Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 21 - Chapter 20 : Teka Teki Hati

Chapter 21 - Chapter 20 : Teka Teki Hati

Aku terbangun dengan tubuh luar biasa kaku, seluruh sendi dalam tubuhku nyeri. Sekelilingku sudah terang benderang dengan sinar matahari terik menerobos kaca jendela kamar. Dari luar jendela aku bisa mendengar aktivitas para siswa akademi. Suara kuda yang mengikik keras, pedang yang saling beradu, bercampur dengan gesekan daun yang dihembus angin. Seluruh bagian dari dunia berjalan dengan normal, hingga pendengaran tajamku masih berfungsi normal. Sementara hatiku berharap waktu akan berhenti dan mencegahku berpikir betapa menyedihkannya diriku saat ini.

Mataku sulit dibuka, bengkak parah karena semalaman menangis. Tanpa sadar aku mengangkat tangan kanan hendak menarik selimut turun, tapi hanya udara hampa yang bisa kurasakan diujung lenganku.

Ah, aku lupa kalau tangan kananku sudah tidak normal lagi. Aku harus mulai terbiasa menggunakan tangan kiri mulai sekarang. Kenyataan itu lagi-lagi menghantamku. Aku sudah terlalu lelah, dan tidak ingin menangis lagi, karena itu aku harus memaksa tubuhku bergerak dan bersiap ke kantin akademi. 

Perutku jauh lebih penting saat ini, aku akan jatuh sakit jika membiarkan perutku kosong lebih dari ini. Terakhir kali aku makan kemarin pagi, setelahnya aku lalui dengan perut kosong.

Ah, aku juga ada janji mentraktir Callisto. Mataku bergerak malas melirik jam, sudah terlambat beberapa jam sejak jam pertama dimulai.

Dengan bantuan telekinesis aku berhasil memakai baju dan sepatu, mengikat tali sepatu yang sekarang menjadi sangat merepotkan. Seragam akademi bertangan pendek tidak mampu menutupi tangan cacatku, dan aku tidak ingin menutupinya. Aku harus terbiasa dengan semua ini, secepatnya. Jikalau aku harus cacat, maka aku akan hidup tanpa menyesali keadaan.

Jam makan siang dan kantin sangat penuh. Kerumuman orang di beberapa meja mengobrol dengan sangat berisik, dan Roselyn menjadi pusat dari semuanya. Orang-orang mengerubunginya seperti sekawanan lebah, sementara dia tersenyum dengan polosnya seolah menertawakan dan menggunjing orang lain bukanlah hal yang salah.

Beberapa nama anak bangsawan yang bersekolah di akademi mereka sebutkan, menceritakan keburukannya dan menertawakannya seperti mereka makhluk paling suci tanpa dosa.

Aku berusaha menulikan telinga, melewati barisan meja ke arah makanan tersaji, dan beberapa orang sampai terkesiap saat melihatku mengangkat tangan tanpa jari mengambil nampan juga peralatan makan. 

Sejak aku keluar kamar, ada puluhan orang yang memberikan reaksi yang sama, dan lagi-lagi mati rasa dalam diriku membantuku mengabaikan mereka. Tidak ada sakit hati, tidak ada kebencian, tidak ada rasa rendah diri, aku merasa hatiku saat ini bagai permukaan air yang tenang.

Sejauh ini tidak ada seorangpun yang mengetahui kekuatan telekinesisku. Aku juga merasa sudah bukan waktunya menutupinya. Dengan tangan cacat seperti ini telekinesis akan sangat membantu, dan aku tidak akan menahan diri untuk menggunakannya.

Hanya segelintir orang yang menguasai telekinesis di Lindbergh, catatan sejarah hanya mencatat satu orang setiap 50 tahun yang muncul bisa menggunakan sihir telekinesis di Lindbergh. Dan bagi mereka yang selalu memandang rendah diriku, menyebutku pecundang, tiba-tiba bisa menggunakan sihir telekinesis, pasti membuat mereka terheran-heran.

"Tangannya! Kau lihat tangannya yang mengerikan itu!" seorang siswa yang duduk di meja makan terkesiap menutup mulut sambil berbisik pada teman di sebelahnya, tapi aku mendengarnya dengan jelas, dan hanya melirik sambil melirik sengit padanya.

Ternyata yang membuat mereka terheran-heran bukan telekinesisku, tapi tangan cacatku. Hati manusia memang selalu mengerikan, jauh lebih mengerikan dari mimpi buruk yang bisa aku bayangkan. Lebih mudah melihat cacat orang lain, dari pada kelebihan orang lain.

"Iliana!"

Aku menoleh ke arah datangnya suara. Wajah cerah Pangeran Adalgard muncul dari kerumunan, tangannya melambai ke arahku seraya menerobos meminta jalan.

Auranya yang awalnya bisa menerangi seluruh kantin berubah kelam, matanya jatuh ke tangan kananku. Sosoknya yang masih berada di tengah kerumunan, mendadak hilang, gerakannya begitu cepat hingga aku berpikir dia baru saja berteleportasi.

Secepat kilat dia muncul di hadapanku, dan mengambil nampan, berdiri menjulang dengan napas tak beraturan, matanya berpindah dari tangan kananku ke wajahku, begitu terus berkali-kali, hingga akhirnya dia menatap mataku lama, menuntut penjelasan seiring sepasang kolam tosca di matanya berubah kelam. Lekukan di dagunya terlihat jelas ketika dia mengadu gigi menahan amarah.

"Aku akan menjawab semua pertanyaanmu, tapi bisakah aku makan dulu? Aku belum makan sejak kemarin pagi," pintaku dengan wajah memelas.

Callisto mendorong nampan pada seorang siswa tingkat 1 yang berkacamata tebal yang sedang mengantri di belakangku. Dia tampak bingung setelah menungguku yang tidak juga maju di tengah antrian.

"Aku bukan merundungmu, tapi aku memaksamu menolong kami."

Callisto melepaskan nampan yang bahkan belum dipegang oleh siswa junior itu, sang junior panik menangkap nampan dan melihat kami dengan wajah bingung.

Callisto tidak memberikan penjelasan apa-apa lagi, malah membungkuk dan menempatkan tangannya di bawah lututku, tanpa permisi lagi dia membopongku seolah aku pasien yang sekarat.

Suara terkejut dan heran terdengar dari semua orang yang mendapati aksi Callisto. Siswa junior yang masih memegang nampan sampai membuka mulut lebar, matanya bergerak cepat mengikuti Callisto.

"Iliana bisa makan apa saja, tapi aku minta kau isi nampannya dengan makanan yang mudah dicerna, terutama sup!"

"Call-"

"Jangan protes!" Callisto memotongku dan menarik tubuhku hingga wajahku tersembunyi di dadanya. Aku sebenarnya sudah tidak punya cukup energi untuk bereaksi, tapi mendapati sikapnya yang berlebihan seperti ini membuat seluruh wajahku panas terbakar. Kemarahan menguar jelas dari seluruh sel di tubuhnya.

"Oh, jangan lupa makaron dan susu hangat." Callisto kembali memberi perintah.

Siswa junior itu bergerak cepat mengikuti permintaan Callisto, sementara Callisto mengawasi setiap makanan yang masuk ke nampan. Aku bisa mendengar bisikan sumbang dari banyak siswa di kantin. Aku sadar, sudah lama sekali sejak mereka memiliki bahan baru untuk memojokkanku.

Setiap bisikan riuh rendah mereka berisi dengan nada sinis. Mereka menuduhku berpura-pura sakit, mengejek sikap berlebihan Callisto, dan menyebutku sebagai pencari perhatian. Beberapa bahkan menyebutku sebagai seorang yang berpura-pura menjadi korban setelah merundung orang lain. Menyebutku penyihir licik.

Ah, kenapa mereka memiliki begitu banyak stok kata-kata tidak mengenakkan?

"Letakkan di meja sana!" suruh Pangeran Adalgard sambil menggerakkan dagunya.

Callisto mulai melangkah meninggalkan antrian, sementara aku hanya mampu terdiam menghadap dada bidangnya, menghirup wangi matahari bercampur keringat dari tubuhnya.

Roselyn tersenyum lebar ke arahku saat aku berjalan melewatinya, matanya berkilat dipenuhi ketertarikan yang tidak wajar.

"Terimakasih, Kawan. Kau bisa menemuiku kalau perlu sesuatu! Kau tahu aku cukup kuat, dan bisa membantumu melakukan tugas fisik, asalkan jangan minta uang. Kau tahu 'kan, aku ini tahanan perang."

Callisto menepuk bahu siswa junior tadi dengan akrab, dan wajah junior itu langsung berseri-seri mendengar ucapannya.

Tidak heran kenapa Pangeran Adalgard yang berstatus sebagai tawanan perang bisa tinggal dan bersosialisasi dengan baik di sini. Sikapnya yang ramah dan mudah akrab membuatku menyadari bahwa kepribadian kami sangat bertolak belakang.

"Makanlah. Sayangnya Adam harus kembali ke Adalgard sejak aku masih di Pulau Ennius. Kalau ada Adam harusnya aku bisa memintanya membuat-"

Aku menggeleng menolak tawarannya, dan mulai menyuap makananku. Siswa junior tadi memilihkan makanan yang tepat, dan sup yang hangat sangat ramah untuk perut kosongku. Melahap daging panggang, dan tumis sayuran, perlahan tapi pasti energiku kembali, hingga akhirnya nampanku bersih, tinggal tersisa makaron dan susu hangat.

"Ke-kenapa?" aku mendongak dan baru sadar Callisto mencondongkan badan, terus menatapku tanpa berkedip.

"Boleh aku bicara sekarang?"

"..."

"Izinkan aku bertanya tentang tanganmu."

Aku terdiam menunggunya.

"Aku tidak akan bertanya kenapa dan bagaimana tanganmu bisa seperti itu, tapi apakah kau bisa sembuh? Mengembalikan tanganmu seperti semua dengan sihir?"

Kepalaku menggeleng cepat. Masih jelas dalam ingatanku bagaimana buntunya Sqeeth mendapati tanganku yang menghilang begitu saja.

"Haa …." Callisto menghembuskan napas panjang seraya menutupi kedua sisi kepalanya, dan saat mata kami kembali bertemu, aku melihat matanya yang jauh lebih gelap dari sebelumnya.

"Apa yang dikatakan pihak kerajaan? Kau terluka setelah berusaha menyembuhkan Ratu Lindbergh 'kan?"

Callisto bisa menebak dengan mudah, terlebih lagi aku memilih tidak memberinya jawaban, dan itu cukup membuat kabut di wajahnya bertambah gelap.

"Bagaimana bisa keluarga kerajaan mengorbankan warganya sendiri, dan cuci tangan seolah tidak terjadi apa-apa?! Keluarga Kerajaan Lindbergh seperti sampah!"

Aku tidak mengharapkan apapun dari Callisto, karena aku sendiri tidak mengerti bagaimana aku harus berharap. Tapi kebenciannya pada keluarga kerajaan Lindbergh membuatku merasa bersalah, karena kutukan ini bukan salah keluarga kerajaan.

"Aku sengaja membuat perisai ini, pendengaranmu selalu tajam dan kau tidak menyukai perhatian orang." Callisto tersenyum dan menegakkan badan seraya bersandar pada kursi sepenuhnya.

Pantas saja aku tidak bisa mendengar apapun selain suara denting alat makan yang beradu di hadapanku. Sekelilingku ditutupi dinding berwarna merah samar yang tidak aku sadari kapan Callisto melakukannya. Dia hanya terduduk santai di seberangku.

"Tidak menyukai perhatian orang?" tanpa sadar aku bertanya dengan nada mencemooh, aku memperlambat setiap kata yang keluar sambil melihat beberapa ingatan yang membuatku mual.

Callisto tertegun, sepertinya sikap sinisku membuatnya kaget.

"Tidak, kau salah. Jika kau bisa melihat lebih jeli, mereka bukan sekedar memperhatikanku, tapi menghinaku."

Kelopak mata Callisto turun sesaat, pandangannya terarah ke permukaan meja.

Aku yakin dia menyadari kesalahan dalam kata-katanya sehingga menolak menatap mataku langsung.

"Selama ini aku berpikir untuk diam dan menerima semua perlakuan buruk mereka, tapi sepertinya aku salah. Jika aku tidak menyuarakannya tidak akan ada yang tahu dan orang sepertimu akan menganggap mereka hanya memberiku perhatian berlebih. Tetapi ... aku bahkan tidak tahu pada siapa dan bagaimana aku harus menyampaikannya.

"Pertama kali dirundung, aku berpikir mungkin aku salah paham, mereka tidak mungkin melakukannya, aku selalu berusaha menampik kenyataan, sampai di suatu titik aku menerima kenyataan getirnya hidup dalam lingkungan asing ini." Aku terdiam melihat ruang kosong di sisi kanan kepala Callisto, dunia tidak bisa adil padaku, dan aku tidak ingin meminta jika pada akhirnya akan kecewa.

"Saat kau bertanya bagaimana rasanya terasing di tanah kelahiran sendiri..." lidahku langsung kelu. Hatiku terhimpit hingga udara menolak masuk dengan normal, perlahan mataku turun ke gelas susu yang masih utuh. Pikiranku menerawang ke belasan tahun lalu, dan aku membuka telapak tanganku yang masih menyisakan luka bekas jahitan yang aku tolak disembuhkan.

"Aku bahkan sudah tidak ingat lagi bagaimana rasanya terasing. Sejak lama aku menyadarinya, berada di tempat umum bukanlah hal yang aku sukai. Bersosialisasi bukanlah keahlianku. Berada di tengah-tengah mereka adalah sebuah kesalahan."

"Kenapa?" Callisto bertanya dengan polosnya, dan aku kembali menertawakan sikap ingin tahunya seolah tidak cukup hanya melihat apa yang terjadi di sekelilingku.

Apa harus aku membuka semua luka di hadapannya?

Aku tidak langsung menjawabnya, mengarahkan telekinesis ke susu hangat dan meminumnya, berharap gejolak dalam dadaku bisa mereda.

Callisto masih melihat ke arahku, menunggu jawaban. Dia tidak terganggu sama sekali dengan gelas yang bergerak sendiri. Tidak juga terlihat ingin menanyakan sihir telekinesis yang tiba-tiba aku tunjukkan.

"Aku merasa seperti hewan sirkus yang menjadi tontonan sekaligus bahan ejekan orang lain. Mereka akan mulai mencari-cari kesalahanku. Bagi mereka perbedaan adalah kesealahan. Mereka membicarakanku, menambah-nambahkan hal pada sesuatu yang tidak mereka ketahui.

"Mereka bahkan tidak berpikir bagaimana reaksiku jika mendengarnya. Apakah aku akan sakit hati, apakah aku akan marah. Seolah aku tidak bisa mengerti perkataan mereka. Persis hewan sirkus yang terus berusaha menghibur mereka tanpa mengetahui jika orang-orang menertawakan tingkah bodohnya. Tidak ada tempat bagiku untuk mengadu."

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana aku menangis saat aku datang ke pesta ulang tahun anak dari Marquis Elleanor. Usiaku masih terlalu muda untuk mengetahui apa maksud dari sikap mereka saat itu. Mereka mengajakku membaur, tapi menertawakanku dengan menyebut diriku yang tidak memiliki ibu, menyebut mataku seperti monster, memberikan label 'darah campuran' padaku karena memiliki warna kulit berbeda dengan mereka.

Aku terdiam, dan hanya berpikir apa yang salah dengan semua hal yang mereka sebutkan. Mereka mulai mengejekku yang tidak pernah merayakan ulang tahun seperti anak haram yang tidak diakui. Hingga mereka sengaja menyiram kepalaku dengan teh panas, tapi mengatakan hal lain saat orang dewasa bertanya apa yang terjadi. Menyalahkanku yang jatuh sendiri hingga tersiram teh. Mereka begitu kompak merundungku.

"Kenapa? Kau ingin berlari pulang dan merengek pada ayahmu?" kata salah satu anak sambil bertolak pinggang di depanku yang masih terduduk di rerumputan.

Saat itu aku hanya terdiam menahan tangis. Merengek pada ayah? Aku bahkan tidak bisa melakukannya sekalipun aku ingin.

Hingga detik ini aku masih berpikir... Betapa lucunya hidupku ini, aku seorang anak yang memiliki ayah sekalipun tanpa ibu, tapi kenapa aku merasa seperti tidak memiliki orang tua sama sekali?

Sejak lama sekali aku tidak bisa melakukan hal-hal yang bisa dilakukan anak lain pada umumnya.

Terkadang aku ingin bertanya pada Dewa, hidup seperti apa yang Dewa inginkan untukku? Tidak bisakah Dewa memberiku sebagian kunci jawabannya? Setidaknya aku bisa bersiap jika aku harus terluka berkali-kali.

Aku hanya ingin hidup seperti anak di keluarga lain pada umumnya. Tidak lebih.

"Apakah itu juga alasanmu tidak pulang ke rumah di waktu liburan? Menghindari keluargamu?" Callisto bertanya dengan mata sendu, tatapan penuh belas kasihannya membuat hatiku makin berat. Bukan berarti aku tidak menyukai simpatinya, tapi aku tidak ingin menjadi orang yang tidak berdaya di depannya.

"Jika kau ingin berteman denganku, bukankah kau sudah banyak mencari tahu tentangku? Kenapa kau masih bertanya?" aku mendenguskan tawa mencemoohnya sebelum melanjutkan, "kau bahkan bisa mencari cerita tentangku tanpa perlu banyak berusaha. Ada banyak orang yang akan dengan senang hati menceritakan hidupku seperti bercerita tentang hidup mereka sendiri."

Callisto terperanjat, seolah aku baru saja menembakkan panah tepat ke dahinya. Bukan rahasia umum lagi, dia pasti sudah mengetahui apa yang terjadi antara diriku dan ayahku.

"Kau tahu apa yang paling tidak masuk akal dari semuanya?" aku bertanya dengan mata menatap bosan pada permukaan meja, mengingat bagaimana diriku yang masih polos menangis meminta keadilan di depan anak-anak yang merundungku. Aku menangis sambil berteriak pada mereka, melampiaskan kemarahanku karena sikap mereka.

"Suatu waktu aku marah, dan meminta mereka berhenti, tapi mereka bertanya kenapa aku begitu marah. Kesalahan apa yang telah mereka lakukan?" aku mendenguskan tawa lirih.

"Ironis sekali. Ketika seseorang terluka sedemikian rupa hingga meninggalkan luka yang mendalam, bahkan menjadi trauma berkepanjangan, tapi sang pelaku merasa tidak bersalah dan mempertanyakan dosa mereka.

"Bagaimana aku harus mencari keadilan? Bagaimana mungkin menebus dosa mereka, ketika mereka tidak merasa harus menyesal atas apapun yang sudah mereka lakukan?"

Callisto membisu, sepasang kolam toscanya menunjukkan kesedihan yang bertambah setiap kali aku membuka mulut. Dia menarik napas dan membuangnya dengan perlahan, seperti dirinya yang tengah merasakan duka yang aku ceritakan..

"Saat itu aku masih terlalu polos untuk menyadari, bahwa sejak kepergian ibuku, aku akan kehilangan lebih banyak hal dalam hidup. Seharusnya aku berhenti berharap, tapi aku selalu berpikir, jika aku melakukan kebaikan, mereka akan melakukan hal yang sama kepadaku. Jika aku membalas perlakuan buruk mereka dengan senyum atau kebaikan, mereka akan luluh dengan sendirinya. Aku lupa, bahwa Dewa tidak pernah gagal dalam mengecewakanku."

Dalam benakku terlintas wajaha Ayahku yang berpaling ketika aku dituduh menyerang Roselyn. Hari itu aku mengerti dengan jelas bahwa aku telah sampai pada utas tali terakhir harapanku.

"Aku merasa sedih atas diriku yg berharap begitu besar pada simpati yg ditunjukkan Ayahku. Sehingga aku selalu berusaha agar aku memiliki nilai di matanya, pada akhirnya aku selalu dikecewakan. Karena aku bukanlah sesuatu yg berharga baginya. Kehadiranku tidak berarti untuknya. Entah berapa kali aku berharap dan terluka. Diriku yang dulu selalu berusaha menelan semua kepahitan karena takut dibenci. Diriku yang selalu mengalah pada keadaan karena berharap pada hati yang mungkin akan menerimaku lagi."

Kepalaku terdongak, melihat langit-langit kantin yang berwarna biru cerah dengan sihir ilusi menyerupai langit di musim semi. Musim yang hangatnya menyerupai dekapan ibuku, musim yang wanginya menyerupai wangi dari tubuh ibuku. Kehangatan dan wangi yang tidak pernah aku lupakan.

'Ibu kenapa kau membawaku ke dunia ini? Kenapa kau melahirkanku dan menerima takdir menyakitkan ini? Begitu banyak orang yang membenciku, tapi tidak ada satupun yang menyambut gapaian tanganku. Aku lelah'

Mataku panas dan mulai berair, tapi aku menghardik diriku sendiri. Aku harus berhenti menangisi keadaan, hidup ini akan aku jalani, aku sendiri yang sudah berikrar.

"Jika kebahagiaan memiliki batas, aku rasa aku sudah menghabiskannya sebelum kepergian ibuku. Karena sejak kepergiannya aku tidak lagi bahagia, hingga saat ini aku berhenti mengharapkan kebahagiaan. Bukan berarti aku menyerah untuk hidup. Aku akan terus hidup, selama aku bernapas aku akan terus hidup, tapi bukan untuk mencari kebahagiaan, hanya karena belum waktunya ajal menjemputku."

"Iliana..." Callisto menyebutkan namaku, tapi aku hanya tersenyum padanya.

"Aku memang terluka, dan menangis karena itu. Tapi jangan merasa kasihan padaku, cukup berikan aku kebebasan untuk menangis. Hanya itu yg aku butuhkan."

Callisto membeku, ada begitu banyak emosi yang berkecambuk di matanya, tapi bibirnya terkatup rapat, seolah takut mengucapkan sesuatu yang mungkin akan menyakitkanku.

"Maaf, kau hanya menanyakan satu hal, tapi aku meracau tak karuan."

Sepertinya ini pertama kalinya dalam hidupku aku bicara begitu banyak dalam satu hari. Tangan kiriku bergerak lambat meraih makaron, dan membiarkan rasa manis dalam mulutku menenangkan hatiku.

"Tunggulah 1 tahun lagi, Iliana!" Callisto menggebrak meja dan menarik tanganku hingga tubuhku terpaksa condong ke arahnya, jantungku seperti lompat dari tempatnya.

Matanya terlihat sangat berapi-api dipenuhi tekad, aku sampai bergidik.

"Jika aku sudah terbebas dari status tawanan perang, aku akan membawamu kembali ke Adalgard dan berjanji akan membahagiakanmu. Kau akan pergi dari Lindbergh, jauh dari tempat terkutuk ini. Tunggulah satu tahun lagi, hmm?"

Mendengar kata-kata Callisto, sebuah titik terang muncul menyilaukan hatiku, tapi kemudian aku memadamkannya dengan cepat. Gambaran indah dalam benakku tentang hidup di negeri lain, jauh dari orang-orang yang selama ini memandangku seperti sampah, jauh dari keluarga yang tidak seperti keluarga, tampak begitu menggiurkan, tapi kemudian aku sadar, aku tidak bisa melakukannya.

"Maafkan aku Callisto, tapi aku tidak bisa bergantung padamu. Aku tidak ingin terkekang dalam belenggu bernama balas budi."

Sorot mata Callisto meredup.

"Lalu bagaimana denganku? Aku juga memiliki hutang budi denganmu! Kau menolongku di Pulau Ennius, kau membantuku saat kesakitan di Hutan Gunung Hima, hutang budiku jauh lebih besar! "

Aku menggeleng dan menatapnya lurus.

"Aku akan menagihnya nanti, tenang saja, tapi tidak sekarang," kataku cepat.

"Kenapa kau selalu seperti ini, Iliana? Kau selalu berusaha tegar dan mandiri. Kau terkadang terlihat kosong, hingga aku berharap bisa menjadi seseorang yang akan mengisinya. Aku tidak ingin terlalu serakah, hingga aku berpikir bisa sedikit menolongmu, melakukannya perlahan hingga kau menerimaku. Apakah ini jawabanmu atas harapan yang bahkan hanya mampu aku simpan?"

Aku mengerutkan alis menjawab kata-katanya yang terdengar tidak cukup masuk akal.

"Apakah ini caramu menyatakan perasaan?" tanyaku setengah tersenyum, menertawakan situasi yang terlihat sangat lucu jika Pangeran Adalgard ini benar-benar menyatakan perasaannya padaku.

Wajah Callisto bersemu merah, dan dia mengangguk penuh keyakinan sekalipun setelahnya membuang wajah sambil menutupinya sebagian dengan tangan.

Aku mengerjap berkali-kali, tidak percaya dia dengan apa yang baru saja terjadi. Dengan mudahnya dia mengakui perasaannya, dan setelahnya malu sendiri. Kenapa dia terlihat sangat konyol dan lucu? Mau tidak mau aku ikut malu melihat sikapnya, hingga panas di pipiku merambat hingga ke telinga.

Kami sama-sama sangat kikuk dalam situasi ini.

Sejujurnya tidak ada yang bisa aku lakukan dengan perasaannya untukku.

Ini pertama kalinya seseorang menyatakan perasaan padaku, tapi aku tidak bisa memberikan jawaban, terlebih lagi harapan padanya. Aku sendiri tidak yakin seperti apa aku akan menjalani hari esok, dan aku tidak ingin membebani orang lain dengan semua ketidakpastian ini.

Mataku mengenali aura yang menguar dari pintu kantin, pandanganku berpindah pada Clift yang masuk dan langsung bicara dengan Roselyn. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi mata Roselyn melirik ke arah mejaku, dan Clift melakukan hal yang sama. Wajah Clift menggelap seiring gerakan bibir Roselyn yang tidak bisa aku baca.

"Kau belum mengenalku dengan baik, Callisto. Bagaimana bisa kau menyukaiku?" tanyaku seraya mengembalikan pandangan pada Callisto.

Callisto tambah gelagapan, dan telinganya ikut memerah, matanya melirikku takut-takut seolah dia berusaha menyembunyikan perasaannya tapi bahasa tubuhnya justru menggambarkan betapa paniknya dia mendapati pertanyaanku. 

"Terlalu banyak hal yang tidak pasti di dunia ini. Bersahabat dengan seseorang selama belasan tahun saja tidak ada yang bisa menjamin dia akan berada di sisiku selamanya. Lalu bagaimana denganmu?"

Callisto membeku, semu merah di wajahnya perlahan menghilang. Waktu seolah ikut berhenti seiring Callisto yang menatapku tanpa berkedip. Pandanganku beralih pada Clift yang masih berdiri melihat ke arahku. Callisto ikut melihat kemana pandanganku tertuju, dan warna di wajahnya semakin gelap.

"Mungkin terlihat sederhana, tapi aku tidak ingin mengalaminya untuk yang kedua kali. Aku mungkin akan bergantung padamu, seolah kau adalah harapan terakhir dalam hidupku. Aku tidak yakin bisa bangkit lagi jika kau berpaling dariku seperti mereka."

Kepalaku tertunduk merasakan perih yang terasa jauh lebih jelas dalam hatiku.

"Iliana... Aku hanya melakukan apa yang aku pikir tepat, karena itu caraku menyukaimu."

Suara Callisto yang bergetar, membuatku tidak sanggup menjawabnya. Matanya yang sendu membuatku merasa begitu bersalah. Tidak ada hal buruk yang pernah dilakukan Callisto padaku, tapi kenapa pembicaraan ini membuatku seperti tengah menyakitinya?!

Caranya menyatakan perasaan membuatku tidak bisa mengelak, aku mengingat bagaimana sikapku saat menyukai orang lain. Sangat bertolak belakang dengannya.

"Bukan 'kah menyatakan perasaan membutuhkan banyak keberanian? Kenapa semua terlihat sangat mudah bagimu? Kau membuatku iri," bisikku seraya menundukkan kepala dalam-dalam.

Tangan besar berotot Callisto menyiku di atas meja, wajah muramnya kembali berubah, dipenuhi awan gelap yang jauh dipengaruhi oleh kemarahan.

"Sejak kapan dan sampai kapan kau menyukai Duke Junior?" nada dalam suara Callisto monoton dan skeptis. Caranya bicara seolah-olah dia merasakan cemburu yang sangat besar, dan entah mengapa aku jadi panik. Aku selalu berusaha menyembunyikan perasaanku, aku selalu memastikan tidak ada yang menyadarinya. Apakah sikapku selama ini sangat kentara?

Semua terasa begitu asing bagiku, tidak pernah sekalipun aku melihat Callisto bereaksi seperti ini.

"Aku tidak mengerti sikapnya padamu. Seperti orang yang menyimpan dendam. Dia selalu berwajah masam setiap berada di dekatmu. Dia hanya peduli pada Killian. Setelah semua ini, apakah kau masih berharap?"

Lidahku kelu.

"Bukan maksudku menyakitimu, tapi kau berpegang pada tali yang salah, Iliana," lanjut Callisto lagi.

Tidak ada yang salah dalam kata-kata Callisto, tapi aku juga tidak ingin mengakui betapa bodohnya aku yang masih menaruh perasaan pada orang yang tidak mungkin menjawab perasaanku.

Mungkin Callisto tidak tahu bahwa aku sudah mengakhiri semuanya. Duke Avallon yang menyebutku sebagai budak, membuatku sadar bahwa begitu rendah derajatku dalam pandangannya.

"Iliana."

Tangan Callisto menyentuh sisi wajahku, saat aku mengangkat wajah, aku bertemu tatap dengan matanya yang kembali teduh.

"Aku akan selalu berada di pihakmu, datanglah padaku kapanpun hatimu siap. Selamanya aku akan memihakmu, aku tidak akan membiarkanmu berjuang sendirian," ucapnya lembut, permukaan tangannya yang kasar terasa hangat di pipiku.

Kesungguhan dalam kata-katanya, membuatku sadar bahwa hati yang tulus tidak akan membuatku berpikir rumit untuk bisa mengertinya. Tidak seperti seseorang yang terkadang menunjukkan sikap baiknya, terkadang juga sangat dingin.

Apakah aku akan benar-benar menyesali tali yang selama ini aku pegang?

Aku tidak bisa menahan gemuruh dalam dadaku, hingga akhirnya airmataku menggenangi kelopak mata dan mengaburkan pandangan. 

.

.

.