kau lihat sekarang adalah hidupku yang sesungguhnya, dan kau tahu seperti apa aku diperlakukan di keluarga ini."
"…"
Reaksi datar Duke Avallon hanya membuktikan betapa tidak pedulinya dia dengan kalimat pembuka yang aku sampaikan. Mungkin dalam kepalanya dia berpikir bahwa aku, atau lebih tepatnya, Roselyn, sedang membuat ulah lain demi mencari perhatiannya.
Kehidupan Roselyn yang berstatus tunangan tidak lebih dari sekedar status, dia bahkan tidak menunjukkan sedikitpun kepedulian ketika aku menyebutkan bagaimana Roselyn diperlakukan keluarganya.
"Aku memang amnesia, tapi bukan berarti nalarku juga ikut hilang."
Wajah istri Standford Killian langsung berubah panik, memucat.
"Aku hanya alat untuk mempertahankan status keluarga ini sebagai bangsawan berpengaruh di Lindbergh, dan kau .... hanya menjadi pelengkap penderita di sini."
"Roselyn, kau uhp-!" Marquis Killian yang hendak memotong ucapanku, mendadak bisu setelah mulutnya aku sumpal dengan pastry sebesar kepalan tangan. Tanganku hanya bergerak sedikit saat menggunakan telekinesis, membuat roti melayang dengan cepat dan menempel di mulutnya.
Istrinya yang duduk tepat di sebelahnya hendak melepaskan roti, tapi saat melirikku yang bersiap mengangkat potongan roti lain ke arahnya, tubuhnya langsung kaku, duduk sempurna dengan kedua tangan tersimpan rapi di pangkuan, sekujur tubuhnya gemetar ketakutan dengan ekor mata mengintai gerak gerikku.
"Boleh aku selesaikan ucapanku dulu?" tanyaku seraya melirik tajam pada Allan, dan sang ahli pedang itu mencengkram ujung meja kuat-kuat.
Melihat mereka semua diam dan berusaha menahan diri, baru aku kembali membuka suara.
"Sejak aku terbangun, aku berharap bahwa aku hanya salah memahami sistem dalam keluarga ini, tapi akhirnya aku sadar. Bukan aku yang salah memahami, tapi memang sistem keluarga ini yang tidak normal. Aku sebagai anak perempuan satu-satunya, diprospek sedemikian rupa untuk menjadi istri dari putra bangsawan. Berawal dari calon putri mahkota, tapi gagal, hingga akhirnya mereka memilihmu sebagai pengganti Putra Mahkota untuk mengangkat statusku."
"Apa maksudmu, Roselyn?"
Aku memiringkan kepala bingung mendengar pertanyaan absurd dari Allan.
"Tapi kau harus menikah, Roselyn! Apa yang bisa kau harapkan hidup tanpa menikah dan punya anak?" Istri Standford Killian akhirnya bersuara, sekalipun takut-takut dia tampak berapi-api meyakinkanku bahwa logikanya paling benar.
"Oh ya?" aku bertanya skeptis.
"Berarti siapapun mempelainya tidak masalah?" wanita paruh baya itu kehilangan kata-kata mendengar sahutanku. Tentu saja melepaskan Duke Avallon bukan hal baik. Status, kekayaan, hingga penampilan, semua tentang Duke Avallon terlalu sempurna untuk dilewatkan. Siapa lagi calon suami yang memiliki prospek sebaik Duke Avallon? Tidak ada! dan mereka berharap aku bangga dengan status itu.
"Bukannya kau lupa ingatan?" Allan menudingku, nada mencemooh dalam suaranya sangat kental.
"Apa kau pernah mendengar benda bernama buku harian?! Aku tidak menyangka kau sebodoh ini," jawabku sinis.
"Kau-!"
Allan luar biasa emosi saat aku menyebutnya 'bodoh', sementara Duke Avallon tetap memasang wajah datar. Aku mengerti dirinya yang sedang membaca situasi. Sikap tenangnya justru membuatku muak, dirinya yang selalu berubah-ubah, membuatku sadar bahwa tidak seharusnya aku terlibat dengan orang sepertinya.
"Ayolah, Duke. Apa sulitnya menunjukkan hatimu yang tidak pernah benar-benar menerimaku sebagai tunangan?!"
Aku melihat beberapa reaksi kecil di wajahnya, alisnya yang berkedut setiap kali aku memanggilnya 'Duke' terlihat sangat jelas bagiku.
"Apa maksudmu?"
Pertanyaannya membuatku makin ingin tertawa, betapa kerasnya dia berusaha menutupi kenyataan. Jujur saja sandiwara ini sangat lucu, tapi tidak cukup menarik.
"Apakah kau benar-benar menganggapku sebagai tunangan?" aku bertanya seraya mencondongkan tubuh, mengakhiri pertanyaanku dengan dengus tawa pelan.
"Tunangan mana yang bahkan tidak pernah sekalipun datang menjenguk pasangannya yang sekarat hampir kehilangan nyawa? Bahkan berminggu-minggu setelahnya, kau tidak pernah datang. Bahkan surat yang menanyakan keadaanku pun tidak pernah," tandasku sinis.
Duke Avallon langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat, sendi di rahangnya menegang. Kemarahan dalam auranya terpancar jelas, dia tersinggung dengan kata-kataku. Aku hanya perlu menambahkan sedikit lagi untuk bisa mematik api dalam dirinya.
"Aku muak dengan semua ikatan penuh kebohongan ini. Aku undur diri sebagai alat pemuas keserakahan keluarga bangsawan bernama Killian. Bukan karena mereka tidak pernah memperlakukanku sebagai manusia, tapi karena aku ingin hidup tanpa menerima intimidasi. Lagipula, dengan begini kau bisa menemukan pasangan terbaik untukmu.
"Kau tahu aku tidak pernah mengemis untuk menjadi tunanganmu, kau hanya kasihan padaku hingga mau menerima pertunangan ini. Aku yakin kau tidak akan mengalami kerugian apapun dengan pembatalan pertunangan ini."
Aku beranjak dari kursi seraya menutup mata, dan membayangkan lokasi sebuah kotak perhiasan di dalam kamar ibu kandung Roselyn. Kotak yang tidak sengaja aku temukan saat mencoba mencari tahu berapa banyak harta yang disimpan keluarga Killian dalam rumahnya.
Tanganku terulur ke arah lantai 2, mengerahkan sihir yang aku miliki untuk mengambil kotak yang tersimpan sangat aman itu. Tidak berselang lama aku membawa kotak itu melayang dalam benakku, hingga akhirnya mendarat di meja tepat depan Duke Avallon.
Semua orang bingung ketika kotak kecil itu melayang dari lantai dua hingga tergeletak di meja. Kekaguman dalam matanya bercampur dengan pertanyaan karena aku tidak bertindak seperti Roselyn yang dia kenal.
"Ini satu-satunya hal berharga yang aku terima dari rumah Avallon. Bawa kembali cincin milik mendiang ibumu, Duke, karena aku tidak akan menjadi istrimu."
"Ehm …. Eng! Ehmm …. Eng!" Marquis Killian tampak sangat frustasi berusaha bicara, tapi aku masih mengunci mulutnya dengan roti.
"Roselyn! Kau tidak bisa memutuskan pertunangan sepihak seperti ini!" Allan berseru keras, dan aku hanya menoleh ke arahnya, melihatnya lewat hidungku yang tinggi, seolah dia kecoa di kakiku.
"Aku yang akan menikah, kenapa aku tidak bisa membuat keputusan?!" tantangku dan melipat tangan di depan dada. "Apakah kau butuh gelas baru, Kakak?" ledekku seraya mengangkat gelas dari tangannya dengan kekuatan telekinesisku, tapi gelas pecah bahkan sebelum sampai ke meja, Allan langsung merunduk, meringkuk di bawah meja sambil menyembunyikan wajahnya.
"Sejak kapan kau bisa sihir telekinesis, Rose?" Duke Avallon bertanya tanpa berusaha menutupi raut heran di wajahnya.
Aku menarik sudut bibirku yang kaku.
Sekian lama tidak bertemu, pertanyaan pertama darinya membuatku bertanya. Apakah bahkan dia pernah menganggap Roselyn sebagai tunanangannya?
Bahkan setelah aku mengirimkan surat permintaan pembatalan, Duke Avallon tidak merasa perlu mempertanyakannya. Dia malah fokus pada kemampuan sihir Roselyn. Pertunangan antara Roselyn dan Duke Avallon benar-benar hanya perjanjian status kaum bangsawan.
Aku masih ingat kata-katanya di hari pemakamanku, dia terdengar seperti seorang yang memiliki simpati besar pada Roselyn, tapi melihat sikapnya sekarang, aku merasa ragu.
Telekinesis termasuk sihir langka, tapi aku tidak ingin menjawab rasa ingin tahu Avallon.
"Aku tidak tahu, karena tidak tertulis di buku harian."
Aku menoleh pada pintu ruang makan, dan membuka paksa dua daun pintu berukuran besar itu dengan satu sapuan sederhana dari tangan. Daun pintu terbang menghantam bagian luar ruangan yang mengarah ke ruang tengah. Suara benda yang pecah dan hancur memenuhi telinga bagai orkestra besar yang mewah.
"Sebaiknya kau pulang sekarang, Duke. Tidak baik melihat peperangan besar di keluarga kami," lanjutku dengan senyum meyakinkan.
Duke Avallon menatap pintu yang hancur, kata-katanya hilang bersamaan dengan kepulan asap yang tercipta dari ledakan di ruang tengah. Maquis Killian, istrinya, dan Allan, tidak berani mengeluarkan satu katapun saat aku memberikan sorot mata mengancam pada mereka.
Aku melengos pergi menaiki anak tangga hendak menuju kamarku.
"Aku belum memberi jawaban atas suratmu, Rose."
Badanku kembali berbalik dan menatap ke arah pria bermata emerald yang berdiri tegak menjulang tinggi di ruang makan. Sosoknya selalu terlihat sangat menyilaukan sebelumnya, tapi sekarang kilaunya telah hilang ditelan kekecewaan dalam diriku.
"Aku tidak setuju membatalkan pertunangan ini."
"…"
Kesunyian menyelimuti kami, tapi wajah tiga orang anggota keluarga Killian lainnya tampak sangat lega.
"Jika kau mau mempertahankan pertunangan ini, terserah saja, tapi aku tidak akan menikahimu, Duke. Aku memilih hidup sendirian, dari pada hidup dengan seseorang yang bahkan tidak mengharapkan kehadiranku!"
Kata-kata itu meluncur dengan sangat mulus, namun efeknya begitu besar bagi Duke Avallon dan penghuni ruangan yang lain. Wajah orang-orang berubah pucat, bahkan lebih pucat dari warna kulitku setelah berminggu-minggu mengalami kekurangan nutrisi.
"Tidak di keluarga ini, tidak juga bersamamu, Duke. Aku mengerti kalian tidak akan menerimaku seperti apapun aku berusaha. Aku tidak ingin hidup demi mengejar ekpektasi kalian."
"Rose-"
"Ah, satu lagi. Berhenti membuat dirimu sendiri tampak seperti pahlawan yang mau menerimaku yang cacat di mata sosial. Kau berusaha menaiki tangga sosial, menambahkan cap 'Tunangan Baik Hati' karena mempertahankanku sebagai tunangan. Aku tidak sebodoh itu, Duke."
"Aku tidak pernah-"
"Kau bahkan memilih diam ketika mengetahui diriku belajar sihir hitam. Kau mungkin tidak secara langsung berbuat jahat, tapi membiarkanku terperosok membuatmu tidak jauh lebih baik dari mereka yang menghujatku, bahkan lebih buruk dari mereka yang mendorongku ke tepi jurang."
Aku bicara sambil mengarahkan sorot mata tajam pada ketiga anggota inti Killian yang lain. Mereka tampak panik, membuka dan menutup mulut hendak menampik ucapanku, tapi tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut mereka.
"Nona Ashley?" Lidya tiba-tiba muncul dari ujung anak tangga, badannya yang gempal bermandikan keringat seolah dia baru saja lari marathon.
Semua orang memasang wajah tegang setelah mendengar suara Lidya. Yang jauh lebih membuatku terkejut adalah Duke Avallon yang sampai tidak bisa menyembunyikan kerutan di dahinya.
"Lidya! Roselyn tidak pantas dipanggil dengan nama-"
"Bukan urusanmu, Ibu!" tatapan tajamku cukup untuk membuat ibu kandung Roselyn langsung mengatupkan mulutnya. "Kau tidak berhak mengaturku ketika kau tidak melakukan tanggungjawabmu sebagai seorang ibu!"
Tanganku terangkat dan mengangkat kursi yang tadi aku duduki, sihir telekinesisku bekerja otomatis dan aku melemparnya ke dinding, seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari dinding berteriak histeris.
"Berhenti mengaturku, kalian bahkan tidak mengulurkan tangan ketika aku membutuhkan kalian. Ketika aku tidak berguna lagi, kalian akan membuangku."
Lidya, seolah tidak melihat emosiku yang sedang membara. Karena wanita berwajah sendu itu malah berlari ke arahku dan memeriksa tubuhku dari kepala hingga ujung kaki.
"Nona baik-baik saja? Aku mendengar suara ledakan …."
Aku mengangguk, dan meraih tangan Lidya.
"Aku baik-baik saja, Lidya. Terimakasih karena menjadi satu-satunya orang di rumah ini yang peduli padaku."
"Nona Ash-"
Aku memeluk Lidya, tapi mataku terarah pada Duke Avallon yang tampak tambah pucat setiap kali Lidya menyebut namaku.
"Benar Nona baik-baik saja?" tanya Lidya lagi ketika aku melepaskan pelukanku.
Aku mengangguk dalam.
"Aku hanya mencoba berbaik hati pada Duke Avallon, membukakannya pintu agar cepat pulang," kataku enteng, dan Lidya langsung menutup mulutnya, kaget melihat kondisi pintu dan ruang tengah yang sudah porak poranda.
'Kau sedikit berlebihan, Ash.'
Suara lembut Aslan berbisik dalam benakku, dan aku hanya bisa menahan tawa mendengar suaranya yang pasrah. Aku bisa merasakan kembali keberadaan mereka yang kuat dalam diriku.
Sepertinya aku harus mulai terbiasa dengan keadaan ini. Ketika keberadaan mereka hanya seperti utas tali yang rentan, kapanpun bisa terputus. Aku berjanji akan menjaga perjanjian ini sebagai tanggungjawabku pada mereka, namun jika perjanjian ini harus diakhiri, aku tidak akan keberatan. Aku tidak boleh membuat mereka mengorbankan entitas mereka sendiri demi menyelamatkanku. Setidaknya itulah yang bisa aku lakukan.
'Latasha memang harus sedikit keras supaya tidak diremehkan. Aku saja ingin meratakan mansion ini dengan tanah. Belum lagi melihat bocah bernama Allan itu, gayanya sudah seperti master pedang sedunia. Aku mau tahu, sehebat apa ilmu pedangnya, sampai dia bisa sombong setinggi gunung'
Sqeeth ikut menyahut dan aku bisa rasakan kekuatannya mengalir di tanganku.
"Hari ini cukup sampai di sini." Aku bicara sangat pelan, menjawab hatiku yang masih mendorongku meluapkan kemarahan yang masih menggumpal dalam dada.
'Kau tidak seru, Latasha! Aku baru mau mengajak peri hutan lain, menonton kau membantai mereka.'
'Jangan memprovokasi Ash, Phoenix Bodoh!'
'Diam saja Pegasus Pengecut!'
'Apa kau bilang?!'
Perdebatan mereka akan berlangsung lama. Belum apa-apa aku sudah merasa lelah duluan.
"Tidak bisakah kalian berhenti bertengkar?"
"Apa? Kenapa Nona Ashley bicara sep-" Lidya yang berdiri di sebelahku tampak bingung, dan aku tersenyum menenangkan.
"Ah! Aku hanya sedang bicara pada diri sendiri, Lidya. Apakah kau akan membantuku menata rambut?"
"Tentu saja, Nona Ashley!"
Aku berlalu dari ruang makan, meninggalkan kekacauan dan orang-orang yang berdiri kaku bak patung, badan mereka tidak bergerak, tapi ekor mata mereka mengikutiku yang menaiki anak tangga bersama Lidya.
Dengan begini, satu ikatan telah berakhir. Akan lebih mudah bagiku untuk menyelesaikan rencana besarku untuk meninggalkan keluarga ini.
.
.
.