Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 24 - Chapter 23 : Wajah Yang Dirindukan

Chapter 24 - Chapter 23 : Wajah Yang Dirindukan

Barisan pepohonan memenuhi pandanganku ketika kereta kuda yang aku tumpangi bergerak cepat melewati hutan terakhir yang akan mengantarkanku ke Kuil Arthemys.

Aku tidak membuang waktu ketika keinginan itu muncul dalam diriku untuk mendatangi tempat berlangsungnya prosesi pemakanan Iliana Latasha Brainne.

Pagi-pagi sekali aku mendesak Lidya menyiapkan kereta kuda untukku, dan tidak mengindahkannya yang merengek memintaku tetap tinggal di kamar karena khawatir kondisiku belum stabil. Sekalipun dengan sebagian kepala masih tertutup perban, aku memintanya membantuku mengganti pakaian dan memakai topi dengan penutup jaring untuk menyamarkan balutan perban di kepalaku.

Kenapa lukaku tidak sembuh total?

Pendeta Kyan tidak mampu langsung menyembuhkan lukaku dengan dalil sihir hitam yang masih tersisa dalam diriku. Menurutnya sihir suci kuil Arthemys bertemu dengan sihir hitam, saling tolak menolak. 

Entah dia memberi penjelasan atau hanya memberi alasan untuk menolak menyembuhkanku. Kebencian di matanya tidak juga luntur.

Aku mungkin terlihat seperti orang sakit, tapi aku merasa begitu sehat. Walaupun ketika Lidya mengganti perban darah masih merembes dari luka yang belum kering, tidak ada sakit yang aku rasakan dari luka ini.

Mengenakan gaun berwarna hitam yang entah sudah berapa lama disimpan di lemari tua milik Roselyn, aku berangkat dengan membubuhkan banyak parfum agar bau apak tidak terlalu menyengat hidung.

Kereta kuda memasuki area kuil. Tempat yang bahkan haram untuk aku kunjungi ini, sekarang menerimaku dengan tangan terbuka. Beberapa orang berpapasan denganku, menatapku seperti melihat serangga, tapi aku mengabaikannya.

Layout acara pemakaman ini bahkan lebih mewah dari pesta ulang tahun putri bangsawan. Bukan karena dekorasinya yang berlebihan, tapi karena kursi yang digunakan merupakan kursi kuil yang setiap kursinya terbuat dari emas, bertahtakan mutiara langka.

Apakah ini prosesi pemakaman? Atau perayaan kematian?

Barisan kursi di bagian depan diisi para keluarga bangsawan dan keluarga kerajaan. Ksatria yang mengecek identitasku, mengantarkanku pada kursi kosong tepat di sebelah pasangan suami istri Killian. Keduanya menatapku seperti orang asing yang tidak seharusnya berada di tempat ini.

"Kenapa kau di sini, Rose?" Standford Killian langsung mencengkram lengan Roselyn dan tampak panik. Raut wajah yang sama terpatri di istri dan putranya, kakak kandung Roselyn.

Aku belum mengenal silsilah keluarga Killian dengan baik, hanya menerka dari lukisan keluarga yang terpampang di ruang keluarga. Aku bahkan tidak yakin mereka mengetahui kondisi Roselyn pasca terbangun dari kritis.

"Pendeta Kyan bilang kau mengalami amnesia. Seharusnya kau tinggal di kamarmu. Kenapa kau selalu melakukan hal tidak berguna? Apakah kau akan mempermalukan kami lagi? Sudah cukup dengan skandal Woodrose di akademi. Kau mau semua orang menatapmu dengan kebencian? Semua orang membencimu karena menganggap kaulah penyebab kematian anak Kepala Pendeta Brainne!"

Kepalaku terlalu sibuk menalarkan informasi yang abstrak dari kata-kata Standford Killian. Pria paruh baya dengan rambut pirang dan hidung tinggi itu bicara sambil berbisik menahan amarah dan ekspresi wajahnya hingga sedemikian rupa tetap datar sekalipun kebenciannya menggantung dengan jelas.

"Jika kau hanya ingin membuat keributan, sebaiknya kau pulang, Rose!"

Suara sumbang dari sebelahku membuat telingaku semakin berdenging. Kali ini, sosok yang tampak sangat mirip dengan Roselyn tengah membungkukkan badan ke arahku, berbisik sepelan mungkin. Aku ingat lukisan keluarga di dinding mansion milik keluarga Killian, dia adalah Allan Severus Killian, kakak kandung Roselyn. Wajahnya sangat mirip dengan Roselyn, hanya saja dia versi pria. 

Mendapati sikap mereka, timbul pertanyaan dalam benakku.

Apakah Roselyn dibenci di keluarganya?

Apa yang membuat mereka begini marahnya melihat Roselyn? Hingga saat sakitpun tidak ada satu anggota keluargapun yang merawatnya. Mereka bahkan tidak menunjukkan simpati atau cemas. Mereka justru cemas dengan wajah mereka yang mungkin akan tercoreng dengan kehadiran Roselyn. 

Ataukah ini karena seluruh Lindbergh membenci tindakan Roselyn?

Orang yang duduk di barisan depan beranjak dari kursi mereka, aku melihat ke arah mereka yang berjalan ke bagian tengah podium, memberikan penghormatan terakhir sambil membawa bunga krisan warna putih di tangan mereka.

Bukankah pemandangan ini terlalu lucu?

Bagaimana bisa aku menyaksikan orang-orang berduka di depan mayatku sendiri?

Barisan para bangsawan yang bahkan tidak aku kenali wajahnya tengah meneteskan air mata di depan peti putih berukir yang megah dan mewah. Aku bisa melihat dengan jelas penghormatan yang sangat tidak realistis itu. Hatiku tergelitik melihat tingkah mereka.

Ketika aku masih hidup, tidak ada seorangpun yang memberikan simpati, lalu saat aku menghilang dari hidup mereka, mereka berlomba-lomba menangisiku. Aku bahkan tidak tahu apa yang membuat mereka begitu bersedih.

Kepergianku? Ketidakadilan yang aku terima? Penyesalan karena mereka tidak pernah memperlakukanku dengan baik? Rasa bersalah karena sudah menutup mata atas pengasingan yang mereka lakukan padaku? Atau malah air mata pura-pura hanya untuk menarik simpati?

Tanpa sadar aku mendenguskan tawa yang begitu keras. Orang-orang di sekelilingku menatapku tajam.

"Kau tertawa? Apa yang kau sudah gila?!" Allan mencengkram tangan kurus bertulang milik Roselyn, mengguncangnya berkali-kali hingga sendiku seperti akan bergeser.

"Ah! Maafkan anak perempuanku, setelah jatuh dari kuda dia jadi sedikit tidak waras." Nyonya Killian bicara dengan nada merendah mengiba maaf dari orang-orang di depan dan belakang kami. Sepasang kolam biru terang di matanya terhunus padaku, mengirim ancaman tak kasat mata yang mencekik leher.

"Aku tidak ingat apapun. Bukankah Iliana temanku di akademi?" aku bicara sambil mengatur raut wajahku.

Allan mencengkram tanganku semakin kuat. Rasanya ingin aku lempar orang ini ke pilar kokoh kuil. Seringai di wajahnya sangat menunjukkan kebenciannya, dia sengaja menyakiti Roselyn hanya karena ingin menunjukkan dirinya lebih kuat.

"Omong kosong! Kau benar-benar lupa ingatan?" Allan menatapku penuh sanksi, matanya memicing penuh sinis.

Aku memasang wajah polos dan bertanya lewat sorot mata, hingga beberapa detik kemudian Allan melepaskan tanganku dan menekap mulutnya rapat-rapat, bahkan matanya sampai membulat sempurna menatapku tidak percaya.

"Demi Dewa! Kau benar-benar amnesia?" Allan bicara sambil menggeleng keras seolah menolak kenyataan.

"Apa? Roselyn!" Standford Killian mencengkram kedua bahuku, mengguncangnya lagi, membuat kepalaku berputar.

"Ayah! Roselyn benar-benar aneh. Dia tidak pernah menatapku begitu. Dia benar-benar tidak ingat apa yang sudah dia lakukan! Semudah itu kau melupakan semua kesalahanmu, dosa-dosamu?!" Allan kembali meracau di sebelahku, dan aku hanya terdiam melihat reaksi mereka yang terlalu berlebihan.

"Cukup! Ini bukan waktunya membahas hal seperti ini. Sudah giliran kita memberi penghormatan!" Nyonya Killian menarikku hingga berdiri tepat di sebelahnya, dan wajah marahnya tiba-tiba hilang, berganti dengan mata basah hanya dalam hitungan kurang dari 3 detik.

Wow! Mereka memang keluarga yang luar biasa hebat. Aku selalu bertanya bagaimana Roselyn bisa dengan mudah memanipulasi orang lain, tapi melihat bagaimana sikap kedua orang tuanya, aku yakin hal itu mengalir dalam darahnya secara alami.

Standford Killian memimpin barisan kecil keluarga Killian, disusul oleh istrinya, dan aku yang seharusnya berada tepat di belakangnya; ditarik paksa mundur ke belakang oleh Allan. Hingga pandanganku tertutup oleh punggung lebarnya.

Langit begitu cerah, sinar matahari pagi bersinar terang menyapa semua permukaan kuil Arthemys, seolah merestui prosesi pemakaman ini. Ada puluhan anak tangga yang harus aku naiki untuk bisa mencapai podium tempat peti berada.

Orang yang baru turun dari podium dan berpapasan dengan kami kebanyakan membuang wajah atau memberikan sorot mata menghina bersamaan dengan decak jijik.

Hei! Ini sangat tidak adil. Saat hidup aku menerima perilaku tidak adil dari Roselyn, lalu setelah aku mati, aku harus menerima kebencian yang ditujukan pada Roselyn?

Dewa Ahriman! Sial! Sial! 

Apakah ini yang dia maksud ingin membuat jiwaku terkontaminasi dengan dendam dan keserakahan?

"Rose, kau sudah baikan?"

"Eh?" aku menoleh ke sumber suara yang berasal dari atas tangga. Duke Avallon berdiri di sebelah peti, lengkap dengan seragamnya sebagai seorang pengawal kerajaan dia berdiri seolah dirinya berhak berada di sana. Matanya merah, dan agak basah. Kelelahannya terlihat jelas sekalipun badannya tidak menunjukkan jejak letih sama sekali.

"Duke!" Allan memasang tubuhnya di antaraku dan Duke Avallon. Tubuh mungil Roselyn tidak bisa melampaui kakaknya yang tinggi besar ini, hingga pandanganku tertutup dengan sempurna. "Sebaiknya kau tidak bicara dengan Roselyn dulu. Pendeta Kyan bilang ada masalah dengan kepalanya setelah jatuh dari kuda. Maaf kalau adikku agak sedikit tidak war- ehem! maksudku sedikit tidak seperti dirinya yang biasa." 

Aku merapatkan gigiku mendengar kata 'tidak waras' yang hampir lolos dari mulut Allan, dan aku reflek mencubit pinggang Allan. 

"Auw! Auw! Auw!" Allan mengerang, tapi hanya menggeliat sedikit menghindari tanganku, dan aku mengabaikannya saat pasangan Killian terus melangkah setelah memberi sedikit anggukan kepala ke arah Duke Avallon.

Aku harap cubitanku meninggalkan jejak biru di kulitnya. Selama hidup sebagai anak tunggal, aku selalu membayangkan betapa menyenangkannya jika memiliki saudara, tapi melihat sikap Allan, aku merasa beruntung hidup sebagai anak tunggal.

Peti mati megah itu dikelilingi bunga krisan putih yang masih segar, wangi yang semerbak. menusuk hidung. Sekalipun terlihat megah dan mewah, aku masih bisa mencium bau busuk dari dalam peti yang tertutup rapat.

Mayat orang yang sudah meninggal beberapa hari lalu, dan melewati prosesi pemakaman selama berhari-hari, sudah pasti akan membusuk, tapi sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pendeta akan memberkatinya dengan sihir yang bisa mengawetkan mayat. 

Lalu kenapa bau busuk ini masih begitu jelas? Apakah mereka sengaja atau memang tidak bisa menyematkan sihir tersebut?

"Aku turut berduka Kepala Pendeta Brainne. Dosa besar yang dilakukan putriku tidak bisa aku tebus dengan apapun. Kami menyerahkan anak kami yang masih kekanakan ini untuk menerima hukuman darimu. Kami menyesali kejadian yang tidak seharusnya terjadi. Putri kami tidak tahu jika Woodrose bisa mengunci sihir hitam dan membuat mendiang Iliana terkena kutukan. Sekali lagi kami mohon maaf."

Standford menarik tanganku dengan kasar, dan membuatku berdiri di depan sosok yang seketika membuatku lupa caranya bernapas. Sosoknya yang jauh lebih kurus dari terakhir kali aku lihat, tengah menatapku dengan sorot mata kosong. Tidak ada kebencian, apalagi dendam dalam manik berwarna ungu muliknya, hanya kesedihan yang mendalam. Kepala keluarga Killian mendorong kepalaku dengan kasar, hingga tubuhku terpaksa membungkuk begitu dalam.

"Aku tidak akan menyalahkan siapun atas kepergian Iliana. Semua kesalahan ini berasal dariku. Kepergian Iliana adalah bukti aku tidak cukup baik sebagai ayah."

Kepalaku yang dipaksa menunduk, tersentak kaget. Bertemu tatap dengan sepasang mata ungu milik Pendeta Brainne basah, dan dia melihat ke arahku penuh kerinduan yang tidak aku mengerti.

"Andaikan sekali saja aku mengulurkan tangan padanya, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Satu-satunya orang yang harus aku jaga setelah Raisa, sekarang tidak bisa aku jaga lagi, aku kehilangan satu-satunya alasanku tetap hidup." Pendeta Brainne bergumam dengan sorot mata kosong, seolah dia melihat jauh ke dalam jiwaku dan bicara langsung denganku.

Ulu hatiku mendadak nyeri, setiap darah yang dipompakan ke setiap pembuluh darahku dipenuhi duri dan jarum yang menusuk.

Kenapa hingga akhir dia masih berusaha menciptakan image sebagai seorang ayah yang baik?

Aku tidak ingin bertanya, tapi untuk apa semua penyesalan ini?

Benarkah ini penyesalan ataukah sekedar pencitraan?

'Kau bahkan tidak menjadikanku sebagai anak yang bahagia atas kehadiranmu. Kau selalu menunjukkan kekecewaan setiap melihatku. Lalu kau berpura-pura menjadi orang yang paling kehilangan atas kepergianku?'

Dadaku sesak.

"Nona Ash! Nona! Nona Ash-ku yang malang!"

Suara raungan tangis lirih menerobos masuk ke telingaku, membuatku menolak mendengar suara Pendeta Brainne lebih lama lagi. Annabelle tengah duduk bersimpuh di sisi peti mati, memegang erat sapu tangan berwarna putih yang seingatku adalah hasil bordiran pertamaku saat berusia 10 tahun. Aku masih ingat hasil jahitan yang bertuliskan nama Annabelle itu sangat berantakan.

Mata basah Annabelle bengkak luar biasa, entah berapa lama dia sudah menangis, membuatku ingin memeluknya.

"Roselyn, kau mau kemana?" Nyonya Killian menahan tanganku yang hendak menghampiri Annabelle. "Kau harus minta maaf pada Pendeta Brainne!" 

Aku terdiam dan menatap wajah Pendeta Brainne sepenuhnya. Kerut di wajahnya yang tidak pernah bisa aku lihat dari jarak dekat, sekarang terlihat begitu jelas. Pernahkah aku melihatnya dari jarak sedekat ini?

Nyonya Killian mencengkram tanganku kuat. Desakan dari mereka begitu jelas, sayangnya aku tidak berniat menuruti mereka. 

"Minta maaf? Kesalahan apa yang sudah aku perbuat? Aku tidak ingat kesalahan apa yang sudah aku perbuat. Lagi pula siapa orang ini? Apakah dia ayah dari orang yang meninggal itu?" 

Semua orang terbelalak mendengar kata-kataku. Tidak hanya tiga orang dengan nama belakang Killian, tapi juga Pendeta Brainne, dan dua orang pendeta lain di belakangnya. Mereka semua menatapku bagai monster yang tiba-tiba menunjukkan wajah aslinya.

"Bukankah dia sendiri yang bilang semua kesalahan ini bersumber darinya? Dia tidak akan menyesal seperti ini jika ia memperlakukan orang yang meninggal itu dengan baik. Kenapa kalian berwajah sepert itu? Ada yang salah dalam kata-kataku?" lidahku bergerak tanpa jeda penuh kebencian.

"Dimana etikamu, Roselyn!" Standford Killian mengangkat tangannya, dan aku terlalu lambat menghindar, hingga tangan besarnya berhasil mendarat di pipi kiriku. Panas di pipiku merambat hingga ke dada. 

Aku mungkin bukan Roselyn, tapi ditampar di tempat umum seperti ini bukan berarti aku tidak merasakan apapun. Topiku terjatuh dari kepala seiring tubuhku yang terhuyung, tapi aku tidak sampai terjatuh ketika sepasang tangan menangkap bahuku.

"Rose?"

Menyadari siapa yang menopang tubuhku, reflek aku menegakkan tubuh dan menyingkirkan tangannya. Duke Avallon melihat ke arahku kaget, matanya terarah pada kepalaku yang masih terlilit perban.

"Aku bahkan tidak bisa mengingat kesalahan apa yang aku lakukan, dan tiba-tiba menerima tamparan ini. Apakah ini hukuman untukku?" tanyaku dengan mata menantang.

Wajah Standford Killian makin merah padam, setelah menamparku, dia tidak terlihat malu sama sekali atas tindakannya. Dengan begini aku bisa menyimpulkan, bahwa Roselyn benar-benar diasingkan di keluarganya. Diperlakukan seperti ini di depan orang banyak, terlebih lagi di pemakaman bangsawan lain, dan tidak ada seorangpun dari keluarganya yang berusaha membelanya.

Apakah perlakuan ini juga yang membuatnya menjadi seseorang yang begitu jahat? Dia tidak memiliki tempat atau orang lain untuk melampiaskan kemarahannya, sehingga merundungku adalah satu-satunya cara agar aku sama menderita sepertinya.

"Roselyn, apa yang kau lakukan di sini?"

Aku tidak sempat melihat orang yang bicara padaku, karena tiba-tiba rambut panjang hitam legam tertiup angin menutupi pandanganku. Sepasang tangan menangkap tubuhku sebelum aku benar-benar ditelan kegelapan.

Kenapa tiba-tiba gelap?

Tubuhku seringan kapas dan aku tidak merasakan apapun.

Wangi hutan pinus menyeruak di sekelilingku, mengurai kemarahan yang memenuhi hatiku. Aku menghitung dalam kesunyian, berharap bisa segera membuka mata. Tapi kegelapan itu menyelimuti hingga aku tidak bisa menghitung waktu lagi.

Aku bisa merasakan dan mendengar apa yang terjadi, tapi mataku tidak bisa dibuka.

Tunggu dulu, kenapa aku seperti melayang?

Berapa lama? Berapa detik? Berapa menit? Aku tidak bisa memastikannya ketika wangi hutan pinus menyamarkan kesadaranku.

"Aku tidak menyangka dia akan datang ke pemakaman ini. Benarkah dia hilang ingatan?"

Sebuah suara membuatku terhentak dari buaian alam bawah sadar, suara itu terdengar begitu dekat dan jelas.

"Aku tidak bisa menemukan alasan untuk menyangkal. Kau tahu betapa tidak cocoknya aku dengan anak Marquis Killian, dan Roselyn yang aku kenal tidak akan bersikap seperti ini. Dia akan menangis dan mengiba belas kasih orang lain saat ada yang menyakitinya."

"…"

"Tadinya aku hanya mau melihat dari kejauhan, tapi aliran auranya berubah. Siapa sangka aku harus membuatnya pingsan hanya demi menghindari perdebatan lain setelah ditampar begitu. Hah... Dia selalu berhasil menyetir keadaan dan mengubah hati orang lain agar berpihak padanya. Tapi kau lihat sendiri 'kan bagaimana dia justru menantang ayahnya. Biasanya dia akan memasang wajah memelas dan mengiba pada Marquis Killian, padahal selama ini ayahnya adalah orang yang paling dia takuti di dunia ini. Berani taruhan, aku yakin tadi dia sudah bersiap menghajar Marquis. "

"Lalu kenapa dia datang ke pemakaman ini kalau tidak ingat apapun? Apakah keluarganya memaksanya datang untuk meminta maaf?"

"Ha! Roselyn?! Jangan bercanda! Aku rasa dia tidak akan meminta maaf. Dia seperti batu karang, kokoh tak tertandingi, dia justru menolak mengakui kesalahan yang tidak dia ingat pernah lakukan."

"Mungkin 'kah dia berpura-pura?"

"Kau tunangannya. Seharusnya kau yang lebih mengerti Roselyn, Duke."

"Aku tidak bisa mengerti Roselyn. Dia selalu bersikap manis dan membuatku buntu terus berusaha mengerti wataknya."

"Kau menganggap dirimu kesatria dengan sikap tidak objektif begini?!"

"Bagiku Roselyn sudah cukup terluka dengan perlakuan tidak adil keluarganya. Ini yang membuatku selalu ragu untuk bersikap keras padanya. Kau lihat bagaimana Marquis Killian menamparnya di depan umum. Aku bahkan tidak pernah bisa menyalahkannya sekalipun tahu apa yang dia lakukan pada Iliana. Iliana dan Roselyn, keduanya tampak menyedihkan bagiku."

"Hah? Kau aneh. Bukankah kau membenci Iliana? Pendeta Noah bilang kau bahkan mengancam ingin membalaskan kematian ayahmu dengan membunuh Iliana?! Ada apa dengan perubahan hati yang mendadak ini?"

"Aku tidak pernah benar-benar membencinya. Justru aku ingin melindungi Iliana, tapi di sisi lain, melindungi Iliana sama dengan menyakiti Roselyn."

"Melindungi Iliana? Kau sudah gila?!"

"…"

"Jangan pasang wajah seperti itu, orang akan mengira kau tunangan Iliana. Kau bahkan terlihat sangat kacau sejak kepergian Iliana. Jadi siapa sebenarnya yang ada di hatimu?"

Mataku terpaksa terbuka, tidak bisa mendengar lebih lama lagi pembicaraan mereka yang membuat perutku mual. Yang membuatku muak hingga ke tulang adalah kata-kata Duke Avallon. Bagaimana bisa seseorang begitu plin plan dalam menentukan pijakan? 

Tidak ada hubungannya bagiku siapa yang ada di hatinya. Bagiku semua sudah menjadi masa lalu yang harus aku kubur.

Melindungiku sama dengan menyakiti Roselyn? Ha! Jangan membuatku tertawa.

Aku terduduk dan menurunkan kakiku dari tempat tidur yang entah milik siapa. Kakiku bergerak cepat memakai sepatu yang tergeletak tak jauh dari tepi ranjang. Duke Avallon dan Pendeta Kyan berdiri beberapa meter dari ranjang, tepatnya di dekat jendela beranda, dan anehnya obrolan mereka terdengar sangat dekat di telingaku. Kemampuan mendengarku selagi hidup sebagai Iliana masih terbawa hingga aku berpindah ke jiwa Roselyn? 

Kenapa semua hal di tubuh lamaku terbawa hingga aku berpindah ke tubuh Roselyn?

Kalau semua harus terbawa, lalu kemana Aslan dan Sqeeth? Kenapa mereka tidak muncul? Bahkan tanda-tanda kehadiran mereka dalam diriku saja tidak bisa aku rasakan.

Aku berjalan cepat menuju pintu.

"Roselyn!"

Suara lantang Duke Avallon menggema saat aku hampir mencapai pintu. Dia berlari mengejarku dan aku mengabaikannya, tetap berjalan cepat meninggalkan kamar yang bahkan aku tidak ketahui ini dimana. Secepat kilat aku memindai sekelilingku, dan mengenali bahwa aku masih di lingkungan kuil Arthemys. 

Apakah aku lama tidak sadarkan diri?

Semoga saja pemakamannya belum selesai. Aku ingin bicara dengan Annabelle. Dia pasti bisa mengenaliku sekalipun aku berpindah tubuh. 

"Kau mau kemana?" Duke Avallon tiba-tiba muncul di hadapanku, hampir saja aku menabraknya.

"Bukankah aku harus minta maaf pada Iliana Latasha Brainne. Bagaimana aku bisa minta maaf jika jasadnya terlanjur masuk ke tanah. Apakah pemakamannya sudah selesai?"

Duke Avallon mengerutkan alisnya dalam-dalam, dia terheran-heran melihat langsung ke mataku cukup lama, dan setiap detik yang berlalu membuat alisnya semakin dalam menekuk.

"Mereka sedang bersiap untuk menguburnya setelah seluruh Pendeta Kuil memberkati jasadnya."

Baguslah aku tidak terlalu terlambat, jasad belum dikebumikan, berarti Annabelle masih ada di kuil.

"Apakah kau melihat keluarga Brainne? Mungkin pelayan dari keluarga Brainne?"

Alis Duke Avallon semakin bertaut.

"Ah, lupakan saja! Aku akan mencarinya sendiri."

Aku memutar tubuh dan berjalan ke arah koridor lain, menghindari Duke Avallon yang masih terbengong. Dia mematung menatapku yang menjauh.

Menemukan area pemakaman tidaklah sulit, karena orang-orang dengan tertib berkerumun di area yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Mengikuti arus orang-orang, akhirnya aku menemukan rombongan yang membawa peti mati dengan bantuan sihir, dengan cepat mereka memasukkan peti mati ke dalam lubang yang sudah tersedia, dan untuk terakhir kalinya mereka membuka tutup peti mati.

Banyak suara orang yang terkesiap. Aku tidak mengerti kenapa mereka tampak begitu kaget, tapi aku berusaha menyelinap di sela-sela tubuh hingga berhasil melihat isi peti mati. Wajah yang hitam legam, seolah dibakar oleh api besar hingga sedemikian rupa. Tapi anehnya tidak ada bagian tubuhnya yang rusak, hanya warna kulit yang jadi hitam legam. Wajah yang biasanya aku lihat lewat cermin itu terpejam rapat tanpa ekspresi.

Apakah karena kutukan Dewa Ahriman, hingga sekujur tubuhku terbakar? Aku memang merasakan panas yang luar biasa sebelum kegelapan menelanku.

Melihat wujud jasad di depanku, aku merasa begitu hampa? Kesedihan yang aku bayangkan tidak benar-benar menyapa hatiku yang terdalam. Dalam perjalanan menuju kuil aku memikirkan bagaimana jika aku melihat orang-orang yang menghadiri pemakamanku, bagaimana jika aku bertemu Pendeta Brainne, bagaimana jika aku bertemu Annabelle, bagaimana jika aku melihat jasadku sendiri. 

Hanya satu kata yang terlintas dalam benakku... Kesedihan.

Tapi itu tidak benar-benar terjadi.

"Semoga jiwa Iliana Latasha Brainne tenang dan berhasil menuju surga dengan berkat Dewa."

Peti mati ditutup, dan tangisan penuh isak bersumber dari sosok wanita yang berdiri beberapa langkah dari tepi makam. 

"Nona Ash, maaf, hiks, maafkan aku tidak bisa menjagamu." Annabelle terus menangis tanpa henti.

Ini bukan waktu yang tepat bagiku bicara dengan Annabelle. Dia tidak akan bisa berpikir jernih saat melihatku, orang yang sudah berlaku jahat pada Nona kesayangannya.

Keinginanku meringankan bebannya sangatlah besar, tapi wujudku saat ini hanya akan membuatnya semakin sedih. Dadaku sakit mendapati kenyataan yang menohok ini.

Setelah peti mati berhasil dipendam tanah dalam satu sapuan sihir dari pendeta kuil, orang-orang mulai membubarkan diri. Annabelle terpaksa dibawa Albert dan pelayan lain meninggalkan pemakaman, mereka berjalan beriringan dengan wajah menunduk penuh kesedihan.

Aku ingin meringankan kesedihan Annabelle dengan memaksa datang ke sini, tapi pada akhirnya aku tidak bisa melakukan apapun. Ada batu besar menghimpit dadaku.

Pendeta Brainne berdiri menjulang bak pohon besar nan kokoh di depan pusara dengan tulisan Iliana Latasha Brainne. Aku yang berjarak beberapa meter darinya, terhalang beberapa orang yang belum beranjak dari area pemakaman. Aku bisa melihat dengan jelas wajah Pimpinan Tertinggi di kuil Arthemys itu lebih pucat dari sebelumnya. 

Apakah duka yang dirasakannya begitu mendalam?

Tidak ada sedikitpun iba yang terlintas dalam hatiku sekalipun dia benar-benar sedih.

"Ash…."

Aku terkesiap mendengar suara yang sangat aku kenal berbisik tidak jauh dari Pendeta Brainne. Rambut cokelat agak bergelombang yang sangat aku kenali itu berjongkok dengan kepala tertunduk, tangannya menyentuh gundukan tanah yang masih basah.

"Maafkan aku, maafkan aku. Bagaimana caranya aku bisa meminta maaf padamu setelah semua hal buruk yang aku lakukan padamu? Aku bahkan tidak mempercayaimu dan memihak pada Roselyn. Maafkan aku, Ash."

Clifton berbisik sangat pelan, suaranya yang bergetar menggambarkan penyesalan yang amat sangat.

"Bukankah seharusnya kau bahagia sekalipun tanpa kehadiranku? Lalu kenapa kau menangis seperti itu, Clift?" desisku dengan napas tertahan. Tidak ada kemarahan dalam diriku, aku berharap dia bahagia, bukan menyesali keputusannya.

Clifton mengepalkan tangannya begitu kuat, kepalanya tertunduk dalam, dan bulir air matanya tidak berhenti menetes.

Tidak seharusnya aku datang ke pemakaman ini. Berapa banyak wajah yang harus aku lihat menyesali kepergianku? Selagi aku bernapas, mereka seolah menutup mata, lalu apakah aku harus merasa senang melihat mereka menangisi jasadku?

Clifton berlutut di sisi makam, dan terus menangis, hingga akhirnya ayahnya, Argus Alex Romello yang merupakan Penasehat Kerajaan dan beberapa perwakilan dari Keluarga Istana, datang. Sambil meremas bahu Califton, dia membawa putranya pergi, menyampaikan salam dari Raja Hardian dan Ratu Elia diterima keluarga Brainne yang tengah berduka.

Aku tahu kenapa mereka tidak datang. Keluarga kerajaan yang saat ini tengah berpesta karena berhasil membebaskan diri dari kutukan dengan menjadikan nyawaku sebagai tumbal. 

Ya. Mereka kejam.

Aku tidak ingin mempercayai apa yang diperlihatkan Dewa Ahriman, tapi mendapati Pendeta Kyan yang bungkam sekalipun mengetahui Roselyn melakukan sihir terlarang, membuatku tidak bisa menepis pikiran bahwa Ratu Elia yang sangat menyayangi Roselyn, juga melakukan hal yang sama, memanipulasi Roselyn, memanfaatkanku demi mencapai tujuannya.

Mereka bahkan tidak berpikir untuk hadir sekalipun sekedar berpura-pura sedih atas kematianku. Raja dan Ratu yang aku kira baik hati itu, ternyata jauh lebih busuk dari bangkai.

Langit berubah menggelap, awan hitam datang entah dari mana menghalangi sinar matahari. Petir mulai menyambar dan Pendeta Brainne tidak juga beranjak dari makam, berdiri menjulang bagai tiang pancang, matanya terkunci pada makam.

Aku melihatnya dari balik pohon besar di sisi area pemakaman sambil berusaha menahan pancaran auraku.

Penderitaan yang ditunjukkannya sekarang, apakah itu semua nyata? Aku ingin terus melihatnya dan membuktikan bahwa itu bukanlah pura-pura. Luka, rasa kehilangan, penyesalan, bahkan hingga matanya yang memerah dihiasi kantung kehitaman.

Namun terlintas pertanyaan baru dalam benakku.

Apa yang sebenarnya masih aku harapkan dari sosok yang tidak pernah bisa memberikan kasih sayang sebagai Ayah selama aku hidup?

'Ibu, aku ingin melepaskan hati sebagai anak dari Raisa Arkais dan Claude Roger Brainne. Aku tidak pernah bisa menyelesaikan peranku sebagai anak. Aku tidak pernah bisa sempurna menyayanginya sepertimu, Ibu.'

"Latasha…."

Orang-orang satu demi satu meninggalkan area pemakaman, hingga hanya tinggal dirinya di sana bak patung yang bernapas. Saat orang terakhir pergi, Pendeta Brainne tiba-tiba bersimpuh di depan makam, sosoknya terlihat begitu rapuh dan tak berdaya.

"Maafkan Ayahmu yang tidak berguna ini, Ash. Latasha. Putriku. Maafkan aku yang gagal menjagamu. Aku tidak berhasil melindungi Raisa, dan berusaha menjauhkanmu dari sihir. Aku berusaha melindungimu. Tapi apa yang sudah aku lakukan? Aku justru menjatuhkanmu ke jurang yang selalu aku takuti. Maafkan aku, anakku. Ash… Buah Hatiku."

Aku mendengar dengan jelas rintihan Pendeta Brainne. Kata-katanya justru terdengar seperti mencari pembenaran atas semua perlakuannya selama ini padaku. 

Menjagaku? Dari apa? Tidak ada sedikitpun belas kasih darinya yang mampu aku ingat. Dia hanya membuatku tersiksa dalam hidup penuh pengharapan kasih sayang seorang ayah. 

Perlindungan macam apa yang dia inginkan dengan membuatku menjadi orang terasing dan dianggap lemah?

Kenapa tidak sedikitpun dia berusaha membuatku mengerti?

Melakukan semua dengan caranya, membuatku terluka bertahun-tahun, berharap dan terjatuh ke jurang terdalam hingga aku ingin menyerah. Aku putus asa, hingga aku tidak sadar sudah menjadi korban kutukan Dewa Ahriman.

Lelucon hidup macam apa ini?

Penyesalan seperti ini apakah akan mengembalikan waktu? Apakah akan menyembuhkan luka mendalam yang aku alami?

Aku tidak akan bisa memaafkannya setelah semua duka berkepanjangan ini.

Aku tidak bisa kembali ke kehidupan sebagai Iliana Latasha Brainne. Begitu banyak kenangan buruk dalam nama itu. Aku akan memutuskan benang merah ini sekalipun jiwaku hidup kembali dalam tubuh orang lain.

Punggungku yang bersandar pada batang pohon, aku paksa tegak melawan hati, namun saat kakiku hendak melangkah, sosok yang sangat aku kenali berdiri beberapa meter dariku. Rambutnya yang terpotong pendek rapi berdiri tegak menantang langit, mata toskanya redup melihat lurus pada pusara makam.

Callisto mengenakan seragam yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, aku melihat luka di lengan dan kakinya yang masih basah. 

Aku bahkan tidak tahu apa yang dia lakukan sampai terluka seperti ini?

Apakah dia ditugaskan melawan monster di hutan perbatasan?

"Aku hanya melepaskan pandangan darimu untuk sesaat, dan kau pergi untuk selamanya?" Callisto tertunduk dan menutup mata dengan satu tangan. Dia terdiam berada di posisi itu selama beberapa saat dan aku mendapati tetesan air mata yang membasahi pipinya jatuh di atas sepatunya yang penuh lumpur.

"Perpisahan macam apa yang bahkan tidak mengucapkan 'Selamat Tinggal'? Kau tidak datang padaku, tapi kau malah pergi? Kenapa hingga akhirpun kau begitu keras kepala, Iliana? Aku hanya memintamu menunggu selama setahun, dan kau meninggalkanku?" 

Callisto merenggut tangannya ke dada. Entah apa yang terlintas dalam benaknya, dia terus tertunduk sambil menangis. Mendapati sosok Callisto yang selalu tampak garang tengah menangis, membuatku berpikir bahwa pohon besarpun bisa tumbang. Tidak pernah aku melihatnya seperti ini.

Dia tidak seharusnya menangis seperti itu.

Kami bahkan tidak saling mengenal terlalu lama. Expedisi Pulau Ennius yang mempertemukan kami, dirinya yang selalu bertingkah aneh dan seleranya memakan biskuit tidak enak buatan Adam. Dirinya yang mengeluh kesakitan setiap hujan turun. Sikap sembrononya yang membuatnya harus meregang nyawa di tangan Sqeeth.

Waktu terasa singkat, tapi benakku bisa mengingat dengan detail apa saja pernah kami lewati bersama.

Suara gesekan bajunya menggema di telingaku saat dia berjalan mendekati makam, berdiri tepat di samping Pendeta Brainne. Matanya terpaku pada makam.

"Apakah kau benar-benar ayah kandung Iliana?"

Aku terkesiap mendengar nada sinis dari suara Callisto yang gemetar. Niatku untuk menghentikannya hilang sama sekali ketika aura membunuh menguar darinya. Auranya menyala di seluruh sisi tubuhnya, membakar penuh ancaman mematikan.

"Kau menyiksanya dan tetap menganggap dirimu sebagai ayahnya? Omong kosong! Ayah macam apa yang membiarkan anaknya diasingkan seperti ini?! Seharusnya aku memaksanya menerima uluran tanganku. Andaikan aku tidak memberikannya pilihan untuk datang padaku ketika hatinya siap. 

"Kau tidak berhak melakukan itu semua pada Iliana, sepatutnya kau membuat Iliana bahagia. Jika saja, jika saja aku yang berada di sisinya. Aku tidak bisa berhenti berpikir andai saja dia tidak berpegang pada tali yang salah."

Otakku tak mampu berpikir lagi. Callisto terlihat begitu terluka, dan aku mengingat saat kami bicara di kantin akademi. Dia yang menyatakan perasaan dengan sangat kikuk. Sosoknya yang selalu bicara apa adanya tanpa berpura-pura. Dirinya yang berstatus tawanan perang, tapi tetap menawarkan perlindungan padaku.

Mungkin dia benar. Selama hidup sebagai Iliana Latasha Brainne, aku berpegang pada tali yang salah. Karena itu sekarang aku tidak akan berpegang pada siapun lagi, aku akan mendapatkan kebahagiaan dan kebebasanku sendiri.

Beranjak dari area pemakaman, aku menuju kereta kuda yang menungguku.

Kereta kuda bergerak bersama awan hitam yang berarak seiring angin berhembus, menampakkan matahari sore yang bercampur awan mendung, hingga tak lama setelahnya hujan turun mengguyur permukaan bumi. Suara gemericik hujan terdengar bagai senandung bagi hatiku yang kalut, menenangkan dan membuatku terpejam meresapinya.

'Kau pasti kesakitan lagi, Callisto. Aku harap ada Penyembuh yang akan membantumu melewati saat-saat seperti ini.'

Pandanganku kosong menekuri langit. Malampun tiba lebih cepat hari ini.

.

.

.