Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 19 - Chapter 18 : Labirin bernama Duke Avallon

Chapter 19 - Chapter 18 : Labirin bernama Duke Avallon

Akhir minggu terasa begitu lama, setiap hari aku melihat jam yang bergerak jauh lebih lama dari biasanya. Ada rasa hangat menggelitik dalam dadaku setiap kali mengingat sikap Yang Mulia Ratu Elia. Lembut dan menenangkan. Sekalipun sedang sakit parah, Ratu Elia begitu lembut menerimaku, mendengarkan keluh kesahku, dan menenangkanku.

Perjalanan ke istana kali ini lebih cepat dari sebelumnya dan ketika aku sampai, tidak seperti sebelumnya aku tiba saat hari sudah gelap, sekarang matahari bersinar dengan sangat cerah.

Taman istana terhampar dengan berbagai macam tanaman yang dibentuk menyerupai pola serta undakan. Melihat betapa estetiknya taman istana, membuat siapapun menyadari betapa tingginya selera Ratu Elia yang menjadi penanggungjawab dekorasi taman.

Aku tidak bisa menghentikan detak jantungku yang dipenuhi semangat. Kesan yang ditinggalkan Ratu Elia dalam hatiku begitu kuat, hingga aku tidak bisa berhenti membayangkan elusan tangannya yang lembut di kepalaku, kata-katanya yang menenangkan, dan senyumnya yang terasa begitu hangat di hati.

Aku datang satu jam lebih cepat dari janji kami, tapi aku menunggu di taman sementara Ratu Elia sedang bertemu dengan perwakilan dari keluarga bangsawan. Awalnya Bashemath Avallon menawarkanku menunggu di ruangan tepat di samping kamar Ratu Elia sambil menikmati makaron yang sengaja disiapkan untukku, tapi aku meminta izin berkeliling taman.

Pandanganku semakin jernih ketika matahari yangbersinar tidak terlalu terik jatuh pada sekelompok bunga lavender dengan pola melingkar yang bergerak landai diterpa angin, wanginya menggelitik hidungku sejak memasuki taman. Aku berjongkok dan melihat bunga berwarna ungu yang baru mekar merekah itu. Betapa tentramnya hidup jika bisa setiap hari merasa tenang seperti ini. Aku sengaja berbaring di rerumputan tepat di samping bunga lavender, mataku otomatis terpejam menyesapi wangi yang begitu memanjakan.

Angin berhembus sedikit lebih kencang, membawa suara cuitan burung kecil bersamanya. Menyatu dengan alam. Aku lupa kapan terakhir kali aku berpetualang sendirian lagi. Menikmati setiap detik dalam kebebasan yang tidak mengikatku pada aturan, hanya ada aku dan alam di sekelilingku.

"Kenapa dia terbaring di situ?" 

Suara yang terdengar jauh namun begitu jelas itu dengan cepat aku kenali. Suara berat khas Avallon, yang anehnya dipenuh cemas. Mataku tetap tertutup rapat, sementara aku berusaha mengatur detak jantungku yang mendadak memburu. 

Kenapa Avallon selalu datang dan melihat di saat-saat tidak tepat seperti ini? 

Aku akan sangat malu kalau dia bertanya kenapa aku ada di sini. Annabelle bahkan sudah memakaikan gaun terbaik pilihannya untukku, tapi aku malah rebahan di rerumputan dan merusak rambut yang sudah disisirnya dengan sangat hati-hati.

Suara langkah semakin dekat, dan aku bisa terdengar jelas suara gesekan jubahnya ketika dia berada di sebelahku. Auranya tidak bisa aku lihat, tapi aku bisa merasakannya, kuat dan mendominasi khas Avallon. Sepertinya dia berjongkok atau berlutut di sebelahku.

"Apakah dia tertidur?" suara Avallon seperti berbisik, tapi telingaku terlalu tajam hingga bisa mendengar helaan napasnya juga.

Wangi lavender bercampur dengan wangi yang berasal dari tubuh Avallon. Entah dia menggunakan parfum atau memang ini wangi tubuhnya yang alami. Aku bisa mendapati wangi kayu pinus yang sangat kuat.

'Mungkin dia punya hubungan dengan hutan, Ash!'

Aslan menginterupsi pikiranku, dan aku menghardiknya agar tidak mengganggu saat aku sudah begini kalut mengendalikan desiran darahku.

"Apakah kau benar tertidur, Ash?"

Ash?

Kenapa dia menyebut nama kecilku dengan sangat lembut? Ini pertama kalinya aku mendengarnya menyebut nama panggilanku. Kenapa dia bisa tahu nama kecilku? Tidak ada satupun ingatanku yang mengarahkanku pernah memberitahunya nama kecilku. Aku pertama kali bertemu dengannya di akademi, aku yakin itu.

Selama beberapa detik berlalu dalam hening, tidak ada suara lain yang menyapa pendengaranku kecuali suara alam, tapi aku yakin Avallon masih ada di tempat yang sama.

"Berhentilah membuatku cemas, Ash. Sampai kapan kau akan seperti ini?"

Sebuah sentuhan terasa jelas di pipiku. Tangan kasar yang dipenuhi kapalan milik Avallon menyapa permukaan kulitku. Tangannya terasa hangat, dan aku bisa mengerti keraguan dalam hatinya saat ibu jarinya yang gemetar mengusap bawah mataku dalam gerakan lambat.

"Jika kau bukan terlahir sebagai Brainne, mungkinkah semua akan berbeda? Mungkinkah kau akan mengingat-"

Avallon menghentikan kata-katanya dengan helaan napas berat.

"Aku mengharapkan sesuatu yang tidak masuk akal."

Jantungku berdetak semakin liar. Aku takut Avallon akan mendengar suara jantungku yang seperti menabuh hendak keluar menembus rusuk. Sihirku sangat tidak stabil saat ini, dan pipiku mulai hangat hingga merambat ke telinga. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Suara Avallon yang lemah, kata-katanya yang lembut, dan sentuhannya, semua sangat baru bagiku. Sangat bertolak belakang dengan sorot mata tajamnya yang sering aku lihat, seolah harapan yang tak pernah ingin aku biarkan berkembang tengah menerima sambutannya.

Bolehkah aku berpikir kalau Avallon peduli padaku? Jika dia cemas padaku, pasti karena dia memiliki perasaan padaku. Iya kan?

Sikap tidak bersahabatnya selama ini apakah hanya pura-pura?

Aku ingin berteriak dan menari menyuarakan kebahagiaanku. Tapi aku terlalu takut, bahkan hingga aku mendengar suara gesekan lain dan aura Avallon perlahan menjauh dariku.

"Duke Avallon?"

Pangeran Henry. Suaranya terdengar sangat tidak senang, dan aku bisa merasakan ancaman jika Putra Mahkota mengetahui kehadiranku yang tengah terbaring di taman seperti ini.

"Pangeran Henry. Aku lupa ada hal yang harus Anda periksa perihal expedisi Pulau Ennius. Dokumennya aku berikan pada administrasi."

Aura Avallon dan Pangeran Henry menjauh dariku.

Avallon berusaha menjauhkan Pangeran Henry dari taman.

'Mereka sudah pergi jauh, Ash!'

Aku menghembuskan napas cepat, baru sadar napas yang aku tahan sejak beberapa detik sebelumnya. Jantungku benar-benar akan meledak kalau aku tidak menahan napas, bahkan kedua pipiku seperti terbakar padahal matahari tidak terlalu terik. Setiap degub jantungku menghantam hingga ke telinga, dan aku tidak bisa melepaskan pandanganku dari siluet dua pria yang mengecil di ujung pandangku, menghilang masuk ke bangunan megah istana.

"Kau benar-benar menyukainya?"

Bibirku tertutup rapat ketika Sqeeth muncul dengan senyum meledek. Aslan juga ikut muncul, tangannya langsung menyambar leher Sqeeth, menarik spirit berambut merah keemasan itu hingga hampir mencekiknya.

"Jangan ikut campur urusan cinta Jiwa Pengikatmu, Phoenix Tua!" gerutu Aslan yang langsung mengarahkan jempolnya padaku, isyarat dia akan menyelesaikan pengganggu bernama Sqeeth.

"Aku hanya bertanya. Hei lepas, Bocah Pegasus! Kau mau duel?!" Sqeeth menimpalinya dan menarik turun tangan Aslan dengan mudah.

"Sini maju! Sudah lama aku tidak melihatmu babak belur!" Aslan ikut emosi.

Perkembangan hubungan keduanya sangat tidak baik. Sudah sekian lama mereka mengikat perjanjian jiwa denganku, tapi keduanya tidak menunjukkan tanda-tanda akan akur dalam waktu dekat. Aku hanya berpikir kalau mereka terus berdebat seperti ini, aku akan menjadi penengah seumur hidup.

Mereka dua spirit dengan kekuatan hebat, tapi kedua terlihat seperti siswa pemberontak yang terbiasa membuat keributan.

Padahal dari informasi yang berhasil aku kumpulkan, Sqeeth adalah makhluk legendaris yang berusia ribuan tahun, tercatat melakukan beberapa perjanjian jiwa dengan beberapa raja kuat di beberapa kontinen. Kekuatan dengan elemen apinya sangat kuat, hingga suatu saat sejarah mencatat sosoknya menghilang ketika melanggar perjanjian dengan salah satu penyihir terkuat. Sayangnya, tidak ada satupun catatan sejarah yang menyebutkan nama penyihir terkuat itu, hingga aku menyimpulkan sendiri bahwa penyihir itu adalah leluhur dari darah ibuku, yang mereka sebut Arkais.

Sementara Aslan merupakan spirit hutan yang tidak kalah kuatnya, hanya saja catatan sejarah Aslan beberapa ratus tahun di bawah Sqeeth, mungkin karena itu Sqeeth selalu menyebut Aslan dengan 'Bocah'

Aslan menjadi pelindung Pulau Ennius sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Sebuah catatan kuno menceritakan bahwa Aslan adalah keturuan Elf yang berevolusi karena besarnya kekuatan sihir yang dimilikinya. Memiliki wujud seperti Pegasus, Aslan mampu mengendalikan seluruh penghuni hutan. Aslan melakukan perjanjian dengan banyak keturunan Elf, dan hingga detik ini aku masih belum mendapatkan penjelasan darinya. Kapan dan bagaimana dia bisa mengenal ibuku?

Mereka seperti sangat hati-hati setiap kali aku mempertanyakan tentang segala hal yang berkaitan dengan Arkais.

Aku meninggalkan mereka yang masih saling hantam di belakang. Bukan karena aku tidak peduli, tapi kebiasaan mereka kalau sudah seperti itu nanti juga capek sendiri dan berhenti tanpa perlu aku minta. Lebih baik aku kembali ke ruang tunggu dan memakan makaron yang sudah disediakan Ratu Elia.

Bashemath berdiri di depan ruangan yang tadi ditunjukkan padaku. Malu-malu aku mendekatinya setelah memberikan salam. Wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi, tapi aku yakin dia sudah lelah berdiri di depan ruangan seperti penjaga pintu karena aku belum juga kembali ke ruangan. 

"Ratu Elia menunggumu di dalam." Bibir Bashemath bergerak sangat sedikit, seolah suara keluar dari dalam perutnya. 

Aku mengangguk cepat, merasa sangat tidak enak karena Yang Mulia Ratu Elia sudah menungguku di dalam. Kakiku melangkah cepat melewati Bashemath, tapi kemudian aku mendengar suaranya yang sangat rendah.

"Aku tidak menyangka akan bertemu langsung dengan anak dari pembunuh berkedok penyelamat."

Kakiku berhenti dan menoleh pada Bashemath yang berdiri sempurna dengan pandangan kosong melihat lantai. Bashemath Avallon mungkin tidak menyangka aku bisa mendengar suaranya yang bahkan lebih pelan dari bisikan. 

"Apa maksud-" mulutku bicara lebih cepat dari benakku yang menyuruhku berpura-pura tidak mendengarnya, tapi kata-katanya membuatku tidak bisa tetap diam. 

Bashemath menegakkan tubuh dan melihatku dengan sepasang mata membulat sempurna, kebencian di matanya yang tidak pernah aku temukan sebelumnya sekarang terlihat sangat jelas. 

Melihat pantulan diriku di matanya seoleh aku kotoran yang sangat hina di matanya. Bashemath Avallon adalah wanita dengan pembawaan tenang, wajahnya selalu datar tanpa ekspresi, tapi kali ini aku mendapati wajah asing yang tidak aku kenali.

"Ada apa Nona Brainne? Yang Mulia Ratu sudah menunggumu." Tangan Bashemath meraih pintu dan membukanya cepat, mempersilahkanku masuk dan mengabaikanku yang menatapnya dengan wajah bingung. Dia bahkan tidak berusaha merubah raut wajahnya sama sekali, seolah sedang mengolok-olokku yang tidak tahu apa-apa.

Anak dari pembunuh? Aku?

Siapa pembunuh yang dia maksud? Ayahku? Ibuku?

Aku masih belum bisa meluruskan isi benakku, tapi pintu sudah terbuka.

"Iliana?"

"Salam untuk Yang Mulia Ratu Elia, semoga cahaya suci Lindbergh selalu menyertaimu." Aku membungkuk dalam memberi salam.

"Bangunlah, Iliana. Ayo duduk sini!" Ratu Elia mengisyaratkanku duduk di sofa tepat di sebelahnya duduk saat ini.

Aku tidak yakin diperbolehkan duduk di tempat yang sama dengan seseorang ibu dari kerajaan Lindbergh, tapi senyum meyakinkan Ratu Elia membuatku tidak enak menolak dan langsung duduk disebelahnya setelah meluruskan gaunku yang bisa kusut.

"Kau tampak cantik sekali hari ini, tapi ini?" Ratu Elia meraih sesuatu di kepalaku, dan betapa malunya aku saat dia menunjukkan selembar daun kering ke hadapanku.

"Eh, itu, tadi, aku, aku," aku terlalu panik dan tidak bisa menyusun kalimatku dengan benar dan hanya berujung pada gugup berkepanjangan.

"Ha ha ha, tidak apa-apa. Apa kau tadi ke taman?"

Aku mengangguk dan Ratu Elia mengusap puncak kepalaku.

"Kenapa kau tampak manis sekali. Padahal kau beberapa tahun lebih tua dari Henry, tapi kau lebih imut dari Henry. Henry selalu berusaha terlihat lebih dewasa dari usianya, dan aku tidak bisa memintanya bersikap manja lagi." 

Aku hanya tersenyum mendapati sikap Ratu Elia yang dengan pasti mengirim kehangatan ke relung hatiku, kebahagiaan atas kasih sayang sosok ibu yang selalu aku rindukan, kini aku rasakan darinya.

Bashemath meletakkan cangkir berisi teh ke hadapanku dan Ratu Elia, gerakan tangannya sangat anggun. Wanita dari keluarga bangsawan, ditambah lagi dengan status sebagai istri dari sepupu raja, aku yakin Bashemath mendapatkan pendidikan etika yang sangat ketat. Posisinya sebagai dayang utama Ratu Elia sudah bisa dipastikan sangat pantas jatuh padanya. Tidak heran dia bisa dengan lihai menyembunyikan kebencian yang beberapa menit lalu ditujukan padaku.

Wangi teh menyapa hidungku. Wanginya tidak asing dan sangat akrab.

"Ini teh herbal dari Pulau Ennius, Yang Mulia Raja khusus membawanya untukku." Ratu Elia mengangkat cangkirnya yang berisi teh beda warna dengan cangkirku, "sayangnya aku tidak bisa meminumnya terlalu sering karena lambungku yang tidak cukup bersahabat, padahal aku suka sekali wanginya." Ratu Elia terlihat cukup sedih.

"Oh, aku juga menerima teh yang sama dari Midas, Kepala Desa Pulau Ennius." 

"Benarkah? Seperti apa Pulau Ennius? Bagaimana perjalananmu ke Pulau Ennius, Yang Mulia terlalu sibuk sampai tidak sempat menceritakan apa-apa padaku." Ratu Elia bertanya dengan mata berbinar.

Aku menceritakan semua perjalananku ke Pulau Ennius kecuali kejadian di Hutan Terlarang dan perjanjianku dengan Aslan juga Sqeeth. Ratu Elia mendengarkan ceritaku dengan seksama sekalipun wajahnya semakin layu setiap menitnya.

Pertanyaan besar terus menggantung di kepalaku sejak bertemu langsung dengan Ratu Elia, senyumnya yang lembut tertahan awan pekat dan warna pucat di wajahnya. Aku ingin mengetahui sakit apa yang dirasakannya dan bagaimana aku bisa menyembuhkannya.

Hampir dua jam kami mengobrol, tapi kemudian Bashemath mengingatkan Ratu Elia untuk minum obat dan istirahat.

"Saat seperti ini yang membuatku kadang kesal. Tubuhku tidak pernah bisa membiarkanku tenang dan merasa bahagia lama," gerutu Ratu Elia seraya menerima segelas ramuan berwarna hijau pekat yang diberikan Bashemath. Jejak berwarna silver bercampur emas dari uap yang keluar dari gelas, membuatku takjub dan bertanya-tanya, terdiri dari apa obat yang diminum Ratu Elia.

'Serbuk sayap peri hutan.'

Aku tertegun mendengar suara Aslan yang terdengar marah di dalam benakku.

'Kenapa manusia biasa sepertinya bisa memiliki serbuk sayap peri hutan?' Sqeeth menyuarakan pertanyaan yang sama denganku.

'Hanya manusia yang menguasai sihir kuno bisa menangkap peri hutan dan mengambil sayap mereka.'

'Apakah keturunan Vassel masih hidup?'

Keturunan Vassel? Siapa mereka? Lagi-lagi aku mendengar nama asing dari dua makhluk legendaris ini.

Aslan tidak menjawab pertanyaan Sqeeth. Entah mengapa aku bisa merasakan keraguan yang bercampur kemarahan dalam diri Aslan. Kemarahan yang sangat pekat itu seperti menyelubungiku dan menciptakan gejolak sihir menyerupai gelombang laut di tengah badai. 

Apakah ini yang dimaksud kami berbagi jiwa?

Emosi Aslan sangat mendominasi, sementara emosi Sqeeth tidak bisa aku rasakan sama sekali. Keberadaan Sqeeth dalam diriku justru berusaha meredam gejolak kemarahan Aslan.

"Kenapa kau terdiam begitu, Iliana?" Ratu Elia meletakkan kembali gelasnya yang sudah kosong.

Warna pucat di wajah Ratu Elia sirna seluruhnya, dan aku bisa melihat aura yang menguar dari tubuhnya begitu kuat setelah dia menyentuh cangkir teh. Aura berwarna merah pekat, semerah darah menciptakan sulur panjang seperti kaki gurita, menjilat-jilat ke segala arah seolah berusaha menarik siapapun di dekatnya.

'Kutukan Dewa Ahriman. Sudah berapa abad aku tidak melihat kutukan sekuat ini?'

Sqeeth bicara dengan nada sinis.

Aku langsung teringat dengan rumor tentang Ratu Elia, dan ternyata rumor itu bukan cerita bohong belaka. Begitu banyak orang tidak percaya dengan rumor itu, termasuk aku, karena Raja Hardian terlihat sangat tenang, sehingga terkesan sakit yang diderita Ratu Elia bukanlah sesuatu yang mengancam.

Wajah Ratu Elia lebih berwarna, dan aku benar-benar melihat matanya mengilat dengan cara yang aneh. Ujung sulur aura merah darah yang bergerak mendekatiku tiba-tiba terhentak mundur saat cahaya berwarna emas menghantamnya, cahaya emas yang keluar begitu saja dari permukaan kulitku.

'Kutukan Dewa Ahriman adalah kutukan paling tabu dari semua kutukan. Siapapun yang melakukan perjanjian dengan Dewa Ahriman, bisa aku pastikan manusia paling serakah. Kutukan yang terjadi atas perjanjian pertukaran itu mengharuskan memakan jiwa manusia yang dijanjikan pada Dewa Ahriman'

'Tumbal?' desisku dalam hati

'Ketika kau melakukan perjanjian dengan Dewa Ahriman, kau harus menggadaikan jiwamu. Tapi jika kau tidak ingin mati, kau bisa menukarnya dengan nyawa orang lain, terutama orang-orang yang kau sayangi.' Sqeeth menanggapi dengan suara geram.

Aku terkesiap.

'Karena itu aku sebut mereka manusia paling serakah. Mengorbankan orang lain demi mendapatkan apa yang mereka inginkan.'

'Ratumu pasti sudah menjadi jiwa tumbal, karena itu dia memerlukan sayap peri hutan untuk terus hidup. Sayap peri hutan bisa memperpanjang usia seseorang, tapi tidak pernah benar-benar bisa menghilangkan kutukan.'

Penuturan Aslan terdengar jauh lebih menyeramkan dari malam di tengah Hutan Terlarang. Suaranya sarat dengan ancaman. Aku bisa membayangkan raut wajahnya yang dipenuhi kebencian, dan dendam. Bagaimanapun juga peri hutan adalah bagian darinya sebagai penguasa hutan.

Lalu siapa yang menjadikan Ratu Elia, wanita lemah lembut sepertinya sebagai tumbal? Apakah mungkin Yang Mulia Raja Hardian? Benarkah rumor yang aku dengar dari kabar burung?

"Iliana, aku sangat senang mendengar ceritamu. Aku harap bisa terus mendengar ceritamu. Mendengarkan ceritamu, bahkan hanya dengan berada di dekatmu aku merasa begitu tenang. Sekalipun banyak penyembuh yang mengatakan umurku tidak akan panjang karena penyakit yang tidak memiliki obat ini, aku yakin kau bisa meringankannya. Aku merasa seperti memiliki anak perempuan."

Ratu Elia meraih tanganku, dan tersenyum begitu lembut. 

Aku tidak ingin berpikir macam-macam, karena walau bagaimanapun juga sakit yang diderita Ratu Elia bukan penyakit biasa. Menggunakan sayap peri hutan pasti bukan kehendaknya, hatinya lembutnya tidak akan membiarkan peri hutan dibunuh hanya demi memperpanjang waktu yang dimilikinya. Aku tidak bisa membiarkan peri hutan terus diburu, pasti ada cara lain untuk mematahkan kutukan ini.

Aku harus mencari tahu siapa Penyembuh yang meracik obat untuknya.

"Yang Mulia Ratu Elia, boleh aku bertanya siapa yang meracik obat tadi?" tanyaku hati-hati, dan Bashemath Avallon melirik ke arahku tajam, matanya seolah berkata seharusnya aku tidak bertanya jika ingin hidup tenang.

"A-aku bertanya ka-karena sepertinya kondisi Yang Mulia langsung membaik setelah meminum obat tersebut. A-aku ingin belajar membuatnya." Suaraku pecah dan bergetar, tapi aku berusaha mengatur ekspresi wajahku agar tidak terlihat terlalu gugup.

"Aku menerima semua obat untuk Yang Mulia dari Kuil Arthemys, mereka mengirimkan obat setiap minggu." Bashemath menjawab tanpa nada dalam suaranya, tapi matanya tak beranjak dariku, bagai predator yang sedang memantau calon mangsa.

Tidak langsung menerima nama dari jawaban Bashemath, membuatku frustasi, terlebih lagi dia menyebutkan kuil Arthemys. Kuil sebesar itu memiliki puluhan penyembuh hebat, ratusan calon penyembuh dan lebih buruknya lagi, aku tidak punya akses ke kuil semenjak insiden dengan Roselyn. 

'Haruskah aku bertanya pada ayah?'

Sqeeth mendecakkan lidah, mencemooh pikiranku secepat kilat menyambar.

'Bertanya pada ayahmu hanya akan menambah masalah. Kau mungkin tidak mendapat jawaban, malah diinterogasi balik seperti tersangka.'

Aku menunduk dalam, dalam diam mengakui kata-kata Sqeeth. Sosok dingin ayahku berkelebat dalam benakku, dan dadaku mendadak nyeri, seolah ingatan tidak menyenangkan tentangnya tengah menyerangku lagi. 

"Apakah kau tidak diberi tahu Pendeta Brainne? Ataukah dia terlalu sibuk mengurus kuil sampai tidak bisa menceritakan apapun pada putrinya?" Bashemath kembali bicara, namun kali ini ada nada sinis yang sangat tipis dalam suaranya. Jika bukan karena telingaku yang sensitif, aku mungkin tidak akan menangkapnya, bahkan sudut bibir Bashemath sempat berkedut.

'Aku pikir wanita ini punya dendam pribadi padamu, Ash. Kesalahan apa yang kau lakukan padanya?'

Sejauh ingatanku, aku tidak pernah kenal dengannya. Pertama kali bertemu Bashemath Avallon adalah saat aku datang ke istana beberapa hari lalu. Mungkinkah keponakannya, Duke Avallon, menceritakan sesuatu tentangku? Tapi apa yang bisa diceritakan tentangku?

'Anak Pembunuh?' suara Aslan menghantam alam bawah sadarku, mengingatkanku pada ucapan Avallon di taman.

Apakah mereka memiliki dendam pada ayahku?

Ratu Elia terus menatapku, menunggu jawabanku.

"Ah, se-sebenarnya aku jarang bertemu Kepala Pendeta. Aku hanya ke kuil sebulan sekali, dan sete-"

"Kepala Pendeta?" Ratu Elia bertanya dengan kepala miring penuh heran sambil melihat ke arahku.

Aku terdiam, tidak mengerti dengan raut wajah Ratu Elia, dan saat aku bertemu tatap dengan Bashemath dia memberikan sorot mata seperti mencemooh.

"Kenapa kau sangat kaku menyebut ayahmu sendiri dengan jabatannya? Kau hampir membuatku berpikir kalian bukan ayah dan anak." Ratu Elia tertawa canggung seraya menepuk bahuku, dan aku hanya bisa ikut tersenyum demi menghilangkan canggung.

Tanpa sadar aku menyebut ayah dengan Pendeta Brainne, mungkin memang sudah sejauh itu kami dipisahkan jurang setelah sekian banyak waktu berlalu tanpa kasih sayang antara ayah dan anak.

"Ba-bagaimana kalau aku me-mencoba menyembuhkan Yang Mulia Ratu Elia? Sekalipun aku tidak tahu seperti apa aku bisa membantu, mungkin aku bisa sedikit meringankan." tanyaku seraya menegakkan badan.

Ratu Elia melirik Bashemath, tampak ragu menjawab tawaranku. 

"Aku akan berusaha semaksimal mungkin mengurangi gejalanya sekalipun tidak bisa menyembuhkannya."

"Apa kau yakin?" Ratu Elia tampak cemas.

Aku mengangguk penuh antusias.

"Baiklah, tapi sebaiknya kau jangan terlalu memaksakan diri, Iliana." Ratu Elia tersenyum sambil menepuk tanganku.

Aku memutar badan sedikit dan meneguk sisa tehku sebelum menghadap Ratu Elia, menyiapkan diri untuk menyembuhkannya.

"Aku akan isi ulang tehnya." Bashemath berkata seraya melirik cangkirku yang kosong.

"Oh, terimakasih. Aku hanya sedikit gugup, dan teh dari Pulau Ennius ini selalu bisa menenangkan."

"Kalau begitu kau harus selalu menyajikan teh ini untuk Iliana, Bash" kata Ratu Elia dengan senyum cerah bersemangat.

"Baik, Yang Mulia."

"Teh Pulau Ennius dan makaron. Sekarang aku tahu kudapan kesukaanmu."

"He he he." senyumku mengembang lebar.

Aku merasa canggung karena Ratu Elia sampai menghapal hal sepele seperti ini. Sedikit banyak aku merasa seperti orang spesial baginya. Aku tersenyum malu-malu mendapati wajahnya yang senang hanya karena hal sepele seperti ini.

Dengan sangat hati-hati aku meminta Ratu Elia berbaring di sofa, dan mulai memusatkan pikiranku. Menarik dan menghembuskan napas dengan taratur, aku merasakan sihir mengalir dari dadaku ke seluruh tubuh, hingga sulur berwarna silver mengalir dari tanganku. Sulur berwarna silver berbaur dengan aura merah Ratu Elia, sebagai pertanda aku berhasil mengendalikan aura Ratu Elia.

'Jantungnya, Ash!'

Aku mendengarkan Aslan, dan melihat jantungnya Ratu Elia lebih jauh dengan mata terpejam. Setiap nadi, dan darah mengalir dengan lancar dari jantung yang –

'Bagaimana mungkin manusia hidup dengan jantung separuh?'

Sqeeth berteriak keras memekakkan dan memecah konsentrasiku.

Aku sendiri tidak percaya bahwa jantung Ratu Elia hanya ada separuh. Organ tubuh lain masih utuh, tapi jantungnya hanya ada separuh dan lebih takjubnya lagi, jantung itu bekerja normal memompa.

'Kutukan Dewa Ahriman benar-benar mengerikan.' Aslan bicara dengan suara gemetar, tidak pernah sekalipun aku mendengarnya sebegini ketakutannya.

'Kau tidak bisa menyembuhkannya, Ash. Kau hanya bisa meringankan gejala kutukan dengan mengalirkan auramu. Jangan berharap kau bisa menghilangkan kutukannya.'

'Dewa Ahriman hanya menerima jiwa sebagai pertukaran. Selama jiwa belum diberikan, maka kutukan akan memakan tubuh sang tumbal sedikit demi sedikit,' kata Sqeeth penuh waspada.

Sekalipun aku tidak benar-benar bisa menyembuhkan Ratu Elia, aku berharap bisa menolong orang sebaik dirinya. Baiklah, aku akan mengalirkan auraku untuk meringankan sakitnya. Mungkin aku bisa mengembalikan separuh jantungnya.

'Jantungnya akan kembali seperti itu setelah auramu berhenti mengalir padanya, Ash.'

Semangatku langsung kendor mendengar kata-kata Aslan. Pada akhirnya seperti mimpi buruk yang terus berulang, aku bisa mengembalikan kondisi jantung Ratu Elia tapi semua akan sia-sia.

'Ini yang disebut sebagai perpanjangan waktu. Manusia memang makhluk aneh, padahal kalau mereka mati dan menyelesaikan perjanjian dengan Dewa Ahriman mereka tidak perlu menderita seperti ini. Jujur saja aku bilang, sayang kau pakai kekuatanmu untuk mengulur waktu hidupnya.'

Kata-kata Sqeeth tidak salah sama sekali, tapi aku ingin membalas kehangatan Ratu Elia.

Kutukan ini, aku yakin bukan hasil perbuatan Ratu Elia melainkan, Raja Hardian. Raja Hardian melakukan pertukaran dengan Dewa Ahriman agar bisa menyelamatkan Lindbergh dari wabah. Tidak ada yang bisa aku salahkan di sini, karena Raja Hardian melakukannya bukan demi kepentingan pribadinya.

Konsentrasiku kembali berpusat pada jantung Ratu Elia. Bagai membuka katup aliran air, aku membiarkan sihirku mengalir ke seluruh ujung tanganku dan mengirimnya ke tubuh Ratu Elia. Sulur merah darah yang bergerak liar itu perlahan semakin tak terkendali, bagai sekawanan ikan kelaparan yang mencari makan.

Ratu Elia yang terbaring tenang, memejamkan mata sepenuhnya seperti orang tertidur, sementara Bashemath berdiri tidak jauh dari sofa mengawasiku. Tanganku tidak berpindah dari dada Ratu Elia, membiarkan lebih banyak aura berpindah ke tubuh Ratu Elia. Belum lama aura Ratu Elia tenang, tiba-tiba bergerak liar lagi.

'Mengerikan, auranya terlihat seperti cacing pemakan daging!'

Aku mengabaikan ucapan Sqeeth yang membuat bulu tengkukku berdiri. Perumpamaan yang dipakai Sqeeth sangat tepat, dan aku bisa merasakan dengan jelas aura dari tubuh Ratu Elia seperti mencoba menelan semua aura yang aku berikan.

"Argh!" Ratu Elia mengerang saat auranya menjadi tidak stabil, reflek aku membuka katup sihir lebih besar lagi dan mengirimkan padanya.

'Jangan lepas kendali, Ash!'

Aku mengangguk dan mempertahankan jumlah aura yang aku keluarkan. Entah sudah berapa lama aku mengalirkan auraku, hingga tiba-tiba terdengar suara lonceng yang sangat jelas di telingaku. Suaranya yang konsisten dengan irama familiar membuat tubuhku yang tegang menjadi lebih tenang. Suara lonceng ini pernah aku dengar entah dimana, berulang kali aku coba menggali ingatanku, tapi semua berakhir gelap. Aku tidak bisa mengingat apapun, tapi suara itu sangat familiar.

Aku ingat bagaimana hidupku bertambah gelap tahun demi tahun sejak kepergian ibu. Mereka yang merundungku, aku yang selalu sendirian, hingga Clift datang menjadi satu-satunya temanku. Bagaimana luka ditanganku tidak ingin aku sembuhkan, dan membekas hingga sekarang. Suara tawa Annabelle, omelan Albert saat aku membuat kekacauan di taman mansion Brainne. Senyum terakhir ibuku. Semua terpapar begitu jelas dalam benakku, tapi kenapa suara lonceng itu tidak bisa aku temukan?

'Latasha, kau harus berhenti sekarang!'

Bagaimana bisa ingatanku terhapus begitu saja? Suara lonceng itu, dari mana...

Aku yakin pernah mengingat suara lonceng ini dan entah mengapa aku merasa harus mengingatnya, seolah ada dorongan dari dalam diriku yang mengiba agar aku mengingatnya. Apakah ada sesuatu yang penting dalam suara lonceng ini? 

'Ash!'

Aku harus mengingatnya. Kenapa ada kekosongan yang tidak bisa aku kenali dalam diriku.

'Latasha!'

Semua berwarna abu-abu, aku bisa melihat siluet orang-orang di depanku tapi semua tanpa wajah, semua berbentuk abstrak.

'Protectio Adragis Munselain Iliana Latasha Brainne!'

Sekelilingku berubah terang ketika cahaya terang membutakan pandanganku. 

Tubuhku seperti melayang dan kehangatan mengelilingiku. Tanganku yang kosong dibalut dalam waktu bersamaan, dari kedua tanganku bisa aku rasakan dengan jelas kekuatan yang mengalir dengan sangat deras memasuki tubuhku.

Jika ibuku masih hidup, mungkin aku bisa bertanya kenapa suara lonceng itu terdengar sangat familiar. 

Apa yang salah dengan ingatanku? 

Kenapa aku tidak mampu mengingat lebih dari itu? 

"Iliana? Bangun Iliana! Bashemath kenapa Penyembuh Istana lama sekali? Bagaimana kalau Iliana tidak bangun lagi?!" suara Ratu Elia yang cemas terdengar begitu jelas.

Mataku terasa berat saat aku berusaha membukanya, dan yang pertama kali aku lihat adalah wajah cemas Ratu Elia.

"Iliana? Oh Dewa, apa yang terjadi padamu?!"

"A-aku tidak apa-apa, Yang Mulia."

Menyadari bahwa aku tertidur di pangkuan Ratu Elia, aku terhuyung bangun dan langsung membungkukkan badan sempurna.

"Maafkan aku Ratu Elia, aku tidak bermaksud-"

"Syukurlah!" Ratu Elia meraih tanganku dan menarikku langsung duduk lagi di sebelahnya. Mata basahnya terlihat seperti habis menangis, tapi melihat rona merah di pipinya membuatku lebih lega. Sepertinya aku berhasil memindahkan sebagian auraku dan mengubah kondisinya jadi lebih baik.

"Aku takut sekali saat aku membuka mata, melihatmu tiba-tiba limbung dan tidak sadarkan diri."

Mataku berpindah pada langit yang sudah berubah warna menjadi jingga. Dari jendela balkon yang dibuka, aku bisa melihat pohon besar yang menerima terpaan angin sore, membawa wangi bunga bersamanya, ada beberapa peri hutan yang terbang mengelilingi pohon besar itu.

'Bagaimana jika kalian juga berakhir menjadi ramuan obat Ratu Elia? Aku berharap bisa menghilangkan kutukan Ratu Elia sehingga kalian atau teman-teman kalian tidak menjadi korban.'

Hatiku terasa berat membayangkan peri hutan yang ditangkap dan dibunuh untuk ramuan obat.

"Apakah ini waktunya kau mencemaskan orang lain?!"

Aku terkesiap saat Sqeeth muncul di hadapanku, menutupi pandanganku dengan wajah tampannya yang transparan, sementara tangannya mencubit pipiku. 

"Akh!" aku mengerang sambil memegangi pipiku, Ratu Elia tambah panik dan memeriksa wajahku sambil memegangi setiap bagian dari bahu, tangan hingga pinggangku.

"Kenapa Iliana? Apa yang sakit?"

Aku menggeleng dan tersenyum berusaha menenangkan, tapi Sqeeth tetap melotot padaku sambil melipat tangan di dada.

"Apa kau mau mati membiarkan sihirmu lepas kendali begitu?! Inti sihirmu belum sepenuhnya terbuka, tapi kau masih tidak bisa mengendalikannya?!"

Aku meringis hingga otot di wajahku tertarik semua mendengar omelan Sqeeth. Bisa aku bayangkan seperti apa anehnya wajahku saat ini, sampai Ratu Elia ikut cemas.

"Maafkan aku sudah membuatmu khawatir Yang Mulia."

"Jangan bilang begitu, Iliana!" Ratu Elia memelukku erat sambil menepuk punggungku berkali-kali.

Aku menatap Sqeeth yang hanya bisa terlihat sosoknya olehku. Dia terlihat benar-benar marah hingga wajahnya yang tembus pandang memiliki warna merah hampir di seluruh pipi. 

"Kita perlu bicara lagi nanti! Sekarang aku harus mengurus Aslan karena kecerobohanmu!"

Sqeeth menghilang setelah memukul kepalaku dengan sangat keras.

Apa yang terjadi pada Aslan?

'Aslan?'

Aku memanggil Aslan berkali-kali dalam benakku, dan aku hampir tidak bisa merasakan kehadirannya. Apa yang sudah terjadi? Kenapa sihir Aslan terasa begitu lemah dalam diriku?

Otakku kosong seketika. Aku masih menganggap kemarahan Sqeeth tidak terlalu besar, hanya seperti sikap sengit yang biasa ditunjukkan padaku, tapi sekarang aku menyadari bahwa Sqeeth benar-benar marah, dan aku tidak bisa merasakan kehadiran Aslan. 

Ratu Elia meminta Penyembuh Istana, yang aku ketahui bernama Pendeta Kyan untuk merawatku. Pendeta dengan rambut hitam legam panjang hampir sepinggang itu terlihat sangat mengagumkan dengan mata juga berwarna hitam, kulitnya berwarna pucat dan mata monolid yang tidak umum di Lindbergh. Aku pernah bertemu beberapa kali di kuil Arthemys, dan aku tahu dia yang menggantikan ayahku jika tidak bisa siaga di istana. 

Pendeta Kyan menyatakan aku baik-baik saja setelah memeriksa detak jantung dan level sihirku. Awal memeriksaku dia sempat mengerutkan alis dan menatapku lama, seolah ada pertanyaan yang tidak bisa dia ucapkan. 

Setelahnya Ratu Elia meminta Bashemath mengantarkanku ke tempat kereta kuda menungguku, siap mengantarkanku pulang ke akademi.

"A-aku harap aku tidak membuat kekacauan," gumamku seraya memainkan kuku ibu jariku. Panik dan gugup bercampur dalam dadaku.

"Kekacauan? Kau melakukan lebih dari itu, Brainne. Kau pingsan tiba-tiba dan tidak bernapas selama hampir satu menit. Kau kira siapa yang tidak panik?"

Aku tidak bisa menjawab ketika Bashemath menatapku sengit. Seorang siswa akademi sepertiku membuat Yang Mulia Ratu Elia panik?

Hukuman apa yang akan aku terima karena membuat kekacauan?

Sepertinya aku tidak bisa datang ke istana lagi. Sama seperti aku yang tidak bisa datang ke kuil lagi, aku merasa jadi sumber kekacauan dimanapun berada.

Bahuku turun bersamaan dengan putus asa yang berhasil masuk ke hatiku.

"Bibi Bashemath?"

Kepalaku tersentak seiring sekujur tubuh yang kaku. Berjarak beberapa meter dariku berdiri Avallon yang berpakaian lengkap dengan pedangnya. Figurnya yang gagah bermandikan matahari sore, matanya yang berwarna emerald terlihat sangat kontras dengan pakaian serba putih yang dikenakannya.

Lagi dan lagi aku kehilangan kata-kata karena melihatnya. Jaraknya yang sangat dekat membuatku berpikir bisa menjangkaunya, sekalipun aku tahu dengan jelas bahwa anganku terlalu tinggi.

"Ed? Apa yang kau lakukan di sini? Aku kira kau sudah kembali sejak siang tadi." Bashemath bertanya seraya melirikku.

Bashemath memanggil Duke Avallon itu dengan nama 'Ed'? Bukankah itu terdengar sangat imut? . Aku membayangkan bisa memanggilnya dengan akrab seperti itu. Mungkin hal itu bisa terjadi, tapi beberapa abad setelah kami dilahirkan kembali.

"Aku baru saja menyelesaikan laporan Pulau Ennius dengan Pangeran Henry." Mata Avallon jatuh padaku, tapi dengan cepat aku menurunkan pandanganku seraya memberi salam yang terasa lebih kaku dari boneka kayu.

"Apakah Bibi mengantar Brainne setelah bertemu Yang Mulia Ratu Elia?"

Aku membenci hatiku yang lemah. Hanya karena Avallon menyebut namaku, sudah berhasil membuat jantungku berdetak cepat dengan hati berbunga-bunga kegirangan. Separah itukah aku menyukainya?

"Kebetulan aku juga mau kembali ke akademi, bagaimana kalau aku kembali ke akademi bersama Brainne?"

Aku menoleh ke arah Avallon terkaget-kaget.

Dia menawarkan diri mengantarkanku?

Apakah ini mimpi? Berada sangat dekat dengan Avallon, bahkan berada dalam satu kereta kuda, keajaiban macam apa yang sekarang Dewa berikan untukku?

"Kau yakin? Sekalipun kau menemaninya dengan maksud baik, terlebih Brainne baru saja pingsan saat menyembuhkan Yang Mulia Ratu, tapi sebaiknya Brainne pulang sendiri untuk mencegah rumor buruk lainnya. Tidak sepantasnya seorang anak perempuan bangsawan lajang berada dalam satu kereta kuda dengan laki-laki lain yang sudah memiliki tunangan."

Hatiku kembali mencelos. Bashemath benar sekali, kalau aku kembali ke akademi bersama Avallon, mungkin akan ada cerita heboh yang mengatakan aku dekat dengan Avallon. Padahal kami hanya bertemu secara tidak sengaja di istana.

"Tidak masalah, lagipula aku mengenakan seragam resmi pengawal istana, dan Brainne adalah tamu Yang Mulia Ratu Elia, sudah sepatutnya dikawal. Bukankah Yang Mulia Ratu ingin memastikan keselamatan Brainne?"

Bashemath memiringkan kepala, bertanya lewat sorot matanya seraya berpikir. Tapi karena tidak ada kata-kata lain yang keluar, dia mengangguk sebelum melihat ke arahku.

"Kalau begitu, hati-hati di perjalanan. Kau akan dijemput lagi akhir minggu berikutnya." Bashemath memberi salam dan meninggalkan kami.

Aku masih terbengong, tidak percaya kalau aku masih diperbolehkan datang lagi ke istana.

Tinggallah aku dan Avallon yang berdiri berhadap-hadapan, tapi saat aku melihat lantai yang kami jejak aku bisa dengan jelas menyadari betapa berbedanya tempat kami berdiri saat ini. Lantainya memiliki pola yang sama, tapi jurang tak terlihat itu sangat jelas bagiku.

"Apa yang terjadi?"

"Eh?" aku mendongak kaget, dan lebih kaget lagi saat bertemu tatap dengannya. Matanya dingin, tapi kata-katanya terkesan dia tengah mencemaskanku.

Ah, ilusi macam apa lagi yang sedang aku ciptakan? Tanganku bergerak cepat mencubit pahaku, membuang pikiran bodoh yang berkeliaran di benakku.

"Jika kau tidak mau bicara, lupakan saja!" Avallon berbalik dan berjalan menuju kereta kuda, membuka pintu menungguku sambil mengulurkan tangan.

Otakku yang masih shock karena kata-katanya yang menutup pintu obrolan. Tangannya terulur setelah membukakan pintu kereta kuda, membantuku naik kereta kuda.

Bukankah dia terlalu sopan sementara kami tidak pernah sedekat itu?! Seharusnya dia langsung naik kereta kuda. 

"Ehm!" Ksatria yang berdiri tidak jauh dariku berdehem keras, wajahnya menujukkan reaksi tidak nyaman. Mau tidak mau aku mendekati Avallon dan ragu-ragu mengarahkan tanganku di atas tangannya. Genggaman Avallon terasa begitu pas, dan anehnya aku merasakan sengatan dari tangan kami yang terhubung, seolah ada aliran sihir yang saling tarik menarik.

Mengangkat gaun dengan sangat kikuk, aku berhasil menghindari bertemu tatap dengan Avallon dan masuk ke kereta kuda. Avallon tidak lama kemudian menyusul dan duduk di seberangku. Seolah enggan melihatku, dia langsung membuang wajah ke arah jendela kereta kuda, melihat beberapa ksatria lain memberi hormat mengantar kepergiannya.

Lihat kan? Ilusi dalam benakku harusnya aku kubur dalam-dalam.

Mana mungkin dia berubah sikap hanya dalam sekejap? Mungkin yang aku lihat di taman tadi bukanlah Duke Avallon.

Aku ingin pura-pura tidur, tapi siapa yang bisa langsung tidur di kereta kuda yang baru jalan?

Pandanganku terpusat pada pangkuan yang tertutup kedua tangan, duduk dengan sikap sempurna bagai sedang ujian akhir pelajaran etika.

Entah berapa lama kami terdiam dan kesunyian di sekeliling kami terasa begitu berat. Aku bahkan tidak bisa mengajak Sqeeth atau Aslan mengobrol, aku berkali-kali memanggil mereka tapi keduanya tidak memberikan reaksi sama sekali.

"Bagaimana pertemuanmu dengan Ratu Elia?"

Aku beranikan diri mendongak dan melihat wajah tampan Avallon. Wajahnya dari dekat jauh lebih mengerikan bagi hatiku yang lemah. Ketampanannya tidak manusiawi, dan efek halo yang menyebalkan ini tidak bisa hilang sekalipun aku sudah melihat ketampanannya untuk kesekian kali. 

Sadar, Ash! Sadar! Kau harus berhenti!

"A-aku membuat sedikit kekacauan, pingsan dan sempat tidak bernapas selama satu menit. Tapi sekarang aku baik-baik saja."

Jawabanku singkat, bagiku hanya itu hal yang perlu diketahui Avallon.

"Kau bersedia menyembuhkan Ratu Elia?" pertanyaan Avallon terdengar skeptis, dan aku mengangguk ragu-ragu. Nada suara Avallon terdengar aneh. Bagiku tidak akan berakibat buruk menyembuhkan seorang yang baik hati dan ramah seperti Ratu Elia.

"Tentu saja. Kalian, darah Brainne, adalah budak Raja Hardian. Jawaban apa yang aku harapkan darimu," ucap Avallon seraya menyandarkan sikunya di bangku kereta dan menutup mata, memalingkan wajah dariku. Kata-kata Avallon sangat tajam, dan nada menghina dalam suaranya sangat jelas ditujukan padaku. 

"A-aku bukan budak Raja Hardian!" hardikku marah. Aku tidak suka dengan kata-katanya yang menghinaku. Sekalipun aku tidak pernah merasa bangga dengan darah Brainne yang mengalir padaku, tapi mendengarnya menyebutku sebagai budak Raja Hardian benar-benar melukaiku.

Aku berusaha menyembuhkan Ratu Elia dengan tulus.

Avallon membuka mata dan aku biarkan dia melihat reaksi sengitku. Awalnya dia tampak kaget, tapi kemudian menghela napas panjang sebelum kembali membuang wajah sambil berkata, "Tak penting apa yang kau pikirkan, tapi kau tidak bisa mengubah status seseorang yang sudah melekat selama bertahun-tahun hanya dengan satu kalimat sanggahan!"

Kata-kata yang sudah aku siapkan dalam benakku buyar seketika saat mendapati lirikan ekor matanya yang menusuk. Jijik, dan penuh kebencian.

Ada masalah apa dia denganku?

Sikapnya selalu membuatku bingung, kadang baik, kadang sinis.

Apakah kata-katanya yang lembut dan penuh kecemasan yang aku dengar di taman tadi hanya ilusi? Apakah aku bermimpi sehingga merasakan kehadiran Avallon yang sebenarnya tidak ada?

Sejak aku tidak sengaja mendengarnya bicara dengan Pendeta Noah di Kuil Arthemys, aku berspekulasi, memikirkan banyak kemungkinan atas sikapnya yang tidak pernah konsisten. Hingga bibinya, Bashemath, menyebutku anak pembunuh.

"Dendam apa yang kau simpan pada keluargaku, Duke Avallon?" tanyaku tanpa sedikitpun menurunkan pandangan. Jika aku harus menghadapi kebenciannya, itu jauh lebih baik agar aku tahu bagaimana aku harus bersikap.

"Kau mencemooh keluarga Brainne yang tunduk pada Raja Hardian? Apakah ini alasan kenapa kau begitu membenciku?"

Kata-kataku keluar begitu saja setelah kalimatnya menghujam hatiku. Dalam ingatanku tidak ada satupun kejadian yang bisa membuatnya berkata sekasar itu padaku. Jika itu dendam pribadinya pada keluargaku, aku tidak pernah mengetahui penyebabnya sama sekali.

Avallon membuka mulutnya sesaat, matanya tampak bergetar saat aku tidak sedikitpun mengalihkan pandanganku darinya, menatangnya, tapi kemudian dia kembali menutup mulutnya rapat-rapat. Aku memilih memalingkan wajah dan melihat keluar jendela kereta kuda.

Kenapa Avallon seperti labirin, penuh misteri yang tidak bisa aku definisikan sikap dan hatinya?

Sikapnya yang berubah-ubah membuatku bingung.

.

.