Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 20 - Chapter 19 : Tangan Kanan

Chapter 20 - Chapter 19 : Tangan Kanan

Aslan dan Sqeeth benar-benar menghilang dari radarku sejak hari itu. Setelah kembali dari istana bersama Avallon, aku bermeditasi dengan harapan sihirku bisa kembali stabil dan bisa bicara dengan para spirit yang biasanya selalu berisik tanpa diminta. 

Tapi hari berganti hari, meditasi demi meditasi aku lakukan, tidak ada tanda-tanda kehadiran keduanya. Aku merasa begitu kesepian dan terombang-ambing. Hari-hari di akademi terasa semakin penat saat aku dihadapkan dengan orang-orang yang terus memberikan sikap sinis. Biasanya aku menyibukkan benakku dengan bicara dalam hati. Bagiku Aslan dan Sqeeth bukan sekedar spirit yang mengikat perjanjian denganku, mereka jauh seperti teman yang selalu ada di sisiku.

Aku melangkah gontai keluar dari perpustakaan, membawa dua tumpuk buku tebal yang baru saja aku pinjam. Semangatku semakin lemah karena teh pemberian Midas hampir habis. Aku meminumnya hampir setiap hari, dan aku merasa sulit berkonsentrasi tanpa teh itu.

"Clift, kau benar akan makan malam bersamaku?"

Kepalaku reflek menoleh ke sumber suara yang nyaring dan manis dibuat-buat.

Roselyn berdiri di ujung koriodor sambil menggenggam tangan Clift yang pipinya bersemu semerah tomat matang. Keduanya terlihat bagai pasangan serasi padahal jelas-jelas Roselyn adalah tunangan Avallon. Apakah wajar bagi seorang perempuan bersikap manja seperti itu padahal memiliki tunangan?

"Kalau aku jadi kau, lebih baik aku ambil jalur lain dari pada melihat mereka berdua."

Aku tersentak kaget saat Callisto tiba-tiba berdiri di sampingku tanpa pancaran aura. Biasanya aku bisa merasakan aura orang lain dengan cepat, tapi instingku seperti mati akhir-akhir ini.

"Kenapa sampai kaget begitu? Aku sudah mengikutimu sejak keluar dari perpustakaan tadi, kau tidak tahu?" Callisto membungkukkan tubuh hingga matanya selevel denganku, dan dengan polosnya aku menggeleng.

"Dasar tukang bengong!" Callisto mendorong dahiku dengan ujung telunjuknya, dan dia malah tertawa melihat reaksiku yang terbengong sambil mengerjap berkali-kali.

"Apa rencanamu sore ini? Bagaimana kalau makan di kantin akademi? Aku dengar mereka membuat iga panggang hari ini."

Callisto merangkul bahuku. Aku menurut saja saat dia menggiringku berjalan ke arah berlawanan dari Clift dan Roselyn berada. Iga panggang termasuk kesukaanku, siapa yang bisa menolak iga panggang yang disajikan dengan uap masih mengepul? Dapur akademi selalu menyediakan makanan hangat sekalipun belum masuk jam makan malam.

"Kau yang bayar ya?" tanyaku seraya membetulkan letak buku di dekapan.

Callisto berhenti melangkah, bibirnya menyunggingkan senyum seraya menarik buku dariku.

"Karena aku masih status tahanan perang, mana mungkin aku punya uang. Kau seharusnya sudah tahu sejak awal aku mengajakmu ke kantin, hmm?"

Ack! Dia benar-benar penipu ulung. Bisa-bisanya bermulut manis menawarkan makan malam tapi akhirnya malah menodongku balik.

"Ha ha ha! Aku suka reaksimu yang seperti ini, benar-benar lucu!"

Callisto berjalan santai ke arah kantin, meninggalkanku yang masih terbengong sambil membayangkan jumlah koin yang ada di kantongku. Makan di kantin memang bukan masalah besar, tapi caranya merampokku yang benar-benar membuatku tak habis pikir. Berapa harga iga panggang? Apakah uangku cukup?

"Aku sudah membayar makan malamku dengan membawakan bukumu, Iliana!" katanya sambil nyengir lebar.

"Tidak sebanding! Bagaimana bisa kau hanya membawa bukuku setengah jalan begitu dan menukarnya dengan seporsi iga panggang?!" aku protes seraya berlari-lari kecil mengejarnya, hendak merebut kembali bukuku. Callisto berulang kali mengangkat buku berat itu di atas kepalanya, menghindari tanganku yang menggapai-gapai sambil melompat. 

Sial, kenapa badannya tinggi sekali.

"Nona Brainne?"

"Eh?"

Seorang ksatria dengan jubah berlambang kerajaan Lindbergh berdiri beberapa langkah dariku, matanya terlihat tidak asing. Seingatku dia adalah ksatria yang mendampingiku sebelum naik kereta kuda pulang dari istana minggu lalu. Wajahnya berkerut aneh saat beradu pandang dengan Callisto.

"Woah, aku hampir lupa wajahmu sama sekali, George!" Callisto bersuara dengan nada sarkasme yang sangat kental. Satu tangannya bertandang di pinggang, dan dia berdiri dengan angkuhnya melihat ke arah ksatria di hadapanku.

"Ka-kalian saling kenal?" aku melihat Callisto dan ksatria istana bergantian, keduanya terlihat tidak cukup akrab kalau dari raut wajah keduanya. Mungkin mereka hanya saling mengenal nama.

"Aku tidak akan lupa wajah orang yang mengirimku ke penjara bawah tanah karena menolak memberi kesaksian."

Pandanganku kembali pada George, tapi rahang George tampak menegang dengan urat terbentuk di lehernya. Sebaliknya Callisto malah terlihat santai sekalipun wajahnya jelas-jelas menyindir George.

"Apa kau berhasil naik jabatan setelah aku masuk penjara bawah tanah?" Callisto kembali menyerang, pertanyaannya sarat dengan sarkasme. Georgae malah mengabaikannya dan memutar badan ke arahku sepenuhnya.

"Yang Mulia Ratu Elia mengharapkan kedatangan Nona Brainne sekarang."

"Hari ini? Kenapa? Seharusnya kami bertemu dua hari lagi," kataku seraya memiringkan kepala bingung.

"Kondisi Yang Mulia Ratu menurun drastis sejak kemarin, dan berharap Nona Brainne bersedia menemaninya."

Aku reflek menoleh pada Callisto yang mendecakkan lidahnya, entah apa yang membuatnya jijik dari kata-kata George.

"Kau berani menghina Ratu Lindbergh?!" George meletakkan tangannya di pedang yang ada di pingganganya, matanya memicing tajam mengancam siap menebas leher Callisto.

"Woah, lihat bagaimana kau menciptakan drama hanya dengan reaksi kecilku! Kau benar-benar menjijikkan!" 

"Kau!" George menghunuskan pedang tepat ke leher Callisto. Ujung pedang tajam mengilat itu berada sangat dekat, hampir menyentuh leher Callisto, tapi pangeran Adalgard malah tetap santai.

"Silahkan saja kau memotong leherku, jika kau mau membuat kesepakatan perdamaian Adalgard dan Lindbergh berakhir. Kau lupa kalau Adalgard kalah bukan karena tidak mampu mengalahkan Lindbergh. Kemampuan militer Adalgard jauh diatas Lindbergh!"

George tampak tak berkutik dan berusaha meredam amarah dengan segenap kekuatannya, pada akhirnya dia memilih menurunkan pedang, mengembalikannya kembali ke posisi semula.

"Kereta kuda sudah menunggumu, Nona Brainne!" tandasnya seraya mengangkat tangan mempersilahkanku jalan.

"Sekarang? Setidaknya izinkan aku mandi dulu."

Aku tidak nyaman dengan badan lengket oleh keringat setelah berlatih panah siang tadi.

"Tapi perintah Nyonya Bashemath harus secepatnya membawa Nona Brainne sesuai permintaan Yang Mulia Ratu Elia."

Sepertinya kondisi Ratu Elia benar-benar gawat, aku tidak bisa mengulur waktu.

"Hei, George! Ratu kalian benar-benar aneh. Kalau Yang Mulia Ratu sakit, kenapa tidak panggil Penyembuh terbaik dari Kuil Arthemys? Iliana hanya siswa akademi yang bahkan belum lulus ujian penyembuh. Lalu sekarang kalian bilang membutuhkannya? Apa orang-orang Lindbergh suka lelucon tidak lucu seperti ini?" 

Callisto menarikku dan membuatku berdiri di belakangnya, menyembunyikanku dari George. Mendengar ucapannya memberi pemahaman baru padaku. Aku bahkan tidak berpikir seperti itu. Aku hanya sangat senang Ratu Elia mengundangku ke istana, menerima kehangatan darinya yang tanpa pamrih.

"Apa kau juga mau melawan perintah Yang Mulia Ratu Elia?"

"Ratu, Ratu, Ratu! Yang keluar dari mulutmu tidak ada kata-kata lain?! Berhentilah bersembunyi di belakang orang lain, Pecundang!" Callisto merenggut kerah George dengan tinju terangkat.

"Tu-tunggu dulu! Callisto, kau tidak boleh memukul kesatria istana. A-aku akan pergi. Turunkan tanganmu, aku akan traktir kau besok, double porsi. Oke?"

Tanganku mencengkram lengan Callisto kuat dan menghadapnya sambil mengedipkan mata berkali-kali, berharap dia mengerti kode yang aku berikan.

"Kau!" Callisto membuka mulutnya dengan mata membulat. "Kau kira aku melakukan ini karena kau tidak jadi mentraktirku?!" dia terdengar sangat kesal.

"Bu-bukan begitu!" aku berjinjit dan mendekatkan mulutku ke telinganya. "Kau jadi tontonan orang, aku juga tidak mau poinmu dikurangi karena kejadian ini."

Sekujur tubuh Callisto mendadak kaku. Seperti boneka kayu, matanya melirik dalam gerakan lambat ke arahku, ekor matanya menunjukkan emosi yang tidak bisa aku terjemahkan. Akhirnya aku hanya memiringkan kepala bingung.

"A-aku hanya tahanan perang! Aku bahkan tidak peduli lulus atau tidak!"

Callisto menjauh beberapa senti hingga mata kami benar-benar bertemu. Aku mengirim sinyal peringatan sambil mengangguk, menatapnya penuh harap. Tapi ada yang tidak masuk akal, pipinya mendadak berubah merah seraya berdehem keras, panik melepaskan cengkramannya di kerah George sambil menutupi telinganya. Aku tidak mengerti kenapa dia jadi tersipu begitu, bahkan telinganya sampai ikutan merah.

"Ja-jangan lupa janjimu!" tandas Callisto seraya berlari secepat kilat meninggalkanku.

Kenapa dia?

Aku berbalik melihat George, tapi wajahnya sama bingungnya denganku.

.

.

.

Perjalanan ke istana sangat cepat karena kereta kuda melaju dengan kecepatan penuh. Masih menggunakan seragam akademi aku masuk ke lingkungan istana, disambut Bashemath yang rambut dan matanya mengingatkanku pada Avallon. Hatiku makin berat mengingat bagaimana kami mengakhiri pembicaraan di kereta kud.

"Pendeta Kyan sudah berusaha menenangkan Yang Mulia Ratu, tapi Yang Mulia terus mengerang kesakitan sambil memanggil namamu. Mungkin karena kau berhasil meringankan sakit Yang Mulia sehingga Yang Mulia berpikir kau bisa membantunya melewati saat sulit seperti ini."

Aku tidak begitu ingat detail bagaimana aku berhasil membantu meringankan sakit Yang Mulia Ratu Elia. Selain itu aku tidak bisa bicara dengan Aslan dan Sqeeth sejak hari itu, sehingga aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Yang aku takutkan adalah kendaliku yang melemah. Inti sihirku belum terbuka semuanya, tapi aku tidak bisa mengendalikan diri ketika berusaha membukanya.

Sampai saat ini aku belum mengerti kenapa Aslan tiba-tiba menghilang setelah menolongku, Sqeeth juga tidak menjawabku. Kehadiran keduanya seperti hilang begitu saja.

Ksatria penjaga pintu mengumumkan kedatanganku, dan saat aku masuk ke kamar Ratu Elia, disana sudah ada Raja Hardian, Pangeran Henry dan Pendeta Kyan bersama 3 pendeta kuil lainnya. Mereka melihat ke arahku dengan berbagai macam reaksi, namun di antara semuanya, yang paling mencolok adalah sorot penuh kebencian dari Pangeran Henry. Insiden yang terjadi di Hutan Terlarang Pulau Ennius sepertinya masih membuat dendam mengakar di hatinya.

Aku ingin tahu bagaimana jika dia tahu kenyataan tentang Roselyn yang tidak sebaik anggapannya?

"Iliana …. Iliana …. Argh!" Ratu Elia berteriak dengan suara lemah, meringkuk sambil memeluk dirinya kuat-kuat, dan aku melihat aura berwarna merah darah sudah menyelimutinya hingga aku hampir tidak bisa melihat warna kulitnya lagi.

Pendeta Kyan dan pendeta lain yang sedang mengirimkan aura mereka pada Ratu perlahan mundur, memberi ruang padaku.

"Ya-Yang Mulia Ra-Ratu Elia," bisikku pelan karena kerongkonganku terasa sekering gurun mendapati kondisinya. 

Aura pendeta yang sangat kuat saja tidak mampu meredam, lalu bagaimana mungkin aku membantu Ratu Elia?

"Iliana! Oh Iliana! Kumohon bantu aku, sakit, aku tidak bisa menahan sakit seperti ini lagi. Aku mohon!" Ratu Elia berbalik dan menarik tanganku dengan sisa tenaganya, matanya hampir keseluruhannya menjadi merah, airmata membasahi pipinya sementara bibir pucatnya bergetar hebat. Dia begitu kesakitan hingga sekujur tubuhnya gemetar sekalipun sudah sangat kelelahan.

'Aslan! Sqeeth! Apa yang harus aku lakukan?'

Aku mencoba tenang menunggu, berharap ada jawaban yang akan datang, tapi hanya hening yang aku dengar dalam benakku.

"Apa yang kau lakukan?! Cepat bantu Ibuku!" Pangeran Henry berteriak hingga suaranya menggema ke seluruh ruangan. Aku berjengit menoleh ke arahnya, dan Raja Hardian menarik bahu Pangeran Henry, memberinya peringatan ringan seraya menatapku ke arahku penuh harap. Wajah Raja Hardian sangat muram, dia memohon padaku lewat sorot matanya.

Aura merah darah merambat dari tangan Ratu Elia, naik ke lenganku seolah ingin menarikku bersamanya. Aku menutup mata dan mulai memusatkan konsentrasiku, mengirimkan auraku ke Ratu Elia. Detik demi detik berlalu dan bisa aku rasakan auraku masih stabil mengalir. Kurasa seperti ini seharusnya sudah cukup.

Mataku terbuka, dan aura yang menyelubungi Ratu Elia mulai menjinak. Tidak ada lagi erangan yang lolos dari mulut Ratu Elia, dia terkulai tak berdaya dengan dada naik turun seiringnya yang bernapas mulai teratur. Tangisnya mereda, seiring napas yang tak lagi memburu.

"Bagaimana mungkin-?" salah satu pendeta tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. 

Jujur saja aku sendiri tidak begitu mengerti bagaimana hal ini bekerja? Aku hanya berpikir mengirimkan auraku untuk menenangkan aura Ratu Elia yang terus bergerak liar menguasai tubuhnya.

"Te-terimakasih Iliana, bagaimanapun aku sangat berterimakasih. Aku tidak tahu apa yang- ARGH!!!"

Ratu Elia kembali berteriak, menggelepar-gelepar dan memukul ke segala arah. Rambutnya bergerak liar seiring badannya yang tidak berhenti bergerak. Sekujur tubuhku menegang, ketakutan menghampiriku untuk pertama kalinya sejak melihat kondisinya. Sebelumnya Ratu Elia tidak pernah separah ini, dan aku tidak yakin apakah aku bisa meredakan sakitnya lagi. Aura yang aku kirimkan mungkin tak lagi memberikan efek apa-apa. 

Pendeta Kyan dan pendeta lain mendekatiku, memadukan aura kami dan berusaha meredam Ratu Elia, tapi belum sampai aura mereka menyentuhnya, aura merah darah Ratu Elia melawan seperti sambaran petir dan membuat para pendeta terlempar hingga tersungkur di lantai, semua terlempar kecuali diriku. Bagai menggambarkan penerimaan, Ratu Elia hanya bisa menerima auraku.

"Kenapa begini? Padahal tadi Ratu Elia masih bisa menerima aura kita?"

"Aku tidak tahu. Kita harus bagaimana Kyan?"

Aku menoleh ke pendeta berambut cokelat yang bertanya pada Pendeta Kyan, tapi Pendeta Kyan sama bingungnya, dia hanya melihat ke arahku dengan mata yang sulit dibaca.

"Saat ini, hanya aura Brainne yang bisa diterima Yang Mulia Ratu." Pendeta Kyan mundur beberapa langkah dariku, seolah menyerahkan seluruh tanggungjawab padaku. Punggungku terasa begitu berat, ada batu besar yang bergelayut di hatiku saat melihat aura merah Ratu Elia semakin membabi buta.

'Aslan! Sqeeth! Tolong bantuku. Izinkan aku pinjam kekuatan kalian.'

Tidak ada jawaban dari keduanya, hatiku terasa semakin berat. Aku ingin bicara dengan mereka, apakah keputusan yang aku ambil ini sudah benar? Tapi aku juga tidak ingin membiarkan Ratu Elia terus menderita seperti ini, terlebih lagi aku tidak memiliki pilihan lain ketika semua orang menaruh harapan padaku.

Setiap detik yang berlalu membawa batu besar itu semakin berat di pundakku.

Akupun menutup mata, memusatkan pikiran, dan membuka katup aura lebih lebar, dan aku membiarkan alirannya semakin banyak memasuki tubuh Ratu Elia. Ketenangan tidak lagi bisa aku dapatkan saat Ratu Elia terdiam dengan mata membulat sempurna melihat ke arahku, dia tidak lagi menggelepar seperti sebelumnya, tapi mata merahnya yang membelalak kearahku seolah dirinya sedang dirasuki makhluk lain, jauh lebih menakutkan. Ratu Elia melihatku tanpa berkedip dengan air mata terus mengalir tanpa henti.

"Akhirnya …. Seorang Arkais!" Ratu Elia bicara dengan bibir tertarik seolah sedang tersenyum, suaranya tidak terdengar seperti Ratu Elia, aku mendengar ada dua suara yang tumpang tindih.

Sekujur tubuhku merinding dan akal sehatku berteriak keras agar aku segera pergi dari sini. Bulu tengkukku berdiri sejadi-jadinya melihat sepasang mata abnormal itu melihatku tanpa berkedip.

"Ratu Elia, aku-" Belum sempat aku menghilangkan rasa takut ini, seketika muncul lubang merah darah dari pergelangan tangan Ratu Elia yang aku sentuh. Lubang merah itu membesar, dan bergerak maju hingga menyelimuti pergelangan tanganku.

"Brainne!" Pendeta Kyan berteriak dan menarik tubuhku.

Semua terjadi hanya dalam satu tarikan napas. Sakit yang amat sangat menyerangku bagai sambaran petir begitu lubang merah menyerang tanganku, cahaya putih membuat seluruh pandanganku gelap, hingga jantungku ikut memburu. Panas membakar membuat pergelangan tangan kananku, meneriakkan nyeri hingga ke setiap bagian dalam diriku.

Guncangan hebat tak bisa lagi aku kuasai, panas yang bisa aku rasakan mengalir di seluruh tubuhku, bercampur dengan nyeri yang berasal dari tangan kanan.

'AHRIMAN! Sial! Sial! Sial!'

Suara Sqeeth menggema di atas kepalaku, aku senang sekali mendengar suara Sqeeth setelah sekian lama aku merindukannya. Tangan besar Sqeeth memelukku erat, dan aku bisa merasakan tubuh besarnya menyelimutiku yang terbaring tak berdaya di lantai.

"Kenapa kau begitu ceroboh, Latasha?!"

Aku tersenyum saat wajah tampan Sqeeth memenuhi pandanganku. Aku tidak pernah sadar betapa besarnya kerinduanku padanya, hingga melihat wajahnya saja sudah membuatku sebegini lega.

"Tanganmu- Argh! Sial! Sial!" Sqeeth kembali menyerapah dan memukul lantai berkali-kali sementara satu tangannya menopang kepalaku.

Apa yang salah dengan tanganku?

Mata Sqeeth yang jernih mendadak basah, dia kembali memelukku erat dalam isak tangis teredam. Setiap isaknya mengiram duka mendalam ke hatiku, Tubuhnya gemetar, dan aku bingung apa yang harus aku lakukan padanya?

'Sqeeth!' bisikku dalam hati.

"Sihir Pelindungku tidak bisa melawan Dewa, Latasha. Kenapa kau melakukan ini? Aku sudah bilang jangan bertindak ceroboh. Bagaimana aku bisa bertanggungjawab atas Perjanjian Jiwa ketika aku tidak bisa mengembalikan tanganmu lagi?!"

Otakku masih belum mencerna dengan baik perkataan Sqeeth, hingga saat aku berusaha membalas pelukan Sqeeth baru aku sadari jemariku tidak ada di sana lagi, telapak tangan kanan yang aku pikir bisa aku gerakkan untuk mengusap punggungnya tidak ada lagi.

Ketakutan merambat naik dengan lambat ke logikaku ketika aku mengangkat tangan kananku dan melihat telapak hingga batas tengah pergelangan tanganku tidak ada. Ujung pergelangan tanganku terpotong dengan sangat sempurna dan lukanya tertutup, mengering dengan rapi seolah aku baru saja mengamputasi tanganku bertahun-tahun lalu.

'Sqeeth, ta-tanganku kenapa?' aku bertanya polos dan memeriksa tangan kiriku yang masih utuh. Mataku bergerak cepat melihat kedua tangan yang terangkat, dan mendapati salah satunya tak lagi sama.

Apakah aku bermimpi atau terkena sihir sehingga tidak bisa melihat sebagian tangan kananku?

Sqeeth yang transparan namun terasa begitu nyata bagiku, hanya terdiam dengan mata basah menatapku.

"Aku masih berusaha menyelamatkan Aslan, lalu kau malah bertindak bodoh melawan kutukan Dewa Ahriman, kau ti-"

Sqeeth tiba-tiba menghilang, sosoknya terhapus begitu saja bagai debu yang terbawa angin, kata-katanya tidak selesai dan menggantung membuatku membeku di tempat. Sosok Sqeeth tak mampu lagi aku rasakan dalam diriku, dan ketakutan yang amat sangat merambat naik dari dasar perutku.

"Brainne. Apa yang kau lakukan?" 

Pendeta Kyan muncul dalam jarak pandangku yang tadinya hanya dipenuhi cahaya putih. Tangan pucat Pendeta Kyan membantuku duduk di lantai, matanya yang biasanya kosong terlihat panik dan tak terkendali. Pandanganku naik dari tangan kanan, berpindah pada orang-orang yang berdiri mengelilingiku. Mereka memberi raut wajah yang sama. Namun di antara semua kekacauan ini Ratu Elia tengah terbaring dengan napas teratur, aura merah darah masih menyelimuti tubuhnya, kecuali bagian tangan kanannya.

"Apa yang baru saja terjadi Pendeta Kyan?" Raja Hardian berlutut di sebelahku dan menggiringku duduk di kursi samping tempat tidur Ratu Elia.

Aku masih belum mengerti kenapa aku bisa kehilangan tangan kananku. Kekuatan penyembuhku tidak bisa digunakan untuk mengembalikan kondisi tanganku. Lalu Sqeeth tiba-tiba menghilang, mengatakan aku bertindak ceroboh, lalu dia bilang Aslan harus diselamatkan?

Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?

Pendeta Kyan berlutut di hadapanku dengan kedua tangan terarah pada tangan cacatku. Dia membaca mantra rumit yang terdengar asing, dan mengirim aura ke tangan kananku. 

Entah berapa lama Pendeta Kyan berada dalam posisi itu sambil sesekali melirik ke arahku. Semakin waktu berlalu, semakin banyak keringat yang mengalir di dahi dan lehernya, wajahnya semakin pucat detik demi detik. Aku tidak bodoh. Dia berusaha mengambalikan tanganku, tapi melihatnya yang hampir kehilangan setengah dari auranya, aku mengerti bahwa dia tidak bisa menyembuhkanku.

"Cukup, Pendeta Kyan," kataku seraya mendorong tangan pucatnya turun dari tanganku.

"Kau harus ke kuil Arthemys, aku yakin Lancelot atau Kepala Pendeta bisa melakukan sesuatu!" kata Pendeta Kyan panik. Tergesa-gesa dia menarik tanganku untuk segera bangkit dari kursi.

"Ayo, Brainne. Aku akan membantumu!" katanya seraya memintaku bangun dari kursi.

Aku menggeleng.

"Belum terlambat, Brainne."

Aku tetap menggeleng. Bukan karena aku sudah putus asa, tapi aku bahkan tidak merasakan apapun lagi dalam dadaku, seolah aku baru saja mati rasa.

"Bagaimana kondisi Yang Mulia Ratu Elia?" bisikku lemah.

"Kondisi Yang Mulia Ratu sudah jauh lebih stabil. Ayo, sekarang kau harus ke kuil Arth-" Pendeta Kyan kembali membujukku, tapi kekosongan dalam diriku membuatku menghapus segala macam perasaan yang aku rasakan hingga detik sebelumnya.

"Pendeta Kyan lupa kalau aku dilarang ke kuil? Hukuman bagi orang yang melawan keputusan kuil adalah kehilangan anggota tubuh. Apakah aku harus kehilangan dua tangan?" tanyaku datar, tidak ada emosi dalam suaraku. Aku bisa merasakan gemuruh hebat dalam diriku, tapi hanya getaran kecil yang sampai ke hatiku. Seakan-akan seluruh indra dalam diriku memutuskan tidak berfungsi.

Wajah Pendeta Kyan menggelap, matanya dipenuhi duka yang tidak aku mengerti, tapi aku merasa tidak ada gunanya menghabiskan waktu di sini lebih lama.Kondisi Ratu Elia sudah stabil, semua orang tidak sepanik saat aku tiba. Bahkan Pangeran Henry yang biasanya mengirim aura kebencian, berubah penuh iba menatapku.

Apakah aku harus senang melihat kondisi ini?

"Setidaknya kita bisa berusaha meyakinkan Pen-"

Aku beranjak dari kursi dan itu cukup membuat Pendeta Kyan lega hingga menghentikan kalimatnya, berpikir aku akan mengikuti sarannya, tapi aku membungkuk memberi hormat pada Raja Hardian dan Pangeran Henry.

"Maafkan aku, tapi aku harus pamit pulang."

Tidak sampai menunggu jawaban dari Raja Hardian, aku memusatkan konsentrasiku dan langsung memejamkan mata, hendak berteleportasi dengan kamar asramaku sebagai tujuan.

Jarak istana dan kamar asramaku seharusnya tidak bisa dicapai dengan sihir teleportasi sederhana, tapi keyakinan dalam diriku berbisik bahwa aku bisa melakukannya.

Saat aku membuka mata aku sudah berada di dalam kamar yang gelap. Ruangan sederhana yang hanya bisa ditembus cahaya redup bulan terlihat begitu tenang sementara hatiku terasa begitu berat. Aku harusnya menangis. Kekosongan yang aku rasakan saat ini bukanlah hal lumrah, tanganku yang cacat menggantung dengan bangganya seolah menunjukkan hasil perbuatanku sendiri. Semua begitu menyedihkan, namun ada sesuatu yang menghalangiku. Mati rasa ini seperti datang tiba-tiba demi menghentikanku jatuh dalam keterpurukan.

Aku terduduk di sisi tempat tidur setelah menyalakan lampu kamar dengan telekinesis, dan termenung dengan mata terpaku pada tanganku yang cacat. Aku berusaha menggerakkan darahku ke ujung tangan kanan, berusaha merasakan syaraf jemari yang mungkin masih ada tapi tidak mampu aku lihat. Tapi semua sia-sia, aliran darah terhenti hingga ujung pergelangan tangan. Bukan tidak terlihat, tapi tanganku benar-benar hilang.

Kenyataan menghantamku begitu keras hingga akhirnya aku sengaja menjatuhkan diri ke tempat tidur, terbaring dengan mata melihat lurus pada langit-langit kamar. Kubiarkan sakit yang bersumber dari ujung tangan cacatku menyebar hingga ke seluruh tubuh ke bagian terdalam hatiku, dan membuat mataku panas, sedikit demi sedikit air mata itu mengalir, tapi kekosongan dalam diriku tidak juga hilang.

Sqeeth pasti sangat marah dan sedih melihat apa yang sudah aku lakukan dengan sangat-sangat ceroboh. Dia sudah mengingatkanku agar tidak bertindak ceroboh, tapi karena kesalahanku, karena kebodohanku, aku sudah melukai Aslan, dan sekarang aku harus kehilangan sebagian tangan kananku.

Aku tidak bisa menyalahkan siapapun ketika semua ini terjadi karena kesalahanku sendiri. Aku hanya ingin menolong seseorang yang begitu baik padaku. Tapi kenapa kutukan itu membuatku membayarnya dengan harga yang begitu mahal. Kenapa Dewa begitu membenciku? 

Apakah aku hidup demi menerima semua duka ini? Hidup yang harus aku jalani sekalipun menyakitkan?

Tidak hanya kehilangan ibu, aku juga harus kehilangan sosok ayah, sahabat, dan tangan kananku.

Tangan kananku... Aslan, Sqeeth, aku mohon kembalilah. Jangan sampai kalian juga meninggalkanku. Aku akan terus hidup, karena perjanjian jiwaku dengan kalian, aku harus hidup, iya 'kan? Jawab aku!

.

.

.