Mataku terpaku melihat papan di tengah kelas, aku tidak bisa fokus.
Dua hari lalu aku mengirim surat pada Annabelle lewat merpati akademi, mengabarkan padanya bahwa aku sudah kembali ke asrama dan punya buah tangan untuknya yang akan aku berikan nanti saat aku kembali ke rumah untuk mengunjungi makam ibu. Aku juga menceritakan bahwa Ratu Elia memintaku datang ke istana.
Sekarang aku menyesalinya. Tidak seharusnya aku menceritakan semuanya dengan jujur pada Annabelle, karena yang terjadi berikutnya adalah dia membalas suratku dan mengatakan akan datang berkunjung ke asrama siang ini.
Memasuki menit terakhir materi di kelas, ada pemberitahuan dari penjaga gerbang bahwa Annabelle sedang menunggu di asrama sekarang.
Kakiku melangkah lunglai keluar dari kelas terakhir.
"Ash!"
Clift berlari ke arahku dari ujung koridor, di belakangnya ada Callisto yang mengekor seolah mereka berdiri berdampingan adalah hal yang normal. Ini pertama kalinya aku mendapati mereka bersama, dan kombinasi keduanya terlihat seperti kutu buku bersama pengawalnya.
"Hei Iliana, kenapa rambutmu?" Callisto bertanya sambil memegang kepalanya. "Kau mau rubah suasana? Rambutmu hanya sedikit lebih panjang dariku," lanjutnya sambil tertawa kecil.
"Aku juga mau menanyakan hal yang sama. Kenapa kau melukai Roselyn?" Clift bertanya dengan kedua tangan tersimpan rapi di saku celananya.
"Apa maksudmu?" Callisto tampak bingung.
Aku menatap Clift lurus. Bukan hanya kata-katanya yang tidak enak didengar, bahkan bahasa tubuhnya benar-benar membuatku muak. Bersahabat dengannya selama bertahun-tahun membuatku berpikir lagi, apakah kami benar-benar bersahabat? Ketika aku berpikir dia adalah orang paling dekat denganku, beranggapan bahwa dia sangat mengertiku, sekarang aku merasa tidak mengenalnya sama sekali.
"Kenapa kau membuat keributan di kuil? Kau melukai Roselyn karena dia tidak sengaja memotong rambutmu? Bukankah itu sedikit berlebihan?" Clift kembali menyerangku.
"Serius? Rambutmu?! Gara-gara Roselyn?" Callisto melihatku dan Clift bergantian, menunggu siapa yang bisa menjawab pertanyaannya.
"Aku tidak melakukannya, dia yang melukai diri sendiri. Dia menjatuhkan tubuhnya sendiri sebelum aku menyerangnya," jawabku sungguh-sungguh.
"Kenapa dia melakukannya?" Callisto bergumam sambil menggaruk dagunya.
"Iya! Sangat tidak masuk akal Roselyn melukai dirinya sendiri!" Clift bicara dengan nada lebih tinggi.
"Bukan begitu, maksudku bagaimana bisa Roselyn memotong rambutmu dan menjatuhkan dirinya sendiri?! Apa dia sudah gila?!" Callisto mengoreksi pernyataan Clift.
Wajah Clift berubah masam mendengar komentar Callisto. "Roselyn melakukannya tidak sengaja saat mereka duel!" Clift menjawab cepat, tidak suka dengan pertanyaan Callisto, dan aku bisa membaca kemana arah pembicaraan ini.
"Banyak yang menjadi saksi duel kalian, dan kau sengaja menyerang Roselyn!" Clift lagi-lagi menyerangku dengan argumennya.
"Saksi?" aku mencemooh kata-kata Clift, dan seketika wajah ayah terlintas dalam benakku, wajahnya yang dingin dan memilih meninggalkanku di tengah hujaman tuduhan.
"Berhentilah bertanya jika akhirnya kau tidak benar-benar mencari kebenaran." Tandasku seraya berbalik.
Tiba-tiba saja aku merasa sangat lelah. Setelah perdebatan kecil beberapa hari lalu dengan Clift, seharusnya aku sudah tahu bahwa persahabatan kami tidaklah seindah ingatanku. Clift tidak akan berada di sisiku sekalipun aku memberikan penjelasan padanya. Hatinya sudah gelap dan tertutup.
"Ash! Kau mau kemana? Kau bahkan belum menjawabku!" Clift mencengkram tanganku.
"Hei!" Callisto mencengkram tangan Clift, matanya memicing meminta Clift melepaskan tanganku. Clift bersungut-sungut menatap Callisto, tapi Pangeran Adalgard itu masih santai mencengkram tangan Clift hingga aliran darahnya tercekat.
Napas berat berhembus tanpa aku sadari, aku sudah muak melihat tingkah siapapun yang bisa dengan mudah diperalat Roselyn.
"Kau tidak ingin mendengar penjelasanku, kau hanya ingin menunjukkan bahwa aku bersalah, karena apapun yang aku katakan, pada akhirnya itu hanya menjadi pembelaan sepihakku. Bukan begitu?" desisku dengan mata mulai panas. Aku ingin menangis, tapi tidak bisa, air mataku terlalu berharga untuk menangisi hal sepele seperti ini.
Rasa sedihku bukan karena ketidakadilan yang aku terima, tapi karena satu-satunya teman yang aku harapkan berada di sisiku saja tidak membelaku.
"Apakah Roselyn terbaring tak sadarkan diri sekarang? Tentu saja tidak! Pendeta Noah bahkan menyembuhkannya tidak sampai lima menit setelah terluka, dia kembali sehat. Lalu bagaimana dengan rambutku? Berapa tahun yang aku butuhkan untuk menumbuhkan rambutku kembali? Sihir apa yang bisa aku pakai untuk mengembalikannya? Aku tidak peduli rambutku pendek atau panjang, tapi ada satu orang yang tidak boleh aku buat menangis karena rambutku jadi seperti ini. Kau bahkan tidak berpikir bagaimana perasaanku!"
Clift terdiam, matanya membesar mendapati emosiku yang meledak-ledak.
"Berapa tahun kau mengenalku? Pernah 'kah sekali saja, sekali saja kau melihatku membalas orang-orang yang merundungku? Pernahkah kau melihatku menyerang orang tanpa sebab? Aku rasa kau tidak benar-benar mengenaliku, Clift. Aku tidak kecewa padamu, aku hanya menyesali waktu bertahun-tahun yang kita habiskan bersama dan hanya membuatku menyadari bahwa kau dan aku tidak benar-benar bersahabat."
Aku merogoh saku kantong bajuku, mengambil batu sihir elf yang belum sempat aku kembalikan padanya. Tangannya yang bebas aku tarik dan menyerahkan batu sihir dengan paksa.
"Aku tidak menggunakannya untuk melindungi Roselyn, karena aku sendiri harus berjuang menyelamatkan diri dari serangannya. Kejar cintamu, Clifton Halbert Romello. Kejar lah karena kau pantas berdiri di kubangan yang sama dengannya. Semoga beruntung!"
Untuk terakhir kalinya aku melihat wajah Clift, matanya yang membulat sempurna melihat ke arahku penuh, tidak percaya dan kaget. Otaknya yang selalu cerdas, tampak kesulitan mencerna kata-kataku.
"Iliana?" Callisto berusaha meraih tanganku, tapi aku menghilang menggunakan sihir teleportasi, menghilang dari pandangan mereka secepat otakku bekerja, dan satu-satunya tempat yang aku pikirkan adalah kamarku.
"Nona Ash, kau sudah kem-ba-li?"
Aku mengerjap berkali-kali begitu melihat meja belajarku ada di depan mata. Mendarat tanpa kurang sesuatu apapun tanpa menabrak objek lain, ini pertama kalinya aku menggunakan sihir teleportasi dengan jarak tempat jauh seperti ini.
Tapi kesalahan terbesarku baru saja aku sadari.
Kenapa aku kembali ke kamar? Aku lupa kalau Annabelle menungguku di kamar.
Akibat terlalu terbawa emosi, aku menggunakan sihir teleportasi ke kamar. Bagiku tidak ada tempat yang lebih aman dan nyaman dari pada kamar ini. Aku bisa bersembunyi dari segala macam serangan dunia luar di kamar ini, tapi mendapati Annabelle yang mematung di tempat dengan mata membulat sempurna ke arah rambutku, aku hanya bisa merapatkan mulutku.
Annabelle menggunakan gaun berwarna hijau muda yang sangat indah, rambutnya bahkan disanggul dengan sangat apik disertai hiasan pernik jepit berwarna silver berbentuk bunga. Rambutnya yang berwarna pirang pucat terlihat sangat serasi dengan gaunnya, seolah dia berusaha sangat keras merias diri untuk bertemu denganku hari ini.
"Apa yang terjadi pada rambut Nona?" Annabelle berlari ke arahku, tapi aku mencoba mengalihkan perhatiannya dengan memeluknya erat.
"Aku kangen sekali, Annabelle!" bisikku lirih. Hatiku yang tidak juga membaik beberapa hari ini, membuatku sadar bahwa aku sangat membutuhkan seseorang untuk bersandar. Detik demi detik berlalu, dan aku membiarkan kehangatan ini menyelimutiku.
"Nona Ash! Hiks hiks, kenapa kau memotong rambutmu? Padahal rambut Nona adalah kesukaan Nyonya Raisa. Saat aku mulai menjadi pelayan di keluarga Brainne, Nyonya selalu bercerita bagaimana Nyonya menunggu demi bisa menyisir rambut panjang Nona Ash. Sekusut apapun rambut Nona Ash, Nyonya Raisa selalu sabar menatanya. Aku selalu berusaha merawat rambut Nona seperti pesan Nyonya Raisa, berharap Nyonya akan tersenyum melihat dari atas sana. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Rambut Nona Ash? Oh Dewa..." Annabelle terus menangis dan menepuk punggungku berkali-kali demi melampiaskan frustasinya.
"Maafkan aku, Annabelle. Aku tidak memotongnya, tapi lawanku memotongnya saat kami duel. Aku tahu kau akan menangis, maafkan aku yang tidak bisa mencegahnya."
Annabelle melepaskan pelukannya dan menatapku lekat-lekat.
"Nona Ash tidak memotongnya?" aku menjawabnya lewat satu anggukan cepat.
"Nona Ash jangan minta maaf! Ini bukan salah Nona Ash, aku akan membalas orang yang sudah berani memotong rambut Nona Ash! Siapa dia? Beritahu aku! Aku juga bisa sihir. Dia harus tahu berhadapan dengan siapa!" Annabelle meracau dan menarik tanganku ke arah pintu, tapi aku memeluk pinggangnya dari belakang.
Kehangatan yang diberikan Annabelle bak penawar luka yang menyerangku berkali-kali. Di antara begitu banyak orang yang berputar dalam hidupku, hanya Annabelle yang bahkan percaya padaku. Hanya dirinya yang tidak berpikiran negatif terhadap apa yang aku lakukan. Aku terharu melihatnya langsung pasang badan hendak menyerang orang yang sudah berlaku tidak adil padaku.
Saat aku masih kecil, sering kali aku pulang dalam keadaan menangis setelah dirundung teman-teman sebayaku. Ayah tidak pernah sekalipun membelaku, sekalipun aku menangis keras di depannya, Annabelle yang akan selalu hadir untukku, menghiburku dan berusaha mengembalikan senyumku.
"Terima kasih, Annabelle. Suasana hatiku benar-benar buruk, aku takut akan menemui Yang Mulia Ratu Elia dengan suasana hati seperti ini, tapi berkat Annabelle sekarang aku merasa jauh lebih baik," bisikku penuh rasa syukur.
"Nona Ash!" Annabelle menepuk tanganku keras dan langsung berbalik mencengkram bahuku, matanya membulat dengan manik mengecil yang membuatku ketakutan.
"Aku lupa! Aku ke sini harus meriasmu, kau akan bertemu Yang Mulia Ratu Elia malam ini. Sudah tidak ada waktu lagi, kereta kuda dari istana akan menjemputmu beberapa jam lagi. Ayo mandi!"
Annabelle mendorongku masuk ke kamar mandi, dan bagai kembali menjadi anak kecil aku diurus Annabelle dari ujung kaki hingga ujung kepala. Annabelle bahkan sampai memotong rambutku yang tidak rata, tangan lihainya memotong rambutku menjadi pendek dan praktis, menipiskannya hingga rambutku tidak menggulung tebal. Mendapati pantulan wajahku di cermin, aku terlihat seperti ksatria wanita yang baru saja lulus ujian. Tubuhku yang berisi dan berotot di beberapa tempat, didampingi dengan rambut sangat pendek. Jika aku memakai pakaian pria, aku yakin tidak akan ada yang bisa mengenaliku sebagai perempuan.
"Aku akan memakai celana panjang, Annabelle. Dengan rambut seperti ini aku tidak akan cocok mengenakan gaun," kataku saat Annabelle terlihat bingung memilih gaun yang dijajarkannya di rak dekat tempat tidur. Begitu banyak gaun yang dia siapkan, tapi tidak ada satupun yang cocok aku kenakan sekarang.
"Gaun ini akan terlihat cocok kalau Nona memadukannya dengan jubah dari kuil Arthemys."
Kepalaku menggeleng cepat. Aku sudah bukan lagi bagian dari kuil Arthemys setelah mereka mengirimkan surat larangan masuk kuil karena sudah menggunakan sihir untuk menyerang orang tidak bersalah. Mereka bahkan menghapus ritual satu bulan sekaliku, memasukkanku dalam daftar hitam kuil. Satu kesalahan yang menurut mereka sangat fatal, hingga mereka merasa sangat tepat memberikanku hukuman berlapis, tapi mirisnya mereka tidak bisa melihat kesalahan fatal yang mereka perbuat dengan menghukumku dan membiarkan Roselyn meracuni mereka.
"Celana panjang kulit warna cokelat, dan atasan putih, dipadukan dengan sepatu boot dan rompi cokelat. Itu saja sudah cukup, Annabelle."
Annabelle tampak kecewa, tapi dia mengetahui dengan jelas bahwa apa yang aku katakan bukan sekedar omong kosong. Untuk saat ini hanya kombinasi itu yang bisa aku kenakan. Selain itu semua gaun yang dibawa Annabelle model punggung terbuka, mungkin Annabelle berharap bisa memadukannya dengan rambutku yang tergerai, tapi sayangnya dengan rambut pendek seperti ini semua akan terlihat seperti aku sedang berusaha memamerkan lekuk tubuhku yang berisi.
"Baiklah, kalau begitu izinkan aku meriasmu."
Sekalipun usia Annabelle hampir dua kali usiaku, tapi dia sangat cekatan dan selalu tahu apa yang harus dilakukannya. Dia memastikan riasanku tidak terlalu tebal, dan senatural mungkin. Dia bahkan tidak lupa meletakkan jepit rambut berbentuk bunga di sisi kanan kepalaku.
"Sempurna!" pujinya sangat puas dengan penampilanku.
"Terimakasih, Annabelle."
Senyum di wajah Annabelle menghilang seiring matanya yang berpindah ke lekuk leherku, dan aku reflek menutupi tanda yang aku terima setelah melakukan perjanjian dengan Ashlan.
"Aku ingin bertanya, tapi aku tidak ingin lancang dan mem-"
Aku menggeleng, memotong kata-kata Annabelle.
"Tanda ini aku dapatkan saat aku tersesat di Hutan Terlarang Pulau Ennius, aku tidak bisa bercerita lebih dari ini, Ann. Tapi aku baik-baik saja, kau tidak perlu cemas."
"Tapi siapa pelaku yang memotong rambut Nona Ash?" Annabelle tampak belum menyerah.
"Aku tidak ingin memperpanjang masalah ini. Meladeni orang seperti itu hanya akan membuatmu lelah. Aku yakin ibu tidak akan marah, dan senang melihat hasil riasanmu hari ini."
Annabelle mengangguk lega, wajahnya kembali melembut dengan sorot mata penuh sayang.
Semua selesai tepat waktu, dan saat kereta kuda dari istana tiba di gerbang utama akademi, Annabelle menemaniku hingga naik ke kereta kuda.
"Nona Brainne tidak membawa pengawal?" tanya ksatria dengan seragam kerajaan Lindbergh.
"Aku tidak punya pengawal, tidak juga pelayan."
Ksatria itu tampak kaget, tapi dengan cepat menguasai diri, menutup pintu kereta kuda dan mengarahkan horseman untuk jalan.
Kereta kuda harus melaju hampir setengah jam lamanya agar bisa mencapai istana. Langit menunjukkan barisan bintang yang menyerupai pola saat dihubungkan satu dengan yang lain, dan bulan bertandang di puncak langit dengan sombongnya. Angin berhembus tenang, dan aku melihat gesekan antar daun yang menjadi perisai sepanjang jalan.
Pandanganku tertaut pada beberapa peri hutan yang terbang bersama kunang-kunang, saling tertawa dan kejar-kejaran. Kehidupan mereka tampak sangat bebas, tanpa beban dan menyenangkan.
Ya, semua karena manusia yang berhati kotor. Jika semua manusia di muka bumi tidak memiliki sifat jahat, maka semua akan hidup berdampingan dengan damai.
"Lalu bagaimana denganku?" bisikku seraya melihat pergelangan tangan yang sampai beberapa jam lalu dipegang Clift. Aku mengingat dengan jelas raut wajahnya saat aku mengucapkan setiap kata yang membuatnya tidak bisa menyanggahnya. Aku pikir dengan ini persahabatan kami benar-benar akan berakhir.
'Apakah kau menyesalinya, Latasha?'
Aku menggeleng. "Sangat tidak mungkin jika aku katakan sama sekali tidak menyesalinya, tapi aku merasa lega. Dengan begini aku bisa mengerti posisiku dalam hatinya. Bukankah lebih baik mengakhiri secepatnya sebelum aku semakin bergantung padanya dalam kesalahpahaman?"
Aslan tiba-tiba muncul di hadapanku, matanya yang transparan terlihat sedih.
"Jika kau ingin menangis, menangislah, Ash! Jangan menahannya. Kau terlihat sangat menyedihkan."
Aku tersenyum tipis.
"Bukankah kalau aku menangis hanya akan membuatmu bisa merasakan air mataku?"
Aslan menggeleng keras. "Bukan! Aku tidak tertarik lagi dengan air matamu! Kau tidak tahu betapa tidak stabilnya sihirmu sekarang?!"
Aku tidak mengindahkan Aslan, dan menutup mata. Bersandar sepenuhnya pada dudukan kereta kuda dan mengabaikannya, berusaha tidur. Mungkin saat aku bangun nanti rambutku sudah berantakan lagi, tapi aku tidak peduli, karena sejak awal kesan orang-orang tentangku memang tidak pernah enak dipandang.
Betapa bersyukurnya aku menerima teh dari Midas, setiap kali merasa resah dan bingung, teh itu selalu berhasil membuatku tenang dan bermeditasi dengan baik. Aku berharap membawa air seduhan teh untuk saat-saat seperti ini.
Kereta kuda memasuki gerbang megah istana. Begitu besar, luas, megah, dan menyilaukan mata. Bangunan istana yang selama ini hanya bisa aku lihat dari ilustrasi buku sejarah yang aku baca di perpustakaan, sekarang terpampang jelas di mataku. Setiap bagiannya dihiasi puncak lancip dengan kubah berwarna emas, bendera Lindbergh berkibar di setiap sudut dengan nyala obor dan lampu yang menambah kesan magis. Setiap sudut bangunan dikawal para prajurit dan ksatria yang membawa pedang di pinggang mereka.
Saat aku turun dari kereta kuda, seorang wanita paruh baya dengan gaun indah dan riasan sederhana menyambutku. Dia memberi salam dengan gerakan anggun, dan aku menjawab dengan gerakan kaku mengingat aku tidak mengenakan gaun. Awalnya wanita itu tampak tidak suka melihat tampilanku. Entah karena pakaianku, rambutku atau warna kulitku, atau mungkin warna mataku yang berbeda di tiap sisi. Tapi dengan satu dehem ringan dia kembali memasang wajah netral.
"Yang Mulia Ratu Elia sudah menunggu di dalam. Aku, Bashemath Avallon, akan mengantarkan Nona Brainne bertemu Yang Mulia Ratu."
Mendengarnya memperkenalkan diri, aku langsung terdiam. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan Bashemath Avallon, bibi dari Rayburn Avallon. Mereka tidak terlihat mirip, tapi aku merasakan aura yang sama dari keduanya. Rambut hitam khas Avallonnya terlihat sangat indah sekalipun ditata dengan cara yang sangat sederhana. Setiap gerakannya terlihat tertata dan penuh martabat khas seorang bangsawan.
"Yang Mulia bertanya apakah kau punya camilan kesukaan?"
"Eh?" aku sampai berhenti melangkah dan melihat Bashemath Avallon berbalik ke arahku.
"Ada yang salah?"
Aku menggeleng cepat, agak panik. "A-aku hanya terlalu senang karena Yang Mulia Ratu berbaik hati bertanya. Aku su-suka makaron," jawabku cepat, agak terbata-bata karena mata milik wanita cantik di hadapanku itu terlihat sangat tajam. Kurasa sorot mata tajam menghujam adalah ciri khas darah Avallon, aku tidak menyangka kalau reaksiku akan mengundang ketidaksukaannya.
"Baiklah."
Di sepanjang perjalanan menuju ruangan tempat Yang Mulia Ratu Elia menunggu, aku selalu dibuat takjub dengan hiasan dinding yang dipajang. Semua berkilau dengan warna emas, sangat sepadan dengan lukisan para keluarga kerajaan yang dipasang di sepanjang dinding. Raja dan Ratu terdahulu, para keluarganya dan berdampingan dengan peta kekuasaan Lindbergh yang berhasil mereka tambahkan di setiap masa kekuasaan mereka. Lindbergh berhasil menjadi kerajaan dengan wilayah terluas setelah berhasil mengembangkan banyak aspek di pertanian, sihir, penyembuhan, hingga arsitektur.
Bashemath Avallon memberi tahu kedatanganku pada dua orang ksatria penjaga pintu dengan ukiran emas berbentuk symbol kerajaan Lindbergh, dan mereka membukakan pintu setelah mengumumkan kedatanganku.
Masuk ke ruangan yang ukurannya berkali-kali lipat kamarku di asrama, pandanganku pertama kali jatuh pada dua orang dalam ruangan. Yang satu terbaring dan yang satu lagi berdiri di sebelahnya memegang gelas berwarna emas dengan percikan aura berwarna hijau yang aku bisa kenali sebagai ramuan dari daun mandrake. Hanya daun mandrake yang bisa meninggalkan jejak aura hijau sekalipun sudah berkali-kali diproses.
Hanya beberapa penyakit yang mengharuskan seseorang mengonsumsi obat dari daun mandrake, dan beberapa penyakit itu termasuk kelas penyakit berat yang sulit disembuhkan, termasuk kutukan. Sejauh pengetahuanku, daun mandrake hanya bisa meringankan gejala akibat kutukan, tapi tidak benar-benar menghilangkannya.
"Salam untuk Yang Mulia Ratu Elia, semoga cahaya suci Lindbergh selalu menyertaimu." Aku memberi salam sambil membungkuk sempurna, tidak berani menatap wajah pucat pasi Ratu Elia untuk kedua kalinya. Wajahnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, mencerminkan aura kehidupan dalam dirinya sangat lemah.
"Selamat datang Iliana Latasha Brainne. Bolehkah aku panggil, Iliana?"
"Ya-yang Mulia Ratu bisa memanggilku apapun se-sesuka hati," jawabku sambil berusaha menenangkan detak jantungku yang memacu cepat sejak melihat wajah Yang Mulia Ratu.
Sekalipun pucat, Ratu Elia terlihat sangat cantik, rambutnya hampir berwarna putih seluruhnya. Entah itu warna asli, atau akibat penyakit yang dideritanya, tapi dia terlihat hampir tembus pandang dengan warna rambut dan kulit yang hampir senada. Kecantikannya membuatku tak bisa berkata-kaa, seperti dewi yang turun dari langit.
"Bashemath, tolong siapkan teh untuk kami."
Bashemath langsung menunduk penuh hormat, dan meninggalkan ruangan, sementara aku diarahkan untuk duduk di kursi tepat sebelah tempat tidur Ratu Elia. Pria yang tadi masih membantu Ratu Elia minum obat, ikut undur diri bersama Bashemath. Tinggallah aku dan Ratu Elia dalam ruangan.
"Apakah undanganku merepotkanmu?" Ratu Elia bicara seraya meraih tanganku.
"Ti-tidak Yang Mulia! Aku justru merasa tersanjung mendapat undangan dari Yang Mulia!"
Yang Mulia Ratu Elia tersenyum lebar hingga matanya hanya tinggal segaris.
"Setelah bertemu langsung denganmu, aku tidak melihat kau mirip dengan Pendeta Brainne."
Aku terbengong, kaget dengan pernyataannya yang tiba-tiba menyebutkan ayah. Aku tidak lagi mendengar kabar apapun sejak terakhir kali kami bicara di kuil, aku hanya melihat tanda tangan ayah di selembar surat yang bertuliskan hukuman kuil Arthemys yang dikirim padaku kemarin.
"Oh, bukan maksudku menyinggungmu! Tapi karakter kalian sangat berbeda. Pendeta Brainne selalu terlihat kaku dan sulit didekati, tapi kau sangat ramah dan manis," lanjut Ratu Elia lagi seraya mengusap punggung tanganku.
Sosok Ratu Elia terlihat sangat hangat, dan aku hampir melupakan posisiku mendapati sikap ramahnya. Awalnya aku mengira seorang Ratu akan terlihat tegas dan menjaga jarak dengan penduduk Lindbergh sepertiku. Senyum lembut di wajah Ratu Elia mengingatkanku pada sosok ibu yang sudah lama sekali tidak berada di sisiku.
"Aku pernah beberapa kali bertemu ibumu. Dia sosok wanita yang tegar dan sangat baik hati. Aku berharap kami bisa dekat, tapi ternyata ibumu meninggal bahkan sebelum aku mengenalnya lebih jauh." Ratu Elia seraya menyentuh wajahku.
"Kau tumbuh menjadi anak yang baik, pasti ibumu bangga memiliki anak sepertimu. Sosok ibumu yang selalu bersedia membantu siapapun tanpa pamrih, berkali-kali aku merasa kagum dengan kebaikannya. Aku yakin kaupun akan tumbuh menjadi pribadi yang mengesankan seperti ibumu."
Pandanganku turun ke pangkuan, dan aku merasakan dada yang mendadak sesak. Tidak pernah sekalipun aku merindukan ibu sebegini dalamnya. Aku memang selalu merindukannya tapi tidak ada seorang yang pernah berkata seperti ini padaku tentang ibu. Selama bertahun-tahun aku menyimpan sosok ibu dalam hatiku, setiap kali aku merindukannya, aku akan memendamnya sendiri, menelan kerinduanku dan membiarkannya larut dalam waktu yang berlalu. Karena tidak ada seorangpun yang bisa aku ajak bicara tentang kerinduanku pada sosok ibu.
"Apakah kau merindukan ibumu?" tanya Ratu Elia lagi, sorot mata lembutnya menusuk langsung ke hatiku, membuatku tanpa sadar mengangguk dalam.
"Oh jiwa yang malang," desis Ratu Elia seraya meraih bahuku dan memelukku erat.
"Bagaimana mungkin aku meminta jiwa murni yang bersedih sepertimu untuk menyembuhkanku. Aku tidak menyangka Yang Mulia Raja Hardian membuatku melakukan hal seperti ini. Maafkan aku, Iliana."
Ratu Elia menepuk punggungku berkali-kali, seolah berusaha menenangkanku.
Menerima perlakuan hangat seperti ini dari seseorang yang bahkan asing bagiku, membuat pertahananku runtuh seketika. Selama ini aku hanya memiliki Annabelle yang sudah seperti sosok pengganti ibu, tapi hidup mandiri di asrama telah membuatku jauh merindukan sosok ibu, lebih dari bayanganku sendiri.
"Anak baik." Gumam Ratu Elia seraya mengusap belakang kepalaku. Desakan tangis memenuhi pangkal tenggorokanku, tapi aku menelan ludah banyak-banyak dan berhasil menahannya. Aku terdiam sambil terpejam, menikmati sentuhan hangat yang tidak aku sangka bisa aku terima dari orang asing, terutama seorang Ratu yang memiliki kedudukan tinggi di Linbergh.
"Oh Dewa!"
Aku menegakkan tubuh dan membungkukkan badan dalam, tidak percaya aku memeluk keluarga kerajaan. Menyentuh langsung keluarga kerajaan adalah dosa besar yang tidak boleh dilakukan penduduk Lindbergh.
"Ma-maafkan aku Yang Mulia, aku tidak seharusnya memeluk Yang Mulia seperti ini. Maafkan aku!"
Ratu Elia kembali meraih tanganku, dan saat aku beranikan diri meliriknya, dia tengah tersenyum lembut ke arahku. Tidak terlihat wajah menyeramkan seperti yang aku bayangkan. Jika aku membandingkannya dengan Putra Mahkota Henry, aku merasa mereka sangat berbeda. Pangeran Henry akan selalu melihat ke arahku dengan sorot merendahkan dan sinis, tapi Yang Mulia Ratu Elia terlihat seperti dewi yang selalu menebar kasih.
"Jangan minta maaf. Aku yang berinisiatif memelukmu, bukan salahmu, Iliana. Bagaimana kabarmu saat ini?"
Aku hanya menunduk, tidak berani menatapnya langsung.
"Aku dengar ada insiden di kuil Arthemys. Apa yang dilakukan Roselyn padamu?" Ratu Elia kembali membuatku membeku, seolah dirinya mengetahui sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Kenapa aku melihat ada seberkas cahaya harapan dalam diri Ratu Elia, bahwa Yang Mulia mengetahui sifat asli Roselyn.
"Iliana?" Ratu Elia menyentuh pipiku, mau tidak mau aku mendongak dan melihat sepasang matanya yang berwarna terang hampir menyerupai emas.
"Aku memanggilmu ke istana karena Raja Hardian memintaku bicara denganmu untuk menyembuhkanku. Raja Hardian berkata ada kemungkinan sihir Penyembuhmu meningkat setelah ekspedisi Pualu Ennius. Tapi saat mendengar kejadian di kuil Arthemys dari Bashemath, aku yakin Roselyn telah melakukan sesuatu padamu. Sejak lama aku tidak menyukai putri Marquis Killian, karena itu aku menentang pertunangannya dengan Pangeran Henry. Apakah terjadi sesuatu di antara kalian?" Ratu Elia kembali bertanya dengan suara menenangkannya.
Keraguan memenuhiku. Ada seseorang yang hadir mengulurkan tangan dan bersedia mendengarkanku setelah aku berpikir akan menghadapi semuanya sendirian. Bagai cahaya matahari yang masuk ke gua tanpa ujung dalam hidupku, Ratu Elia yang baik hati tiba-tiba datang memberikanku harapan.
'Apakah kau akan menangis sekarang, Ash?'
Aslan bertanya dengan suara purau dalam benakku.
Aku menggeleng keras, tapi air mataku tak bisa ditahan lagi, dan akhirnya aku membiarkan mata perihku basah, dadaku sesak dipenuhi sekian banyak ketidakadilan yang tidak pernah aku sangka akan membebaniku.
"A-aku tidak tahu bagaimana menjelaskan pada mereka. Mereka terus menuduhku, padahal aku tidak melakukan apapun. R-roselyn membuat dirinya sendiri terluka, dan orang-orang menyalahkanku, padahal Roselyn yang lebih dulu menyerangku dan memotong rambutku, pa-padahal kami sedang duel pedang kayu. Aku tidak ingin me-menyimpan dendam, tapi Roselyn berkali-kali menyebarkan kebohongan dan membuat orang lain membenciku. Bahkan aku kehilangan satu-satunya sahabatku. A-aku tidak tahu harus melakukan apa, a-aku ...."
Air mataku menetes jatuh membasahi pangkuanku. Ratu Elia tidak mengatakan apapun, dia hanya menepuk-nepuk bahuku, berusaha menenangkanku. Tangisku tidak mengeluarkan suara, tapi tubuhku gemetar hebat. Bahkan saat Bashemath Avallon masuk membawa kudapan, aku terus menangis dan mengabaikan sorot matanya yang dipenuhi tanya.
"Ash?"
Aku coba mengabaikan Aslan yang tiba-tiba muncul di hadapanku. Sepasang mata emasnya melihatku penuh iba, dan aku hanya bisa merapatkan mulut mencegah isak tangisku keluar lebih banyak lagi.
"Raisa akan sedih melihatmu seperti ini," bisik Aslan seraya mengecup pipiku. Sosoknya yang tembus pandang terlihat hanya seperti fatamorgana, tapi sentuhannya terasa sangat nyata di permukaan kulitku. Aslanpun memelukku, seolah dia turut bersedih bersamaku.
"Aku tidak suka kau menangis, air matamu terasa seperti mata air suci Pulau Ennius," bisik Aslan yang kemudian menghilang dari pandanganku begitu menyadari aku tidak akan berhenti menangis seperti harapannya.
Entah berapa lama aku menangis hingga rasanya mataku bengkak luar biasa, susah dibuka.
"Kau bisa bertahan sejauh ini, aku yakin kau akan menjadi lebih kuat." Ratu Elia menghapus air mata dari pipiku, mengusap sisi kepalaku penuh kasih seolah aku ini orang yang sangat dikasihinya. Rasa rindu pada sosok ibu dalam hatiku tiba-tiba hadir, menjadikanku begitu menikmati tiap bentuk perhatian yang ditunjukkan Ratu Elia.
"Ma-maafkan aku Yang Mulia. Aku harusnya datang menyembuhkan Yang Mulia, tapi kenapa justru aku yang menerima bantuan Yang Mulia, hiks hiks!" aku menyedot ingus yang mengganjal di hidungku, dan Ratu Elia tertawa hingga kedua ujung matanya berkerut. Senyumnya meninggalkan cahaya yang ikut menerangi hatiku.
"Aku akan berusaha menyembuhkan Yang Mulia dengan segenap kekuatanku!" kataku seraya membulatkan tekad dalam diri.
"Jangan, sudah larut malam. Sebaiknya kau pulang sekarang. Bagaimana kalau kau datang lagi akhir minggu ini?"
Aku tidak tahu bagaimana bisa begitu beruntung bertemu dengan Ratu Elia. Tidak hanya hangat dan sangat pengertian, Ratu Elia bahkan terlalu murah hati padaku.
"Aku akan datang! Pasti aku datang!" aku bicara terlalu antusias hingga tidak sadar suaraku terdengar aneh dan melengking.
Ratu Elia tersenyum simpul mendapati kelakuanku. Tangan kurusnya terulur dengan sapu tangan berwarna putih bersih dalam genggaman, dia mengusap hidungku yang masih basah. Dengan bermandikan cahaya bulan, sosoknya seperti dewi yang turun dari langit dan mengobati luka hatiku.
"Datanglah saat menjelang makan siang, jadi kita bisa makan siang bersama."
Aku mengangguk penuh semangat.
'Hati-hati lehermu bisa patah, Nak!' Sqeeth bicara dengan nada meledek dalam kepalaku.
Kehangatan dalam hatiku menyebar hingga ke setiap bagian dalam diriku, membasuh dahaga yang tak pernah usai selama bertahun-tahun. Ya, kasih sayang yang begitu hangat ini ternyata sangat aku rindukan.
.
.
.