Seminggu di Pulau Ennius, aku lebih banyak menghabiskan waktu sebagai ekor Icarus dan tim penyembuh lainnya. Sehari setelah kami tiba di Pulau Ennius, Midas mengarahkan kami ke laboratorium yang menjadi tempatnya mengembangkan obat dan sihir penyembuh.
Pulau Ennius memiliki tim penyembuh handal yang sangat tertutup. Tidak ada yang diperkenankan masuk ke wilayah kerja tim penyembuh. Mereka memasang sihir khusus yang akan mengenali orang-orang yang diizinkan masuk, sehingga tidak diperlukan penjaga, tapi sihir pelindung yang ada akan langsung menyerang siapapun yang mencoba masuk tanpa izin.
Seluruh tim penyembuh ekspedisi Lindbergh diberikan akses untuk keluar masuk laboraturium setelah Midas memodifikasi sihir pelindung.
Aku suka menghabiskan waktu berlama-lama di laboratorium bersama orang-orang dari Pulau Ennius. Mereka menerimaku dengan tangan terbuka dan mengenalkanku pada banyak tanaman langka, yang selama ini hanya aku lihat dari buku. Mereka bahkan menanam pohon mandrake. Pohon yang biasanya dihindari banyak penyembuh, karena setiap menjelang senja akar pohon mandrake terbangun, meracau dengan suara mereka yang kecil dan melengking.
Saat senja tiba kami diharuskan meninggalkan lokasi kerja dan kembali ke mansion masing-masing. Menurut Xenou (pemimpin tim penyembuh Pulau Ennius yang masih memiliki keturunan darah elf), Aslan Sang Spirit Penguasa Hutan akan berkeliling Pulau Ennius setelah matahari terbenam, dan akan mengutuk siapapun yang masih memanfaatkan tanaman sihir setelah matahari terbenam.
Aturan itu berlaku sejak beratus-ratus tahun yang lalu.
Aku tidak heran, karena suasana pulau menjadi sangat berbeda antara siang dan malam. Ketika malam tiba, semua kegiatan terhenti kecuali makan malam dan pertemuan. Tidak ada aktifitas sihir sama sekali, seolah mereka membaur dengan kesunyian alam. Mungkin karena itu juga mereka bisa hidup harmonis dengan penghuni pulau selain manusia, dan rata-rata penduduk Ennius berumur lebih dari 100 tahun.
Saat malam tiba, warna langit berubah, jejak berwarna jingga dengan bintang yang bertebaran menghiasi dengan sangat indah. Langit Pulau Ennius selalu membuatku terkagum, ada banyak taburan bintang yang membentuk banyak bentuk gugusan, bersama sinar bulan membuat langit terang benderang.
Langkahku terhenti sesaat sebelum memasuki mansion. Aku hanya ingin mengingat warna dan bentuk langit yang selalu membuatku tersenyum. Ujung pandangku terpuaskan dengan jejak berkerlip di latar abu-abu.
"Apa yang kau lakukan di sini, Iliana?"
Pangeran Adalgard menghampiriku dengan jubah berkilauan yang tidak pernah aku lihat. Rambutnya terlihat lebih rapi, aku bahkan bisa mencium wangi yang tidak pernah aku dapatkan darinya, hilang bau kuda atau matahari yang biasanya menguar dari tubuhnya.
"Apakah aku terlalu tampan sampai kau terpesona begitu?" Pangeran Adalgard membungkuk dan membuat hidung kami hampir bertabrakan.
"Semoga kau bisa menyembuhkan sifat terlalu percaya dirimu itu!" tandasku yang langsung membuang muka ke kiri, menampik kenyataan wajahnya yang memang terlihat tampan.
"Aku kecewa dengan reaksimu." Pangeran Adalgard mendecakkan lidah sambil mencibir ke arahku. "Lalu kenapa kau masih di sini? Kau tidak bersiap untuk pesta malam ini?"
Pesta? Pesta apa?
"Kau terlalu banyak main bersama Penyembuh Ennius sampai lupa kalau kau itu tamu? Apa kau sudah menjadi warga Pulau Ennius?" tanyanya seraya menyentil dahiku.
"Tamu? Oh!" Sentilan menyakitkan itu cukup menyadarkanku sepertinya. Aku lupa kalau Ini malam pesta yang pernah disebutkan Roselyn.
"Kau bisa makan makaron sebanyak yang kau mau," bisik Pangeran Adalgard. "Auh…. Lihat matamu sampai membulat begitu. Kau sudah kena sihir makaron!" tambahnya lagi seraya mencibir, dan aku balas mengerucutkan bibir ke arahnya.
"Sudah sana siap-siap!"Pangeran Adalgard mendorong bahuku, dan aku langsung berlari meninggalkannya.
Suara musik terdengar jelas saat langkah kaki membawaku mendekat ke pusat pesta. Ada beberapa pasangan berdansa dengan gerakan ceria, sibuk mengobrol, makan cemilan, bahkan berdiri di pinggir lantai dansa sebagai penonton.
Aku tertegun saat melihat gaun yang digunakan semua orang di pesta. Gaun mereka sangat indah, bahkan Roxie yang aku kira tidak akan mengenakan gaun, terlihat cantik dengan gaun merah marun yang memeluk tubuhnya dengan pas. Bella juga mengenakan gaun indah berwarna biru langit.
Kesimpulannya, hanya aku perempuan yang tidak mengenakan gaun. Aku mengenakan sepasang celana dan baju yang biasa aku pakai ke laboratorium. Aku tidak punya gaun. Karena mereka meminta aku hadir, aku memilih baju terbaik yang aku punya. Jadi maaf saja kalau aku terlihat agak tidak sopan, aku akan kabur setelah kenyang memakan makaron.
Perhatianku langsung tertuju pada meja-meja yang ditata mengelilingi sudut ruangan besar. Langkahku ringan dan cepat menuju barisan kue. Makaron warna warni berbaris seolah memanggilku, ada kue sponge juga, biskuit dan masih banyak lagi.
Aku mencoba semuanya satu-satu, dan selalu tersenyum setiap kali lidahku merasakan kue yang sangat aku rindukan selama sebulan ini. Kue yang aku makan terakhir adalah biskuit Pangeran Adalgard yang rasanya sangat aneh.
"Brainne, Raja Hardian memintamu memberi salam."
"Awpha? Awkhu?"
"Telan dulu isi mulutmu!" Icarus bertolak pinggang, tampak sangat kesal dan jijik mendapatiku bicara dengan mulut penuh kue, bahkan aku menerbangkan beberapa serbuk makaron ke wajahnya. Aku menyambar gelas berisi jus jeruk, mengosongkan mulutku dan mengusap bibirku yang mungkin masih kotor bertaburan remahan kue.
Raja Hardian duduk di lantai 2 bersama Putra Mahkota, Midas, dan Roselyn. Anehnya tidka ada tanda-tanda kehadiran Avallon, Pangeran Adalgard dan Sir Farvald juga tidak terlihat. Apakah mereka sedang diberikan tugas khusus? Bukankah seharusnya mengawal keselamatan keluarga kerajaan menjadi tugas utama mereka?
Bukan Sir Farvald, malah Thomas yang mendampingi Raja dan Putra Mahkota, ada Icarus juga yang sekarang mengekorku. Kombinasi pengawalan yang begitu aneh.
"Salam untuk Yang Mulia Raja Hardian dan Putra Mahkota Henry, semoga cahaya suci Lindbergh selalu menyertai." Salamku terdengar kaku dan tidak sarat penghormatan sekalipun aku mengucapkannya sepenuh hati.
"Bangun, Brainne." Raja Hardian bersuara, dan tangannya yang tertutup pakaian dengan sempurna menepuk bahu Midas, pria tua dengan jenggot di sebelahnya.
"Aku memanggilmu karena Midas ingin bertanya. Apakah kau mengetahui legenda Aslan?" Raja Hardian bicara sambil tersenyum hangat.
Aku baru mendengar nama Aslan dari peri hutan yang aku temui saat pertama kali sampai di Pulau Ennius. Tidak mungkin aku menceritakan pada mereka kalau aku bisa melihat peri hutan, bisa-bisa mereka menganggapku semakin aneh.
'Kenapa orang dengan sihir lemah sepertimu bisa melihat peri hutan?'
Bisa aku bayagkan wajah mereka yang sinis dan skeptis dengan jelas dalam benakku.
"Tidak pernah, Yang Mulia." Kepalaku menggeleng cepat.
"Ibumu tidak pernah cerita?" tanya Midas yang matanya kali ini terbuka lebar penuh takjub.
"Ibuku meninggal saat aku masih kecil," jawabku cepat.
"Ayahmu juga tidak?" Midas bertanya dengan wajah 'aku tidak percaya!' yang sangat jelas.
"Ini pertama kalinya aku mendengar ada darah Arkais yang tidak pernah mendengar tentang Aslan." Midas menggaruk janggutnya dan tampak berpikir keras. Saat aku melirik Raja Hardian, wajahnya terlihat bingung dan alisnya berkerut sangat dalam. Putra Mahkota dan Roselyn yang berdiri satu langkah di belakang Raja Hardian, tidak menaruh perhatian pada obrolan kami, mereka saling berbisik dan menunjuk ke meja makanan.
"Tidak masalah, yang terpenting adalah darah yang mengalir dalam dirimu. Warna matamu bahkan menunjukkan bahwa darah Arkais dan Brainne sama kuatnya dalam dirimu. Semua dengan porsi yang imbang," seloroh Midas lagi.
Kerutan di wajah Raja Hardian menghilang, dia mengangguk puas dan tersenyum ke arahku.
Kenapa dengan darahku? Arkais?
Jujur saja situasi ini membuatku bertanya-tanya. Karena Raja Hardian tidak pernah sedikitpun menaruh perhatian padaku selama di perjalanan, aku bahkan hanya melihatnya dari kejauhan, tapi sejak kami sampai di Desa Utama Pulau Ennius, dia selalu menunjukkan wajah ramah yang jarang ditunjukkannya sekalipun di parade kerajaan setiap Festival Panen.
"Sudah waktunya."
Midas bicara sangat pelan. Aku bahkan tidak bisa menyebutnya sebagai bisikan, karena bibirnya tidak terlihat bergerak sama sekali, dan Raja Hardian langsung mengangguk samar.
Apanya yang sudah waktunya?
Mataku bekerja keras berusaha membaca apa yang tengah mereka bicarakan, tapi raut wajah mereka tidak berubah sama sekali.
"Laboratorium terkunci oleh sihir, kau hanya bisa memasukinya dengan sihir teleportasi level tinggi." Midas lagi-lagi bicara dengan suara rendah.
"Killian." Raja Hardian memanggil Roselyn setelah melirik ke bulan purnama yang terlihat menggantung di langit lewat jendela besar balkon yang terbuka.
"Ya Yang Mulia?" Roselyn menegakkan tubuhnya, tampak siaga menerima perintah dari Raja Hardian.
Raja Hardian berbalik dan mengisyaratkanku agar berdiri di sebelah Roselyn.
"Kau punya sihir teleportasi yang kuat." Aku bersumpah melihat mata Roselyn berbinar bangga setelah mendengar kalimat dari Raja Hardian. "Aku ingin kau membawa Brainne teleportasi ke laboratorium dan mengambil tujuh lembar daun Mandrake. Midas ingin menunjukkan obat langka yang sedang dikembangkannya."
Aku tertegun.
"Baik, Yang Mulia!" Roselyn menerima perintah dengan sepenuh hati, dan dia langsung merangkul tanganku.
"Ayo, Iliana."
"Tu-tunggu dulu, Yang Mulia! Setelah matahari terbenam, sihir tidak di-"
Belum selesai aku bicara, Roselyn sudah menutup matanya dan membuat lingkaran sihir di bawah kakinya. Aku melihat Raja Hardian dan Midas bergantian, mereka tersenyum bangga dan mengangguk puas ke arah kami.
"Roselyn kau-"
Cahaya terang membutakan menutupi pandanganku, dan aku bisa merasakan tubuhku seperti tersedot ke lubang kecil, membuat sekujur tubuhku seperti tertekan di segala sudut.
Apa mereka tidak tahu kalau setelah matahari terbenam, sihir di larang di Pulau Ennius? Tidak mungkin! Midas pemimpin tertinggi di Pulau Ennius!
Ini tidak masuk akal, dan aku tidak ingin Aslan mengutukku jadi kodok, mati muda, atau jadi batu.
Bagaimana caraku membatalkan sihir ini? Selama beberapa saat tubuhku terhimpit, dan yang menyadarkanku hanya rangkulan tangan Roselyn yang tiba-tiba terlepas.
Kenapa terasa lama sekali?
Jarak antara bangunan pesta dengan laboratorium tidaklah terlalu jauh, tapi ….
Angin dingin tiba-tiba terasa menggigit kulitku, bulu di tengkukku berdiri sempurna.
"Sial! Sepertinya aku salah menerapkan koordinat titik teleportasi."
Mataku terbuka, melihat Roselyn yang berdiri di sebelahku tempak celingukan bingung.
Sekeliling kami sangat gelap, dan saat mataku mulai terbiasa dengan kegelapan, aku melihat barisan pepohonan yang sangat rapat, semua batang berukuran besar seperti berusia ratusan tahun, menjulang tinggi dengan congkaknya.
Cahaya bulan hanya bisa masuk sedikit menembus dedaunan. Aku menyalakan api kecil di telapak tanganku, dan melihat kakiku yang menjejak, tenggelam sempurna di tanaman merambat hingga batas betis.
"Kenapa kita bisa ke sini?" tanyaku bingung.
"Aku juga tidak tahu! Bukan kau saja yang bingung, aku juga!" Roselyn tiba-tiba bicara dengan nada tinggi.
Aku terkesiap, kaget. Biasanya Roselyn akan selalu merajuk dan menangis setiap kali menghadapi kebuntuan, tapi kali ini dia terlihat lebih sengit. Ini pertama kalinya aku melihat wajah cantiknya berkerut marah.
"Ini semua karena kau! Kenapa Yang Mulai harus menyuruhku membawamu?!" gerutu Roselyn lagi. "Sihirku tidak pernah gagal. Kau yang selalu gagal, sudah menularkan kegagalanmu padaku!"
Seolah tidak cukup sekali, Roselyn membuatku lebih terkejut lagi mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. Aku tidak tahu kalau Roselyn bisa bermulut tajam begini. Dia selalu bersikap manis dan lemah. Tapi anehnya, aku tidak sakit hati mendengar ucapannya, mungkin karena sudah bertahun-tahun aku mendengar orang lain membicarakanku sebagai keturunan Brainne yang gagal.
Aku menarik napas panjang dan mengabaikan sikapnya.
"Kau lupa kalau di Pulau Ennius tidak menggunakan sihir atau tanaman sihir setelah matahari terbenam?" kataku cepat.
"Pulau Ennius memang pulau terkutuk! Bagaimana bisa mereka membuat banyak aturan tapi tetap menjadi pulau dengan sihir terkuat?! Omong kosong!" Roselyn kembali mengumpat, dan di saat yang sama aku mendengar suara gelegar petir tepat di atas kepala.
"Jaga bicaramu, Roselyn!" hardikku, tapi Roselyn malah mendecakkan lidahnya dan berjalan meninggalkanku. Langkahnya cepat membuka jalur baru dengan memotong banyak tanaman yang menghalangi jalannya dengan sihirnya. Aku menggelengkan kepala, tidak percaya kalau anak dari bangsawan Killian ternyata memiliki sifat asli yang seperti ini.
Sikap manis dan lemah lembutnya selama ini apakah selama ini hanya kedok?
"Kau tidak seharusnya memotong sembarangan seperti itu!" kataku lagi, menjaga jarak darinya dan memandang sedih pada tanaman yang berserakan di jalan. Padahal tanaman ini tidak bersalah sama sekali, justru kami yang seharusnya pergi dari sini.
"Apa kau tidak bisa teleportasi lagi kembali ke mansion atau tempat pesta?" seruku tidak tahan, karena Roselyn terus berjalan dan membabat cabang-cabang pohon yang hampir menyentuhnya.
"Kau banyak bicara, Iliana!" Roselyn menoleh padaku dan melotot. "Aku bahkan tidak tahu kita ada dimana, dan berapa jarak dengan mansion. Aku mungkin bisa melakukannya kalau aku teleportasi sendirian. Kalau aku kembali, dan meninggalkanmu, kau akan menyebutku kejam di depan Raja Hardian. Kau sengaja mau menjatuhkanku?!"
Aku menelan ludah dan mengusap dahi. Tidak percaya kalau Roselyn berpikir serumit itu, padahal maksudku kalaupun dia kembali ke mansion dan meninggalkanku, dia bisa saja meminta bantuan orang lain untuk menjemputku. Kenapa dia bisa memikirkan skenario serumit itu?!
"Lagipula tanaman mandrake tidak-" Roselyn berhenti bicara dan terdiam, langkahnya terhenti seraya menoleh ke kirinya. Aku berjarak beberapa langkah darinya, segera mendekat. Cemas, karena mungkin saja dia melihat hewan buas atau hewan purba seperti yang diperingatkan Sir Farvald.
Cahaya di tanganku sedikit membesar, dan saat aku mengarahkan ke kiri, ada burung Phoenix dengan bulu merah keemasan tengah bertengger di atas dua batu besar yang tingginya hampir dua kali tubuh kami, menyerupai menara kembar atau gerbang pembuka. Burung Phoenix berdiri tenang dengan mata tajam melihat ke arah kami.
Jangan bilang kami tersesat ke hutan terlarang. Aku merinding sekujur tubuh.
"KWAAAAKKKK!" Phoenix yang tenang itu tiba-tiba mengeluarkan suara keras memekakkan terlinga.
Aku reflek menutup telinga dengan kedua tangan, sementara Phoenix tidak juga berhenti berteriak, dan saat suara menggelegar terdengar lagi dari langit, Phoenix itu mengepakkan sayapnya yang terlihat sangat indah dan mengesankan, tapi betapa kagetnya aku saat Phoenix itu terbang ke arah kami dan aku menutup kepala dengan kedua tangan, terpaksa merunduk sambil menutup mata.
Suara kepakan sayap terdengar sangat jelas, dan tiba-tiba aku merasakan sakit di pipi kanan. Panas dan perih membakar.
Semua terjadi dengan begitu cepat, dan saat aku membuka mataku lagi sekelilingku sangat terang, seperti hutan dikelilingi cahaya lampu tak terlihat. Semua sangat jelas, batang pohon yang besar ukurannya dua kali dari tubuhku, serat di tiap batang, hingga urat yang ada di tiap helaian daun. Kemanapun mataku melihatku, semua begitu jelas.
Roselyn tengah berdiri di depan batu menjulang tinggi di sebelah kiriku. Aku bisa melihat tulisan dengan aksara kuno di kedua batu, tapi aku tidak bisa membacanya.
"Kau pikir ini batu apa, Iliana?"
"Jangan menyentuhnya, Roselyn!" kataku mengingatkannya saat menyentuh badan batu dengan santainya.
Panik di dadaku memberiku sinyal bahaya saat melihat aksara kuno di kedua batu.
Apakah dia lupa kalau Sir Farvald meminta kami tidak sembarangan menyentuh artefak di Ennius, bahkan tanaman saja tidak boleh sembarangan kami pegang. Begitu aku perhatikan lagi batu itu terlihat seperti artefak, dan aku bisa melihat aura hitam yang mengelilingi kedua batu tersebut, dan saat Roselyn menyentuhnya, warna hitam itu menjalar ke tubuhnya.
"Roselyn! Batu itu mengandung sihir hitam, kau harus menjauh!" seruku yang berusaha mendekat tapi ragu saat dadaku berdegub lebih cepat.
Tunggu dulu, kemana perginya Phoenix tadi? Lalu kenapa mataku bisa melihat sejelas ini sekalipun tidak ada matahari?
"Jangan berbohong padaku, Iliana. Aku tahu, kita sama-sama mengenali ini batu apa. Kau mau mencoba terlihat lebih pintar?" Roselyn terkekeh sambil menutup mulutnya mencemoohku.
Bagaimana caranya aku menjauhkannya dari batu yang terus-terusan mengirim perasaan seperti ada ribuan ular merambat ke seluruh tubuhku ini?
Mungkin kalau aku menyulut kemarahannya, dia akan mendekat padaku. Ya, aku harus mencoba cara paling cepat sebelum sihir hitam semakin banyak berpindah ke Roselyn.
"Aku tidak tahu kau berwajah dua seperti ini, Roselyn?!" seruku berusaha agar suaraku terdengar benar-benar serius mengejeknya. Wajah Roselyn berubah, dia tidak lagi tertawa dan menatapku tajam.
"Kau selalu berpura-pura lemah, selalu menjadi korban, padahal aku tidak pernah menyakitimu. Apakah ini caramu mendapatkan simpati?" tanyaku masih memasang wajah menantang.
"Bukan aku yang jahat, hanya kau saja yang terlalu bodoh, Iliana!" Roselyn menghilang dari pandanganku, dan detik kemudian tubuhku melayang. Belum sempat mempersiapkan diri, tubuhku bertabrakan dengan batu di sisi kanan dengan sangat keras. Telingaku berdenging, dan kepalaku nyeri bukan main, membuat sakit di pipi kananku terasa jauh lebih menusuk. Ujung jariku menyentuh luka berbentuk tiga garis di pipi kanan, yang tidak aku sadari apa penyebabnya, yang pasti darah segar masih mengalir di pipiku.
Aku berusaha bangun tapi kemudian Roselyn kembali menghujaniku dengan serangan sihirnya. Tangannya mengeluarkan aura kuning terulur ke arahku tanpa ragu.
"Kenapa kau tidak menghilang saja, Iliana?!" Roselyn mengarahkan gumpalan cahaya berwarna kuning ke arahku, dan aku membuat perisai melindungi diri sekalipun aku tahu akan sia-sia.
Bagaimanapun juga, sihir Roselyn jauh lebih kuat dariku, serangan Roselyn membuatku kembali terpental tapi perisai yang aku buat berhasil mengurangi efek serangannya dan sebagian sihirnya kembali padanya, menggores lengan kirinya.
"Ke-kenapa kau menyerangku?" aku berusaha berdiri seraya menyeka darah yang mengalir di pipi hampir masuk ke mulutku.
"Kehadiranmu hanya membuatku muak. Kau selalu melihat ke arah Ray, dan teman berkacamatamu yang menjijikkan itu menyukaiku. Seperti orang menyedihkan kalian berdua menyukai orang yang sudah bertunangan. Kalian tidak merasa malu?!"
Aku tertegun, napasku tercekat di pangkal tenggorokan.
"Kami akan menikah setelah Ray resmi menjadi pimpinan Pasukan Elit Pengawal Raja. Apa yang bisa kau lakukan setelah itu? Kau kira aku tidak menyadari betapa seringnya kau melihat Ray dari kejauhan, seolah kau ingin menelanjanginya?! Kau begitu menyedihkan! Sudah menjadi warga Lindbergh berdarah campuran, diabaikan ayah sendiri, menyukai tunangan orang lain, dan parahnya lagi, kau juga masih bertahan padahal sudah menjadi bahan olok-olokan yang lain. Sikap keras kepalamu membuatku muak. Kau berjuang terlalu keras di tempat yang salah."
Kebencian di mata Roselyn terlihat sangat jelas. Dia yang selalu terlihat manis dan lembut, sekarang terlihat sangat menakutkan, matanya mengilat tajam ketika berjalan ke arahku yang masih terengah memulihkan aura yang terkuras banyak. Bodohnya aku tidak membawa batu sihir pemberian Clift.
Apakah Clift akan percaya kalau aku bercerita kalau Roselyn menyerangku dan mengatakan banyak kalimat menusuk?
Sosok mengangumkan Roselyn dalam ingatan Clift akan ternodai. Aku bahkan membutuhkan batu sihir bukan untuk melindungi Roselyn, melainkan melindungi diriku sendiri dari Roselyn.
"Kau pasti berkali-kali berpikir menjadi sepertiku. Berharap bisa bertukar tempat denganku? Apakah itu impian terbesarmu, sampai kau berusaha terlalu keras sekalipun diinjak berkali-kali?"
Roselyn berkacak pinggang, menatapku yang terduduk di tanah, penuh hina. Dia berdiri dengan sangat percaya diri, gaun mewahnya menjuntai indah namun bertolak belakang dengan tatapannya yang mematikan.
Aku memang berkali-kali berpikir seperti itu, tapi aku tidak pernah berusaha mewujudkannya. Aku tahu itu tidak mungkin, dan aku berhenti merasa iri setelah Bella memberitahuku bahwa hidupku memiliki jalan sendiri. Aku harus bangga dengan diriku sendiri dan berhenti iri dengan orang lain.
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika kau dan aku benar-benar bertukar tempat. Kau sangat tidak tahu diri, Iliana! Buruk rupa, berdarah campuran, sihir lemah, dan hebatnya, berkali-kali diinjakpun kau masih berani berharap?!" nada sinis dalam suara Roselyn seolah menamparku berkali-kali.
Roselyn mengusap darah dari lengan kirinya dan menggambar sesuatu di batu besar sebelahnya dengan darahnya.
"Apa yang kau lakukan Roselyn?" aku membelalak kaget melihat lingkaran yang menyerupai relix sihir yang terbentuk dari darahnya.
"Aku akan membuatmu berhenti bermimpi. Selamanya kau hanya akan hidup sebagai orang buangan!"
Roselyn menggerakkan mulutnya, membacakan mantra yang tidak aku kenali dan cahaya merah darah keluar dari gambar yang digambarnya di batu kuno. Cahaya itu semakin terang dan besar, berpindah ke hadapan Roselyn, mengikuti gerakan tangannya, dan aku gemetar hebat saat lingkaran besar itu diarahkan padaku.
"Bukankah ini akan terlihat seperti kau terkena kutukan Pulau Ennius?" bisik Roselyn dan seketika dia menggerakkan tangannya, lingkaran bergerak cepat ke arahku.
Tidak ada waktu bagiku untuk menghindar atau membuat perisai, tubuhku terlalu payah untuk mengerahkan sisa-sisa aura. Aku menutup mata dan menaha napas, membayangkan wajah pucat ibuku yang tersenyum di hari terakhirnya.
Apakah ini hari terakhir aku bernapas?
Jika iya, izinkan aku bertemu ibu sebelum aku benar-benar pergi. Aku hanya ingin menanyakan, seperti apa hati ayah yang membuat ibu mencintai orang sepertinya. Aku tidak bisa menghentikan hatiku yang ingin membenci ayah karena perlakuan tidak adilnya padaku. Maafkan aku jika aku tidak bisa menuruti kata-kata terakhir ibu.
Sekujur tubuhku terasa panas, dan aku merasakan dengan jelas sihir yang merambat ke seluruh tubuhku. Sihir apa ini? Kenapa panasnya membakar hingga ke tulang? A-aku …
"ASH!"
Sebuah gelombang besar menghapus panas di seluruh tubuhku, menggantinya dengan kesejukan yang bahkan lebih menenangkan dari air suci kuil Arthemys. Mataku terbuka perlahan dan betapa kagetnya aku saat melihat dada bidang yang polos sangat dekat denganku, wangi hutan yang menenangkan menyelubungiku dan sepasang tangan besar memelukku erat, mengunci kepala dan pinggangku mendekat padanya. Cahaya cerah berwarna emas menyilaukan mata terpancar dari seluruh bagian tubuhnya. Rambut panjang lurus sepinggang terurai indah bergerak lambat dan mengesankan, melawan hembusan angin.
Siapa makhluk ini?
Dia bahkan menyebut namaku dengan sangat lantang.
"Kau baik-baik saja?" sepasang tangannya menangkup wajahku. Telapak tangannya terasa sangat lembut dan hangat saat bertemu dengan permukaan kulitku.
Kekagumanku tak berhenti di sana. Aku perlahan mendongak, memindahkan pandangan dari dada bidang, naik ke leher, dagu dengan garis tegas, bibir yang indah dan penuh, hidung tinggi dengan bentuk sempurna, hingga berakhir pada sepasang mata berwarna emas yang sangat tidak terlihat manusiawi, bahkan alis dan bulu matanya berkilauan emas.
Apakah ada manusia sesempurna ini? Bukankah ini curang? Dewa menciptakanku dengan segala kekurangan fisik yang membuat orang-orang tidak mau melihatku, tapi menciptakan manusia sesempurna ini. Setidaknya berikan aku rambut lurus sepertinya, indah, dan tidak menyulitkan untuk diatur. Ataukah Dewa memang sengaja membuatku menjadi bahan ejekan?
"Apakah anak Raisa selalu berpikiran aneh begini?!"
Lidahku terasa kelu saat nama ibuku lolos dari bibir orang di depanku ini. Tinggi menjulangnya membuatku harus mendongak hingga batas maksimal sendi di leherku, dan yang aku lihat hanya wajah bingungnya.
"Ka-kau siapa? Kenapa kau bi-bisa tahu nama ibuku?"
Sosok tampan di hadapanku hanya tersenyum dan memperpendek jarak di antara kami. Aku reflek memejamkan mata dan merasakan kecupan yang sangat jelas di dahiku. Kecupan yang singkat namun meninggalkan hangat yang perlahan menjalar ke seluruh tubuhku. Tubuhku yang sempat kelelahan mendadak dipenuhi tenaga, seolah auraku meluap-luap, hingga ujung jemariku tergelitik merasakan gelombang aura yang sangat besar.
"Raisa selalu meninggalkan petunjuk yang samar. Aku selalu bertanya-tanya, siapa jiwa yang dia maksud harus aku lindungi. Siapa sangka kalau dia menolak perjanjian denganku demi bisa melindungi anak sepertimu. Apakah kau mau membuat ikatan denganku?"
Sosok itu bicara dengan suara sangat lembut, bahkan senyum di bibirnya tidak luntur sekalipun aku menatapnya dengan kebingungan campur panik. Aku bahkan belum pulih dari aksi kecupannya yang tiba-tiba, lalu sekarang dia bertanya sesuatu yang jauh lebih sulit untuk aku nalarkan.
"Ikatan?" aku memiringkan kepala bingung. Orang ini bahkan tidak memperkenalkan diri dan mengenal ibuku. Semakin lama dia bicara semakin buntu aku dibuatnya.
"Kau hanya perlu memberikan sedikit darahmu untukku, dan aku akan menyembuhkan lukamu. Aku bahkan bisa membuka segel inti sihirmu."
Sepasang mata emasnya berkilau tertimpa cahaya bulan, dan aku bisa merasakan kekuatan besar yang ada dalam dirinya.
Segel sihir? Apa maksudnya? Aku... aku...
"Pheonix sialan itu bahkan sudah lebih dahulu menandaimu. Aku kurang cepat menyadari kehadiranmu! Jejak cakarnya bahkan sangat buruk seperti perangainya!" Sosok keemasan itu mengumpat seraya menyentuh pipi kananku yang terluka berbentuk tiga garis.
Jadi ini benar luka karena Phoenix tadi? Aku sempat berpikir ini karena hembusan angin akibat kepakan Pheonix tadi, membawa ranting dan menggores pipiku.
Akhirnya ada yang menjawab pertanyaanku, pantas saja rasanya aneh aku tidak menyadari luka ini. Aku tidak tahu kenapa Phoenix itu menyerangku, padahal aku hanya melihatnya dari kejauhan.
"Kau tidak tahu kalau cakar Phoenix beracun dan bisa membunuhmu dalam beberapa jam?"
Aku terbelalak. Aku tidak merasakan apapun sejak dimendapati luka ini. Lalu bagimana bisa racun itu tidak memberikan efek sama sekali padaku? Apakah reaksinya lambat?
"Apa jawabanmu? Jika kau bersedia memberikan darahmu, aku akan menyelamatkanmu. Bukankah nyawamu lebih penting sekarang?"
"Kau benar bisa menyembuhkan?" tanyaku tidak yakin. Aku bahkan belum mengenalnya, tapi dia sudah menyelamatkanku dari sihir Roselyn. Lagipula aku tidak mengetahui bagaimana dia tiba-tiba muncul di depanku, dan aku tidak mau kembali ke Lindbergh tinggal mayat saja. Membayangkan wajah Annabelle yang menangis saja sudah membuat hatiku seperti diremas.
"Tidak perlu cemas."
Sekalipun ragu, aku menganggukkan kepala takut-takut.
Sosok dengan mata berwarna emas itu menarikku hingga tubuh kami bertabrakan, dan di detik yang sama aku menyesali keputusanku karena tiba-tiba dia membenamkan wajahnya di lekuk leherku, dan aku merasakan nyeri ketika gigitan mengoyak permukaan kulitku. Sakitnya tidak lama, tapi aku bisa merasakan tangan yang merangkulku semakin erat dan darahku berdesir hebat, memacu jantungku hingga seluruh bagian tubuhku terasa begitu ringan, melayang di udara. Setiap detak jantungku seolah menambah aliran aura dalam diriku.
Ingatan demi ingatan mulai berputar ulang dalam benakku. Hatiku terasa seperti terhimpit, dan jantungku seolah akan meledak. Seluruh organ dalam tubuhku seolah ingin memberontak keluar ketika ingatan yang tidak mampu aku panggil itu mengalir seperti aliran air terjun, deras dan tak terbendung.
Di ulang tahunku yang ke-3 aku terjatuh dan menangis, tapi ibu langsung meraih tanganku, menenangkanku. Dari dekapan ibuku aku melihat ayah berdiri bagai penonton beberapa langkah dari kami, tidak bergerak mendekat, bahkan wajahnya terlihat sangat dingin. Tidak ada jejak cemas atau prihatin dalam sorot matanya, bagai permukaan sungai membeku Ayah menatap kearahku.
Jika ingatan ini memang milikku, maka ayah tidak menjauh sejak kekuatan penyembuhku bangkit di usia 5 tahun, jauh sebelum itu ayah sudah tidak menyayangiku.
Benarkah ayah berubah, atau sejak awal dia memang tidak pernah mengharapkan kehadiranku?
Ingatan menyedihkan lain muncul dan aku melihat wajah-wajah orang yang tidak senang ketika aku bahagia, dan wajah-wajah yang bahagia ketika aku menderita. Para bangsawan yang mencemooh, baik orang tua maupun anak-anak mereka.
Ingatan tentang luka di tanganku yang aku terima saat menghadiri pesta di mansion Marquis Elleanor juga ikut berputar di antara sekian banyak ingatan. Wajah mereka yang tersenyum sinis saat melihat darah mengalir dari tanganku setelah sengaja membuatku terjatuh.
Aku selalu berusaha mengabaikan orang-orang yang merundungku. Aku terbiasa sendiri. Tapi kenapa sekarang aku merasa begitu sedih melihat ingatan ini lagi? Aku kuat, aku tidak lemah, sekalipun aku sendirian, dijauhi dan dikucilkan, aku tidak akan runtuh dan menyerah.
Apakah aku benar-benar sedang disembuhkan orang asing ini? Jika ini prosesnya, kenapa aku merasa seperti sedang disiksa, seolah ada orang yang tengah meremas hatiku begitu kuat. Berusaha mengeluarkan seluruh luka yang terpendam dari dasar hatiku.
Mataku panas, tapi aku menolak menangis, aku kuat, aku tidak akan terluka untuk kedua kalinya.
Dengan pandangan masih kabur karena tertutup cahaya emas, aku menyentuh pipi kananku, merasakan luka mengering dengan cepat dan di saat yang sama tidak ada lagi sakit dari lekuk leherku, hanya tersisa rasa panas setempat yang membakar.
"Sekarang sebut namaku … Aslan." Suara semanis madu berbisik di telingaku, begitu dekat dan membuatku tertegun saat mata kami kembali bertemu.
"Aslan?" aku berbisik pelan, mengingat nama yang sering aku dengar semenjak menginjakkan kaki di pulau ini. Legenda yang dibicarakan para penghuni pulau, para peri, bahkan dibeberapa buku yang aku baca di perpustakaan Pulau Ennius.
Sosok tampan, indah dan mengagumkan di hadapanku ini adalah Aslan?
Spirit Pelindung Hutan yang diceritakan para peri hutan, legenda yang melindungi pulau Ennius. Berarti yang berdiri di hadapanku saat ini bukanlah manusia.
"Kenapa kau tidak menangis, padahal ini kesempatan terakhir kau bisa menangisi masa lalumu. Aku tidak begitu menyukai air mata manusia, tapi khusus untukmu aku ingin melihatnya."
Aku kehilangan kemampuan bicaraku, lidahku kelu dan hanya bisa melihat wajah tampan yang sekarang meracau di hadapanku. Aku tidak mampu menggerakkan tubuh secara normal, hingga membiarkan sulur hijau merambat naik dari kaki hingga dadaku.
"Sekarang kau adalah Jiwa Pengikatku. Kau dan aku menjadi satu jiwa. Aku akan merasakan setiap apa yang kau rasakan, aku akan mendengar apa yang kau katakan sekalipun itu dalam benakmu."
Lidahku kelu, tidak mampu berkata-kata sekalipun ada begitu banyak hal yang ingin aku tanyakan.
"Aku tidak akan membiarkanmu terluka dan menangis, haruskah aku menghabisi dia?" ibu jari indahnya bergerak cepat menunjuk Roselyn yang terbaring tak sadarkan diri di dekat batu sakral.
Darahku terasa seperti mengering, otakku sulit berputar tapi tanganku bergerak mendorong dadanya dariku, melepaskan diri darinya dan melihat ke batu besar di sebelah kiri, di sana tergeletak Roselyn yang auranya terlihat sangat lemah.
"Roselyn!" aku berteriak panik, tapi tiba-tiba Aslan memenjaraku, kedua tangannya melingkar di dada dan pinggangku dengan sempurna, hingga punggungku menabrak tubuhnya.
"Jangan mendekatinya. Sihir hitam menyelubunginya, itu hukuman karena dia menggunakan sihir kutukan di batu sakral."
Aku tidak bergerak dan melihat dengan jelas aura hitam menyelubungi tubuh Roselyn. Bukankah pengguna sihir normal bisa mati jika terlalu lama kontak dengan sihir hitam? Aku harus menyelamatkan Roselyn.
"Lepaskan aku! Aku harus menyelamatkan Roselyn!"
Aslan tidak merenggangkan tangannya sedikitpun. "Kau dan aku terikat Perjanjian, aku tidak akan membiarkanmu menggunakan kekuatanku sebagai Penguasa Hutan untuk menyelamatkan manusia yang sudah merusak hutanku!"
"Lepaskan aku! Lepaskan!" aku terus memberontak, dan Aslan tetap pada pertahanannya.
Tanganku bergerak liar memukul tangan besar Aslan yang tak bergeming sekalipun aku memukulnya dengan menambahkan kekuatan sihir.
"Ash!"
Aku membeku mendengar suara yang sangat familiar bergema dari kejauhan.
"Ash!"
Suara Avallon menggema memekakkan telinga, dan sosoknya yang diselubungi cahaya aura berwarna emerald mendominasi hutan. Bagai selendang berwarna emerald yang bergerak liar menjilat ke segala arah, dia memegang dua pedang di tangannya dan berjalan lurus ke arahku, memotong apapun yang menghalangi jalannya.
"Lepaskan dia!" Avallon bicara pada Aslan, dan betapa kagetnya aku saat auranya semakin kuat memancar, bersiap untuk menyerang.
"Bagaimana jika aku menolak?" jawab Aslan santai, dia memiringkan wajah menantang Avallon yang tidak lagi menutupi kekuatannya.
Ini pertama kalinya aku melihat auranya yang sangat kuat. Jika aku harus bertarung melawannya, bisa aku pastikan akan tercabik-cabik hingga tak berbentuk. Avallon melaju ke arahku dengan kedua pedang digenggam erat. Aslan mendenguskan tawa dan melemparku ke udara, dalam keadaan panik aku mencari cara agar bisa mendarat dengan selamat, tiba-tiba muncul sebuah kantung besar transparan menyerupai kepompong yang langsung menyelubungiku dan membuatku melayang di udara. Tidak ada tali yang menjadi tempat menggantung, hanya tubuhku yang melayang beberapa meter di atas batu sakral. Aku hanya bisa melihat pertarungan sengit dari atas.
"Aslan, mereka te-" kata-kataku terhenti karena sulur lembut dipenuhi dedaunan yang tiba-tiba muncul dan menutup mulutku sempurna. Wangi pinus yang menenangkan menyelubungiku, membuat mataku berat.
Tunggu dulu! Aku tidak boleh tertidur.
Kenapa dia melakukan ini? Dia bilang aku Jiwa Pengikatnya? Bukan seharusnya aku bisa mengedalikannya? Lalu kenapa dia tidak mau mendengarkanku?!
Avallon berkali-kali menyerang Aslan, tapi Aslan selalu dengan mudah menangkisnya. Aslan tersenyum sangat lebar dan bergerak dengan sangat lincah, seolah bertarung dengan Avallon adalah permainan seru baginya. Aslan mencengkram leher Avallon saat dia mengayunkan pedang hendak menusuk perutnya.
'Jangan!' teriakku putus asa.
Aslan tiba-tiba terdiam dengan tangan masih mencengkram leher Avallon. Dia menoleh ke arahku dengan cepat, gerakannya yang secepat kilat membuat rambut emasnya yang indah bergerak seiring tiupan angin.
Aku bersumpah melihat dia sangat tampan, dan aku benci diriku yang terlalu mudah terpesona!
Tanpa suara aku mengirim isyarat padanya agar tidak menyakiti Avallon. Sorot mata Aslan sangat datar, tapi senyum di bibirnya tidak juga luntur. Sehingga sulit bagiku membaca raut wajahnya, apakah dia mengerti permintaanku?
Tiba-tiba Avallon mengayunkan pedangnya hampir mengenai sisi tubuh Aslan. Bagai memiliki mata di belakang kepala, Aslan bergerak cepat, menghindar.
Aslan menghilang dari pandanganku, dan tiba-tiba muncul di depan wajahku. Dia tersenyum lebar saat aku menggeliat berusaha lepas dari kepompong ciptaannya.
"Kenapa kau tidak ingin aku melukainya, Ash?"
"Ehmmmm mmmmm mmmm!" aku ingin bicara, tapi yang keluar dari mulutku hanya suara gumaman tidak jelas.
"Aku ingin sedikit bermain dengannya," bisik Aslan seraya mengusap puncak kepalaku dan menghilang, kembali menyerang Avallon.
Gerakan pedang Avallon begitu cepat, auranya tidak juga padam. Dia menyerang Aslan tanpa lelah, sementara perhatianku kembali pada Roselyn yang masih terbaring tak sadarkan diri, tubuhnya mengeluarkan aura sihir hitam yang sangat kuat.
Aku harus menyelamatkan Roselyn. Jika semakin lama, aku khawatir semakin banyak sihir hitam yang masuk ke tubuhnya. Bukan berarti aku tidak marah atas apa yang sudah dilakukannya, tapi aku harus memastikan Roselyn kembali dengan selamat. Itu janjiku pada Clift, dan sahabatku yang sudah cinta buta pada Roselyn itu harus tahu bagaimana sifat Roselyn yang sebenarnya.
Avallon terus dipermainkan Aslan. Dari sekian banyak serangan, juga kekuatannya yang luar biasa, Avallon bahkan tidak bisa menyentuh Aslan. Sama halnya dengan Aslan, seolah dia mengerti aku tidak ingin dia melukai Avallon, tidak ada luka berarti yang disebabkannya. Kebanyakan luka Avallon adalah goresan karena ranting pohon. Bahkan bekas cengkraman Aslan di lehernya sudah menghilang.
'Aku pakai sedikit kekuatan penyembuhmu!'
Aku terbengong saat suara Aslan terdengar dalam benakku.
Apakah dia memiliki kekuatan untuk memasuki pikiranku?
Avallon terengah dengan kedua pedang masih di tangan, matanya mengilat penuh kemarahan saat melirik ke arah Roselyn yang terbujur kaku.
"Cukup main-mainnya, Anak Muda! Aku harus pergi!" pekik Aslan yang tiba-tiba menghilang dari pandangan, hanya meninggalkan jejak keemasan yang bertaburan di udara.
'Bala bantuanmu sudah datang. Kau harus kembali dan menyelamatkan Pangeran dari Adalgard. Temanmu sekarat setelah melawan Sqeeth, Phoenix Tua Bangka itu selalu buat ulah setiap kali muncul di Hutan Terlarang. Kau harus segera menetralkan racun dalam tubuhnya. Ingat, jangan menyentuh siapapun yang berkaitan dengan sihir hitam. Sihir hitam adalah kutukan akan menggrogotimu sekalipun kau bukan penggunanya. Jangan gegabah berpikir kau bisa menolong teman Perusak Hutanku ini.'
Lagi-lagi Aslan bicara dalam benakku, suaranya manis dan bergema dengan cara yang sangat menyebalkan. Setelahnya aku tidak mendengar apapun lagi, dia menghilang begitu saja tanpa melepaskanku dari kepompong tak bersahabat ini. Aku bahkan hampir benar-benar tertidur jika tidak melawan wangi menenangkan ini.
Tadi dia bilang Pangeran Adalgard sekarat? Apa yang terjadi sebenarnya? Kepalaku terasa makin berat.
"BRAINNE!"
Suara derap kuda semakin jelas di telingaku.
Raja Hardian memacu kudanya, dan di belakangnya aku mendapati Sir Farvald, Thomas, Putra Mahkota dan Icarus. Rombongan semakin mendekat, tapi aku semakin sulit melawan rasa kantuk. Dalam pandanganku hanya terlihat sosok mereka yang semakin kabur, segalanya menjadi gelap saat wangi pinus semakin kuat menusuk hidungku.
"Iliana? .... Ash?"
Kenapa suara Avallon terdengar sangat dekat?
Aku tidak bisa mendengar apapun lagi ketika alam bawah sadar semakin kuat menarikku.
.
.
.