Langit sudah berubah gelap saat aku terbangun dari tidurku, dan betapa kagetnya aku mendapati Bella sedang berdiri di depan meja rias, tampak menggaruk dagunya seraya melihat meja yang berisi banyak alat rias milik Roselyn. Tidak ada satupun benda di atas meja rias adalah milikku. Aku tidak pernah repot merias diri.
Menegakkan diri dengan seluruh sendi yang kompak berteriak kaku, aku memaksa diri terduduk. Lelah yang amat sangat menyadarkanku bahwa aku tidak baik-baik saja. Bahkan hanya sekedar mengangkat kelopak mata, terasa begitu berat. Pandanganku kembali jatuh ke pangkuan, dan mendapati gaun tidurku sudah berganti. Seingatku semalam aku tertidur dengan gaun penuh bercak darah.
"Oh, Nona Brainne sudah bangun?"
Aku tersenyum mendapati Bella berlari-lari kecil ke arahku, ujung gaunnya bergerak seiring gerakan kakinya yang riang. Sosok mungilnya membuat dia terlihat seperti anak kecil yang menyambutku.
"Yang Mulia Raja Hardian memintaku merawat Nona Brainne setelah memastikan Nona Killian lebih stabil."
"Roselyn?" aku berbisik, teringat bahwa semalam ada kabar tentang kondisi Roselyn yang aneh.
Bella berdiri di sampingku, tapi aku memintanya duduk di sisi tempat tidur tepat di sebelahku. Dia yang sepertinya masih sungkan tidak langsung duduk, setelah aku bergeser demi memberinya ruang, baru dia mau duduk sambil tersipu tidak enak hati.
"Apakah Nona Brainne lapar? Haus?"
Aku menggeleng. "Aku baik-baik saja, badanku kaku hanya sedikit kaku karena terlalu lama tidur."
Bella tersenyum makin lebar. "Sama seperti Duke Avallon, Nona Brainne juga tidur lama sekali. Duke Avallon baru terbangun beberapa jam lalu dan langsung memeriksa keadaan Nona Brainne. Begitu tahu Nona Brainne masih tertidur dan baik-baik saja, Duke langsung pergi ke kamar tempat Nona Killian dirawat."
Avallon? Cemas padaku? Tidak mungkin!
"Bagaimana keadaan Roselyn?" tanyaku seraya membuang pikiran tidak masuk akal dalam benakku.
"Nona Killian sudah kembali normal sejak siuman. Emily berhasil menetralkan sihir hitam yang menempel pada Nona Killian, dan saat terbangun, Nona Killian bingung kenapa semua orang berkumpul mengelilinginya. Rupanya Nona Killian tidak mengingat kejadian di hutan. Nona Killian hanya ingat menerima perintah dari Yang Mulia untuk mengambil daun mandrake bersama Nona Brainne, dan setelahnya dia tidak ingat apa-apa."
Napasku tercekat dan membuatku hampir tersedak.
Roselyn tidak ingat apa yang terjadi di Batu Kembar Mareks?
Dia benar-benar tidak mengingatnya, ataukah hanya sandiwara lain yang sedang dia mainkan?
Aku tidak ingin berpikiran aneh, tapi mendapati sifat asli Roselyn tepat setelah kami salah teleportasi, aku tidak bisa menaruh kepercayaanku lagi padanya. Penuh sandiwara, dia begitu lihai menyembunyikan kebenciannya padaku. Ada sedikit rasa tidak adil dalam diriku karena dia berusaha mengutukku hanya karena tidak menyukaiku yang terus berjuang.
Aku tidak pernah menyakitinya, hanya sering kali tanpa sadar melihat ke arahnya, merasa iri padanya. Tapi sejauh memoriku mengingat, rasa iri itu tidak pernah melewati batas, aku hanya mengagumi keberadaannya yang selalu sempurna di sisi Avallon. Tidak pernah lebih dari itu.
"Apakah Nona Brainne juga mengalami hal yang sama?" Bella menatapku penuh cemas, dan aku ingin sekali menggelengkan kepala menjawabnya, namun logikaku berkata aku harus lebih berhati-hati karena aku belum mengetahui apa yang tengah direncanakan Roselyn sebenarnya. Apakah dia benar tidak ingat atau pura-pura tidak ingat untuk menghindari tuduhan apapun yang aku jatuhkan padanya.
Dirinya yang berkata kasar.
Dirinya yang berusaha mengutukku.
Dirinya yang ternyata sangat membenci keberadaanku.
"Bella aku lapar," kataku berusaha mengalihkan perhatian.
"Oh! Maafkan aku yang kurang peka. Tunggu sebentar aku ambilkan makanan untuk Nona Brainne!" Bella langsung beranjak dari duduknya. "Yang Mulia sudah memintaku menyiapkan makanan terbaik untuk Nona Brainne, aku akan menghangatkannya. Tunggu sebentar Nona!"
Bella berlari-lari kecil lagi, meninggalkan kamar.
Yang Mulia Raja Hardian? Yang Mulia meminta orang menyiapkan makanan untukku? Bahkan selama expedisi tidak pernah sekalipun mendengar perlakuan khusus seperti itu pada anggota ekspedisi.
Apa yang telah aku lakukan sampai Yang Mulia Raja Hardiann bersikap sebaik itu padaku? Kenapa sekarang aku mendapatkan perhatian yang tidak pernah ada sebelumnya?
Terbiasa menerima sikap acuh dan sinis dari orang lain, membuatku otomatis mempertanyakan sikap baik mereka yang tiba-tiba. Terlebih lagi, aku mengingat dengan jelas bagaimana Putra Mahkota Henry tampak tidak menyukaiku.
.
.
.
Dua hari setelah kejadian besar di Hutan Terlarang, semua kembali beraktivitas dengan normal. Roselyn kembali ke kamar setelah Icarus memastikan kondisinya benar-benar stabil. Xenou bertanggungjawab mengawasinya atas permintaan Putra Mahkota Henry.
Tidak ada satu orangpun yang bertanya lagi padaku mengenai kejadian hari itu, mereka berpikir aku mengalami hal yang sama seperti Roselyn. Dari sekian banyak rentetan kejadian, semua seperti potongan yang tersebar dan hanya Avallon yang mengetahui sebagian kecil cerita.
Duke Avallon yang hanya mengetahui aku menjadi tawanan sosok menyerupai manusia berwarna emas dan bertarung dengannya, Duke Avallon tidak bisa menjelaskan bagaimana makhluk itu bisa muncul dan kenapa berusaha menculikku.
Padahal Aslan tidak pernah benar-benar mau menculikku, dia sengaja berbohong dan bermain-main dengan Avallon.
Jika mereka mengetahui secara detail kisahnya, mereka tidak akan percaya.
Mulai dari teleportasi yang salah, bertemu Phoenix dan menemukan batu Mareks. Siapa yang akan berada di sisiku jika aku mengatakan Roselyn berusaha mengutukku?
Aku tidak cukup bodoh. Terlepas dari Roselyn berbohong atau tidak, aku tidak berada di posisi yang cukup aman untuk menyuarakan kebenaran. Roselyn sendiripun bersikap sangat normal seperti dirinya yang biasa. Aku tidak ingin mencari tahu lagi, tapi satu hal yang pasti, aku menjadi lebih hati-hati, terlebih lagi Aslan mengingatkanku untuk selalu waspada pada Roselyn.
Sampai detik ini aku masih belum mengerti bagaimana sistem kerja Perjanjian Jiwa yang mengikatku pada Aslan dan Sqeeth. Kedua datang bagai badai, menuntut Perjanjian padaku, tapi setelahnya mereka menghilang begitu saja seperti asap.
Dua hari ini begitu tentram, semua kejadian itu bagaikan mimpi dari alam bawah sadarku sendiri. Mengingat bahwa apa yang terjadi ketika aku berusaha menyembuhkan Pangeran Adalgard hanya aku yang mengetahui, hingga tidak ada satu orangpun yang mendesakku memberi penjelasan.
Midas sempat bertanya, tapi aku sengaja memberikan wajah bingung. Jika semua kejadian saat itu hanya aku yang bisa menyaksikan, maka tidak ada gunanya menjelaskan.
Baik Aslan maupun Sqeeth, keduanya tidak pernah menampakkan diri di depanku seperti saat aku berusaha menyembuhkan Callisto. Keduanya hanya muncul dalam mimpiku, berdebat seperti sebelumnya, saling menjawab sengit dan membiarkanku menjadi penonton karena tidak bisa bersuara sama sekali.
Hari ini aku menghabiskan waktu di satu-satunya perpustakaan di Pulau Ennius, dan mereka memiliki banyak sekali buku mengenai tanaman obat. Tempat yang amat sangat cocok bagiku yang lebih menyukai waktu dalam kesendirian.
Memasuki minggu kedua di Pulau Ennius, aku tidak lagi bisa mengakses laboratorium, karena ditutup sejak insiden beberapa hari lalu. Tidak ada berita jelas mengenai apa dan kenapa, tapi beberapa gosip beredar kalau laboratorium hancur berantakan setelah tanaman mandrake menggila. Ada juga yang bilang karena Aslan marah, tidak suka ada yang masuk ke Hutan Terlarang hingga membuat seluruh tanaman di laboratorium layu.
Pagi ini aku bisa mendengar suara Aslan dalam benakku, seperti biasa mengobrol sengit dengan Sqeeth.
Aku sempat takut-takut bertanya tentang keberadaan mereka dalam benakku, dan sedikit bertanya tentang Hutan Terlarang, tapi Aslan menjawab dengan jawaban ambigu, tidak mengatakan apapun tentang Hutan Terlarang.
Sqeeth juga tidak menjawab pertanyaanku saat aku bertanya kenapa Roselyn bisa melupakan kejadian malam itu. Apakah mungkin karena ada campur tangan sihir hitam?
Tanganku bergerak membalik halaman buku yang tengah aku baca.
"Iliana? Brainne? Kau serius? Aku tidak pernah ingat dia menyisir rambutnya, ha ha ha!"
Terdengar suara Roselyn yang sangat jelas, bicara dengan suara riang dan tawa merdunya. Aku yang duduk di salah satu sudut rak buku tinggi yang berjajar, mendengar suara Roselyn yang sepertinya beberapa meter dariku. Lagi-lagi pendengaran tajamku selalu berguna di saat yang tidak aku inginkan.
"Kenapa kau bisa tidur sekamar dengannya?" ini suara Roxie.
Jadi mereka sedang membuat grup khusus yang membicarakanku? Apakah membahas tentangku membuat mereka senang dan merasa lebih tinggi derajatnya dariku?
"Kau tahu 'kan Sir Farvald yang mengatur pembagian kamar, jadi aku tidak punya pilihan."
"Aku dengar dari Midas, Brainne melakukan perjanjian dengan Aslan, Sang Spirit Penguasa Hutan." Kali ini suara Xenou yang menimpali.
"Mungkin saja, tapi tanda seperti itu tidak bisa membuktikan apa-apa. Kau tidak melihat ada peningkatan sihir padanya 'kan?" Roselyn mengembalikan pernyataan Xenou, dan aku tidak lagi mendengar suara Xenou.
Aku tidak bisa melanjutkan bacaanku, dan segera meletakkan buku di rak, memutuskan untuk undur diri dan membiarkan mereka membicarakanku dengan lebih leluasa. Mendengar mereka bicara lebih dari ini mungkin akan membuat telingaku berdarah.
Aku berbelok ke koridor mengarah ke sisi berlawanan sumber suara, langsung menuju pintu keluar.
"ILIANA!"
Suara lantang khas ksatria menggema di perpustakaan, seolah mengumumkan kehadiranku di perpustakaan, dan benar saja, semua orang tengok kanan kiri mencari posisiku, dan saat menemukanku, semua melihat ke arahku.
Ah, habislah aku.
Aku melupakan satu lagi orang yang menyebalkan di pulau ini, Pangeran Adalgard.
Dia selalu bersikap sok akrab sejak awal, tapi setelah aku berhasil mengeluarkan racun Phoenix dari tubuhnya, dia semakin ketat menempeku setiap hari. Selain mengekorku setiap ada kesempatan, dia juga terus memaksaku memanggilnya Callisto. Sering kali aku menghindarinya karena banyak yang mengira aku dan dia memiliki hubungan khusus. Aku tidak ingin membuat rumor lain yang bisa jadi bahan obrolan orang-orang yang tidak menyukaiku.
"Oh ada Iliana. Kau mau kemana?" Roselyn tiba-tiba muncul di sebelahku, tersenyum tanpa dosa. Tangannya bahkan merangkul lenganku seolah kami teman akrab.
Aku meneliti raut wajahnya lekat-lekat, dan senyum di wajahnya terlihat sangat manis, tulus tapi aku tahu betapa beracunnya hati yang menyimpan kebencian.
Betapa tidak adilnya Dewa. Memberikan segala macam keberuntungan pada Roselyn setelah dia melakukan hal paling buruk kepadaku. Bukankah melupakan kejahatan yang dilakukannya adalah keberuntungan yang tidak adil dari Dewa?
Roselyn mungkin berpikir aku tidak mengetahui kebenaran dalam hatinya, berpura-pura baik padaku dan menjatuhkanku dengan cara halus. Aku tidak bisa membaca raut wajahnya ketika berusaha dengan amat keras seperti ini.
"Ke-kenapa Iliana melihatku begitu? Apakah Iliana masih marah padaku?" Mata Roselyn mulai berkaca-kaca. Lewat bahunya aku bisa melihat beberapa pasang mata yang melihat ke arah kami penuh rasa ingin tahu.
Melihat sikap Roselyn membuatku muak. Jika membenciku, bencilah aku dengan terang-terangan, aku juga tidak pernah berusaha disukai. Jika mereka membenciku, maka aku akan mengecilkan kehadiranku. Bukan karena aku takut terluka, tapi aku kasihan jika mereka harus berpura-pura seperti ini. Memasang dua wajah bukankah melelahkan?
Aku mencondongkan badan ke arah Roselyn, dan berbisik, "Aku tidak ingin mengatakannya, tapi sandiwaramu sangat membosankan."
Roselyn membelalak dan dengan begini aku mendapatkan jawaban yang aku inginkan. Dia benar-benar tidak ingat kejadian di Hutan Terlarang, lihat saja bagaimana matanya membesar melihat ke arahku seolah aku baru saja membongkar rahasia terbesarnya.
Matanya membesar dan mulai basah, seolah ingin menampik tuduhanku, berusaha terus menjadi seorang berhati lembut dan pengasih.
"Sebaiknya kau menangis lebih keras dan buat aku sebagai antagonis utama. Jika kehadiranku membuatmu muak, kenapa tidak menghindariku? Apakah merundungku menjadi kegiatan menyenangkan bagimu?" tambahku seraya tersenyum sinis, dan air mata yang hampir menetes di pelupuk matanya tiba-tiba mengering seperti oasis fatamorgana di gurun.
Menunggu reaksi dari Roselyn sangat menyenangkan bagiku. Jika pada akhirnya kami akan menjadi musuh bagi satu sama lain, kenapa aku harus menghindar? Bukankah perang terbuka lebih mudah bagiku? Sehingga aku tahu kapan dan siapa saja yang berniat menyerangku.
"Benarkah Iliana tidak marah padaku?" Roselyn berseru sangat keras dan memelukku tiba-tiba.
Aku kira sandiwaranya sudah berakhir, tapi sepertinya Roselyn sangat konsisten dengan perannya.
Roselyn mendekatkan mulutnya ke telingaku seketika. "Aku kira kau benar-benar bodoh, dan selamanya tidak bisa membaca situasi. Seharusnya kau terus bermimpi seperti yang kau lakukan selama ini. Aku hampir bosan terus menjadi objek pengharapanmu, Avallon tidak akan pernah menganggapmu seperti yang kau inginkan." Roselyn berbisik dengan suara manisnya tepat di telingaku, dan aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.
Ini bukan hal baru, karena dia hanya mengulangi apa yang sudah dikatakannya saat kami berada di Hutan Terlarang, tapi caranya bicara benar-benar tidak berubah. Raut wajahnya yang tampak manis tapi beracun, nada dalam suaranya yang bersahabat tapi menjatuhkan.
"Kau tahu kenapa aku tidak mau dipanggil Ash sekalipun nama tengahku Ashley?"
Aku terdiam tidak menjawabnya.
"Karena aku membencinya! Aku tidak ingin orang-orang menyamakanku denganmu. Nama Ash, adalah aib. Selamanya kau hanya akan menjadi pecundang dimanapun kau berada. Aku tidak ingin berada di kubangan yang sama dengan kau yang berdarah campuran!" Desis Roselyn tepat di telingaku, dan seketika aku merasakan nyeri di perutku, jejak aura yang sangat samar tersisa dari tangan Roselyn yang menyusup di antara kami. Tubuhku membeku, tidak bisa digerakkan sama sekali.
Apa yang terjadi?
"Bisa menyembuhkan Pangeran Adalgard hanyalah kebetulan bagimu. Mereka menyebutmu pembawa petaka karena karena kesalahanmu. Aku; Ray; sampai Yang Mulia masuk ke Hutan Terlarang dan membuat dua makhluk mitologi menunjukkan diri dan menghancurkan laboratorium. Lalu, tanda di lehermu? Itu hanya bukti kau pembawa sial. Jika kau memang Jiwa Yang Terpilih, bukankah seharusnya sekarang kau menjadi sekuat Icarus?! Kau hanya perlu terbaring beberapa hari sebelum menjemput maut, Ash!" Roselyn tersenyum sangat lebar sambil mengatakan kalimat beracunnya.
"Kalau begitu aku duluan ya!" Roselyn melambai padaku dengan riang, bergegas meninggalkanku.
"Ayo kita ke rumah kaca menjemput Emily!" Roselyn bicara pada rombongannya, dan aku bisa mendengar jelas suara langkah mereka yang semakin menjauh.
Tubuhku tidak bisa digerakkan, nyeri yang bersumber dari perutku menjalar hingga keseluruh tubuh.
"Hei Iliana," Pangeran Adalgard menghampiriku dan menepuk bahu penuh antusias. "Bagaimana kalau kita ke rumah kaca. Aku dengar dari Emily mereka akan panen bunga langka hari ini."
Callisto bicara dengan mata berbinar ke arahku, tapi aku tidak bisa bereaksi.
'Aku sudah bilang kau tidak boleh lengah!'
Suara marah Aslan bergema di kepalaku. Napasku terasa berat mendengar nada peringatan darinya. Sekalinya muncul dia hanya datang untuk memarahiku. Aku tidak bisa menggerakkan badanku, bahkan berkedip saja aku tidak sanggup.
'Manusia licik itu bahkan mengusai sihir tabu seperti ini. Kau harus hati-hati menghadapinya!'
Aku tidak mengerti apa yang dimaksud Aslan, tapi dia tiba-tiba muncul di hadapanku, membuat wajahnya yang tembus pandang, tumpang tindih dengan wajah Callisto, mataku seperti melihat ilusi.
'Sihir mematikan bagian tubuh seperti ini bisa membuatmu mati suri selama berhari-hari.'
Aslan menempelkan dahinya ke dahiku, dan terpejam. Perlahan aku merasakan aura yang mengalir darinya, dan sakit di perutku berkurang. Badanku yang kaku bisa aku gerakkan, mulai dari ujung jari tangan, lengan, tapi tiba-tiba tubuhku limbung. Bagai kehilangan tenaganya, lututku lemas begitu saja.
'Haruskah aku menghabisinya?' Sqeeth ikut muncul dengan kedua tangan terlipat di dada, tampak kesal melirik ke arahku.
'Jangan ganggu konsentrasiku, Sqeeth!' protes Aslan yang masih menempelkan dahinya padaku. Saat dia bicara dengan nada tinggi, telingaku sampai berdenging. Dia menegur Sqeeth, tapi kenapa seperti aku yang sedang dimarahi?
"Iliana?" Callisto mengguncang bahuku dan aku hanya bisa tersenyum sambil mengangkat tangan, memintanya menunggu karena lidahku masih belum bisa aku gerakkan.
'Aura anak itu membuatku resah. Aku merasa aneh sejak awal dia masuk Pulau Ennius. Sepertinya jiwanya terlalu gelap bahkan sebelum inti sihirnya bangkit.' Sqeeth kembali mengeluarkan kalimat pamungkas yang tajam, tapi aku tidak heran jika dia bisa melihat sampai ke jiwa manusia, mengingat dia makhluk yang sudah hidup ribuan tahun.
'Apa bedanya denganmu?! Memaksa Perjanjian dengan jalur ancaman!' Aslan menimpali.
Ah, kalau mereka berdua sudah muncul begini aku selalu jadi sakit kepala.
Bukan aku tidak bersyukur sama sekali karena mereka selalu datang menolongku, tapi bisakah mereka melakukannya dengan cara yang lebih manusiawi? Mereka adalah dua spirit dengan kekuatan besar, ketika mereka berdebat, aku bisa merasakan dengan jelas tekanan kekuatan dari keduanya hingga badanku seperti terbakar bersama emosi mereka yang terus meningkat.
'Latasha, kalau kau izinkan, aku ingin sekali saja menghajar Bocah Pegasus Kurang Ajar ini!'
Sqeeth melirik sengit pada Aslan, tapi Aslan mengabaikannya dan terus mengirimkan kekuatannya padaku. Hanya beberapa detik yang berlangsung, tapi Aslan berhasil menetralkan sihir Roselyn, nyeri di perutku berangsur hilang.
"Aku akan panggil Sir Farvald!" Callisto buru-buru berdiri, namun tanganku bergerak cepat menyambar tangannya, menahannya yang hendak meluncur pergi. Beberapa orang yang berada di perpustakaan melihat ke arahku penuh tanya.
"A-aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing," jelasku setelah memastikan lidahku bisa berfungsi dengan baik.
Roselyn benar-benar lawan yang tidak biasa. Dia menguasai banyak sihir tingkat tinggi, bisa berteleportasi sesuka hati, ilmu pedangnya juga bagus. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk menyiapkan diri kalau-kalau dia menyerangku mendadak seperti tadi?
'Aku akan memasang sihir pelindung padamu'
Sqeeth menggerakkan jarinya santai, membuat tubuh Callisto tiba-tiba terseret hingga menabrak rak buku di seberang. Semua berlangsung sangat cepat, dari Sqeeth mengangkat tangan hingga Callisto yang melihat kanan kiri dengan wajah bingungnya menujukkan dengan jelas otaknya yang tidak mengerti dari mana dan apa yang membuatnya terlempar.
Aku kasihan melihatnya sejak awal jadi bulan-bulanan Sqeeth. Cara Sqeeth selalu di tepi jurang, mengancam nyawa dan membuatku ngeri.
Sqeeth melirik Callisto dengan ekor matanya.
'Aku menyukai anak ini. Dia punya elemen yang sama denganku. Aku ingin mengikat Perjanjian dengannya, karena itu aku sengaja menanam racun di tubuhnya, dan-'
'Lalu kenapa kau mengincar Ash?' kali ini Aslan menyambar jauh lebih sengit dari sebelumnya.
'Aku sudah berjanji akan melindungi keturunan Arkais sebagai hukuman lain yang diberikan Valtis.' Sqeeth menjawab dengan santai sambil meletakkan tangan di belakang kepala, tidak terpancing sama sekali.
Sosok dengan rambut merah keemasan sebahu itu meraih tanganku dan mengangkatnya hingga dekat ke wajahnya. Matanya mengilat penuh dominasi saat bertemu pandang denganku, tapi dia malah tersenyum mendapatiku tertegun karena mengagumi wajahnya.
'Aku tidak ingin kau jatuh cinta padaku, Latasha!' bisiknya seraya mengarahkan wajahnya ke bagian dalam lenganku. Pipiku langsung panas membara, pandanganku otomatis turun menghindari mata Sqeeth yang terlalu memukau.
'Protectiga maxime Iliana Latasha Brainne soule, forigarigan un Sqeeth de Phoenix.'
Suara Sqeeth menggema dari tangan hingga seluruh tubuhku, bisa dengan jelas aku rasakan setiap kata yang keluar dari mulutnya menyelubungiku bagai selimut. Hangat terasa dari bibir Sqeeth yang menempel di lenganku. Setiap detik berlalu sangat lambat, seluruh pandanganku tertuju pada sosok Sqeeth. Setiap gerakan dari tubuhnya terlihat sangat indah, rambutnya yang seperti tertiup angin, bulu matanya yang panjang bergetar seiring gerakan kepalanya.
'Mulai saat ini sihirku akan melindungimu. Tapi sebagai gantinya kau harus memberikan darahmu untukku tiap bulan purnama agar sihirnya bisa bertahan.'
Aslan mendecakkan lidah sambil menggeleng, wajahnya meledek Sqeeth terang-terangan.
'Spirit macam apa yang butuh darah Jiwa Pengikat setiap purnama, memangnya kau serigala jadi-jadian?!'
Sqeeth menoleh malas ke arah Aslan, tampak enggan meladeni ejekan Aslan.
'Latasha, maafkan aku kalau Spirit Hutanmu harus sedikit babak belur,' bisik Sqeeth seraya mengecup dahiku, jejak kecupannya terasa hangat dan aku hanya bisa terbengong melihatnya melayang cepat dan langsung menyambar belakang jubah Aslan, membawanya seperti sekarung gandum, terbang menembus dinding perpustakaan.
"Iliana, barusan apa yang-" Callisto berlari ke arahku dan tampak linglung, melihat ke semua tempat tapi tidak melihat ada yang aneh dimanapun matanya mendarat.
Aku hanya tersenyum masam, tidak ada yang bisa aku jelaskan padanya. Perjanjianku dengan dua Spirit itu akan menjadi rahasia terbesar dalam hidupku.
.
.
.