Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 22 - Chapter 21 : Cinta hanyalah ilusi

Chapter 22 - Chapter 21 : Cinta hanyalah ilusi

Seminggu setelah rumor kedekatanku dengan Pangeran Adalgard menyebar, semakin banyak mata sinis dan menghina yang terarah padaku. Para penyebar rumor itu menyaksikan sikap baik Callisto padaku di kantin akademi dan menambahkan bumbu-bumbu penyedap dalam kisah mereka, hingga julukan baru tersemat padaku. 

Penggoda Tawanan Perang.

Si Cacat Genit.

Entah nama apa lagi yang mereka ciptakan layaknya pujangga kelas atas, tapi aku tidak peduli, dan menganggap mereka sebagai serangga yang tidak pantas menerima perhatian.

Yang membuatku gelisah justru ketidakhadiran Aslan dan juga Sqeeth. Bermeditasi hingga berhari-hari tidak bisa membuatku berhasil memanggil mereka, terlebih lagi berkomunikasi dengan mereka. Hari-hariku menjadi kosong, aku masih bisa merasakan kekuatan mereka dalam diriku. aku bahkan bisa meningkatkan kemampuan sihir dan teleportasiku, tapi tidak dengan kehadiran mereka. 

Mungkinkah Dewa Hermush memberikan kemudahan ini, sebagai rasa bersalah-Nya karena telah membuatku kehilangan satu tangan?

Aku berdiri di sisi lapangan berkuda. 

Agenda hari ini adalah latihan memanah sambil berkuda, beberapa siswa dengan peringkat berkuda terbaik dan terburuk di akademi dikumpulkan hari ini. Siswa terbaik, memberi contoh dan menjadi mentor kepada siswa terburuk. Sementara siswa lain yang memperoleh nilai rata-rata, bebas memilih ikut andil dalam kelas ini atau tidak.

Bukan harapanku menjadi siswa terbaik dalam berkuda, tapi yang membuatku terpilih dengan urutan teratas adalah kemampuan memanahku yang terlalu baik.

"Apakah kau tidak ingin mundur dengan tangan cacat seperti itu, Iliana?" Suara sumbang yang bersumber dari beberapa langkah dariku, terdengar begitu jelas di pendengaranku yang tajam.

Aku tidak perlu menoleh untuk bisa mengenali pemilik suara. Roselyn, dengan langkah seringan lidahnya, berdiri di sebelahku dengan tangan terlipat di dada. Mataku hanya bergerak sedikit melirik ke arahnya yang menggunakan seragam berkuda mahal dari penjahit ternama di Lindbergh. Seolah dia ingin pamer statusnya sebagai anak dari Kepala Asosiasi Perdagangan Lindbergh.

Sejak aku mengetahui sifat aslinya, Roselyn seperti terang-terangan menujukkan padaku bahwa dia bisa dengan mudah menindasku. Dia tidak pernah berhenti karena aku selalu mengabaikannya, seolah sikapku justru menantangnya untuk melakukan hal lebih jahat lagi.

"Berhentilah merundungku, karena aku tidak pernah takut padamu, Roselyn. Kau tidak pernah bisa membayangkan apa yang bisa aku lakukan dengan kemampuan telekinesisku. Tanpa tanganpun aku bisa melakukan semuanya." 

Tidak pernah dalam hidupku bicara dengan sesinis ini pada seseorang, dan mendapati reaksi Roselyn yang bungkam, membuatku yakin bahwa kata-kataku berhasil membuatnya gentar.

"Brainne, giliranmu!" 

Aku melangkah melewati Roselyn, dan sempat menoleh ke arahnya. Wajahnya yang memerah dengan mata yang mendelik dengan rahang terkatup rapat, membuatku hampir tertawa puas. Mungkin ini yang namanya kebahagiaan bisa membalas dendam.

Bukan lagi waktunya aku terdiam dan menerima perlakuan kekanakan mereka.

Kuda yang diberikan padaku adalah kuda hitam yang biasa aku tunggangi. Di akademi setiap siswa diberikan kebebasan untuk memilih kuda yang bisa mereka gunakan untuk latihan, tapi tidak jarang 1 kuda digunakan oleh tiga atau lima orang siswa.

"Kalian akan berkuda dalam group terdiri dari tiga orang, kalian harus adu kecepatan dan ketepatan dalam memanah sasaran. Kalian lihat tiang di sana."

Pandanganku berpindah pada beberapa papan yang ada di pinggir lapangan, di semua tiang tinggi itu ada objek menyerupai burung kenari yang digerakkan oleh sihir.

"Sasaran akan jatuh ketika kalian berhasil memanahnya. Sebagai senior dan siswa unggulan, aku berharap kalian menunjukkan performa terbaik."

Aku hanya bisa menghela napas berat mendengarkan arahan dari pemandu. Pelatih kami tidak pernah memberikan instruksi panjang lebar, sisanya dia serahkan kepada siswa untuk mencari tahu. Dia bahkan tidak memberikan batasan jika siswa boleh menggunakan sihir atau tidak dalam latihan ini.

"Brainne, Duke Avallon dan Vernon, silahkan naiki kuda kalian."

Mendengar nama Avallon, aku sontak menoleh ke belakang. Tepat di belakangku, sepasang mata emerald tengah melihat ke arahku. Aku bahkan tidak menyadari kehadirannya, karena auranya terasa sangat samar, seolah dia benar-benar menyembunyikan auranya dengan sengaja.

Pandangan Avallon bergerak lambat pindah ke tangan cacatku. Entah mataku yang menipu atau tidak, tapi aku melihat sekelebat sendu dalam sorot matanya. Sorot matanya yang hampir membuatku berpikir bahwa dia bersedih mendapati kondisiku.

"Iliana! Semangat!" Suara lantang Callisto bergema dari sisi lapangan, sontak aku menoleh ke arahnya. Rambutnya yang seperti landak berdiri tegak terlihat sangat mencolok, sementara tangannya melambai penuh semangat ke arahku. Dia tidak peduli dengan tatapan dan tawa mencemooh dari orang-orang yang menganggap tingkahnya terlalu berlebihan.

Aku hanya bisa menundukkan kepala dan mengangkat tanganku ke arahnya, berharap dia mengerti kalau aku sendiri malu melihatnya.

"Bersiap!"

Dalam satu lompatan, aku berhasil naik ke sadel kuda. Avallon dan Vernon berada di kanan dan kiriku. Tanganku kiriku menggenggam busur, sementara tangan kanan yang tanpa jari terarah ke tali kendali kuda yang mengambang karena telekinesisku. Beberapa orang sempat berbisik-bisik, seolah mereka baru percaya bahwa aku punya kemampuan telekinesis.

"Tiga putaran dan jatuhkan sasaran kalian!" Pelatih kembali berteriak, dan aku mendengar suara letusan sebagai tanda pacuan pun dimulai.

"Hiya!" aku menghentakkan tali kendali kuda, dan kuda berlari dengan kecepatan penuh mendahului Avallon maupun Vernon.

Hidungku mencium aroma asing menyerupai herbal ketika kudaku mendahului Avallon dan Vernon. Aroma menusuk ini membuat kepalaku tiba-tiba sakit, dan tanpa aku perintah lagi kudaku berlari jauh lebih cepat. Angin bergerak liar menerpa mataku, membuatku harus memicingkan mata agar bisa melihat objek dan jalur yang aku lalui.

Sudah tiga putaran, dan kuda tidak juga melambatkan kecepatan sekalipun aku menarik tali kendalinya. Namun ketika aku berusaha memusatkan pikiran, hendak menggunakan sihir, tiba-tiba kudaku berhenti dan melompat-lompat liar. Tubuhku tidak siap sama sekali menghadapi tingkah liarnya. Pandanganku ikut kabur bersamaan dengan kepala yang berdenyut semakin sakit.

"Sial!" seluruh pandanganku gelap, dan aku tidak mampu mengendalikan tubuhku lagi.

Teriakan histeris memenuhi telingaku, tapi kemudian aku merasakan sebuah tangan yang melingkar di pinggangku, begitu kuat dan menarikku. Di tengah kekalutan, aku memaksa mataku terbuka, dan wajah panik Avallon terlihat jelas dalam pandanganku. Matanya yang membulat hampir sempurna, dengan keringat di sisi dahi dan napas yang memburu. Dia menatapku beberapa saat sebelum mendudukkanku di sadel, memelukku erat, membuatku bisa mendengar detak jantungnya yang tak beraturan.

Semua berlangsung begitu cepat, dan kepalaku tidak juga berhenti berdenyut, hingga akhirnya kuda Avallon berhenti bergerak. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi, tapi ketika kuda sudah berhentipun, Avallon tetap memelukku.

"A-"

"Tidak bisakah kau membuatku tenang barang sedetik saja?!"

"…"

"Kenapa kau selalu melakukan hal berbahaya? Tidak bisakah kau berdiri jauh dari bahaya? Kenapa kau selalu punya cara untuk membuatku cemas?!"

"…"

Suara Avallon yang bercampur panik dan cemas, membuat tidak berhenti mengerutkan alis. Aku mengenali reaksi ini. Ketika di Pulau Ennius, saat aku dan Roselyn menghilang di Hutan Terlarang, dia menunjukkan reaksi yang sama. Bukankah dia hanya cemas pada tunangannya? 

Avallon melompat turun dari kuda tanpa melepaskanku. Dia mendarat dengan sangat mulus, sementara aku berada dalam dekapannya. Hangat tubuhnya terasa begitu jelas, membuat jantungku yang sempat panik perlahan tenang.

"Iliana!"

Aku menoleh ke arah Callisto yang berlari menghampiriku, dan aku tidak bersuara ketika Avallon mengeratkan tangannya. Belum sempat aku menoleh pada Callisto, tiba-tiba Avallon berbalik dan membawaku meninggalkan lapangan.

"Hei, Avallon!" Callisto berteriak geram.

Aku berusaha melihat wajah Avallon, tapi yang mampu aku dapati hanya sisi wajahnya yang menunjukkan kemarahan, matanya memandang lurus tak berkedip ke depan.

"Du-duke Avallon, a-aku bi-bisa ja-"

"Jangan memancing kesabaranku, Ash."

Mulutku sontak terkatup rapat, kemarahan dalam suaranya sangat jelas. Bahkan aku bisa melihat rahangnya yang menegang karena menahan marah. Avallon menggendongku melewati begitu banyak orang yang menonton di sisi lapangan. Tubuhku tidaklah ringan, dengan postur badan tinggi dan badan berisi, aku merasa bersalah membiarkan diriku berada dalam gendongannya.

Aku menegakkan kepala dan melihat Callisto masih mengejar kami, hingga tiba-tiba lingkaran putih mengelilingi kami, mengaburkan pandanganku. Sekujur tubuhku terasa tertarik ke dimensi lain, dan aku sangat mengenali sensasi ini. Sengaja aku menutup mata, dan ketika tubuhku tidak lagi merasakan sensasi yang sama, kami sudah berada di ruang kesehatan akademi.

Penyembuh yang bertugas hanya terbengong melihat ke arah kami. Karena sebenarnya menggunakan sihir teleportasi di akademi sangatlah dilarang bagi siswa yang tidak memiliki izin khusu. 

Aku sampai menahan napasku saat Avallon menurunkanku ke salah satu tempat tidur di ruang kesehatan.

"Woodrose."

"Eh?" Penyembuh tampak bingung mendengar Avallon tiba-tiba menyebutkan Woodrose, sama denganku.

Woodrose adalah tanaman langka yang bisa menyebabkan efek mabuk dan halusinasi, efeknya sangat kuat jika aromanya terhirup oleh hewan atau manusia. Aku tidak ingat seperti apa aroma Woodrose.

"Berikan dia penetral Woodrose." Avallon meraih kedua bahuku saat aku hendak bangun dari posisi berbaring, dengan mata tajamnya dia memerintahku untuk menurut dan tetap berbaring.

"Aku harus mencarinya ke laboratorium!" Penyembuh bertubuh pendek itu berlari cepat keluar ruangan.

Kepalaku masih berdenyut sakit, tapi tidak separah sebelumnya, karena itu aku berpikir aku baik-baik saja.

"Aku yakin kau tahu siapa pelakunya." Avallon memicingkan mata ke arahku, auranya begitu kuat dan mengintimidasi.

"Sampai kapan kau-" Avallon tidak melanjutkan kata-katanya, tatapan matanya yang bisa mengiris leherku, tiba-tiba meredup dipenuhi duka, dia menghembuskan napas panjang penuh beban.

"Aku membencimu karena Pendeta Brainne menolak menyembuhkan ayahku. Vonisnya yang mengatakan ayahku tidak bisa diselamatkan sekalipun seluruh Penyembuh Kuil Arthemys turun tangan, membuatku sadar sekejam apa dirinya. Bagiku ayahmu adalah pembunuh, dan aku harus membalaskan dendamku, tapi ingatan tentang bagaimana saat pertama kali kita bertemu, kau …." Dia tiba-tiba terdiam, wajahnya berkerut seolah menahan sakit.

"Aku tidak peduli jika kau tidak bisa mengingat-nya, tapi kau selalu membuatku menyesali segala hal tentangmu. Sampai kapan aku harus-"

Aku tidak mengerti maksud dari kata-katanya.

Pelakunya? Aku mengetahui siapa pelakunya?

Cemas?

Sesal?

Apa yang perlu disesali?

Bukankah sikapnya yang berubah-ubah, yang selalu membuatku berharap lalu kecewa tidak lama setelahnya?

Ilusi macam apa yang hendak kau tanamkan padaku, Avallon?

Yang menyimpan begitu besar dendam kepadaku justru tunanganmu, Roselyn. Lalu kau bertanya padaku 'sampai kapan'? Apa maksudnya?

"Jadi, kau membenciku?! Karena Pendeta Brainne menolak menyembuhkan mendiang ayahmu?! Apakah ini juga yang membuatmu bersikap aneh padaku? Berkata andaikan aku bukan berdarah Brainne?! Aku bahkan tidak tahu apa-apa, dan kau menimpakan beban ini padaku?" aku tersenyum mencemooh sikapnya.

"Lelucon macam apa ini? Jika kau membenciku, tidak usah berandai-andai aku bukan darah Brainne, tidak perlu menunjukkan simpati. Seharusnya kau lakukan dengan sungguh-sungguh, seperti Roselyn membenciku!"

Kemarahan tiba-tiba bangkit dari dalam diriku, membakar seluruh akal sehatku sehingga aku menghentakkan tangannya yang masih bersandar di bahuku. Kedua kolam emerald miliknya membesar, seolah sikapku telah melukai hatinya. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahku sekarang, tapi aku tidak segan-segan menunjukkan kemarahanku padanya.

"Berhentilah bicara seolah kau berhak berada dalam hidupku! Apa kau bilang? Berhenti membuatmu cemas?" nada sinis dan mencemooh dalam suaraku begitu kental.

"Aku bahkan tidak ingat satu halpun yang menghubungkanku denganmu. Lalu kau merasa berhak mencemaskanku? Kau tidak mengenalku dengan baik, sama seperti aku yang tidak mengenalmu. Apakah ini caramu bermain teka teki, Duke?"

Avallon tetap bungkam, matanya bergetar seiring bibirnya yang terbuka tapi kembali terkatup rapat.

"Jika iya, berhentilah Duke Edmund Rayburn Avallon. Selamanya aku tidak akan terlibat dalam kehidupanmu!" Aku sengaja memberi tekanan dalam suaraku ketika menyebut namanya. 

Aku merasa begitu bodoh. Berulang kali aku merasa senang, sedih, penuh pengharapan, lalu kecewa. Sampai kapan aku mau terombang-ambing dalam perasaan seperti ini? 

Kenapa aku menyukainya? Karena dia tampan? Bermata emerald? Aku bahkan tidak mengingatnya lagi.

"Jika kebencianmu padaku karena apa yang dilakukan Pendeta Brainne, aku bahkan tidak tahu apa yang dilakukannya, lalu kenapa kau melampiaskannya padaku?Kesalahan apa yang telah aku perbuat? Karena darah Brainne mengalir dalam diriku?"

Avallon tidak bersuara, bungkam seribu bahasa melihat ke arahku.

"Atau ini karena Roselyn? Karena kau takut aku menyakitinya seperti apa yang dia ceritakan?!"

Aku melontarkan tawa sinis, sementara Avallon membelalak ke arahku.

"Aku yakin kau tidak tahu sifat asli tunanganmu. Merundungku dengan alasan muak atas keberadaanku. Menghasut orang-orang agar ikut membenciku. Menyerangku dan berpura-pura menjadi korban, ha! Menyuruhku menghilang dari hadapannya? Apakah dia Dewa sampai berhak menentukan dimana aku harus berada?"

Setiap kata yang terlontar dariku, membuat Avallon semakin lebar membuka mata, wajahnya memang terlihat dingin tapi aku bisa membaca auranya yang semakin bergejolak, matanya menunjukkan emosinya yang terguncang.

"Tanganku memang cacat, tapi jika kalian berpikir ini akan melemahkanku, kalian salah besar! Kalian bisa terus membenciku, aku tidak peduli. Terlebih kau, Duke Avallon. Jika kau ingin membenciku, lakukanlah dengan serius. Tidak perlu menunjukkan simpati, karena bagiku kebencianmu tidak ada bedanya dengan mereka!" 

Dadaku sesak, tapi aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri.

"Sekarang aku mengerti kenapa Callisto menyebutku berpegang pada tali yang salah. Sekecil apapun harapanku, semua akan tetap menyakitkan ketika menikam balik padaku. Aku berpikir mungkin ada alasan yang tepat di balik semua sikap anehmu, tapi aku akan berhenti menaruh harapan."

Pada akhirnya aku harus benar-benar menyerah. Rasa sukaku padanya, adalah harapan yang tidak pernah benar-benar bisa aku pegang. Semua harus aku hapus.

"Kau cemas padaku? Sandiwara apa yang sedang kau mainkan, Duke?!" 

Aku menyadari betapa dingin dan tajamnya kata-kataku. Aku membiarkan genangan air mata mengaburkan pandanganku sebelum aku memutuskan berteleportasi dan menghilang dari ruang Kesehatan akademi. Yang mampu aku ingat adalah wajah penuh ketakutan milik Avallon.

.

.

.

Tidak butuh waktu lama hingga kejadian aku hampir terjatuh dari kuda sampai kepada ayahku. Tepat keesokan harinya, ayahku datang dengan membawa kereta kuda berlogo Kuil Arthemys, menunjukkan bahwa dia sangat tergesa-gesa hingga tidak sempat meminta kereta kuda dari mansion Brainne. 

Kereta kuda mewah itu diiringin empat orang ksatria berkuda dengan jubah kuil Arthemys, dan mereka menyebabkan kehebohan saat memasuki gerbang akademi, membuat semua petugas akademi, hingga Master Servius harus berteleportasi dari kantornya demi menyambutnya.

Kedatangan seorang petinggi kuil tanpa pemberitahuan, tentu saja membuat semua orang berpikir ada sesuatu hal besar yang terjadi. Terlebih lagi, selama aku di akademi, tidak pernah sekalipun wali muridku datang. Master Servius tampak panik dan agak berantakan saat menyambut di gerbang dalam akademi.

Kenyataannya, kedatangan ayahku, justru untuk tujuan lain. Dia menyatakan aku mundur dari akademi dengan alasan kesehatan dan penyembuhan. Semua itu terjadi saat aku sedang beristirahat di kamar.

Aku tidak menerima pemberitahuan apapun sebelumnya, tidak ada surat, apalagi orang yang menyampaikan pesan. Saat sedang bersiap ke kelas materi berikutnya, Ayah datang ke kamar asramaku, meminta petugas akademi membantuku mengemas barang-barang, dan menyeretku keluar dari asrama beberapa saat setelah dia selesai bicara dengan Master Servius.

Keributan yang disebabkan ayahku, mengundang kerumunan orang-orang di akademi, bahkan para pengajar, petugas, hingga Master Servius bungkam seribu bahasa saat aku mengekor ayahku berjalan ke arah kereta kuda sambil membawa tas ukuran besar yang hanya bisa memuat sebagian dari barang-barangku di asrama.

Bagai pemain sirkus, sekali lagi aku menjadi bahan tontonan orang. Aku merasa begitu malu menjadi bahan buah bibir orang hampir setiap saat, seolah kisah tentangku tidak akan pernah usai karena kejadian demi kejadian yang membuatku menjadi bahan gunjingan.

Marah, dan kesal bercampur dalam dadaku. Aku merasa perlakuan ayahku begitu tidak adil. Dia bahkan belum mengucapkan satu katapun padaku semenjak kedatangannya ke akademi. Petugas akademi yang menjelaskan padaku bahwa pengunduran diriku sudah disahkan, dan aku diminta segera mungkin berkemas.

Ini lebih mirip pengusiran dari pada pengunduran diri. Aku bahkan tidak diberikan kesempatan untuk berkemas dengan tenang. Petugas akademi menyatakan barang-barang yang tidak terbawa akan dikirim terpisah ke mansion Brainne.

"Apakah dia benar-benar keluar dari akademi?"

"Sepertinya. Lihatlah bagaimana dia pamer kedudukannya sebagai anak pendeta tertinggi, bahkan saat keluar dari akademi saja dia meminta perhatian seperti ini dengan membawa kereta kuda dari kuil."

"Aku lega dia keluar dari akademi. Melihat satu-satunya siswa cacat, bermata aneh dan berkulit gelap sepertinya membuatku tidak nyaman."

"Aku dengar dia bahkan menuduh Roselyn menyabotase kudanya kemarin."

"Apakah dia tidak bosan membuat keributan?"

Bisikan demi bisikan menusuk telingaku, dan aku hanya diam sambil terus melangkah melihat bayangan hitam milik ayahku. Aku hanya butuh satu tahun lagi untuk bisa lulus dan terlepas dari semua belenggu bernama 'Brainne' tapi kata 'lulus' terhapus begitu saja hari ini.

Bagaimana aku bisa membebaskan diri jika satu-satunya cara terhapus begitu saja?

Setiap langkahku terasa begitu berat, hingga akhirnya aku terpaksa berhenti melangkah karena merasakan aura milik Clift yang bercampur dengan aura Roselyn. Aku menoleh dan melihat Clift berdiri tepat di sebelah Roselyn, dia melihat ke arahku dengan sorot mata rumit di antara barisan penonton di sisi jalan. Kakiku bergerak perlahan memperpendek jarak di antara kami. 

Aku berharap, mungkin, mungkin Clifton tidak benar-benar menghapus statusku sebagai sahabatnya.

"Clifton ...." napasku tercekat saat membaca sorot mata Clift.

"Kau yang paling mengerti siapa saja orang terdekat dalam hidupku. Tapi kau bahkan tidak sedikitpun berusaha meluruskan semuanya setelah hari itu. Jika semudah itu persabahatan kita berakhir, untuk apa kau bersabar selama bertahun-tahun menghadapiku? Aku hanya ingin bertanya, apakah ini jawaban terakhirmu?"

Tidak ada suara dari Clift, sepasang matanya sendu di balik kacamata. Aku berharap dia akan mengatakan sesuatu.

Roselyn yang berdiri di sebelah Clift, tiba-tiba menyentuh bahu Clift dan membuat kepala Clift tertunduk dalam. 

Seketika aku tahu, bahwa dia tidak akan memberikan jawaban. Harapan terakhir yang aku miliki hangus terbakar. Ingatan kebersamaanku dengan Clift berkelebat dalam benakku. Bagaimana kami tertawa bersama, berada di sisiku saat aku bersedih, bahkan menyemangatiku agar melawan orang yang merundungku.

Janjinya saat ulang tahun ke-10 ku berputar kembali dalam memoriku, saat dia mengatakan tidak akan berhenti menjadi temanku dan akan terus menempel padaku sampai aku bosan.

Aku seharusnya berhenti bergantung pada orang lain. Ayahku sendiri saja tidak bersedia membantuku, lalu bagaimana bisa aku berharap orang lain akan terus berada di sisiku?

"Semoga kau bahagia, Clift. Terimakasih sudah membuatku sadar bahwa aku tidak mampu menaruh kepercayaan pada siapapun."

Aku meninggalkan Clifton yang membelalak menatapku, sementara Roselyn menyembunyikan senyum puasnya melepas kepergianku.

Kereta kuda mulai melaju tepat setelah aku duduk di seberang ayahku. Wajahnya yang dingin tidak menunjukkan emosi apapun, dan aku tidak ingin bicara padanya ketika dadaku berkecambuk seperti ini.

"Kenapa kau tidak mengatakan padaku kalau kau bertemu dengan Ratu Elia?"

Pandanganku yang terarah ke jendela, terpaksa harus aku kembalikan pada ayahku. Setelah sekian lama kami tidak bicara sejak insiden di kuil Arthemys, kalimat yang keluar dari mulutnya tidak lain adalah tuduhan dengan sorot mata tajam.

"Apakah kedudukan Yang Mulia Ratu Elia dibawah Pendeta Tertinggi Kuil Arthemys?"

Aku tidak menjawab langsung pertanyaannya, karena sangat tidak masuk akal bagiku menolak permintaan wanita dengan kedudukan tertinggi di kerajaan Lingbergh. Bahkan seorang pendeta tertinggi saja tidak bisa menolaknya.

"Latasha!" Suara penuh kemarahan yang tidak pernah aku dengar sebelumnya berhasil menusuk hingga ke ulu hatiku. Sekian lama aku tidak mendengar namaku keluar dari bibirnya, dan aku tidak pernah berharap dia menyebut namaku, tapi ketika dia menyebut namaku dengan kemarahan, terasa sangat tidak adil bagiku. Dadaku sakit.

Biasanya Aslan dan Sqeeth hadir, mereka akan menjadi orang pertama yang menghujat sikap ayahku saat ini. Tapi aku bahkan tidak bisa memanggil mereka. Sejak kejadian di istana Ratu Elia, aku tidak merasakan kehadiran keduanya.

"Sebelum menghakimiku, bisakah aku tahu alasan kenapa aku dipaksa mundur dari akademi?" lidahku yang kelu tidak ingin memperpanjang perdebatan. Jika alasan yang aku dengar bisa meyakinkanku, maka aku tidak akan menuntutnya lagi.

Ayah tampak sangat kelelahan saat menghela napas panjang dan memijat pelipisnya, menyadari perdebatan kami tidak akan berujung baik.

"Apa yang bisa kau lakukan dengan tangan cacat seperti itu?! Bahkan setelah melihat kondisimu sekarang, Ratu Elia tidak akan berhenti memintamu datang ke istana. Mereka seperti lintah yang tidak akan berhenti menuntut sebelum kenyang. Kenapa kau begitu bodoh, dan selalu melakukan hal yang aku larang?!"

Kata-kata ayah bergema dalam benakku.

Apa yang bisa aku lakukan dengan tangan cacat seperti ini?

Bukan cemas, bukan perhatian, bukan pula kasih sayang, tapi malah menvonis diriku menjadi orang tidak berguna karena tanganku yang cacat?

Api dalam dadaku bergolak hebat, sekujur tubuhku panas setelah kekecewaan yang amat sangat mengalir dalam tiap detak jantungku. Aku hanya ingin membalas kebaikan orang yang mengulurkan tangan padaku, apakah itu salah?

Melakukan hal yang dilarang?

Kapan? Hal apa? Aku tidak pernah sekalipun mengingat bagaimana ayah melarangku? Apakah dia pernah bicara denganku seperti ini? Apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan?

Kami tidak pernah benar-benar bicara dengan normal layaknya ayah dan anak.

Harus berapa kali aku menegaskan posisiku di mata orang yang aku sebut 'ayah' ini?

Sekalipun aku sering kecewa, tapi harapanku tidak pernah padam hingga kejadian di kuil Arthemys membuka mataku. 

"Apakah aku yang cacat ini aib bagimu?" suaraku bergetar menahan amarah, tanganku terkepal kuat di pangkuan. Ketika aku berpikir bisa mengepalkan kedua telapak tangan, aku sadar bahwa sekarang aku hanya memiliki satu telapak tangan.

Ya, aku cacat!

"Berhentilah berpikir aneh! Aku harus datang sendiri menjemputmu. Jika tidak, mana mungkin kau akan mengikuti perintahku!"

Udara di dalam kereta kuda terasa begitu menyesakkan.

"Berhenti memerintahku, padahal Ayah tidak pernah peduli..." lirihku dengan mata mendadak panas.

"Aku peduli! Aku peduli Latasha! Tentu saja aku harus memastikan kau terus hidup, karena itu adalah harapan Raisa. Aku melakukan apapun demi keselamatanmu, Latasha. Jangan berpikir aku tidak pernah peduli. Aku terus berusaha, sekalipun hampir setiap hari aku harus menepis pikiran, membayangkan jika saja Dewa mengambilmu, bukan Raisa. Aku selalu berusaha menjagamu, aku tidak pernah ber-" Ayah berhenti bicara seketika, sepasang manik ungunya membesar ketika mendapati diriku terpaku sambil menarik kedua sisi bibir, seolah menyadari dengan sangat terlambat kata-kata yang baru saja dia ucapkan.

Sekujur tubuhku kaku, sosok yang selalu aku harapkan didepanku ini kehilangan warna wajahnya seiring detik berlalu. Ketakutan dalam dirinya seolah menunjukkan bahwa dia baru saja melakukan hal tabu. 

"Ha... Ha... Ha ha ha!"

Aku tertawa dengan kepala tertunduk dalam, membiarkan helaian terakhir benang harapanku terputus. Mengutuk diriku sendiri yg begitu bodoh. Bertahun-tahun aku melakukan apa yg ibu katakan, terus berusaha mengerti hati ayah tidak peduli berkali-kali kecewa pun, aku masih sanggup berharap. 

Lalu apa yang aku dengar barusan? Berharap dewa mengambilku, bukan ibu?

"Iliana, aku, aku ti-"

Entah kalimat apa lagi yg meluncur dari mulutnya, tapi hati dan kepalaku terlalu keruh untuk mencernanya. 

Apakah aku memintanya untuk menjadi seorang pelindung? 

Apakah aku pernah menuntutnya menjadi seorang ayah? 

Bahkan ketika dirinya menolak menyembuhkanku, aku hanya bisa menangisi diriku sendiri, aku tidak pernah merengek padanya.

Apakah aku pernah meminta dilahirkan? 

Jika selama ini kehadiranku hanya menjadi penyesalannya, kenapa tidak membuangku sejak kepergian ibu? 

Membunuhku mungkin jauh lebih baik, karena selama bertahun-tahun kami sama-sama menderita. Aku yang mengharapkan kasih sayangnya, dan dirinya yang ternyata menyesali keberadaanku yang masih hidup.

"Dewa tidak pernah berhenti membuatku berpikir, apa artinya aku hidup. Lalu ini jawaban yg aku dapatkan."

"Illiana, ayah ti-"

"Ayah?" aku mengulang ucapannya yang terasa getir di ujung lidahku.

"Ya... Ayah... Sosok yg selalu aku rindukan darimu. Tapi aku tidak akan melakukannya lagi. Tangan ini, adalah bukti kecerobohanku karena mengharapkan belas kasih yang tidak aku dapatkan darimu. Aku mengharapkan kasih sayang orang tua yg selalu membuatku iri. Kini aku mengerti, bahwa aku benar-benar sendirian."

Panas membakar merambat dari tanganku yg cacat, seiring dengan hilangnya keinginanku untuk bertahan. 

"Latasha..."

"Ya! AKU LATASHA! Berhenti memanggil namaku! Selama bertahun-tahun aku mengharapkan kau mengindahkan keberadanku, tapi berkali-kali juga aku dikecewakan!" aku berteriak lepas kendali.

Aku memberanikan diri menatap langsung sepasang kolam ungu tanpa ujung di hadapanku, dan kekecewaan dalam diriku semakin besar. Gemuruh dalam dadaku semakin menjadi, hingga aku merasakan desakan sihir yang begitu besar dari dadaku.

Aku tidak seharusnya membuka mulutku.

"Apa lagi yang ditutupi dariku selama ini selain kenyataan bahwa kau menyesali keberadaanku? Diriku yang berdarah Arkais? Bahwa inti sihirku sengaja dikunci? Apalagi?!"

Aku tidak akan bisa mengendalikan emosiku ketika harapan dan kenyataan berbanding terbalik. Berulang kali aku berharap dan dijatuhkan, harus berapa kali aku baru bisa tersadar? 

Mataku panas.

"Semua akan lebih baik jika aku ikut pergi bersama Ibu, menghilang selamanya dari hidupmu. Aku membenci hatiku yang terus berharap suatu hari aku akan mengerti hatimu, bahwa kau akan berada di sisiku sebagai seorang ayah. Tapi kenyataannya kau berharap menghapus keberadaanku. KENAPA TIDAK MEMBUNUHKU, MEMBUANGKU, DAN MEMBUATKU BERHENTI BERPEGANG PADA HARAPAN KOSONG?!"

Dadaku terbakar seketia, dan bagai sumber api yang menyala dari dasar perutku. Kilatan aura menyelubungiku, hingga sekujur tubuhku tidak mampu lagi menahan gelombang aura yang begitu besar. Mataku yang basah bercampur aura panas, tidak juga berhenti mengalirkan airmata, membiarkan kemarahan menguasaiku.

Ayah terdiam dengan mata membulat sempurna, mulutnya menganga dengan tangan terulur ke arahku. Ini pertama kalinya aku melihat wajah paniknya, seolah dia hendak menggapaiku, tapi aku menghindarinya.

Kenapa? Kenapa dia melakukannya? Jangan menatapku seperti itu, kau tidak pernah berhenti mengecewakanku, maka dari itu lakukanlah hingga akhir.

Dunia ini terlalu kejam, dan aku tidak memiliki tujuan untuk tetap hidup. Ayah, sahabat, bahkan spirit yang mengikat perjanjian denganku, mereka semua pergi meninggalkanku.

'Ibu, aku sudah mendapatkan jawabannya. Maaf, tapi aku tidak menemukan kebaikan hati Ayah seperti yang ibu katakan. Aku tidak bisa menemukannya sekalipun aku terus berusaha.'

Panas itu membakar, menyiksa setiap bagian dalam diriku, tapi panas ini sangat bertolak belakang dengan jiwaku yang begitu tentram. 

Ya, seharusnya sejak dulu aku menerima jawaban ini, sehingga sejak lama aku tidak perlu lagi berjuang.

Aku akan berhenti berharap, aku akan menerima semua keadaan yang melemahkanku. Kenyataan yang menyakitkan, jauh lebih baik dari pada kebohongan yang mematikan.

Aku menyerah.

'Ash! Hentikan!'

'Kendalikan dirimu, Latasha!'

Sosok Aslan dan Sqeeth yang samar muncul dalam pandanganku, tapi aku sudah tidak ingin berusaha menggapai uluran tangan mereka. Tiba-tiba sebuah lingkaran merah semerah darah muncul dari tangan kananku yang cacat, dan aku kembali mendengar suara tawa mengerikan yang tidak bisa aku lupakan.

'HA! HA! HA! HA! Datanglah, Arkais!'

Seluruh pandanganku gelap, tubuhku seperti melayang bersamaan dengan panas api yang membakar. Suara panggilan Aslan dan Sqeeth terdengar begitu jelas dalam telingaku, tapi aku tidak bisa menjawabnya. Kegelapan ini terasa begitu nyaman, dan menenangkan. Aku ingin berhenti, semua ini membuatku lelah.

'Sqeeth, aku tidak bisa mengikat jiwanya. Aku terlalu lemah saat ini, aku mohon, jangan biarkan jiwa Ash…'

'Sial! Latasha! Latasha!'

"Latasha!"

Aku tidak mampu lagi mendengar suara yang menggema saling bersahutan itu, hingga panas membakar benar-benar mematikan seluruh inderaku, membawaku semakin jauh dalam kegelapan.

.

.

.