Perasaan terombang-ambing itu berlangsung begitu lama. Bagai tubuh yang mengapung di tengah lautan, aku membiarkan diriku mengikuti arus yang tak aku ketahui sumber dan ujungnya. Antara sadar dan tidak, aku melihat bulan sabit yang bertandang tinggi di atasku, seolah ingin menyakinkan bahwa dirinyalah yang berada di posisi tertinggi saat ini.
Kegelapan yang menelanku telah membawaku ke sini, ke tempat yang tidak aku kenal namun memberikan damai yang kurindukan.
Apa yang terjadi padaku?
Setelah suara tawa mengerikan itu, tumpang tindih dengan suara Aslan yang sangat kurindukan, ditambah kepanikan Sqeeth yang tidak aku mengerti, semua menghilang dalam kesunyian.
Kemana mereka pergi setelah aku kehilangan tanganku?
Kenapa mereka meninggalkanku?
Apakah mereka benar-benar meninggalkanku karena aku tidak mendengarkan kata-kata mereka, membuat mereka berada dalam bahaya?
Mereka hanya muncul sesaat dan menghilang lagi.
Sekujur tubuhku hampa, dan aku tidak bisa merasakan kehadiran mereka sama sekali.
Tapi jiwaku terasa begitu tenang.
Aku mengingat lingkaran merah darah yang terakhir kali aku lihat.
Kutukan Dewa Ahriman.
Seketika aku mengenali warna aura yang begitu jahat dan mengerikan itu. Seolah lingkaran itu berusaha menelan tubuhku sepenuhnya. Seolah tidak puas setelah mendapatkan tangan kananku, dia ingin menyelesaikan sisa tugasnya. Rasa terbakar yang begitu nyata masih terasa sangat jelas dalam ingatanku.
Tangan kananku.
Eh?
Kenapa tangan kananku tidak cacat?
Aku mengangkat tangan kananku yang utuh tanpa luka. Permukaannya yang basah menunjukkan genangan air yang menjadi tempatku mengapung. Warna kulit yang pucat dan berkerut, membuatku berpikir, sudah berapa lama aku mengapung di sini? Namun anehnya aku tidak merasa dingin sama sekali, hanya ketenangan yang menyelimuti.
'Ash!'
Suara Aslan, aku bisa mendengar suaranya dengan jelas.
'Kau harus menarik jiwanya lebih kuat lagi! Kenapa kau lemah sekali, Bocah Pegasus?!'
Kali ini Sqeeth terdengar menimpali, tapi aku tidak bisa mengeluarkan suara, lidahku kaku.
'Wahai Jiwa Arkais.'
Suara mengerikan itu menggema di sekelilingku. Aku ingin pergi, kabur, menutup telinga rapat-rapat agar tidak mendengar suara bengis itu.
'Darahmu adalah Pelepas Dahagaku. Jiwamu adalah hadiah bagiku. Perjanjian sakral dalam jiwamu membuat Pertukaran Ini tidak sempurna.'
Aku menatap bulan yang menjadi satu-satunya sumber cahaya, berusaha mencari pertolongan.
'Tidakkah kau ingin membalas dendam pada orang yang menjadikanmu tumbal?'
Mataku membelalak sempurna ketika sosok berwarna merah darah tiba-tiba muncul dengan jarak kurang dari satu jengkal di atasku. Matanya berwarna hitam sempurna, dari bola mata hingga pupilnya, bagai jurang tak bertepi. Wajahnya terlihat sempurna dengan ketampanan yang tidak manusiawi. Sosoknya berselimut cairan merah yang tiap tetesnya jatuh di permukaan tubuhku, mengirim dingin yang melebih es. Dingin menggigit setiap bagian dalam diriku, mengalahkan ketakutan yang menyelimutiku.
Aku tidak ingat bagaimana buku sejarah menggambarkan Dewa Ahriman, tapi aku bisa mengenali sosoknya dengan cepat.
Aku tidak bisa menghindar, terlebih lagi bicara, mataku terkunci pada sepasang kolam hitam yang menghipnotis.
'Wahai, Arkais'
Sekujur tubuhku menggigil saat sepasang tangannya menangkup wajahku, suara gemericik air saat tangannya bergerak, menggema di telingaku.
'Mereka melakukan segala cara untuk tetap hidup, hingga tidak segan-segan mengorbankan nyawamu.'
Sebuah kepulan asap berwarna putih muncul di samping sosok mengerikan di hadapanku. Asap putih semakin jelas membentuk bingkai seperti jendela, menunjukkan wajah Raja Hardian, Pangeran Henry dan Ratu Elia. Ketiganya tertawa bahagia sambil menyantap teh mereka.
"Awalnya aku tidak yakin dengan rencanamu, Ratuku. Tapi aku bersyukur sekarang kau sudah kembali sehat. Midas bahkan membantu memberikan ramuan teh untuk melemahkan pertahanan kunci sihir putri Pendeta Brainne. Setelah gagal menyelamatkan darah dagingku sendiri, rasanya seperti mimpi melihatmu kembali ceria di sisiku. Terimakasih Ratuku."
Raja Hardian mengecup dahi Ratu Elia penuh kasih, sementara Pangeran Henry tersenyum di sebelahnya.
"Menukar nyawamu dengan Brainne memang jawaban yang tepat." Bisik Raja Hardian pada Ratu Elia.
"Ini semua karena usahamu juga, Yang Mulia. Kau membuat Iliana pergi ke Pulau Ennius dan berhasil melakukan perjanjian dengan Spirit Hutan, hingga sihirnya semakin kuat. Jika tidak, maka jiwanya tidak akan bisa dikorbankan."
Aku terdiam dan kembali melihat tawa di wajah bengis di hadapanku. Sekalipun tangan Dewa Ahriman yang menangkup wajahku terkesan penuh kasih, tapi aku mengerti dengan baik tipu daya dewa kehancuran sepertinya.
Setelah berhasil mendapatkan nyawaku, sekarang dia ingin menjadikanku korban tipu muslihat yang berikutnya. Ingin membuatku membenci orang lain dengan menunjukkan sesuatu yang tidak nyata seperti ini.
Kemarahan dalam diriku sangat besar, dan aku melawan ketidakberdayaanku. Secepat kilat aku mendorong wajah menakutkan itu. Dengan cepat ia bergerak menghindar dan melayang di atasku sambil tertawa puas.
"Aku tidak akan mengikuti hasutan busukmu. Dunia ini terlalu memuakkan karena Dewa Kehancuran sepertimu! Harus berapa banyak nyawa yang jadi korban? Berhentilah sebelum karma datang padamu," aku berteriak kuat, dan tiap kata yang keluar dari mulutku membuat tubuhku berdesir penuh kemarahan.
'Karma? Ha ha ha! Aku hanya memenuhi permintaan manusia. Lalu apa keinginanmu? Kau tidak ingin balas dendam pada mereka?'
"Persetan dengan balas dendam! Aku tidak akan kembali pada hidup yang hanya membuatku menderita!" hardikku.
Aku tidak akan balas dendam, aku terlalu lelah.
Aura merah darah di hadapanku tiba-tiba semakin kuat, setiap sulurnya menyelimuti tubuhku dan membakar.
'Ha! Ha! Ha! Aku selalu menyukai jiwa kuat Arkais dan selalu ingin memakannya setiap kali melihat pancarannya, tapi tidak kali ini. Sebagai jiwa terakhir Arkais, kau terlalu berharga untuk aku santap sekarang. Ketika banyak jiwa tidak ingin meninggalkan dunia ini, kau malah membenci dunia ini?! Kau perlu mengenal balas dendam, dan keserakahan. Jangan membuatku tertawa dengan hati bersihmu, aku mengenal sekian banyak jiwa Arkais yang sok suci tapi tunduk pada harta, kekuasaan, dan takut menghadapi kematian.'
Aku menatapnya sengit. Aku tidak menginginkan apapun lagi. Tidak setelah sekian banyak kekecewaan yang aku terima karena berharap. Aku tidak ingin membelas dendam, karena menyimpan kebencian hanya membuatku lelah. Aku tidak ingin hidup karena hidup hanya akan membuatku terus berjuang. Aku tidak ingin menjalani lagi hari-hari dipenuhi harapan kosong.
Sekalipun mereka benar-benar melakukan hal buruk itu demi mengorbankan jiwaku, aku tidak peduli. Tidak peduli Raja Hardian, Ratu Elia, Pangeran Henry, Midas, Roselyn, semua orang yang sudah merundungku, bahkan sosok ayah kandungku sekalipun... aku tidak akan hidup demi memuaskan kemarahanku pada mereka.
Dewa Ahriman memicingkan matanya yang menyerupai jurang tanpa dasar.
'Apakah kau tidak ingin menyelamatkan Spirit yang terikat pada jiwamu?'
Aslan dan Sqeeth?
'Kau bisa saja tidak menyimpan dendam, tapi apa yang terjadi pada dua spirit milikmu adalah bukti kecerobohanmu. Kau membuat mereka ikut menanggung beban atas tindakanmu. Apakah kau masih tidak ingin menebus kesalahanmu?'
Aku terdiam, dadaku yang tenang, tiba-tiba dipenuhi gemuruh mengingat sosok Aslan dan Sqeeth yang terakhir kali aku lihat. Wajah sedih mereka membuatku tidak mampu menjawab pertanyaan Dewa Ahriman.
Apa yang terjadi pada Aslan dan Sqeeth setelah aku terdampar di kegelapan? Apakah mereka ikut terkena kutukan Dewa Ahriman? Apakah aku sudah membuat mereka berada dalam bahaya?
"Aslan!" aku berteriak lirih, tapi hening yang menjawabku.
"Sqeeth!" tetap tidak ada satupun suara yang menjawabku.
Senyum di wajah Dewa Ahriman semakin lebar. Aura bengis darinya semakin kuat menusukku, tersenyum puas mendapati keputusasaan memenuhiku.
Apa yang sudah aku lakukan pada mereka? Maafkan aku, apa yang harus aku lakukan? Aku- aku-
'Ha ha ha, wajah seperti ini yang seharusnya kau tunjukkan, Arkais!'
Dewa Ahriman meyentuh kedua sisi wajahku, kepuasan di wajahnya mengirim kengerian dalam diriku.
'Aku, Dewa Ahriman!' gelombang air besar menghantam tubuhku saat sosok itu menyebutkan namanya, tubuhku terangkat ke udara bersama gelombang air yang menopangku. Aku tidak bisa bergerak karena sulur auranya yang begitu kuat mengekang.
'Memberikanmu kesempatan. Kita lihat seperti apa kau akan membenci hidup keduamu!
Dewa Ahriman menarik tanganku hingga terhempas dalam lengkungan tangannya.
"Arghhhh!" panas membakar yang begitu menyiksa membuatku semakin lemah. Ada begitu banyak air di sekelilingku, tapi tidak mampu memadamkan rasa terbakar yang begitu mengerikan ini.
'Hiduplah, dan buat jiwamu semakin berharga untuk aku miliki!'
Dewa Ahriman menempelkan dahinya di dahiku, hingga aku menatap matanya yang gelap seperti ujung jurang yang sangat dalam. Setiap waktu yang terlewat membawaku semakin jauh tersedot dalam pusaran tanpa ujung. Panas dan menyiksa, aku tidak mampu melawannya.
Suara Aslan dan Sqeeth kembali terdengar, terlalu jauh dan samar hingga aku tidak tahu dari mana sumbernya. Mereka memanggilku berulang kali, tapi dimana mereka?
Aslan.... Sqeeth.... Aku ingin kembali pada mereka. Aku harus meminta maaf pada mereka. Maaf karena aku terlalu bodoh dan membiarkan mereka ikut menanggung beban karena kesalahanku.
Panas! Sakit! Tolong aku! Sakit!
Rasa bersalahku bercampur dengan rasa sakit yang menyesakkan.
Maafkan aku. Aku mohon maaf jika kebodohanku menyusahkan kalian. Bagaimana aku harus menyelamatkan kalian? Jawab aku, aku mohon, aku mohon.
"…sh?"
Dadaku berat.
"Nona Ash?"
Suara penuh cemas bergaung dari sisiku, ada tangan yang mengguncang bahuku berkali-kali.
Siapa?
Napasku pendek-pendek dan memburu.
"Nona Ash!"
Satu demi satu indra mengirim sinyal padaku, hingga aku beranikan diri membuka mata. Cahaya menyilaukan yang berasal dari jendela besar di sisi kanan membutakan mataku. Hanya mampu melirik, aku berusaha memfokuskan pandanganku yang benar-benar kabur. Yang pertama kali masuk dalam pandanganku adalah chandelier yang menggatung di langit-langit, terlihat indah namun sangat asing.
Aku ingin bicara tapi tenggorokanku sakit, suaraku tercekat sementara lidahku kaku.
"Nona? Terima kasih Dewa Hermush, akhirnya Nona membuka mata!"
Sekujur tubuhku panas dan tidak bertenaga. Aku hanya bisa melirik lemah pada seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang tengah memegang tanganku. Rambutnya hampir semua memutih, tangannya yang gempal terbalut seragam pelayan berwarna hitam putih.
Siapa wanita asing ini?
"Apa yang Nona rasakan? Apakah Nona mau minum?" wanita berkacamata itu tampak panik dan bertanya dengan tergesa-gesa, dia bahkan tidak brusaha mengusap pipinya dulu yang basah oleh air mata.
Aku hanya bisa mengangguk samar.
Lalu wanita tua itu bergerak sangat cekatan, tidak sesuai bobot tubuhnya, mengambil gelas berisi air dan membantuku duduk, dengan sangat hati-hati memegangi gelasku sementara aku masih berusaha menalarkan semua hal aneh yang tidak aku kenali saat ini.
Air yang menyegarkan itu membasuh seluruh dahagaku, bahkan rasa membakar di seluruh tubuhku hilang seketika. Dalam beberapa helaan napas, aku merasa seperti dialiri aura besar yang mengembalikan seluruh tenagaku. Masih tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, wanita tua tadi memintaku minum lagi, dan aku menurutinya hingga isi gelas tak bersisa.
Sekelilingku adalah kamar dengan dekorasi sederhana, bahkan lemari pakaian dan meja rias terlihat sangat tua penuh goresan sekalipun masih sangat kokoh. Satu-satunya yang terlihat mewah di kamar ini hanya gorden yang menutup jendela besar menuju beranda.
"Ini adalah air suci dari Kuil Arthemys. Air Penyembuh yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Cucuku berusaha mendapatkannya dari Pendeta Lancelot, aku berharap ini bisa menyembuhkan Nona yang tak sadarkan diri empat hari ini."
Mendengar nama yang tidak asing dari mulut wanita ini, seluruh sel dalam diriku seperti terbangun. Wanita ini mengenal Lancelot, berarti aku masih di Lindbergh. Sekalipun aku tidak mengenali ruangan ini, tidak juga mengenali wanita ini, aku masih berada di Lindbergh.
"Lancelot?" suaraku terdengar seperti bebek yang kehabisan suara.
Kenapa suaraku terdengar sangat aneh?
Jemariku bergerak reflek menyentuh leher, dan tanpa bisa dihindari, aku merasakan tulang leher yang (anehnya) sangat menonjol. Kemudian pandanganku jatuh ke satu tangan yang berada di pangkuan.
Jauh lebih terkejut lagi ketika melihat tanganku yang putih dan kurus.
Kenapa tanganku tidak cacat? Pandanganku tak beranjak dari sepasang tangan yang tidak aku kenali. Ukuran tangan yang proporsional dengan kulit berwarna putih pucat. Aku tidak mengenali tangan ini, tapi aku mampu menggerakkannya.
Apa yang terjadi padaku setelah bertemu dengan Dewa Ahriman? Apakah kutukannya....
"Pendeta Lancelot awalnya tidak ingin memberikan air suci dengan pemberkatan dari auranya, tapi setelah cucuku berlutut berkali-kali memintanya, akhirnya dia mau memberikannya. Cucuku bilang Pendeta Lancelot tidak ingin memberkati orang yang menyakiti sahabatnya. Apakah Nona melakukan sesuatu pada Putri Kepala Pendeta Brainne?"
Semakin aku mendengar wanita tua ini berbicara, semakin aku tidak mengerti.
"Aku tidak seharusnya mengatakan ini, tapi Tuan Besar dan Nyonya Besar pergi ke Kuil Arthemys sejak kemarin. Mereka pergi menghadiri prosesi pemakaman Iliana L. Brainne. Aku ikut sedih karena mereka lebih memperhatikan orang lain dari pada merawat Nona yang sedang sakit. Apakah Anak Kepala Pendeta Brainne jauh lebih berharga dari pada putri mereka sendiri? Aku tidak mengerti kenapa hidup Nona begitu menyedihkan."
Kepalaku berdenyut sakit, setiap denyutnya menghantam logikaku yang tidak juga berfungsi. Dunia berputar cepat hingga pandanganku kabur, segalanya terlihat buram dan tubuhku yang baru saja mendapatkan tenaga, tiba-tiba kembali terhempas ke tempat tidur.
Prosesi Pemakaman Anak Kepala Pendeta Brainne?
Aku benar-benar sudah mati?
Kalau mereka menghadiri pemakanamku, lalu siapa aku? Aku masih memiliki ingatan sebagai Iliana, aku yakin aku adalah Iliana, tapi kenapa mereka menghadiri pemakamanku?
Rambut, wajah, tangan, hingga saat aku menyibakkan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhku, aku tidak bisa mengenali tubuh siapa ini.
"To-tolong bawakan a-aku cermin."
Wanita tua itu terkesiap dan bergerak cepat menuju meja rias, tangannya membawa cermin sebesar wajah ke arahku dan memberikannya penuh hormat.
"Apakah sebaiknya aku menyiapkan sup untuk No-"
"TIDAK!!!"
Aku berteriak histeris saat melihat pantulan wajahku di cermin.
Cermin yang aku pegang dengan cepat tertutup aura berwarna silver, dan bagai dalam gerakan lambat aku bisa melihat bagaimana auraku menghancurkan cermin menjadi serpihan debu, lalu mengirimnya keluar jendela bagai topan kecil melewati lubang ventilasi.
Pandanganku tertuju pada serpihan yang menghilang secepat hembusan napas, tanpa mantra, tanpa tenaga, semua terjadi sejalan dengan pikiranku.
"Woah, Arkais! Sejak kapan putri arogan itu punya cahaya Arkais?"
"Jiwanya sangat terang. Terakhir kali aku lihat jiwa hitamnya dipenuhi sihir kuno terlarang, tapi sekarang ada pancaran Aslan dan spirit kuno lain dalam dirinya. Aku ingin sekali bertemu Aslan. Dia legenda penguasa hutan dari di Pulau Ennius. Aku mau lihat-"
"Hei, kalian berdua jangan terlalu dekat. Dia bisa menghancurkan kalian seperti cermin itu."
Suara bisikan yang terdengar jelas sekalipun sang objek berada jauh dari pandanganku, membuatku tertegun. Ada tiga peri hutan yang terbang di dekat pohon oak besar di seberang beranda. Mereka berada tepat di biji oak yang sudah menguning. Ketiganya melihat ke arahku penuh penasaran. Pandanganku begitu jernih menembus jendela beranda.
"No-Nona, jika nona marah dan tidak mau makan. A-aku tidak akan menyiapkan apapun. Ma-maafkan aku, aku tidak berpikir Nona akan semarah ini."
Jantungku masih memburu setelah melihat pantulan wajahku di cermin. Aku berteriak bukan karena aku menolak tawaran wanita tua di sebelahku, tapi aku begitu terkejut melihat wajah siapa yang muncul di cermin.
Orang yang selalu berusaha merundungku, memastikan aku berada di urutan terbawah dari rantai makanan, orang yang mengatakan aku selalu membuatnya jijik di manapun dia melihatku.
Ya, Ashley Roselyn Killian.
Perempuan terlicik di Lindbergh dengan sejuta tipu muslihat.
Kenapa aku bisa berada di dalam tubuhnya? Lalu kemana perginya jiwa Roselyn?
Apakah ini ulah Dewa Ahriman? Dia menghidupkanku lagi, dan memilih tubuh Roselyn?
'Hiduplah, dan buat jiwamu semakin berharga untuk aku miliki!'
Kata-katanya bermain dalam benakku seperti gema dalam gua, tak berhenti dan terus sahut menyahut.
"A-apa yang te-terjadi padaku?" aku tergagap dan menyadari kebiasaanku yang tidak bisa hilang sekalipun berpindah tubuh. Panik mulai menyerangku mengingat bagaimana wajah bengis Roselyn saat berusaha mengutukku. Senyum penuh kemenangan yang dia berikan ketika orang-orang merundungku karena hasutannya. Lalu aku harus hidup dengan wajah yang sama yang sangat kubenci?
Wanita tua yang tengah berlutut di lantai samping tempat tidur itu mendongak layaknya boneka kayu, kaku dan hati-hati. Mata basahnya melihat ke arahku penuh iba bercampur takut.
"Nona jatuh dari kuda empat hari lalu, kepala Nona berdarah banyak dan Penyembuh dari Kuil mengatakan kalau Nona dalam keadaan kritis, dan hanya bisa menunggu keajaiban untuk bisa sadar. Aku berusaha meminta Tuan dan Nyonya agar tidak pergi ke kuil Arthemys, karena kondisi Nona yang sangat lemah, tapi … tapi …."
Wanita tua itu tidak sampai menyelesaikan kata-katanya akibat isak tangis yang tiada henti. Yang aku tidak mengerti dari sosoknya yang tanpa aura sama sekali (yang berarti dia tidak memiliki kemampuan sihir), tampak takut pada Roselyn, tapi aku juga bisa melihat betapa besar rasa sayangnya pada Roselyn.
Aku tidak bisa mengingat apapun tentang hidup sebagai seorang Roselyn, ingatanku kosong sama sekali, aku hanya membawa ingatan tentang kehidupanku sebagai Latasha.
Bagaimana aku akan menjalani hidup sebagai Roselyn? Aku tidak mengetahui apapun tentangnya. Aku bahkan tidak ingat kalau aku jatuh dari kuda, dan apa yang terjadi sebelum-
Tunggu dulu...
Apakah lebih baik jika aku berpura-pura hilang ingatan? Bukankah jatuh dari kuda dan mengalami amnesia bisa jadi alasan yang sangat logis?
Ya, untuk saat ini hanya itu cara terbaik sambil aku mencari jalan lain.
"A-aku tidak ingat a-apapun. Ini dimana? Si-siapa aku?" aku kembali gugup karena berusaha keras tampak meyakinkan dengan kebohongan absurd ini. Berusaha menunjukkan kebingungan di wajahku sambil memutar otak ternyata bukanlah hal mudah.
"Nona tidak ingat siapa aku?" wanita itu bertanya dengan mata yang jauh lebih basah dari sebelumnya.
Aku hanya bisa mengangguk samar, leherku begitu kaku seperti batang kayu.
"Oh tidak, aku harus panggil Penyembuh! Penyembuh! Penyembuh!"
Wanita tua itu terlalu panik dan tidak berusaha mendengarku yang menghentikannya. Dia bahkan lebih tua dari Annabelle, tapi dengan tubuh gempal seperti itu masih mampu bergerak dengan sangat lincah. Aku sampai terkesima melihatnya berlari secepat itu meninggalkan kamar.
Sekarang aku sendirian di kamar ini. Keheningan ini membuat berpikir bagaimana aku harus menghadapi situasi ini.
"Dewa Ahriman! Aku akan mengutukmu seumur hidupku! Sekalipun dia dewa, bagaimana bisa dia memainkan hidupku seperti ini?! Dia bukan dewa kehancuran, dia hanya ingin bermain-main dengan jiwa manusia!"
Mataku melirik botol kristal yang berisi air jernih dengan percikan cahaya yang tidak lazim. Itu adalah air yang tadi aku minum. Air yang sudah diberkati oleh Lancelot.
Bukan hal baru jika Lancelot bisa memberikan air suci penyembuh yang sangat mujarab, tapi baru kali ini aku meminum dan merasakan sihir penyembuhnya secara langsung. Tanganku terjulur hendak meraih botol, tapi tidak sampai. Pacuan adrenalin dalam tubuhku mereda dan tubuhku kembali lemah setelah mengeluarkan sihir secara spontan saat menghancurkan cermin tadi.
Tubuh ini hanya jatuh dari kuda, tapi rasanya seperti sekarat hampir mati.
Ayolah, aku haus!
Aku memusatkan pikiran, dan tidak sengaja sulur aura berwarna silver keluar dari ujung-ujung jariku, bergerak menyelimuti botol kristal. Sangat ajaib, aku bisa menariknya tanpa menyentuhnya, menggenggam dan meneguk isinya sampai habis. Perasaan ringan yang dipenuhi tenaga menyerap hingga ke setiap sel dalam tubuhku, hingga aku mampu bergerak bebas tanpa merasa kelelahan.
"Apakah Roselyn punya kemampuan telekinesis? Tidak! Jika iya, dia tidak akan berusaha sangat keras saat melawanku di Kuil Arthemys."
Perhatianku berpindah pada sisir di meja rias, dan dengan konsentrasi yang sama aku berusaha mengambil sisir. Benar saja, benda itu bergerak sesuai keinginanku. Tanganku bergerak cepat ke kanan, kiri, atas, bawah, bahkan aku sampai berdiri di atas tempat tidur dan menari bersamaan dengan gerakan tanganku yang memainkan sisir.
"Woah, sihir telekinesisku tidak hilang sama sekali!"
Aku berseru kegirangan, hingga tiba-tiba pintu kamar menjeblak terbuka. Wanita tua tadi berdiri kaku melihat ke arahku yang ikut mematung bersamanya. Sisir yang masih melayang di udara jatuh di waktu yang sama saat aku merapatkan kedua tanganku di depan dada.
"N-Nona?"
Aku lupa, kalau aku adalah pasien yang masih sakit dengan kondisi kritis hampir kehilangan nyawa. Seluruh darahku terasa turun hingga ke dasar tanah, dan yang paling membuatku lebih canggung lagi adalah Pendeta Kyan yang berdiri tepat di samping pelayan wanita tadi.
Pendeta Kyan memiliki jabatan yang tidak bisa dibilang biasa di kuil Arthemys, dia bahkan penyembuh kerajaan, tapi kenapa dia ada di rumah keluarga Killian?
"Aku tidak yakin pernah mengizinkanmu bertindak seceroboh ini, Roselyn."
Pendeta Kyan bicara dengan nada sinis yang sangat asing. Pendeta yang biasanya bicara dengan nada tenang dan penuh perhatian saat bicara denganku, tiba-tiba berubah bagai tokoh antagonis yang sangat membenci lawan bicaranya. Ah, aku lupa, sekarang aku bukan di tubuh Iliana, tapi di tubuh Roselyn.
Cara bicara Pendeta Kyan sangat tidak formal, malah cenderung mengintimidasi.
Apakah Roselyn dan Pendeta Kyan memiliki hubungan darah?
Tapi dari sorot mata tajam Pendeta Kyan, tidak mungkin Pendeta Kyan menatap Roselyn seperti ini jika mereka benar-benar memiliki hubungan darah.
Ataukah mereka sudah saling kenal sejak lama?
"Pendeta Kyan, Nona Ashley tidak bisa mengingat siapa dirinya. Sebaiknya Pendeta Kyan memeriksa-"
Pendeta Kyan mendenguskan tawa sinis yang sangat kental, membuat wanita tadi langsung berhenti bicara.
Aku perlahan turun dan duduk di atas selimut yang sudah berantakan di kakiku. Pendeta yang tidak pernah aku lihat sisi jahatnya, sekarang terlihat sangat membenciku, mata monolidnya melirikku skeptis.
"Sandiwara macam apalagi yang kau mainkan, Roselyn?"
Dia benar-benar membenci Roselyn. Aku tidak salah menyimpulkan. Siapa pendeta yang berani berkata segamblang ini pada pasien, jika mereka tidak cukup mengenal watak satu sama lain? Bukan sekedar kenal, tapi mereka pasti saling mengetahui karakter masing-masing.
"Setelah membuat Brainne jatuh dari kuda, kau bahkan langsung dapat karma yang sama hanya beberapa hari setelahnya. Lalu sekarang kau berani berbohong lupa ingatan? Kau kira dengan begitu dosamu akan terhapus?" Pendeta Kyan melontarkan kata-katanya dengan dengusan tawa mencemooh.
Lidahku kelu. Aku ingin berteriak padanya bahwa aku ini Iliana, orang yang sudah menjadi korban manipulasi Roselyn. Tapi semua akan terdengar sangat tidak masuk akal, terlebih lagi jika aku membela diri dengan berusaha membuat mereka menerima penjelasan yang tidak logis ini.
Siapa yang akan percaya kalau aku, Iliana Latasha Brainne yang berada dalam tubuh Ashley Roselyn Killian?
Arrgggh! Kepalaku mendadak sakit.
"A-aku tidak tahu si-siapa kau. A-aku ti-tidak ingat. Ini dimana? Kenapa aku disini? Kepalaku sakit!" aku berusaha meracau dengan akting kaku yang aku miliki, memanfaatkan sakit kepala yang tiba-tiba menyerang.
Tapi diluar dugaan, Pendeta Kyan membelalak dan bergegas mendekatiku. Tangan pucatnya menarik tanganku hingga wajah kami hampir bertabrakan, untuk beberapa saat pikiranku kosong saat melihat ke dalam matanya, tapi kemudian aku menunduk dan merasa kikuk melihat wajahnya dari jarak sedekat ini.
"Siapa kau?" Pendeta Kyan menembakku dengan pertanyaan yang sangat menohok, kedua tangannya meraih bahuku dan mengguncangnya berkali-kali.
"A-aku ti-tidak ingat. Hen-hentikan. Ke-kepalaku sakit." Aku kembali meratap, dan berusaha menangis, tapi mataku terasa sangat kering.
"Kau meminum habis air suci?" Pendeta Kyan melihat botol kristal yang kosong dan tampak sangat kaget. "Kau bahkan tidak pernah mau menyentuh air suci sebelumnya. Apakah kau benar-benar lupa ingatan?" Pendeta Kyan terus saja memborbardirku dengan pertanyaannya, dan aku hanya bisa memberikan sorot mata bingung yang sama.
"Sejak kapan kau ketakutan begini? Biasanya kau akan berteriak melawanku. Apa yang terjadi padamu, Roselyn? Kau bahkan tidak marah saat Lidya menyebutmu Nona Ashley?"
Dia terus bertanya sekalipun aku tidak memberikan jawaban. Dia selalu terlihat seperti orang yang sedikit bicara, tapi kesan tentangnya berubah drastis setelah aku melihat langsung karakter aslinya hari ini.
Bagaimana jika Pendeta Kyan tidak percaya? Bagaimana jika aktingku tidak terlalu meyakinkan?
Panik melanda seluruh bagian dariku.
"A-apakah aku mengenalmu? Ka-kau siapa?"
"Ha!" Pendeta berambut hitam legam itu tertawa sinis. "Kau bahkan tergagap? Roselyn?! Tergagap?!"
Kebiasaanku yang satu ini sepertinya sudah terbawa hingga ke dalam jiwaku. Aku akan selalu tergagap setiap kali menghadapi situasi yang membuatku panik dan canggung. Mata indah Pendeta Kyan tidak lagi memburu seperti sebelumnya, kebingungan menggantung di manik matanya, hingga menatapku tanpa berkedip.
"Aku tidak bisa melihat warna auramu, tapi aku bisa merasakan dengan jelas auramu berubah. Apa yang terjadi padamu? Apakah kau menggunakan sihir terlarang lagi? Kutukan ? Sihir hitam?"
Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Pendeta Kyan, hanya menjelaskan seburuk apa perangai Roselyn selama ini. Sosok berparas cantik itu bahkan berani menyentuh sihir hitam?
Kepalaku menggeleng lemah, karena aku tidak tahu harus bilang apa lagi.
"Jangan berpikir kau bisa menipuku. Aku mengenalmu lebih baik dari kedua orang tuamu! Dan aku merawatmu hanya karena perintah Yang Mulia Ratu Elia, karena kondisi Yang Mulia Ratu tiba-tiba membaik dan aku dibebastugaskan dari istana. Jika tidak, aku tidak akan sudi berada satu atap denganmu! Sekarang rebahan. Kalau kau berani berulah lagi, aku pastikan Ratu Elia tidak akan membelamu lagi. Aku bahkan harus tutup mulut sekalipun aku tahu kau memakai sihir hitam karena perintah Ratu. Berada di dekatmu lama-alam aku bisa jadi sampah sepertimu!"
Pendeta Kyan mendorong bahuku hingga aku terpaksa rebahan. Tangannya yang besar menyentuh dahiku, hampir menutupi sebagian besar kepalaku. Selama ini aku berpikir Roselyn hanya sedikit lebih pendek dariku, tapi siapa sangka dia sebegini mungilnya? Aku ragu dia bisa membentuk otot sekalipun beraktivitas fisik berat setiap harinya.
Pemeriksaan yang dilakukan Pendeta Kyan berlangsung sangat lama, dan aku bisa melihat warna auranya yang benar-benar menyilaukan mata. Aku berusaha mengalihkan pandanganku, dan melihat tempat lain, tapi dia selalu menarik wajahku kembali terarah padanya. Bukan apa-apa, tapi mendapati wajahnya yang terlihat unik, campuran antara tampan dan cantik, membuatku tidak bisa berkedip.
Sepertinya kebiasaanku mengagumi wajah tampan tidak pernah berubah.
Tiba-tiba dadaku sakit, mengingat bagaimana terakhir kali aku meluapkan kemarahanku pada Duke Avallon. Argh… pada akhirnya aku tidak benar-benar bisa melupakan kehidupanku sebagai Iliana. Jika aku benar-benar mati, kenapa aku masih bisa mengingat semuanya dengan jelas?!
Dewa Ahriman!!! Ini semua karena kutukannya.
"Kenapa detak jantungmu mendadak jadi aneh? Apa yang kau rasakan?"
Aku hanya menggeleng dan merasa percuma menjawab apapun, karena kebencian Pendeta Kyan pada Roselyn begitu nyata dan gamblang. Kisah menyentuh, keluhan, atau harapan hanya akan berujung pada kata-kata menusuk. Sekalipun bukan ditujukan padaku, tetap saja aku yang dia berikan sorot mata tajam.
Menyerah dengan sikap diamku, Pendeta Kyan menyelesaikan pemeriksaannya dan menyatakan kondisi tubuhku sangat normal untuk orang yang mengalami kondisi kritis selama beberapa hari. Hanya saja amnesia yang aku alami tidak bisa didefinisikan, apa dan bagaimana bisa terjadi. Dia menyatakan aku hanya perlu istirahat dan menjalani kehidupanku seperti biasa, mungkin akan datang keajaiban hingga aku bisa mengingat lagi.
Keajaiban?
Yang benar saja! Aku bisa hidup kembali saja tidak bisa aku sebut keajaiban, tapi sebuah kutukan.
Setelah mengambil tubuhku, Dewa Kehancuran itu tidak puas dan membuatku jiwaku masuk ke tubuh orang yang justru paling membenciku, orang yang paling mengharapkan kepergianku.
Balas dendam?! Aku bahkan tidak bisa melakukannya.
Bagaimana aku bisa membalas kejahatan Roselyn, jika aku sendiri yang berada di tubuhnya? Sama saja aku menyakiti diriku sendiri!
Sial!
Lidya, wanita tua bertubuh gempal itu, masih menatapku penuh iba sebelum beranjak mengantarkan Pendeta Kyan keluar dari kamar.
Sendirian lagi di kamar dengan dekorasi sederhana ini, aku kembali terduduk dengan posisi bersiap untuk meditasi.
Aku harus menenangkan diri. Jika memang jiwaku menggantikan jiwa Roselyn, seharusnya aku bisa merasakan kehadiran Aslan dan Sqeeth. Mereka melakukan perjanjian dengan jiwaku, dan aku sempat melihat mereka sebelum Dewa Ahriman menelanku hidup-hidup. Jadi, seharusnya jiwaku masih terikat dengan mereka.
Dari mana aku harus memulainya?
Menjalani hidup sebagai seorang Ashley Roselyn Killian?
Bagaimana orang-orang menyikapi kematianku? Lega? Sedih? Atau mungkin tidak peduli?
Sekarang mereka sedang melakukan prosesi pemakamanku. Aku ingin melihat siapa saja yang datang?
Ah!
Annabelle, aku yakin Annabelle pasti menangis tiada henti menyesali kematianku.
Bertahun-tahun Annabelle merawatku, dan selalu berusaha memastikan aku baik-baik saja. Dia merawatku melebihi orang tuaku sendiri dan aku meninggalkannya begitu saja karena kutukan. Aku masih ingat senyum manisnya ketika selesai mempersiapkan tampilanku sebelum bertemu Ratu Elia.
Aku ingin bertemu Annabelle dan mengatakan bahwa aku masih hidup sekalipun wujudku tidak sama lagi. Mungkinkah dia percaya?
Lalu bagaimana dengan Ayah?
Oh, aku lupa. Aku tidak bisa lagi menyebutnya ayah. Bahkan hingga akhir kehidupanku sebagai anaknya, hanya membawa duka yang menyakitkan. Mati membawa luka mendalam, mungkin itulah takdirku sebagai anaknya.
Aku ingin melihat wajahnya. Bagaimana raut wajahnya ketika melihatku yang tidak bernyawa lagi? Ketika aku benar-benar pergi meninggalkannya seperti harapannya. Apakah aku ingin melihat raut wajahnya yang menyesali kepergianku? Mungkinkah dia menyesal?
Bahkan hingga akhir aku tidak bisa melepaskan harapan yang seharusnya sudah aku buang jauh ke dasar jurang.
.
.
.