Di akhir minggu kedua tim ekspedisi tinggal di Pulau Ennius, kami ditugaskan banyak hal sesuai kemampuan individu masing-masing. Penyembuh dengan tugas pengembangan sihir dan obat penyembuh, para ksatria dengan ilmu pedang mereka, dan pelayan lebih cenderung menjadi tim pendukung.
Dari semua orang di tim, hanya aku yang terlempar jauh. Aku di tempatkan sebagai tim pendukung bersama pelayan lain, dan tugas utamaku mengurus kuda. Setiap hari aku memberi makan kuda, bergiliran mengendarai kuda berkeliling pulau untuk memastikan stamina kuda tidak turun.
Aku tidak merasa tugas ini menyulitkan atau menurunkan derajat seperti bisik-bisik sumbing yang aku dengar dari Roselyn dan komplotannya. Aku lebih senang berinteraksi dengan kuda, dari pada dengan manusia yang dipenuhi kebencian.
"Halo, Arkais! Apa kabar?"
Aku yang sedang mengawasi kudaku minum di tepi sungai, terhenyak mendengar suara kecil melengking dari sisi kananku, dan mendapati tiga peri hutan terbang begitu dekat.
"Jangan terlalu dekat, kau menakutinya, Syl!" sahut salah satu peri hutan yang berwajah datar.
"Memang keajaiban darah Arkais tidak aku ragukan lagi, dia bahkan bisa mengendarai kuda dengan baik!"
Aku mengerjap mendengar mereka lagi-lagi menyebut darah Arkais, jujur saja nama Arkais begitu asing di telingaku. Apa yang mereka maksud dengan Arkais? Sampai detik ini tidak ada satu orangpun yang memberiku jawaban.
Aslan yang mengetahui nama ibuku saja tampak enggan setiap kali aku bertanya. Sqeeth yang bahkan jauh lebih dulu mengetahui silsilah nenek moyangku tidak pernah menyebutnya lagi.
Perpustakaan Pulau Ennius juga tidak memiliki satupun catatan mengenai Arkais.
"Sekarang inti sihirmu sangat besar, sebelumnya terkunci dengan sihir pertukaran."
Aku terdiam, mendengarkan ocehan peri hutan yang terbang dengan lincah mengelilingiku, meninggalkan jejak serbuk kilaunya dimana-mana.
"Sihir pertukaran?" tanyaku bingung.
"Kau tidak tahu?" peri hutan bernama Syl bertanya sambil memiringkan kepala takjub.
"Sudah jangan ganggu dia lagi, kau bisa dimarahi Aslan nanti!"
"Ah, ah, tunggu dulu, aku mau ngobrol dengannya. Kau lihat pancaran jiwanya kan? Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihat jiwa secerah itu!"
Syl diseret dua rekannya masuk ke hutan, suara protesnya masih terdengar sekalipun sosok mereka menghilang dari pandanganku. Tinggal aku yang duduk termenung sambil melihat permukaan air yang tenang, wajahku yang terpantul di sana terlihat bergelombang seiring gerakan air akibat arus.
Sepasang mata beda warna, yang sering kali aku dengar dengan sebutan 'Darah Campuran', kulit gelap dan rambut keriting yang sangat berbeda dari kebanyakan bangsawan Lindbergh.
Ayah tidak pernah menyebutkan apapun tentang 'darah campuran' dalam diriku.
Mataku mendadak panas. Setiap kali mengingat sosok ayah, aku tidak pernah bisa menghapus ingatan yang terpaksa kembali beberapa hari lalu. Kasih sayang yang selalu aku rindukan dari sosok Ayah, bahkan ketika ibu sudah tiada, aku masih berharap ayah akan menggantikan kekosongan yang ditinggalkan ibu.
Aku menggenggam harapan kosong.
Begitu banyak pertanyaan dalam kepalaku, tapi pada siapa aku harus bertanya?
.
.
.
Kembali ke Lindbergh setelah tiga minggu penuh mempelajari banyak hal di pulau penuh misteri, Ennius. Perjalanan pulang kami jauh lebih singkat, karena Midas memberikan lembaran kertas mantra teleportasi yang berhasil dikembangkan oleh Penyihir Pulau Ennius.
Betapa majunya ilmu sihir di Pulau Ennius. Yang masih tidak aku mengerti adalah, kenapa Yang Mulia Raja Hardian tidak meminta satu orang penyihir hebat Pulau Ennius untuk mengembangkan sihir di Lindbergh, sehingga Linbergh bisa lebih maju dari sekarang.
Sir Farvald bilang tidak semua sesederhana yang terlihat, ada banyak perjanjian dan kesepakatan antara Lindbergh dan Pulau Ennius untuk melaksanakan ekspedisi kali ini. Aku akui tim dari Lindbergh menerima banyak ilmu pengobatan baru, bahkan kami menerima beberapa jenis bibit tanaman langka dan hasil pengembangan baru dari Pulau Ennius.
Lembaran teleportasi bahkan bisa mengangkut barang dan orang sekaligus, sangat praktis. Padahal jarak tempuh Lindbergh dan Pulau Ennius mencapai 21 hari, tapi hanya dalam hitungan tidak sampai seminggu kami bisa kembali ke pusat kota tanpa mengalami dampak fisik yang berarti.
Aku langsung kembali ke akademi, dan membereskan barang-barangku di kamar. Saat membuka mantel aku mendapati kantong berwarna cokelat yang berisi teh herbal pemberian Midas.
Masih segar dalam ingatanku bagaimana dia tiba-tiba muncul dari belakangku tanpa suara, tanpa aura, dan menyodorkan kantong cokelat saat rombongan sedang berkemas sambil menyusun barisan.
"Iliana, ini hadiah untukmu."
"Terima kasih, tapi ini apa?" tanyaku menyambut pemberiannya.
"Teh herbal yang memberi efek relaksasi. Jika kau meminumnya setiap hari, kau akan lebih mudah konsentrasi dalam meditasi. Kau tidak akan memerlukan batu sihir elf lagi," bisik Midas seraya menutupi mulutnya dari Thomas.
"Ba-bagaimana bisa kau tahu?" aku panik karena Midas mengetahui aku memakai batu sihir elf padahal dalam rombongan saja tidak ada yang mengetahuinya.
"Karena aku mengetahui dengan jelas semua sumber sihir. Termasuk tanda di lehermu. Aku percaya Aslan memilihmu karena kau pantas menjadi Jiwa Pengikatnya. Jaga dirimu, dan selalu lakukan yang terbaik untukmu. Aku suka semangatmu!" Midas menepuk bahuku penuh bangga.
"Te-terima kasih," jawabku seraya memasukkan kantung ke saku mantelku.
Semangat apa yang dia maksud? Aku bahkan tidak ingat pernah menunjukkan antusiasme berlebihan selama di Pulau Ennius.
Tapi aku suka hadiahnya. Sekarang aku punya teh baru yang bisa aku nikmati.
Sebulan lebih berada di tempat asing, membuat sekujur tubuhku terasa kaku, dan setelah ini aku harus langsung bersiap ujian tengah tahun. Mungkinkah jika aku punya hak khusus untuk meminta istirahat? Badanku terasa seperti akan rontok kapan saja.
"Ash?!"
Aku melompat kaget saat wajah Clift tiba-tiba muncul di depanku.
"Jangan muncul tiba-tiba begitu, Clift!" jantungku rasanya hampir copot.
Bukankah sebuah larangan besar menggunakan sihir teleportasi di sekolah? Lalu kenapa sekarang dia bebas berteleportasi begini?
"Tenang saja, aku sudah dapat izin dari Master Servius. Sekarang aku resmi menjadi staff kerajaan, dan sudah mulai magang setiap akhir minggu. Jadi sihir teleportasi dibebaskan untukku di akademi," Clift membusungkan dadanya sambil menganggukkan kepala, bangga.
Dia pasti berharap aku memujinya, tapi aku enggan melakukannya. Aku ingin cepat istirahat dan mengusirnya dari kamarku.
"Bisakah kita mengobrol nanti?" kataku seraya memijat bahuku yang pegal.
"Kau buat tato di Pulau Ennius?" Clift mencondongkan wajahnya dan meneliti leherku dengan mata yang membulat sempurna. "Woah, sejak kapan kau menjadi pemberontak begini? Kau lupa kalau akademi melarang siapapun siswa yang-"
"Ini bukan tato, Romello!" hardikku kesal, karena suaranya yang nyaring terus saja meracau sementara aku sudah menghabiskan stok terakhir kesabaranku ketika dia muncul dengan tiba-tiba.
"Kenapa kau jadi emosi? Aku hanya ingin mendengar sedikit cerita tentang petualanganmu. Aku juga ingin tahu bagaimana keadaan Roselyn selama ekspedisi."
Sumbu yang sempat tertahan dalam akal sehatku putus sudah. Nama Roselyn yang keluar dari mulutnya membuatku menahan sumpah serapah yang sudah menggumpal di pangkal tenggorokan.
"Kau mungkin akan berhenti menjadi temanku jika aku mengatakan semua kebenaran tentang Roselyn," gumamku sambil menghela napas, kepalaku mendadak berdenyut hebat.
"Kenapa? Apa yang salah dari Dewi Roselyn? Dia baik seperti malaikat. Kau berkata seperti Roselyn sudah melakukan kejahatan besar saja. Jangan membuatnya terlihat seperti orang jahat!" Clift mengembalikan kata-kataku dengan nada yang jauh lebih sengit.
Aku terdiam melihat raut wajah Clift lekat-lekat, matanya menantangku. Kecewa mendapati caranya melihatku.
Dia bahkan belum mendengar apa yang aku katakan, tapi sudah membela Roselyn. Bukankah ini berarti dia tidak menaruh sedikitpun kepercayaan padaku? Apakah kami benar-benar berteman?
"Jika cinta itu benar-benar buta, apakah sekarang kau benar-benar tidak ingin melihat kebenaran?" kataku seraya membalikkan badan, menghindari matanya yang benar-benar menyerupai ujung belati. Entah kenapa seperti ada setan jahat yang tengah membisik padaku, mengatakan agar aku meluapkan saja semua penat ini sekalipun energiku sudah hampir habis.
"Kalau kau tidak mau bicara ya sudah, aku pergi! Lagi pula aku ke sini bukan cuma mau bertanya hal itu, aku datang mau menyampaikan surat dari Yang Mulia Ratu Elia."
Clift terdengar benar-benar kesal, aku buru-buru berbalik ingin menjelaskan padanya bahwa aku benar-benar lelah dan tidak ingin berdebat, tapi saat mataku melihat tempat terakhir dia berdiri, sudah kosong, yang tersisa hanya sebuah amplop dengan segel kerajaan yang melayang di depanku.
Ratu Elia adalah ibu kandung dari Putra Mahkota Henry. Satu-satunya istri Yang Mulia Raja Hardian yang masih hidup. Sosok ratu yang tidak pernah sekalipun menunjukkan wajahnya kecuali di acara besar kerajaan. Wanita cantik yang dipersunting Yang Mulia Raja Hardian ketika istrinya yang ketiga wafat karena wabah.
Yang aku dengar Yang Mulia Ratu sudah sakit sejak lama, dan memutuskan untuk menutup diri dari lingkup pergaulan sosial. Tidak ada lagi pesta atau jamuan teh yang diselenggarakan kerajaan karena Yang Mulia Ratu Elia tidak bisa hadir, lalu kenapa tiba-tiba ada surat yang sampai padaku? Aku bahkan tidak pernah bicara dengan Ratu secara langsung.
Membuka amplop dengan sangat hati-hati, aku sampai gemetaran saking takutnya melihat logo kerajaan yang sangat sakral itu. Begitu aku membuka isi surat, kerutan di kedua alisku tidak terhindarkan lagi. Semakin banyak pertanyaan dalam benakku.
"Yang Mulia Ratu Elia memintaku datang ke istana tiga hari lagi? Memintaku menyembuhkannya?"
Ah, kepalaku nyeri. Aku bahkan tidak tahu penyakit apa yang diderita Yang Mulia Ratu Elia. Sekalipun inti sihirku meningkat, aku sendiri belum tahu seperti apa perkembangan sihir penyembuhku.
Teh pemberian Midas tiba-tiba muncul dalam pandanganku, dan aku segera memanaskan air dengan sihir telekinesisku, menyeduh teh sementara aku menyiapkan air di bak mandi.
Pertama kali meminum teh herbal Pulau Ennius, aku tidak mendapati rasa yang begitu kuat, hanya ada wangi mint yang menyejukkan. Benar saja seperti yang dikatakan Midas, aku langsung merasa tenang padahal berbagai macam pikiran lalu lalang di benakku tadi.
.
.
.
Kuil Arthemys terlihat agak ramai saat aku turun dari kereta kuda sewaan. Ada banyak mata yang melihat ke arahku saat aku berjalan ke arah pintu masuk utama. Beberapa orang yang lewat saja sampai berhenti melangkah dan menoleh ke arahku.
Tatapan mereka membuatku tidak nyaman. Aku berusaha melihat ke arah lain ketika beberapa orang yang tidak aku kenal melotot ke arahku tanpa sebab. Pandanganku jatuh pada kerumunan di taman kuil.
Ada sekelompok orang di sisi kanan taman kuil. Kerumunan orang berpusat pada seseorang yang berambut pirang dengan tubuh langsing berbalut gaun putih. Wajah pucatnya terlihat dia seperti seorang pesakitan, padahal seingatku dua hari lalu aku masih melihatnya tersenyum dengan sangat senang saat berpisah di pertemuan rombongan expedisi Pulau Ennius.
"Kenapa hanya kau yang sakit, bukankah ada Brainne juga di Hutan Terlarang bersamamu?"
Langkahku langsung terhenti saat seorang calon pendeta menyebut namaku.
"Aku tidak ingat apapun yang terjadi di Hutan Terlarang, tapi semenjak kembali dari Pulau Enniu, auraku tidak stabil dan aku mimisan hampir tiap pagi." Roselyn bicara dengan nada memelas, menarik simpati para pendengar di sekelilingnya, dan detik berikutnya, bagai memiliki radar, dia melirik ke arahku.
"Apa mungkin Brainne melakukan sesuatu pada Killian?"
"Aku tidak tahu, tapi Icarus bilang mereka menemukan jejak sihir hitam pada Roselyn."
"Aku pernah baca, manusia dengan mata seperti Brainne memiliki sejarah kelam sihir hitam yang kental."
"Benarkah?"
"Oh aku pernah dengar. Mereka penduduk pulau terpencil dan melakukan sihir hitam sehingga dewa marah dan mengirim bencana gempa ke pulau mereka."
"Mengerikan!"
Sahut menyahut terus berlanjut dan semakin mendengarkan mereka, seolah mereka sedang menceritakan sejarah keluarga dari sisi ibuku yang bahkan aku sendiri tidak mengetahui dengan jelas. Mereka menambahkan bumbu pada catatan sejarah yang bahkan tidak aku temukan di perpustakaan.
Aku semakin tidak tahan, muak mendengarkan mereka menyangkut pautkan semua hal yang tidak ada hubungannya sama sekali, dan di sana Roselyn berdiri bagai korban dengan wajah menyedihkan menarik simpati. Menyemangati orang-orang agar menambahkan lebih banyak lagi hal tidak benar dalam pernyataan mereka.
Selama ini aku tidak pernah menaruh perhatian terhadap apa yang dilakukan Roselyn dibelakangku, tapi menyaksikannya secara langsung membuatku bertanya, sudah berapa lama dia membuat sandiwara memuakkan seperti ini? Menarik simpati dan menjatuhkanku dalam waktu bersamaan.
"Iliana!" suara riang Lancelot menggema di koridor kuil, membuat semua orang yang tadinya masih sibuk membicarakanku, melihat ke arah Lancelot yang tengah berlari cepat dan berakhir memelukku.
Wajah mereka mendadak kaku, mulut mereka terkunci rapat dengan sorot mata sinis penuh kebencian melirikku.
"Kenapa Anak Terpilih sangat menyukai Brainne?"
"Mungkin dia mengincar jabatan Asisten Kepala Pendeta, kau tahu 'kan Pendeta Brainne sedang mencari asisten?"
"Maksudmu anak sekecil itu sudah bisa berpikir strategi politik?"
"Kenapa tidak?! Kau tahu 'kan kalau Lancelot berasal dari keluarga miskin, bisa saja-!"
"TUTUP MULUT KALIAN!"
Aku berteriak sekuat tenaga seiring sihir yang menyebabkan suaraku bergema di udara tepat di atas mereka. Wajah-wajah sinis itu berubah tegang, kepala mereka melihat ke arahku penuh kaget dan tidak percaya. Aku yakin mereka tengah bertanya kenapa suaraku bisa sampai pada mereka padahal jarak antara tempatku berdiri dengan mereka lebih dari 20 meter.
Bukan apa-apa, aku tidak pernah ambil pusing ketika mereka membicarakanku, menjelek-jelekkanku, tapi mereka membuatku harus mendengar fitnah yang tak berdasar pada Lancelot. Anak polos ini hanya dekat denganku tanpa niat buruk seperti yang mereka tuduhkan.
Ketika dia dirundung, dari kalian tidak ada yang membela, lalu sekarang kalian membuat teori lain untuk menjatuhkannya? Omong kosong macam apa ini?!
"Jika kalian tidak puas terhadap sesuatu, jangan bicarakan di belakang. Kalian ini pecundang atau apa, hah?!" seruku lagi emosi.
Semua orang tampak jauh lebih terkejut dari sebelumnya, mereka terbengong mendengarku berkata kasar.
"Sudah kubilang, Brainne memang terlihat pendiam, tapi dia sebenarnya jahat."
"Aku baru tahu! Dia anak Pendeta Tertinggi tapi berhati jahat, dia bahkan tega membuat Roselyn kena sihir hitam."
"Pantas saja Icarus tidak suka padanya!"
"Hush! Kita jangan membicarakannya lagi, kalau dia dengar dan mengadu ke Kepala Pendeta, bisa habis kita!"
"Kau pikir Kepala Pendeta akan membelanya?"
Bukannya berhenti, mereka malah semakin menjadi. Roselyn menyembunyikan wajahnya di antara barisan bahu calon pendeta bertubuh tinggi di sekelilingnya, dan aku bersumpah bisa mendengar suaranya yang menahan tawa.
Harus seberapa jauh aku membenci sifat asli Roselyn? Aku tidak menyangka bahwa dewi paling cantik di Lindbergh bisa menularkan kejahatan sebegini pekatnya pada orang-orang di kuil. Tempat suci yang seharusnya menjadi tempat pengampunan dosa, penyembuh hati, pembebas rasa cemas, malah menjadi ladang baginya menyebar kebencian.
"Iliana, kenapa?" Lancelot memeluk pinggangku, dan aku mendapati kepalanya yang mendongak dan melihat ke arahku penuh tanya. "Aura Iliana berubah warna? Berbeda dengan terakhir kali terlihat. Kenapa?"
Alisku mengerut dalam. Pertanyaan Lancelot sangat di luar dugaan, aku tidak pernah melihat seseorang yang sesensitif dirinya. Dia bahkan langsung mengetahui perubahan dalam diriku hanya dengan melihat perubahan warna auraku.
"Aku tidak bisa cerita, tapi di pulau Ennius aku berhasil meningkatkan sihirku," jawabku sambil tersenyum, dan Lancelot tersenyum lebar, tidak bertanya lebih jauh tapi terlihat sangat puas dengan menempatkan telunjukku di bibir, menunjukkan kalau ini menjadi rahasia kami.
"Sampai kapan kau mau mengobrol?"
Sosok Kepala Pendeta Brainne muncul tiba-tiba memotong obrolan kami. Mata ungunya memicing tajam penuh peringatan padaku, dan aku langsung berjalan mengekornya sambil menggandeng tangan Lancelot. Mendapati sorot matanya, jika tatapan bisa melukai, maka aku tidak akan berdiri tegar seperti ini.
Punggung lebar ayahku terlihat di depanku, berjalan dengan sangat tegap dan penuh kehormatan layaknya seorang bangsawan petinggi Kerajaan Lindbergh. Aku terkadang tidak bisa menggambarkan wajah ayahku sendiri dalam ingatanku, karena terlalu seringnya aku melihat punggungnya. Sosoknya yang sadar atau tidak muncul dalam benakku, membawa rasa senang, sedih, sesal dan marah yang hanya bisa aku pendam.
Sejak melihat ingatan yang telah lama terkubur, aku tidak bisa menyingkirkan batu besar yang mengganjal di dasar hatiku. Aku selalu berusaha menepis pikiran buruk tentang ayahku, tapi ingatan itu membuatku tersadar sepenuhnya, bahwa aku tidak bisa terus menutup mata.
Bertahun-tahun hidup dengan status sebagai anaknya, aku bahkan lupa kapan terakhir kali dia menyebut namaku dengan penuh kasih sayang. Semua tentang ayahku hanya diisi ingatan samar yang terkadang terlalu menyakitkan untuk diingat.
'Kau tidak ingin menangis?'
Aku tidak menjawab suara Aslan dalam benakku.
'Bukankah kau merindukan sosok ayah setelah melihat ingatan-ingatan lampau?'
Tidak ada gunanya aku menangis, mungkin menangis hanya akan membuat Aslan senang karena berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya.
'Kenapa kau sangat terobsesi dengan air mataku?' protesku.
Aslan tertawa pelan mendengar pertanyaanku dan menjawab, 'Karena aku ingin mengetahui rasa air matamu.'
Spirit Hutan ini memang tidak normal.
Mereka sering kali hadir tanpa aku minta, tapi ketika aku berusaha bicara dengan mereka, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara memanggil mereka. Aku harus berlajar sendiri mengenai perjanjian jiwa, dan aku berencana mendatangi Master Servius untuk menanyakan beberapa hal, tapi karena jadwal padatnya, aku tidak bisa menemuinya sesuka hati.
Aku tidak bisa meminta Master Ilmu Sihir untuk menanyakan hal ini, hati kecilku berkata bahwa Master Ilmu Sihir tidak akan memberikanku jawaban, mengingat murid terbaik pilihannya adalah Roselyn.
Kami bertiga berbelok ke arah koridor menuju ruang penyucian. Proses penyucian sihir berjalan seperti biasanya, dan aku menyelesaikannya tanpa hambatan. Namun ketika aku masuk ke ruang pemeriksaan sihir yang terdiri dari 5 orang pendeta tinggi, di dalamnya termasuk ayahku, dan Pendeta Noah. Mereka yang membuat formasi mengelilingiku dan melihat pancaran sihir dalam diriku, saling bertukar tatap dengan mata membulat tidak percaya.
'Kenapa mereka memeriksa sihirmu, Latasha?'
Sqeeth jarang bicara, sehingga mendengar suaranya yang sangat maskulin di benakku agak menggelitik. Aslan biasanya asal bicara dan selalu memancing emosi, tapi Sqeeth selalu bicara dengan nada cuek penuh karisma.
'Mungkin karena aku anak dari Pandeta Tertinggi. Ayah memaksa mereka melakukan ritual ini, padahal tahu sihirku tidak akan ada perubahan sekalipun aku melakukan prosesi berkali-kali,' jawabku dalam hati.
Para pendeta tidak mengajukan pertanyaan apapun padaku, tapi raut wajah mereka menujukkan isi hati mereka. Sekalipun ayah tidak menunjukkan banyak ekspresi, tapi aku bisa melihat jelas aura gelap yang menaunginya, seolah sihirku yang meningkat bukan hal baik baginya.
Kalaupun mereka bertanya, aku tidak akan bisa menjelaskan. Semua yang terjadi di Hutan Terlarang, sebagian besar adalah rahasia bagiku sendiri. Roselyn hilang ingatan, Duke Avallon dan peserta ekspedisi lain hanya mengetahui sepenggal dari panjangnya malam pada hari itu.
Aku tidak mengerti bagaimana sistem kerjanya, yang pasti kata-kata Aslan bukan omong kosong sama sekali.
Sejak Perjanjian terjadi, aku bisa merasakan tubuhku menjadi lebih ringan, aku tidak mudah kelelahan setelah menggunakan sihir, dan selalu lebih mudah menyelesaikan formula sihir. Telekinesis yang biasanya menguras tenaga, sekarang jauh lebih menyenangkan. Hanya satu yang belum aku coba, sihir teleportasi. Aku takut belum seharusnya sampai ke sana, dan tidak ingin mencoba ketika aku belum yakin.
Tidak ada proses interogasi seperti bayanganku, hingga aku keluar dari ruangan semua orang bungkam.
Langkah kakiku terasa lebih ringan setelah mengganti seragam kuil dengan pakaianku lagi. Kuil selalu menyediakan pakaian dengan warna senada yang hampir sama persis. Semua berwarna putih bersih, melambangkan kesucian, kedamaian.
Namun tidak sedikitpun ada rasa tenang setiap kali ke kuil yang seharusnya bisa menjadi tempat penyejuk hati ini. Terlalu banyak orang yang tidak menginginkan kehadiranku di sini. Sorot mata mereka yang sarat kebencian, ataupun sekedar rasa ingin tahu, membuatku sadar bahwa kehadiranku telah merusak keseimbangan kuil.
"Aku perlu bicara denganmu."
Kakiku yang hendak berbelok ke koridor, terhenti saat ayah tiba-tiba muncul menghalau jalanku.
Seperti biasa, nada dalam suaranya selalu datar, bagai kami adalah dua orang asing yang tidak terikat dalam hubungan darah.
Aku tidak banyak bicara, hanya mengikutinya yang mengarahkan kami berjalan menuju lapangan tempat latihan.
Kesunyian yang mencekik menyelimuti kami. Tidak ada kalimat yang keluar sebagai obrolan, hanya suara langkah kaki yang mengiringi. Tepat di bawah pohon di pinggir lapangan latihan, kami berteduh dan sama-sama melihat ke lapangan yang berisi beberapa anggota kuil yang tengah berlatih sihir atau kemampuan pedang untuk pertahanan diri mereka.
Matahari masih bersinar terang di puncak langit, membakar permukaan bumi dan panasnya mengirim udara lembab dalam tiap tarikan napas. Aku melihat awan putih yang berarak di ujung pandanganku, dengan langit biru cerah sebagai latar belakangnya semua terlihat sangat harmonis.
Aku tidak berani buka suara sekalipun kami sudah beberapa saat berdiri di bawah pohon besar ini. Hanya suara gesekan daun yang terdengar akibat hembusan angin. Diam ini membuatku sesak.
"Apa yang terjadi di Hutan Terlarang Pulau Ennius?"
Aku menoleh ke sisi kananku, tempat ayahku berdiri.
Kami hanya berjarak tidak sampai dua langkah, tapi kenapa aku merasa tidak pernah bisa mengenali sosoknya. Suaranya, raut wajahnya, auranya, semua terasa begitu asing. Aku menatap sisi wajah ayah, berpikir apa yang harus aku katakan atas pertanyaannya.
"Roselyn mengatakan dia tidak ingat apapun yang terjadi di Hutan Terlarang, tapi Icarus bilang kau tidak mengatakan apapun. Apakah kau benar-benar tidak ingat juga apa yang terjadi di sana?"
Mulutku tetap bungkam.
"Duke Avallon bilang menemukanmu di Hutan Terlarang dan hampir menghilang dibawa mahkluk menyerupai manusia berwarna emas. Sementara Roselyn sudah terbaring tidak sadarkan diri di Batu Kembar Mareks. Midas juga mengatakan kau tiba-tiba punya tanda Jiwa Pengikat dari Aslan. Apakah kau melakukan perjanjian dengan Aslan?"
Aku tidak tahu jika cerita ini begitu cepat sampai padanya, namun sorot matanya yang menyudutkan saat bertanya, membuatku yakin bahwa dia sudah membuat penilaiannya sendiri. Menunjukkan dimana dirinya berdiri saat ini.
"Sihirmu tiba-tiba meningkat." Ayah kembali menyecarku yang tidak juga membuka mulut. "Banyak orang mengatakan Roselyn sakit dan terkena sihir hitam karena kau melakukan sesuatu padanya. Apa yang kau lakukan sebenarnya?"
Ayah bukanlah orang yang banyak bicara, tapi mendengar pertanyaan demi pertanyaan meluncur dengan cepat dari mulut ayahku, yang setiap katanya berisi vonis, membuatku tenggorokanku tercekat.
Lagi-lagi...
Setelah Clift, sekarang ayahku sendiri melakukan hal yang sama. Kekecewaan dalam diriku semakin besar. Tidak ada seorangpun yang mencoba benar-benar bertanya, mereka sudah memiliki jawaban atas pertanyaan mereka sendiri. Lalu kenapa repot-repot bertanya?
Kekecewaan yang jauh lebih besar aku rasakan ketika nama Roselyn bisa dengan mudah terucap dari ayahku. Ayah terbiasa menyebutku dengan 'kau'.
'Apakah kau akan menangis, Latasha?'
Aku menggeleng keras menjawab pertanyaan Sqeeth dalam kepalaku. Tidak ada gunanya menyesali air yang sudah tumpah, yang perlu aku lakukan sekarang hanyalah terus melangkah. Jika mereka sudah menentukan pilihan, maka aku tidak akan berusaha merubah pilihan mereka.
Saat ayah berkata ingin bicara padaku, aku sempat berharap dia akan menanyakan keadaanku.
Bagaimana perasaanku setelah pergi expedisi untuk pertama kalinya?
Apakah aku terluka? Apakah aku baik-baik saja setelah apa yang terjadi di Pulau Ennius?
Tapi ayahku lebih cemas pada orang lain.
Pertanyaan di ujung lidahku, tentang Ayah yang tidak memberitahuku tentang expedisi Pulau Ennius dari Raja Hardian, tertahan seketika.
Sampai titik ini aku ingin bertanya, apakah aku benar-benar darah dagingnya?
Dadaku sakit.
Hingga keinginanku untuk bicara jujur hilang seketika. Ragu dalam dadaku menahanku. Ayah tidak akan serta merta membelaku sekalipun aku menjelaskan apa yang terjadi di Pulau Ennius. Aku harus berhenti berharap.
Aku menarik napas perlahan, menenangkan gemuruh dalam dadaku.
"Clift meminjamkan batu sihir elf padaku sebelum expedisi, dan aku belajar banyak sihir penyembuh di sana. Mungkin karena itu sihirku meningkat. Aku tidak mengingat apapun yang terjadi di Hutan Terlarang. Jika aku benar-benar menjadi Jiwa Pengikat Aslan seperti yang Midas katakan, bukankah seharusnya kemampuan Penyembuhku sudah setara Penyembuh dari Kuil Arthemys?"
Kuberanikan diri menatap langsung matanya, tapi kemudian aku tidak menemukan apapun yang aku harapakan dalam sepasang kolam ungunya yang jernih. Hanya ada lapisan gunung es tak berujung. Aku menatapnya sambil mengatupkan gigiku rapat-rapat.
"Apakah ada hal lain yang perlu aku jawab, Kepala Pendeta?" tanyaku lagi, dan kali ini mata ayah membelalak lebar, seolah aku telah mengatakan hal yang sangat salah.
Sikap bungkamnya menjadi jawabanku, dan aku melangkah ke lapangan latihan. Aku merasa tidak bisa membiarkan bara dalam dadaku lebih lama lagi, aku harus mengalihkan perhatian. Berbaur dengan penyembuh yang lain, aku mengambil pedang kayu dan berjalan menuju boneka jerami yang disiapkan sebagai lawan latihan. Menarik napas panjang, aku memusatkan konsentrasiku pada tangan dan mulai mengayunkan pedang kayuku ke arah boneka jerami, memukulnya berkali-kali. Setiap pukulannya aku iringi dengan teriakan keras, seolah aku menghardik diriku sendiri agar segera membuang perasaan kecewa tidak berguna ini.
"Kenapa dia?"
"Aku tidak tahu, tapi kekuatan tangannya boleh juga!"
"Dia terlihat mengerikan dengan rambut kepang tapi mengembang begitu."
"Kulitnya tampak berbeda sekali dengan Pendeta Brainne, bahkan matanya yang beda warna terlihat seperti makhluk titisan iblis."
Menggunjingku seolah menjadi santapan utama orang-orang di kuil. Aku ingin sekali menulikan telingaku yang terlalu peka ini. Hanya mendengar suara alam yang menenangkan akan jauh lebih menyenangkan. Andaikan saja aku bisa menghilang dari dunia ini.
'Ash?' suara lemah Aslan terdengar, dan aku mengabaikannya.
'Sebaiknya kau pulang, Latasha. Melihat sampah seperti mereka, membuatku ingin membakar mereka hidup-hidup.'
Biarkan saja mereka bicara sesuka mereka, aku harus mendengarkannya hingga aku benar-benar kebal, hingga aku tidak lagi terluka, mungkin suatu saat mereka akan berhenti karena bosan. Aku ingin menempa mentalku dan membuat semua ini bukan lagi masalah bagiku.
Entah berapa lama aku terus mengayunkan pedangku. Segala arah dan semua teknik yang pernah aku pelajari dari Sir Farvald aku lakukan ulang, hingga tubuhku bermandikan keringat. Napasku terengah-engah, dan tanganku gemetar begitu menyadari matahari sudah sampai di kaki langit. Aku tidak sadar bahwa lapangan latihan sudah sepi, seperti harapanku.
"Apakah ini caramu berlatih, Iliana?"
Roselyn muncul tiba-tiba dan berdiri di sampingku, dia memegang pedang kayu sama sepertiku. Wajahnya yang tadi pagi tampak pucat, sekarang terlihat sangat normal. Dia bahkan tersenyum lebar seolah tengah menyapa kawan akrab yang lama tidak berjumpa.
"Bagaimana kalau kita duel?" kata Roselyn seraya melirik pedang kayu di tangan kananku.
"Apa kau mau menangis keras lagi, dan membuatku tampak seperti orang jahat?" tanyaku tenang, menyeka keringat di dahiku dengan lengan bajuku.
"Aku bukan anak kecil, untuk apa aku melakukannya?" Roselyn balas mencemoohku, tapi melihat tangannya yang sudah bersiap dengan pedang kayu, aku langsung pasang kuda-kuda.
Berhubung aku perlu meluapkan kekesalanku, apa salahnya jika aku punya target pelampiasan yang sesungguhnya? Dari pada dicap sebagai orang jahat padahal aku tidak melakukan apapun, sekalian saja aku menjadi orang jahat.
Roselyn tersenyum puas dan mengambil beberapa langkah mundur. Mata biru lautnya mengilat, seiring senyum sinis yang tiba-tiba terukir di wajahnya. Aku bersiap menghadapinya, tapi ketika aku berpikir Roselyn akan mengambil posisi, dia justru menyerangku. Untungnya aku sudah bersiap, pedang kayuku langsung berbenturan dengan pedang kayunya, membuat suara yang cukup besar. Dengan pedang saling beradu, kami memberi tekanan pada tangan masing-masing. Roselyn mendorong pedang kayu ke arahku, tapi aku menahannya dan balas mendorongnya lagi. Kekuatannya sangat luar biasa, dan aku merapatkan gigi demi bisa menahan pedang yang hampir menyentuh ujung hidungku.
"Kekuatanmu boleh juga, tapi ini belum apa-apa!" bisik Roselyn seraya melompat mundur dan kembali padaku seraya memutar badan hendak menendangku, tapi aku menahan dengan kedua tangan yang menyatu di depan wajah. Tendangannya sangat keras, hingga tanganku hampir patah rasanya. Aku tidak melewatkan kesempatan dan langsung berjongkok berusaha menjegal kakinya dengan satu kaki bergerak cepat ke kakinya yang baru mendarat. Benar saja, Roselyn langsung jatuh, mendarat dengan satu tangan dan bersalto cepat hingga dia wajahnya tidak sampai mencium tanah.
Roselyn berhasil berdiri tegak lagi.
"Woah, aku tidak tahu kau juga bisa bela diri?" berteriak keras menarik perhatian banyak orang.
Yang tadinya hanya ada beberapa orang melihat duel kami, sekarang kami seperti pasangan duel yang ditonton banyak orang di sekeliling kami.
Roselyn mengarahkan ujung pedangnya kepadaku, memintaku bersiap, dan aku membuka kaki dengan sikap sempurna, bersiap menyerangnya lagi. Pedang kayu tampak sudah sangat usang tergenggam di tanganku dengan erat, dan saat Roselyn kembali megayunkan pedang kayunya, aku berhasil menangkisnya lagi.
Tangan kurus Roselyn terangkat satu ke udara, dan pancaran aura terlihat di ujung tangannya. Aku membelalak tidak percaya kalau dia benar-benar akan menggunakan sihir saat dia meminta kami duel pedang. Bukankah kami sepakat untuk duel ilmu pedang?
Aku menyiapkan diri saat sulur auranya semakin kuat, dan ketika dia mengarahkan tangannya hendak meraih wajahku, aku menghindar, tapi detik kemudian terdengar suara potongan yang bersumber dari belakang kepalaku. Tangan kanan Roselyn bergerak cepat tak terlihat, hanya ada pancaran aura dan kemudian mengarahkan ujung pedang ke leherku. Tubuhku reflek menghindar, dan saat aku melompat mundur, sesatu terjatuh ke tanah berpasir.
Kepangan panjang rambut brunette dengan ujung ikatan pita berwarna ungu teronggok tak berdaya. Ikalnya yang tidak biasa bisa langsung aku kenali. Hatiku mencelos hingga dasar bumi, menyadari bahwa yang baru saja terjadi bukanlah perasaanku saja. Pedang kayu tidak mungkin bisa memotong kepangan rambut, Roselyn telah menambahkan aura dalam pedangnya dan berniat melukaiku.
"Apa yang kau lakukan?" aku menggeram menahan amarah yang begitu besar dalam dadaku. Tidak ada kesedihan dalam diriku, hanya ada kemarahan yang terus membakar ketika mengingat apa yang akan terjadi pada Annabelle saat mengetahui bahwa rambutku yang tidak pernah dia izinkan dipotong tiba-tiba hilang.
"Oh, aku minta maaf, aku tidak sengaja. Maafkan aku, Iliana." Roselyn pura-pura terkejut dan meletakkan kedua tangannya di wajah. Kata-katanya memang terdengat seperti orang yang menyesal, tapi pancaran di sepasang matanya justru menunjukkan kesombongan dan bangga penuh sinis.
"Tutup mulutmu!" aku berteriak dan lepas kendali.
Aku membenci semua sandiwara berkepanjangan ini. Tidak ada yang berlangsung dengan baik hari ini. Sudah cukup aku menahan diri dan dia menambah minyak dalam kobaran api dalam diriku.
Aku tidak akan semarah ini jika dia hanya melukaiku, tapi aku tidak bisa membayangkan Annabelle yang mungkin akan begitu terluka jika mengetahui rambutku terpotong. Aku lebih takut melihat wajah kecewa Annabelle, dibandingkan siapapun di dunia ini.
Gelombang besar menguasaiku dari dasar hati.
'Ash! Jangan!'
Suara Aslan terdengar sangat jelas dalam benakku, tapi aku mengabaikannya. Aura terkumpul di kedua tanganku, dan tanpa pikir panjang lagi aku berlari lurus mengarahkan pedang kayuku pada Roselyn. Auraku terpancar dari seluruh tubuh, dan aliran itu bagai gelombang ombak yang tidak terkendali.
'Sqeeth! Jangan diam saja!'
Tanganku terayun cepat, tapi tiba-tiba ada dinding besar tidak terlihat yang membuatku tidak bisa mengeluarkan auraku. Tubuhku berhenti bergerak tepat ujung pedang hampir sampai pada Roselyn.
'Maafkan aku, Ash. Kau tidak bisa menggunakan sihirmu dengan emosi tidak stabil begini!' Aslan berseru dalam kepalaku.
Roselyn berdiri kaku dengan mata terbelalak melihat ke arahku, tapi begitu melihatku tidak bergerak lebih jauh, raut wajahnya berubah. Seringai licik terukir cepat di wajahnya. Belum sempat aku mengartikan seringainya, tiba-tiba tubuhnya terlempar beberapa meter dariku.
"Argh!" Roselyn berteriak keras ketika tubuhnya menghantam rak tempat menumpuk alat latihan.
"Hei, apa yang kalian lakukan?" terdengar teriakan lantang dari ujung lapangan.
Aku tidak melakukan apapun.
Pedang di tanganku masih terangkat di depanku, tapi aku bahkan tidak menyentuh ujung rambut Roselyn. Sihirku terhalang, tidak ada serangan dariku, Roselyn menjatuhkan dirinya sendiri.
'Aku dan Sqeeth tidak menyerangnya!' Aslan berseru penuh pembelaan, dan aku menyadari bahwa tidak ada auraku yang sampai pada Roselyn.
'Aku sudah bilang seharusnya aku habisi dia. Buat apa menahan diri pada makhluk berhati iblis!'
Sqeeth mengeluarkan suara penuh kebencian, bersahutan dengan Aslan. Sqeeth sangat kesal, emosinya terasa jelas dalam dadaku, dan aku membenci kobaran amarah yang tidak lagi pada tempatnya ini. Karena yang sekarang harus aku lakukan adalah menghadapi banyak pasang mata yang menatapku penuh hina, menuduh dan mencaciku lewat sorot mata mereka.
"Roselyn, bagaimana bisa-"
Pendeta Noah muncul entah dari mana, dia menolong Roselyn berdiri, dan darah menetes cepat dari tangan kanan yang dipeluknya erat. Tangannya terkulai tanpa tenaga dengan ujung jari meneteskan darah, sementara matanya basah melihat ke arahku.
"Ma-maafkan aku Iliana. Aku tidak sengaja memotong rambutmu, tapi kenapa kau malah membalasku seperti ini? Aku tahu aku salah, tapi bukankah ini terlalu berlebihan? Hiks hiks." Roselyn menangis keras.
Hanya sebaris kalimat yang keluar dari Roselyn, tapi dia berhasil menggiring opini semua orang. Orang-orang di sekeliling kami semakin banyak, dan aku tidak kaget dengan tatapan jijik mereka ke arahku.
'Kenapa Dewa sangat tidak adil?!' Aslan menggerutu kesal, dan aku tidak mengindahkannya.
Ada banyak warna mata yang bisa aku lihat, dan salah satu di antaranya aku menemukan sepasang mata berwarna ungu yang sangat aku kenal. Sosoknya yang tampak suci berdiri di bawah pohon tempat kami mengobrol. Ayah melihat lurus ke arahku tanpa ekspresi. Jika sosoknya masih berada di tempat yang sama, bukankah itu berarti dia melihat semua sebenarnya yang terjadi?
Harapan tiba-tiba saja tumbuh harapan dalam hatiku, aku masih memiliki saksi yang bisa membantuku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak bersalah. Aku bisa membuat salah paham ini hilang, aku bisa membela diri.
"Ay-"
Aku hanya bisa bergerak setengah langkah dari tempatku karena tiba-tiba Ayah berbalik dan menghindari pandanganku, dia berjalan meninggalkan lapangan.
Sengatan yang sangat menyakitkan menyerang dadaku, aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Harapan itu hancur menjadi serpihan, dan aku tertawa kecil, menertawakan diriku sendiri. Sepertinya aku memang belum sampai pada titik terendah dalam hidupku jika aku masih bisa berharap seperti ini.
Entah sejauh apa aku harus terjatuh. Entah seperti apa aku harus terluka. Entah bukti apa lagi yang diperlukan, hingga aku benar-benar berhenti berharap.
'Dia mau kemana? Kenapa dia? Bukankah dia ayahmu?' Aslan mempertanyakan hal yang paling tidak bisa aku jawab.
"Iliana Latasha Brainne! Keributan macam apa yang kau lakukan di kuil suci?" Pendeta Noah berseru padaku setelah berhasil menghentikan pendarahan di tangan Roselyn.
Pandanganku turun ke tanah berpasir yang aku jejak. Pedang kayu di tanganku tampak sangat menyedihkan, usang dan tidak berdaya. Tidak ada yang bisa membantuku menjelaskan situasi ini. Pendeta Noah yang sejak lama tidak pernah menyukai keberadaanku, sekarang mendapatkan celah besar untuk menghukumku. Jika bisa, mungkin dia akan minta dewan kuil untuk memberikanku hukuman terberat.
"Setelah meningkatkan kekuatan sihir, kau malah menggunakannya untuk menyerang orang tak bersalah?" Pendeta Noah kembali menuduhku, dan kepalaku yang tertunduk hanya bisa melirik ke arah potongan rambutku yang tergeletak tak berdaya di sisiku.
Jika aku menjelaskan padanya, mungkinkah mereka percaya padaku?
Lihat bagaimana mereka menghakimiku dengan mata mereka sekarang. Ya, pada hakikatnya mereka hanya akan percaya pada apa yang mereka lihat.
"Aku sudah bilang, Brainne sangat mengerikan. Dia sudah berencana menyakiti Killian sejak lama."
"Ternyata Brainne sejahat itu, pantas saja semua orang menjauhinya."
"Aku kasihan pada Roselyn."
Aku melirik pada orang yang menyuarakan ibanya pada Roselyn, dan mereka langsung bergidik ngeri sambil membuang pandangan ke tempat lain saat bertemu mata denganku. Bagai pencuri yang baru saja tertangkap tangan, mereka menghindariku. Aku bisa mendengar semua yang mereka katakan, tapi situasi ini benar-benar membuatku muak.
"Brainne, aku akan melaporkan hal ini pada Dewan Kuil. Kau dilarang datang ke kuil hingga Dewan memutuskan hukuman untukmu!" Pendeta Noah melirik ke arah potongan rambutku, tapi memilih menutup mata dan kembali pada Roselyn yang masih berdiri sambil menangis tersedu-sedu.
"Apa yang harus aku lakukan padamu, Roselyn! Marquis Killian akan membuat keributan besar kalau mengetahui kejadian ini!" gumam Pendeta Noah frustasi.
Aku memilih bungkam. Tanganku terayun melemparkan pedang kayu ke arah wadah yang menjadi tempat kumpulan pedang kayu lainnya, mengabaikan beberapa suara decak kagum orang-orang saat pedang masuk dengan sangat tepat dan mulus.
Di dunia ini tidak ada keadilan yang bisa aku harapkan.
"Apa yang bisa aku harapkan ketika kalian lebih mempercayai apa yang kalian lihat?" gumamku seraya berbalik meraih potongan rambutku, berjalan meninggalkan lapangan.
"Apa maksudmu?! Brainne! Kau mau kemana? Aku belum selesai!" Pendeta Noah kembali berteriak, suaranya menggema keras ke seluruh sudut kuil, bagai pengeras suara tak terlihat dia berhasil menyedot lebih banyak perhatian.
"Apa lagi?! Apa yang belum selesai?! Apa yang bisa aku katakan ketika kalian sudah memutuskan hukuman bahkan sebelum mendengarkan pembelaan dariku?" kataku tanpa sedikitpun melambatkan langkahku.
Sengatan di dadaku tidak juga hilang. Sosok ayahku yang berbalik meninggalkanku terus terulang dalam benakku. Jika aku diperbolehkan, mungkin aku ingin meminta Dewa menarik kembali waktuku. Tidak terlahir sebagai anak dari Claude Roger Brainne mungkin akan membuat hidupku tidak semenyedihkan ini.
Aku tidak peduli dengan hukuman yang akan diberikan kuil padaku. Hatiku hanya tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini. Tempat di mana aku bisa melihat ayah berdiri sebagai penonton, tidak mengulurkan tangannya untuk menolongku, bahkan dia enggan melihatku saat aku ingin meminta bantuannya.
Langit berubah gelap, awan hitam beriringan menutupi cahaya matahari. Dengan cepat petir menggelegar, menyusul hujan yang perlahan turun dari langit. Butiran hujan yang ringan itu, berubah menjadi deras dan aku membiarkan tubuhku basah sementara aku terus melangkah meninggalkan kuil, mengabaikan beberapa orang berhenti dan menawarkan payung padaku.
"Ash?"
Sosok Aslan muncul di hadapanku, melayang seiring kakiku yang terus melangkah, mengabaikannya.
"Jangan ganggung Latasha. Kau tidak bisa menyembuhkan luka hatinya saat ini."
Sqeeth ikut muncul dan langsung menarik Aslan menghilang bersamanya.
Luka hati?
Benarkah hatiku terluka?
Apakah nyeri yang sekarang aku rasakan karena aku terluka?
Kecewa?
Kecewa hanya bisa hadir karena harapan yang tidak terwujud.
Lalu kenapa aku masih berharap padahal aku tahu tidak mungkin meminta uluran tangannya.
Aku kira hatiku sudah kebal.
"Bisakah aku meminta pada Dewa agar aku dilahirkan kembali bukan sebagai Brainne?" bisikku lirih seraya melihat tanganku yang masih memegangi potongan rambut yang basah.
Petir besar menulikan telinga menggelegar di atas kepalaku. Kilatan cahaya yang membutakan mata itu sampai tepat di depanku, dan betapa kagetnya aku saat api muncul dari tanganku, membakar habis rambut yang masih aku pegang.
'Hampir saja!' Sqeeth berteriak dalam diriku, aku bisa merasakan dia kaget, jauh lebih terkejut dariku.
'Kau tidak apa-apa, Ash?'
"Aku baik-baik saja." Jawabku seraya melihat abu di tanganku yang perlahan mengalir bersama air hujan. Dadaku sesak. Waktu, aku ingin waktu berhenti sejenak dan membiarkanku menghilangkan pedih yang aku rasakan sekarang.
"Maafkan aku, Annabelle. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku katakan padamu nanti."
Tanganku bergerak lemah menyentuh ujung rambutku yang bahkan tidak sampai leher.
.
.
.