'Latasha!'
'Ash!'
'Ash, bagaimana kalau kita memetik bunga untuk ulang tahun Ayah?'
Tubuh mungil dengan rambut gimbal pendek berkulit gelap dengan cepat menggelengkan kepala, raut wajahnya diliputi muram saat nama 'Ayah' terdengar di telinga.
Kenapa aku mengingat hari ini?
Aku kira aku akan benar-benar melupakan ingatan ini, bukan kah ini sudah sangat lama? Seharusnya aku sudah melupakannya.
Aku tidak akan mengulang hari ini. Hari ketika ayah membuang karangan bunga buatanku. Aku yang hanya berusia 6 tahun masih terlalu polos, tidak berpikir kalau ayah akan 'benar-benar' menolak bungaku.
Dalam benakku yang masih terlalu sederhana, berpikir kalau bungaku kotor atau ada serangganya, sehingga ayah membuangnya. Tanganku yang masih terlalu mungil memetik bunga dari taman di belakang mansion, tukang kebun terlihat sangat senang karena aku menghabiskan hampir seharian hanya untuk memilih bunga apa yang harus aku berikan pada Ayah.
Sengaja sembunyi-sembunyi dari Ibu, aku menyiapkan buket bunga sendiri. Sekalipun aku menolak tawaran ibu karena terlalu malu, tapi pada akhirnya aku tetap membuatkan buket bunga.
Wajah tanpa ekspresi Ayah yang membuang buket bungaku terlihat sangat muda, tapi matanya begitu dingin tanpa emosi sama seperti terakhir kali aku melihatnya di kuil. Awalnya Ayah menerima buket bungaku saat aku memberikannya, tapi ketika aku sudah berjalan agak jauh, sengaja aku mengintipnya hanya untuk melihat wajahnya lagi, tapi detik kemudian karangan bungaku dilempar ke rerumputan dan ayah pergi meninggalkannya begitu saja.
Aku hanya terdiam saat melihatnya, dan tidak bercerita pada ibu karena aku tidak ingin membuatnya sedih karena dia sudah terlalu lemah terbaring di tempat tidur sepanjang hari.
Beberapa tahun kemudian aku baru mengetahui bahwa membuang hadiah adalah isyarat bagaimana orang tersebut memandang pemberi hadiah. Seolah ingin membuang keberadaanku dalam hidupnya.
'Iliana?'
Hatiku terasa begitu sakit. Aku tidak ingin menangis lagi.
"Auranya tidak stabil. Sepertinya dia mengalami mimpi buruk."
Suara siapa itu?
"Kita harus melakukan sesuatu, Iliana tidak boleh terluka. Dia harus kembali ke Lindbergh dengan selamat."
Suara-suara lain saling bersahutan. Aku ingin menyuruh mereka diam karena telingaku berdenging hingga kepalaku nyeri, tapi tubuhku sulit digerakkan. Dalam kegelapan aku melihat sosok ayah, wajahnya yang sempurna berhias kerut halus, dan bibirnya tersenyum sinis padaku.
'Akhirnya kau menemui takdirmu yang tertulis sejak lama.'
Ayah tertawa begitu keras, kemarahan dalam diriku membakar hingga tiap bagian dalam diriku. Api dalam diriku begitu kuat, percikannya mengirim aliran kekuatan yang tidak bisa aku kendalikan, dan ketika ayah kembali membuka mulutnya. Aku menggeleng kuat tidak ingin mendengarnya lagi.
'DIAM!'
Aku membuka mata seketika, seluruh tubuhku terasa panas, terutama leher yang digigit Aslan.
'Kau memang unik, Ash. Aku harus mengendalikan sihirmu jika tidak kau bisa menghancurkan semua yang ada di dekatmu.'
Suara Aslan terdengar sangat jelas dalam kepalaku. Sementara aku masih memproses keadaan sekitarku, pandanganku masih belum jelas karena kelopak mawar yang berjatuhan dari langit-langit, begitu banyak hingga wajah orang-orang yang ada di sebelahku tidak terlihat jelas.
"Kau lihat barusan?"
"Brainne benar-benar melakukannya."
Suara Sir Farvald dan Thomas saling bersahutan.
Kelopak mawar berhenti berjatuhan, dan menciptakan tumpukan kelopak berwarna merah darah di lantai. Saat aku melihat ke atas, aku hanya mendapati langit-langit berwarna putih gading yang berhiaskan lampu kristal gantung. Bingung dari mana datangnya kelopak mawar sebanyak itu.
Di sebelahku berdiri Midas yang masih membeku tepat di samping Raja Hardian yang terbelalak. Sir Farvald dan Thomas berdiri beberapa meter dariku, keduanya membuka mulut lebar-lebar sambil berkedip berkali-kali, tidak percaya.
"Apa yang kau rasakan, Brainne?"
Aku menoleh ke sisi berlawanan dan Icarus tengah menyentuh tanganku, memeriksa detak jantungku dengan usaha keras mengatur raut wajahnya.
Bagaimanapun juga dia berusaha, aku bisa melihat betapa enggannya dia memeriksaku.
Kepalaku menggeleng cepat dan menarik tanganku dari genggamannya. Aku tidak akan menyuarakan apapun yang aku rasakan padanya. Memberi tahu kondisiku sama saja memberi celah baginya untuk menjatuhkanku.
"Kau baik-baik saja, Iliana?" Raja Hardian meraih tanganku dan menggenggamnya erat, membuatku hampir terlonjak dari ranjang. Menyadari posisiku yang tidak sopan di hadapan Yang Mulia Raja Lindbergh, aku segera duduk dan menunduk dalam pada Raja Hardian.
"Jangan memberi hormat. Sebaiknya kau tidak banyak bergerak." Raja Hardian mengarahkanku kembali berbaring. Sikap baik Raja Hardian membuatku canggung. Setiap orang memberikan sorot mata bertanya yang sama. Raja Hardian memang sosok raja yang hangat, tapi ini pertama kalinya aku mendapati sikap lembutnya kepadaku. Apakah ini karena rasa hormatnya pada ayahku?
"A-aku baik-baik saja Yang Mulia," jawabku yang kembali membungkukkan badan.
"Brainne, apakah kau bertemu Aslan?"
Kaget mendengar pertanyaan yang ditujukan padaku, aku reflek menoleh pada Midas, tapi tidak menjawabnya, hanya meneliti kerut-kerut di wajahnya yang sepertinya bertambah banyak dalam waktu singkat.
"Aku hanya ingin memastikan, tapi tanda ini sama persis seperti legenda Jiwa Pengikat yang dipilih oleh Aslan."
Tangan Midas masih menunjuk ke arah leherku, dan saat aku sadari tempat yang dia tunjuk adalah tempat bekas Aslan menggigitku. Icarus dengan kasar menyodorkan cermin padaku. Sekalipun sempat melotot ke arahnya, aku menerimanya dan memeriksa leherku. Benar saja, di tempat yang sama terdapat gambar semanggi berdaun empat dalam lingkaran sihir dengan tulisan yang tidak aku mengerti.
Aku tetap bungkam.
"Aslan adalah spirit hutan tertua di Ennius, dan dia menggunakan bahasa kuno yang tidak banyak manusia mengerti."
Midas membuat semua orang terdiam penuh konsentrasi mendengarkannya. Raja Hardian semakin erat menggenggam tanganku, sementara binar di matanya semakin cerah seolah dia tengah mengharapkan sesuatu dalam penjelasan Midas.
"Arkais adalah darah yang akan selalu dipilih Aslan. Di sini tertulis. 'Wahai jiwa suci, jiwamu menjadi jiwaku. Ikatan ini akan menjadi penghancur bagi Penghuni Bumi yang tidak menghormati bumi.'"
Aku terbengong. Spirit Hutan itu menggunakan bahasa yang sangat tidak lazim. Tidak hanya itu, dia bahkan menuliskan sesuatu yang sangat tidak bermakna, atau aku yang tidak mengerti maknanya?
Icarus yang berdiri di sebelahku tampak bosan, bahkan dia sempat memutar matanya seolah ingin berkata, tidak tertarik dengan apapun yang berkaitan denganku.
"Icarus!"
Pintu ruangan terbuka dengan kasar dan sosok Roxie muncul, dia terengah-engah dan sontak membeku saat melihat Raja Hardian di sebelahku sambil menggenggam tanganku.
"Ma-maafkan aku Yang Mulia, tapi kondisi Pangeran Adalgard memburuk. Dia baru saja muntah darah dan Xenou bilang dia hampir menyerah karena inti sihir Pangeran Adalgard semakin melemah!"
Sir Farvald tampak sangat terkejut. Namun aku jauh lebih kaget, karena Pangeran Adalgard benar-benar luput dari benakku.
Aslan memperingatkanku agar segera menolongnya, tapi aku kehilangan kesadaran. Sudah berapa lama sejak aku keluar dari Hutan Terlarang?
Mendengar penjelasan dari Midas tepat setelah aku terbangun, membuat hal-hal lain tumpang tindih dalam benakku. Tanganku bergerak cepat menyibak selimut yang menutup sebagian tubuhku, melompat turun dan berlari secepat mungkin menuju Roxie.
"Dimana dia?" tanyaku.
Roxie terdiam sambil menatap bingung mendapati sikap panikku.
"Dimana?!" desakku lagi.
"Kamar Sir Farvald."
Kamar Sir Farvald ada di ujung sayap kanan mansion, jika aku berlari aku membutuhkan waktu. Aku memusatkan pikiran dan berpikir harus secepatnya berteleportasi. Aslan sudah mengingatkanku bahwa racun Phoenix sangat berbahaya dan bisa mematikan. Berapa jam sudah terlewat sejak aku hilang kesadaran? Berapa lama dia sudah bertarung dengan racun Phoenix?
Mantra yang terlintas dalam benakku terlihat begitu jelas, dan dalam sekejap cahaya terang keemasan mengalir dalam setiap pembuluh darahku.
'Bayangkan tempat yang kau ingin tuju, aku akan membantumu, Ash!'
Aku menuruti Aslan, dan tubuhku tersedot ke sebuah lubang hitam. Dalam sekejap aku sudah berpindah ke kamar Sir Farvald. Kamar berukuran besar itu hanya terisi satu ranjang. Pangeran Adalgard terbaring dengan wajah pucat dan napas terputus-putus. Aku berlari ke sisi tempat tidur, menggeser Xenou yang masih membeku kaget mendapatiku yang tiba-tiba muncul di tengah kamar.
"Bagaimana keadaannya?" tanya seraya memeriksa luka berbentuk cakar di bahu, perut dan lengan Pangeran Adalgard.
"Aku sudah melakukan semua yang aku bisa, tapi cakar Phoenix bukanlah luka sederhana. Tanaman penyembuhpun tidak bisa menolong."
Aku mengingat tanaman Ricinus yang bisa menangkal racun, tapi tanaman ini sangat langka di Lindbergh.
"Ricinus! Apakah kalian punya Ricinus?" tanyaku cepat, Xenou membelalak lebar sebelum mengangguk cepat.
"Kenapa aku tidak mengingat kalau Ricinus bisa melambatkan penyebaran racun?!" Xenou menepuk dahinya dan langsung berlari meninggalkanku.
Aku melihat luka yang masih terus mengeluarkan darah hingga kain perban yang menutupi luka berubah warna, dan tumpukan kain lain yang berwarna sama sudah menggunung di sisi meja. Dia sudah kehilangan banyak darah, keringat dingin mengalir diseluruh permukaan tubuhnya yang tidak tertutup.
"Pangeran Adalgard?"
Tangannya terasa sangat dingin, dan bulir keringat terus bermunculan di dahi hingga lehernya. Tanganku bergerak cepat mengambil kain baru dan mengganti kain yang membebat lukanya. Pangeran Adalgard meringis kesakitan dan menoleh ke arahku.
"Iliana…?"
Mulutnya bergerak samar menyebut namaku, dan dia masih sempat tersenyum saat aku mengusap keringat di dahinya.
"Ke-kenapa aku selalu ta-tampak menyedihkan di depanmu?" dia menghela napas berat dan kembali mendesiskan sakit yang ingin disembunyikannya lewat kata-kata meledeknya.
"Jangan banyak bicara. Bagaimana bisa kau terluka? Apa yang kau lakukan sebenarnya?" aku mengoceh karena panik mulai menguasaiku.
Aku terdiam dan memusatkan pikiran, berusaha menyalurkan auraku padanya.
'Pusatkan auramu pada jantungnya, racun Phoenix menggumpal di jantungnya! Sqeeth berencana mengambil jantung manusia ini.'
Aslan kembali berbisik padaku, dan aku memindahkan tanganku ke dada kiri Pangeran Adalgard. Pemilik wajah pucat itu melirik tanganku yang basah karena darahnya merembas ke sela-sela jariku. Entah berapa banyak darah yang sudah mengalir, tapi tidak ada tanda-tanda luka berhenti mengeluarkan darah.
Dadanya panas membakar. Tanganku mengeluarkan sulur berwarna silver dan menembus masuk kulitnya, tapi tiba-tiba ada cahaya merah yang terpancar dari dada Pangeran Adalgard dan gelombang besar sihir menghantamku. Tubuhku terpental hingga menabrak dinding, sekujur sendiku ngilu dan kepalaku langsung kosong.
'Sqeeth, kau berani menantangku?' Aslan mengumpat penuh kemarahan.
Belum sempat aku menanyakan siapa Sqeeth yang Aslan sebut, gelombang besar yang bersumber dari dadaku terasa begitu menyesakkan dan saat aku sadari sekujur tubuhku mengeluarkan sulur berwarna silver yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Kekuatan sihirku selalu di bawah rata-rata, hanya untuk mengeluarkan aura sekedar menyembuhkan luka kecil saja membuatku sangat kepayahan, lalu sekarang, melihat tubuhku yang mendadak bisa mengeluarkan aura yang begitu besar tanpa merasakan efek apapun, merupakan hal yang sangat mencengangkan bagiku.
Aku bangkit dan kembali ke posisi semula, mengabaikan nyeri di tubuhku dan menempelkan tanganku di dada Pangeran Adalgard yang hanya bisa menoleh ke arahku, mata lemahnya seolah berkata agar aku berhenti berusaha.
"Argh!" Pangeran Adalgard berteriak dan menggelepar kesakitan saat gelombang merah semakin besar, hampir menutupi seluruh tubuhnya, melawan auraku yang memaksa masuk ke tubuhnya.
Mataku tertutup rapat dan berdoa semoga Dewa berhenti menulikan telinganya. Sering kali aku berdoa tapi Dewa selalu mematahkan harapanku, tapi kali ini aku berharap Dewa tidak menutup telinganya. Aku benar-benar tidak ingin Pangeran Adalgard mati di hadapanku. Dia bukan orang jahat, sekalipun dia sering menyebalkan, tapi aku ingin menyelamatkannya.
"Brainne? Apa yang kau lakukan?!" Icarus berlari ke arahku, tapi aku mengabaikannya dan betapa kagetnya aku saat dia yang hampir menyentuhku malah terpental beberapa meter dariku. Dia terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya.
"Jangan mendekati Iliana kalau kalian masih sayang nyawa. Auranya saat ini terlalu besar!" Midas yang menyusul masuk ruangan bersama Raja Hardian tampak memeperingatkan siapapun yang mencoba mendekatiku.
Roxie, Sir Farvald dan Thomas melihat cemas ke arahku.
'Konsentrasi, Ash!'
Aslan menghardikku sangat keras, suaranya sampai membuatku bergidik ngeri. Spirit hutan ini benar-benar menakutkan ketika sedang marah. Wajah tampannya hanya membuatku terpesona sesaat, kalau ingat sifat buruknya aku merasa harus mempertimbangkan standar ketampananku sendiri.
Gelombang merah hampir sepenuhnya tertutup auraku. Saat aku berpikir hampir berhasil, tiba-tiba Pangeran Adalgard kembali meronta, tangannya mengepal kuat dengan mata sayu menatapku.
"Cu-cukup. A-aku tidak sa-"
"Kau tidak boleh menyerah! Aku tidak akan membiarkanmu menyerah! Kau harus kuat! Jangan kalah!" pekikku saat melihat Pangeran Adalgard mulai menutup matanya.
Tubuhnya berhenti berontak, tapi kemudian gumpalan darah yang begitu banyak menyembur keluar dari mulutnya hingga mengenaiku. Gaun putih yang aku kenakan berubah warna, rambutku pun berbercak darah.
Pangeran Adalgard tersenyum lemah ke arahku sebelum kembali menutup matanya rapat-rapat. Wajahnya seolah berkata 'jangan merasa bersalah, aku tidak akan menyalahkanmu sekalipun kau tidak bisa menolongku'
"Buka matamu! Callisto! Callisto!" aku menutup mata dan membayangkan jantungnya dalam benakku. Telekinesis! Aku harus memastikan jantungnya terus memompa. Aku mengerahkan semua kekuatanku dan mendorong gumpalan besar berwarna merah gelap dalam jantungnya bergerak perlahan keluar dari inti jantungnya.
'Bagus, Ash! Sekarang dorong racunnya ke tenggorokan, dia harus memuntahkannya!'
Menggabungkan sihir penyembuh dan telekinesis sekaligus tidaklah mudah. Tanganku gemetar menahan tekanan di kepalaku. Detak jantung Pangeran Adalgard terdengar sangat jelas di kepalaku, seolah bagian dari dirinya melebur bersamaku. Keringat dingin mengalir di dahi dan leherku ketika inti sihirku terbuka sepenuhnya. Sedikit demi sedikit gumpulan berpindah, sedikit lagi.
"KYAAKK!!!"
Suara memekakkan telinga terdengar dari luar bangunan. Suara gelegar terus berlangsung dan tiba-tiba jendela balkon hancur memekakkan telinga, sayap merah keemasan menerobos masuk, dan tiba-tiba burung Phoenix yang ukurannya hampir setinggi badan manusia dewasa menerobos masuk melalui balkon.
Sekelilingku begitu kacau ketika suara pekik dari Phoenix tidak berhenti, dan terbang di ruangan.
"Xenou!" Icarus berteriak ketika Phoenix hendak mencengkram bahu Xenou yang tengah memegang taaman Ricinus.
Sekelebatan pandanganku bisa melihat Xenou merunduk, tapi tidak cukup cepat hingga Phoenix berhasil menangkap Xenou, seolah menjauhkan Xenou dariku.
Seolah mengetahui tujuan kami menyembuhkan Pangeran Adalgard, burung legendaris itu menyerang Xenou? Membuat orang-orang di ruangan panik.
Bukankah dia terlalu pintar? Makhluk apa sebenarnya Phoenix ini?
Kepakan sayap merah keemasan itu menerbangkan apapun di dekatnya, tapi setelah terbang beberapa putaran, dia melempar Xenou begitu saja ke lantai. Suara berdebam sangat keras, dan Xenou tidak bergerak. Dia pingsan, aku masih bisa melihat pancaran auranya melemah.
Sayap merah keemasan terbentang lebar dalam kamar, matanya berkilat penuh waspada melihat ke arahku, seketika pipi kananku panas seperti terbakar.
"Argh!" aku mengerang dan kehilangan konsentrasi. Gumpalan racun yang seharusnya bisa keluar itu kembali merambat ke jantung Callisto, membuatnya kembali terbatuk lemah mengeluarkan gumpalan darah.
"SQEETH!"
Aku terkesiap ketika jejak emas menguar dari tubuhku. Desiran aura yang sangat besar membakar seluruh tubuhku ketika sosok Aslan muncul, bergerak cepat menghadang burung besar yang hendak menubrukku itu. Hanya terlihat sekelebat bayangan emas yang mampu aku lihat. Perhatianku kembali pada Callisto, mencoba mengabaikan panas membakar dari pipiku seraya memusatkan telekinesis kembali ke jantungnya.
Panas di pipiku pasti karena bekas cakaran Phoenix. Aslan tidak benar-benar menyembuhkanku. Jika dia benar-benar menyembuhkanku, kenapa aku masih merasakan sakit dari bekas cakaran ini?
"Berhentilah membuat kekacauan!" Aslan kembali berteriak.
"Apa-apaan ini? Dua makhluk mitologi muncul sekaligus?" suara Midas yang dipenuhi kekaguman terdengar jelas di telingaku.
"Kenapa makhluk keemasan itu keluar dari tubuh Brainne?" Sir Farvald menimpali dengan nada cemas.
"Roxie, aku perlu bantuan menyembuhkan Xenou!" Icarus berseru lantang.
Terlalu banyak hal yang terjadi membuatku sulit memusatkan konsentrasi. Aku harusnya tutup telinga. Ini bukan saatnya kemampuan pendengaranku beraksi, aku harus segera membebaskan Callisto dari racun ini.
Pandanganku semakin terang seiring konsentrasiku yang kembali, dan aku bisa melihat gumpalan racun itu mengeluarkan akar, yang tiap akarnya menancap ke jantung Callisto.
Berhentilah melawanku, racun sialan!
Kekuatanku semakin kuat mendorong, auraku sudah sepenuhnya menyelimuti Callisto. Tubuhnya sudah stabil dan tidak lagi dikuasai sihir Phoenix. Tapi kepalaku mulai berat, dan tubuhku bermandikan keringat dingin.
"Jangan bercanda! Kau bisa melawannya, jangan biarkan aku berjuang sendiri, Pangeran Adalgard!" geramku saat gumpalan bergerak semakin lambat saat mendekati tenggorokannya.
"CALLISTO! BANGUN!" aku berteriak kuat ketika gumpalan racun berhasil aku dorong hingga tenggorokannya. Callisto harus memuntahkan gumpalan dengan kemampuannya sendiri, aku tidak bisa membuatnya muntah ketika tubuhnya kehilangan kesadaran.
"Muntahkan!"
Wajah pucat Callisto berkerut.
"Ukhuk! Ukhuk!"
Callisto terbatuk, dan gumpalan besar berwarna kehitaman terlontar dari mulutnya. Matanya mengerjap berkali-kali melihat kedepan, berusaha fokus.
"Ah ... akhirnya!" aku mendesah penuh kelegaan dan merasakan seluruh tubuhku kehilangan tenaga.
"Omong kosong!"
Suara besar penuh karisma membahana membuat seluruh dinding dan atap ruangan bergetar. Aku menoleh ke sumber suara dan tiba-tiba saja pipiku kembali tersengat panas. Aku mengerang dan menutup pipiku, sekujur tubuhku mendadak seperti tersengat listrik hingga kepalaku seperti dihantam berkali-kali.
"Iliana?"
Tangan Pangeran Adalgard mencengkram bahuku sebelum tubuhku limbung.
Bagai berganti posisi, sekarang Callisto yang menanyakan keadaanku. Baru beberapa detik yang lalu dia terbaring bagai orang hampir kehilangan nyawa, sekarang dia duduk tegap dengan kedua tangan memegang bahuku. Aku hanya tersenyum getir. Betapa cepatnya keadaan berubah.
"Latasha bukan milikmu! Singkirkan sihirmu, Burung Sialan!" Aslan lagi-lagi mengumpat.
"Aku yang pertama kali bertemu dengannya!"
Sosok berjubah merah dengan rambut merah keemasan tengah melayang di tengah udara, berdiri berhadapan dengan Aslan. Berdiri berdampingan, keduanya terlihat sangat indah, tidak manusiawi. Perpaduan emas dan merah, bagai pemandangan langit di kala senja.
Apakah sosok berjubah merah itu adalah Phoenix? Mereka bisa berubah menjadi wujud apapun yang mereka mau?
"Peri hutanku yang pertama kali bicara dengannya!" Aslan menimpali.
"Tapi bukan berarti kau bertemu dengannya langsung. Minggir!"
"Aku tidak akan membiarkan Latasha mengikat perjanjian denganmu!"
Aku melongo melihat keduanya saling sahut menyahut dengan suara besar menggelegar. Mereka berdebat, tapi kenapa aku merasa mereka lebih terlihat seperti teman lama yang sedang merebutkan hadiah.
Keduanya seperti tidak akan bertarung sengit sekalipun saling menyerang dengan kata-kata, ya, mereka lebih terlihat seperti sahabat lama yang tengah adu argumen. Pandanganku beralih pada Xenou yang terduduk di pojok ruangan dengan tatapan kosong seperti orang bingung. Icarus dan Roxie di sebelahnya sedang menyembuhkannya. Sekalipun Xenou terlihat lemah, tapi dia tidak mengalami luka serius, auranya perlahan kembali menguat.
"Dia tidak membutuhkan Spirit Hutan kekanakan sepertimu!" sosok bermata merah mengilat itu melirik ke arahku dan lagi-lagi luka di pipiku terasa panas membakar.
"Cih! Menyebutku kekanakan. Kau bangga jadi burung tua berumur ribuan tahun?! Singkirkan sihirmu, Sqeeth! Kau hanya menyiksanya!" Aslan kembali menimpalinya dan berpindah tempat hingga aku tidak bisa melihat sosok Sqeeth, hanya melihat punggung Aslan.
"Kau pikir dia mau membuat ikatan dengan Spirit yang menyiksanya?!"
Entah harus aku sebut apa makhluk yang bernama Sqeeth itu. Dia burung Phoenix yang juga merupakan spirit? Spirit elemen apa? Api? Angin? Air? Aku hanya bisa memikirkan elemen itu setelah membaca sekian banyak buku tentang sihir dan elemennya.
"Hei Manusia berdarah Arkais!"
Aku terlonjak dan hampir terjungkal saat menghindari sosok yang tiba-tiba muncul di hadapanku, wajahnya sangat dekat hingga aku bisa melihat pantulan wajahku di manik matanya yang indah.
"Jawab aku, apakah kau mau membuat Perjanjian denganku?" bisiknya seraya menyentuh pipi kananku. Seketika rasa panas membakar di pipiku sirna, tapi aku masih terbengong mendapati wajah yang sangat sempurna di hadapanku. Sepasang matanya menatapku lekat, semakin lama aku lihat, semakin aku tenggelam dalam keindahannya.
"Ka-kau ini se-sebenarnya a-apa?" desisku dalam suara rendah, gemetar ketakutan.
Sqeeth tersenyum dan mengecup dahiku. Kenapa aku merasa kejadian ini seperti deja vu? Rasanya hangat dan ada gelenyar aneh yang perlahan menyelubungi hatiku.
Aku ingat! Aslan juga melakukan hal yang sama saat pertama kali muncul di hadapanku.
Apakah hobi makhluk mitologi seperti mereka, muncul tiba-tiba dan mengecup dahi orang asing?!
"Aku adalah Penguasa Api yang pernah mengikat perjanjian dengan kakekmu, Ignis Arkais. Arkais berjanji akan meneruskan perjanjian ke darah berikutnya, karena itu sudah menjadi hakku memilikimu!"
"Tidak ada istilah perjanjian jiwa turun menurun! Kau menyalahi aturan!" Aslan bergegas ke arahku dan menjauhkan Sqeeth dariku. Tangan besar Aslan menutup mataku dengan cepat, sekelilingku menjadi gelap, yang aku bisa rasakan tangannya yang lain melingkar di pinggangku.
"Percuma kau menghalangiku, karena aku sudah mendapatkan darahnya. Yang aku perlukan sekarang hanya dia menyebut namaku."
Tunggu dulu! Darahku? Jadi Phoenix di Hutan itu sengaja menyerangku untuk mendapatkan darahku? Kepalaku berdenyut sakit.
Pulau Ennius adalah habitat hewan purba, sihir kuno dan tanaman langka, namun siapa sangka jika aku akan mengalami banyak hal aneh di pulau ini?!
Kenapa spirit ini satu persatu muncul dan ingin membuat perjanjian?
Aku bahkan tidak terlalu bagus dalam literasi, membuat perjanjian bukanlah hal sederhana, karena itu aku selalu minta tolong Clift membantuku menafsirkan banyak tulisan yang tidak aku mengerti. Sihirku lemah, kemampuan penyembuhku juga tidak seberapa, terlebih lagi pengetahuan sejarah dan mitologi.
Kenapa mereka menyerangku bertubi-tubi? Darah Arkais apa yang mereka maksud?
"Latasha! Kau benar-benar ingin menyembuhkan temanmu?"
Mendengar pertanyaan Sqeeth, aku langsung menurunkan tangan Aslan dari mataku dan melirik Callisto yang menatapku bingung. Aku mengerahkan kekuatan pikiranku dan melihat ke jantungnya lagi. Jantungnya berubah warna, hitam pekat seolah darahnya berubah warna.
Bukankah aku sudah mengeluarkan racun dari tubuhnya? Lalu kenapa sekarang jantungnya berubah warna?
Pandanganku berpindah pada Sqeeth.
"Aku bisa dengan mudah menghilangkannya. Kau hanya perlu menyebut namaku." Sqeeth lagi-lagi bicara, suaranya berbisik manis sekalipun tanpa dilumuri madu, namun ancaman dalam nada biacaranya terasa begitu nyata bagiku.
Bagaimana bisa dia menyerang Callisto lagi? Kapan? Padahal aku jelas-jelas sudah mengeluarkan racun dari tubuh Callisto. Ini gila! Jika aku mengeluarkannya, dia akan mengulanginya seperti perputaran siang dan malam, berulang tanpa henti. Itu mimpi buruk!
"A-apa yang kau i-inginkan dariku?" bisikku gugup, tidak sanggup melihat mata merah sang pemangsa yang siap menerkamku.
"Jangan, Ash! Kau belum mampu melakukan dua perjanjian dengan satu jiwa." Suara panik Aslan terdengar sangat cemas, dan aku hanya terdiam melihat aura Callisto yang perlahan meredup. Dia tampak baik-baik saja, tapi auranya yang perlahan redup pertanda bahwa nyawanya perlahan ditelan kegelapan.
"Aku hanya ingin keluar dari pulau ini dan selamanya menjadi budakmu."
"Bu-budak?" aku bergidik mendengar kata budak dari bibirnya. Dia mengatakannya sambil tersenyum, seolah menjadi budak adalah hal paling membahagiakan di muka bumi.
Sangatlah tidak masuk akal jika spirit dengan kekuatan sihir yang sangat besar rela menjadi budak hanya karena menginginkan kebebasan dari pulau ini. Bukankah yang seharusnya terjadi kebalikannya? Aku yang mungkin menjadi budaknya.
"Jangan dengarkan dia, Ash! Dia hanya ingin terlepas dari kutukan Valtis Arkais! Leluhurmu mengutuk Phoenix Sialan ini karena melanggar jan-"
Aslan yang sedang mencoba menjelaskan sesuatu, tiba-tiba terhempas karena cahaya merah menyala dari Sqeeth menghantamnya. Sqeeth mampu menyerang Aslan tanpa banyak menggerakkan badannya. Gelombang kekuatan dalam dirinya begitu besar, membuatku berpikir, sebesar apa kekuatan yang dimilikinya ketika dia mengerahkan seluruh kemampuannya?
"Ukh!" Callisto tiba-tiba merenggut dada kirinya seraya jatuh terbaring, matanya mendelik melihat ke atas, sementara napasnya terputus-putus.
"Urgh!" Callisto mengerutkan wajah menahan sakit, dan sorot matanya kembali melemah.
Aku tidak punya waktu lagi!
"S-Sqeeth! Namamu Sqeeth, kan?" bibirku bergerak lebih cepat melihat Callisto yang kehabisan udara. "Apa yang kau inginkan? Aku akan lakukan, tapi selamatkan Callisto!"
"Sebut namaku." Sqeeth tersenyum tipis, dengan wajah diselimuti aura manipulasi. Radar di benakku mengatakan bahwa makhluk ini berbahaya, tapi aku tidak punya pilihan lain. Jika dengan melakukan perjanjian dengannya bisa menyelamatkan nyawa Callisto, aku akan menanggung resikonya.
"Sqeeth! Sqeeth! Sqeeth! Berapa kali aku harus menyebutnya?" selorohku panik, karena setiap detik yang terlewati kondisi Callisto semakin parah.
"Terima kasih, Latasha!"
Sqeeth tersenyum sangat lebar dan meraih tanganku. Cahaya merah keemasan yang menyelimutinya merambat padaku, menutupi jejak kerlip keemasan yang tertinggal dari Aslan. Kedua cahaya membaur dalam diriku, dan aliran sihir lain memasuki. Bagai cawan yang dipaksa menerima air dalam jumlah besar, aku bisa merasakan inti sihirku bertambah besar setiap aku menarik napas. Cahaya kemerahan yang keluar dari telapak tanganku, terasa hangat.
Jemari indah Sqeeth bergerak cepat menyentuh pipi kananku, dan dia menghapus panas membara yang terasa di bekas luka cakarannya.
"Burung sialan!" Aslan kembali berseru sengit, tangannya meluncur cepat hendak menghajar Sqeeth, tapi sang sasaran menghindar sangat cepat dan tangannya bergerak membuat lingkaran sihir di udara. Lingkaran sihir itu terbang menembus tubuh Callisto, mengubah tarikan napas yang tadinya pendek-pendek menjadi lebih stabil, dan detik berikutnya Callisto menoleh ke arahku. Tubuhnya yang sempat tegang menahan sakit, perlahan melemah, hingga kelopak matanya perlahan turun.
"Callisto?" Aku menyentuh bahunya, memeriksa bekas cakaran Phoenix yang perlahan mengering.
"A… aku mengantuk."
Apakah dia benar-benar sudah terbebas dari racun Pheonix? Kenapa suaranya terdengar aneh?
"Aku akan mimpi indah, karena akhirnya kau memanggil namaku, he he he." Callisto sudah tidak waras lagi. Bagaimana bisa dia tertawa setelah hampir kehilangan nyawa?
"Apa yang kau lakukan padanya?" aku mencecar Sqeeth yang melayang dengan santai di sebelahku, masih mengangkat tangannya karena menahan Aslan yang berusaha menyerangnya dengan tinju terkepal kuat. Sqeeth menggenggam tangan Aslan yang sedikit lebih kecil dari ukuran tangannya, masih tersenyum ke arahku seolah kemarahan Aslan tidaklah berarti.
Tidak ada jawaban dari Sqeeth, tapi melihat Pangeran Adalgard tertidur dengan gerakan dada naik turun yang teratur cukup membuatku lega. Auranya sangat stabil, dan wajahnya tidak sepucat saat aku pertama kali masuk ke ruangan ini. Dia benar-benar tertidur tanpa beban.
"Jangan terlalu emosi, kau juga melakukan hal yang sama 'kan?" Sqeeth bicara dengan sangat santai.
Apa mereka benar-benar berkelahi? Kenapa Sqeeth terlihat tidak serius sama sekali? Ataukah perbedaan kekuatan mereka sangat besar sampai Sqeeth tampak enggan meladeni Aslan?
"Kau sengaja membagi jiwa yang seharusnya menjadi milikku! Kau lupa Valtis menghukummu selamanya terikat pada Pulau Ennius karena kau melanggar perjanjian dengannya?!"
"Tentu saja aku ingat, Bocah Pegasus! Karena itu aku minta keturunannya yang membebaskanku."
Aslan tampak tidak suka mendengar Sqeeth menyebutnya 'Bocah Pegasus'. Wajahnya sangat bersungut-sungut, dan dia benar-benar terlihat seperti anak kecil.
"Urusan kita di sini sudah selesai, kau harus menyelesaikan urusanmu di Hutan Terlarang!" Sqeeth merangkul bahu Aslan, dan spirit yang sedikit lebih pendek darinya itu makin mengerutkan alisnya, melirik tajam ke arah Sqeeth sebelum keduanya benar-benar menghilang, menyisakan pernik emas dan merah di udara.
Apakah keduanya berteman? Kenapa mereka tiba-tiba terlihat begitu akrab?
"Apa yang baru saja terjadi?" Midas berlari dan mencengkram tanganku.
Aku terbengong.
Kenapa dia bertanya? Bukankah mereka melihat apa yang sudah dilakukan kedua spirit itu?
"Ada Pegasus dan Phoneix yang tiba-tiba muncul. Mereka mengelilingimu dan tiba-tiba Pangeran Adalgard memuntahkan gumpalan hitam. Kau berhasil menyembuhkannya setelah memanggil dua spirit legendaris?"
Semakin aku mendengarkan Midas, semakin bingung aku dibuatnya.
Kenapa dia bertanya seperti itu?
Seharusnya mereka mendengar dan melihat semua yang terjadi dengan jelas.
Apakah yang aku lihat tidak sama dengan yang mereka lihat?
"Apakah kau bisa memanggil spirit?" Raja Hardian ikut mencecarku setelah mendengar ucapan Midas, binar di matanya terlihat tidak wajar, menggebu-gebu seolah mengharapkanku menganggukkan kepala.
Tidak ada yang mampu aku katakan, karena pertanyaan mereka semua membuatku bingung. Bagaimana aku harus menjelaskan kejadian yang begitu panjang itu pada mereka? Lagipula, aku tidak ingin terdengar gila karena menjelaskan sesuatu yang tidak bisa mereka lihat.
"Yang Mulia." Icarus menghampiri Raja Hardian dan menunjukkan liontin di tangannya yang memancarkan cahaya berwarna biru. "Roselyn sudah sadar, dan Emily bilang ada yang aneh dengannya."
Perhatian semua orang berpindah pada Icarus, dan bagai mengunjungi bangsal penyembuh di kuil Arthemys, kami bergantian mendapatkan informasi tentang orang-orang dalam rombongan yang saat ini sedang dalam keadaan tidak sehat.
"Bukankah ada Tim Penyembuh Pulau Ennius sedang menjaganya?" tanya Raja Hardian yang tampak kesal mendapati Icarus mengalihkan perhatiannya.
"Benar, tapi aliran inti sihir Roselyn-" Icarus tidak mampu menjawab.
Midas keluar ruangan setelah mendengar ucapan Icarus. Sementara Roxie masih mendampingi Xenou yang belum sepenuhnya pulih, tampak ragu hendak bangun meninggalkan Xenou.
"Kau bisa pergi Roxie, aku akan menemani Xenou," kataku ketika Roxie melihat punggung Icarus yang menghilang di balik pintu.
"Tidak, aku akan mengantar Xenou ke kamarnya," jawab Roxie dengan wajah sengit.
Aku bahkan menawarkan bantuan, kenapa dia masih saja bersungut-sungut seperti itu? Bukan salahku Xenou jadi seperti itu, jadi tidak perlu memasang wajah siap menerkam begitu.
Aku mengatupkan mulut rapat-rapat, tidak ingin mendebat.
"Apa yang kau rasakan, Brainne? Apakah dua makhluk mitologi tadi kau yang memanggil?" suara Raja Hardian membuatku kembali menoleh padanya.
Aku menggeleng lemah, tidak ingin mengatakan apapun yang aku sendiri tidak mengerti. Dimulai dari semalam, hingga saat ini, terlalu banyak hal yang terjadi, hingga aku merasa tidak mampu menalarkannya dengan cepat.
Bahkan saat mendengar keadaan Roselyn, aku tidak merasakan cemas sama sekali, aku bahkan hampir tidak peduli. Tidak ada satu orang pun yang tahu bagaimana Roselyn menyerangku semalam. Jika aku menceritakan semuanya, apakah mereka akan percaya?
Kepalaku tertunduk, merasakan hatiku kembali mengecil membayangkan wajah-wajah sinis yang menatapku.
"Baiklah, kita akan bicara lagi nanti. Kau sebaiknya istirahat, Brainne." Raja Hardian menepuk bahuku, tampak menyerah sekalipun ada banyak pertanyaan yang tergambar di wajahnya.
"Sir Farvald, tolong antarkan Brainne ke kamarnya."
"Ti-tidak usah Yang Mulia. Aku bisa sendiri," jawabku cepat.
Penolakanku sepertinya tidak tepat sampai Sir Farvald tiba-tiba menatapku panik. Sosok tinggi besarnya langsung menaungiku dan hampir menggendongku turun dari tempat tidur, tapi aku mendorong tangannya cepat, langsung berdiri, dan tanpa banyak bicara lagi dia memboyongku keluar dari kamar.
Sir Farvald sempat meminta seorang pelayan pria untuk merawat Pangeran Adalgard saat berpapasan dengan salah satu anggota rombongan ekspedisi.
"Kau ini polos atau bodoh?!" Sir Farvald langsung menarik cuping telingaku saat kami berbelok ke koridor.
Aku masih belum mengerti dimana salahnya tindakanku? Aku hanya menolak tawaran Yang Mulia Raja, apakah tindakan itu menjadikanku manusia paling hina?
"Menolak kebaikan hati Yang Mulia Raja Hardian sama saja kau menganggap penilaiannya salah, dan kau mau dipenggal karena tidak menghormati Raja?!" Sir Farvald menjelaskan sambil mendelik ke arahku.
Sir Farvald terlihat jauh lebih cemas dari aku sendiri. Jujur saja aku tidak berpikiran seperti itu, aku menolak karena Sir Farvald adalah pengawal Yang Mulia Raja Hardian, jadi kalau Sir Farvald mengantarkanku siapa yang akan mengawal orang paling penting di Lindbergh?
"Sekarang kau istirahat dulu. Duke Avallon juga masih belum sadarkan diri, dia sepertinya sangat kelelahan sampai tidur berjam-jam."
Seingatku Avallon tidak terluka, karena Aslan tidak benar-benar menyerangnya, mungkin auranya banyak terkuras hingga dia butuh waktu istirahat yang lama.
"Semua karena Killian salah teleportasi, jadi berbuntut panjang begini!" keluh Sir Farvald yang ikut masuk ke kamar dan memastikanku sampai di tempat tidur.
"Aku tidak tahu detail apa yang terjadi. Saat mengetahui kau dan Roselyn tidak juga kembali dari laboratorium, Raja Hardian menyuruh semua pengawal mencari kalian. Parahnya kami malah menemukan kalian di Batu Kembar Mareks.
Roselyn tidak sadarkan diri, dan kau melayang dalam kepompong emas, sementara Duke Avallon pingsan tidak lama setelah kami tiba. Tidak ada yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tapi yang pasti, kalian berada di tempat yang paling salah di Pulau Ennius."
Sir Farvald memijat pelipisnya, dia terlihat jauh lebih lelah dari sebelumnya. Yang butuh istirahat bukanlah aku, tapi Sir Farvald. Melihat lingkaran hitam di bawah matanya, membuat siapapun sadar kalau dia pasti tidak tidur semalaman.
"Lalu bagaimana Pangeran Adalgard bisa terluka?"
Ada keraguan di wajah Sir Farvald.
"Raja Hardian menugaskan Pangeran Adalgard dan Thomas untuk memeriksa kapal utama, Midas mengatakan akan ada badai malam ini, jadi Yang Mulia Raja menugaskan mereka berdua. Awalnya aku juga ragu dengan perintah ini. Tidak ada tanda-tanda badai akan datang, semua tampak normal, langit juga cerah. Anehnya lagi, Thomas bilang, begitu sampai di pelabuhan, mereka melihat kapal dijaga dua Troll. Untuk apa menempatkan Troll di pelabuhan tanpa komando?" Sir Farvald mengerutkan kedua alisnya hingga hampir bertaut.
"Tapi semua berubah ketika ada sekelompok burung gagak menyerang mereka, membuat Troll mengamuk, dan tidak lama setelahnya Phoenix gila itu menyerang Troll sebelum tubuh besar mereka menimpa kapal, tapi anehnya Phoenix juga Pangeran Adalgard. Tentu saja Callisto tidak tinggal diam, dia berusaha melawan, tapi yah, seperti yang kau lihat. Dia terluka parah hingga tidak sadarkan diri."
Hembusan napas panjang penuh lelah dari Sir Farvald mengingatkanku bahwa Pangeran Adalgard sungguh tangguh, sekalipun banyak kehilangan darah, dia tetap menjaga kesadarannya.
"Aku bersyukur Pangeran Adalgard bisa diselamatkan. Apapun yang kau lakukan, merupakan aksi heroik. Sekalipun kau selalu tidak tampak dipermukaan karena kemampuan penyembuhmu sangat minim, siapa sangka kau bisa menyelamatkannya."
Sir Farvald menepuk bahuku, tampak bangga.
"Lalu, tanda di lehermu, bagaimana kau mendapatkannya? Apakah kau baik-baik saja sekarang?" Sir Farvald menekuk lututnya dan membungkuk demi menyamakan pandangannya denganku yang terduduk di tempat tidur. Entah kenapa sorot matanya begitu lembut, hingga aku berpikir ini pertama kalinya aku mendapati tatapan peduli yang sesungguhnya dari orang dewasa selain Annabelle.
Ada gumpalan besar yang menyumbat saluran napasku ketika aku melihat sorot mata Sir Farvald. Kenapa tiba-tiba nyeri menyerang hatiku hingga aku ingin menangis?
Tidak ada yang pernah benar-benar bertanya bagaimana dan apakah aku baik-baik saja.
Apapun yang terjadi, aku akan selalu menelannya sendiri, karena yakin tidak ada seorangpun yang benar-benar peduli padaku selain Clift & Annabelle.
"Brainne. Apa yang terjadi di Batu Kembar Mareks?"
Lidahku kelu, terlalu banyak yang terjadi di sana hingga aku tidak tahu harus mulai dari mana.
"Batu Kembar Mareks adalah gerbang sihir hitam. Siapapun bisa terjebak dalam sihir hitam jika salah menggunakan sihir di dekatnya. Aku hanya tidak ingin kau mengalami sesuatu yang buruk, Brainne. Aku berkata seperti ini karena aku tahu kau anak baik. Apakah Killian melakukan sesuatu yang terlarang?"
Aku tidak bisa menjawabnya. Melihat sikap Roselyn yang tidak aku pernah ketahui saja sudah cukup membuatku kaget. Dia yang selalu tampak manis, lembut dan berhati baik, tiba-tiba menjadi antagonis dan berusaha mengutukku. Betapa mengerikannya hati manusia, dari luar aku seperti melihat peri tapi siapa sangka ada jiwa jahat yang terpendam di sana.
Kepalaku tertunduk dalam. Keraguan merambat dalam hatiku. Jika aku menceritakan semuanya pada Sir Farvald, akankah dia percaya kalau Roselyn melakukan semua hal yang tidak masuk akal itu?
"Hah …. Baiklah. Aku yang salah, tidak seharusnya mendesakmu setelah kau mengalami banyak kejadian sejak semalam. Kau bahkan langsung menyembuhkan Pangeran Adalgard setelah bangun. Sekarang sebaiknya kau istirahat. Kau bisa bicara padaku kapanpun kau siap."
Sir Farvald menepuk bahuku dan tersenyum sebelum pamit meninggalkanku.
Mataku melirik pada fajar yang perlahan menghilang, matahari benar-benar mulai menempati takhtanya. Suara kicau burung sangat jelas dalam pendengaranku, suara kepakannya seperti bermain di telingaku, sangat dekat, hingga aku bisa membayangkan tiap helai bulunya yang bergerak.
"Lihat, itu Jiwa Pengikat Aslan."
"Bukankah dia Arkais yang bicara dengan kita seminggu lalu?"
Aku terpejam dan mendengarkan suara peri hutan yang saling bercengkrama di luar jendela balkon kamarku. Suara mereka sangat riang, dan memanjakan telinga. Semakin didengar, semakin besar kantuk menguasaiku. Suara mereka membelai kesadaranku, hingga aku tidak melawan gelombang rasa lelah yang tiba-tiba datang setelah semua kekacauan ini.
Aku akan tidur sekarang, mandi urusan nanti, aku terlalu lelah.
.
.
.