Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 13 - Chapter 12 : Midas dari Pulau Ennius

Chapter 13 - Chapter 12 : Midas dari Pulau Ennius

Kami beristirahat di mansion besar yang terdiri dari banyak kamar. Gaya bangunan di Pulau Ennius tidak terlalu jauh dari Lindbergh, hanya bedanya mereka banyak memakai unsur kayu. Bangunan dengan dua lantai mansion megah itu, Sir Farvald membagi orang berdasarkan tugas mereka. Raja Hardian dan Putra Mahkota tinggal di lantai dua, sayap kanan dengan kamar pengawal khusus Raja berada tepat di sebelahnya, Sir Farvald dan Avallon ada di kamar itu. Di lantai yang sama ada tim penyembuh juga. Sementara sisa ksatria mengisi kamar lantai 1 bersama tim logistic dan yang lain. Tim Penyembuh diberikan 3 kamar, dan karena aku dibuang sendirian di satu kamar, tidak ada pilihan lain, selain harus satu kamar lagi dengan Roselyn.

Aku sudah membayangkan betapa canggungnya kami setelah beberapa kali mengalami salah paham, dan aku malas meluruskannya. Selama di expedisi saja kami jarang sekali papasan sekalipun beberapa kali aku sempat bertemu dengan Avallon.

Hatiku berat sekali saat berdiri di depan pintu kamar, menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, aku beranikan diri memutar handle pintu.

Betapa kagetnya aku saat membuka pintu kamar mendapati beberapa tas terbuka di lantai dan tempat tidur, membuatku bingung untuk apa Roselyn membawa tas sebanyak itu. Aku baru saja kembali dari kandang kuda, memastikan kudaku aman. Jujur saja aku suka dengan kuda yang diberikan sejak kami turun kapal. Kuda berwarna hitam pekat itu tampak sangat elegan dan penurut. Tapi hatiku yang ringan setelah membersihkan kuda, jadi balik kesal melihat kamar yang berantakan dikuasai barang-barang milik Roselyn.

"Oh, Iliana. Aku sedang membereskan barang-barangku. Karena kita akan tinggal di pulau ini selama beberapa minggu, aku membawa banyak baju, bahkan aku menyiapkan gaun pesta."

Otakku mendadak kosong, merasa ada yang tidak sinkron mendengar ucapan Roselyn. 

"Gaun pesta untuk apa?" kataku seraya menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Kau tidak tahu kalau seminggu dari sekarang Kepala Desa Ennius akan mengadakan pesta penyambutan untuk rombongan Lindbergh?"

"Oh …." Aku hanya mengangguk tidak antusias. Kalau boleh absen, aku lebih memilih tinggal di kamar dan meditasi, atau mengurus kudaku. Pesta sangat tidak cocok denganku, dan aku juga tidak membawa gaun sama sekali. Yang aku bawa hanya beberapa pakaian sederhana (yang kebanyakan terdiri dari celana dan atasan praktis) dan mantel, juga jubah resmi dari kuil Arthemys.

"Aku mau mandi duluan, kau tidak apa menunggu 'kan?" Roselyn beranjak dari tas besar yang baru setengahnya disusun ke lemari.

Aku terbengong mendapati sikapnya yang sangat tanpa beban itu.

"Bagaimana bisa kau-"

Roselyn masuk ke kamar mandi, meninggalkanku yang belum selesai bicara.

Dia meninggalkan kamar yang berantakan dengan tas miliknya yang berserakan dan dengan santainya mandi dulu?

Logikanya dimana? Seharusnya dia menyelesaikannya dulu, aku juga perlu menyusun barang-barangku. Setidaknya biarkan aku membereskan barang-barangku kalau kau mau mandi, tapi dengan kondisi kamar seperti ini, aku bahkan tidak bisa melakukan apa-apa.

Terdengar ketukan di pintu kamar, aku berjalan dengan sangat hati-hati agar tidak menginjak tas ataupun barang Roselyn yang masih berserakan di lantai.

"Sebentar!" seruku saat pintu kembali diketuk. 

"Ada ap-"

Pintu kamar terbuka menjeblak karena aku tarik terlalu kuat. Baik aku ataupun orang yang mengetuk pintu sama-sama kaget saat tubuh kami hampir bertabrakan. Tubuhku membujur kaku, tanganku mendadak basah karena gugup.

"Ehm!" Avallon berdehem pelan dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain, lebih tepatnya melihat ke bagian dalam kamar. Seketika aku ingin menutup pintu kamar, tapi sudah sangat terlambat, dia sudah melihat isi kamar yang mirip pasca perang. "Kalian punya waktu 30 menit untuk siap-siap sebelum makan malam di rumah kaca belakang mansion."

"O-oke!" jawabku cepat.

"Sampaikan ke Roselyn juga," katanya menutup pembicaraan, dan menghilang pergi. Yang terlihat dalam pandanganku hanya telinganya yang kemerahan.

Apa dia malu? Yang malu harusnya aku, tidak seharusnya kamar berantakan begini dilihat orang lain.

Roselyn mandi selama 20 menit lebih. Aku sudah teriak berkali-kali mengingatkannya bahwa waktu kami cuma 30 menit untuk persiapan. Kalau dia sendiri di kamar mandi 20 menit, kapan aku bisa mandi? Ini adalah mandi pertamaku setelah berminggu-minggu hanya membasuh tubuh dan wajah sekedarnya dengan air sugai. Aku ingin berendam juga keramas karena rambutku terasa berat dan lengket.

"Aku sudah selesai, Iliana. Maaf ya aku terlalu lama di kamar mandi. Kau tidak marah 'kan?" Roselyn keluar dari kamar mandi dengan mengenakan jubah mandi berwarna merah muda cerah. Wangi semerbak menguar dari tubuhnya, dan kulitnya jauh lebih bercahaya. Aku hanya mengangguk.

"Kau marah?" Roselyn menghadangku masuk ke kamar mandi, wajahnya terlihat sedih dan kecewa.

"Aku tidak marah," kataku datar.

"Kau marah. Suaramu terdengar seperti sedang kesal," celetuknya lagi, masih tidak juga memberiku jalan.

"Aku tidak marah. Bisakah kau minggir dulu? Kau di kamar mandi lebih dari 20 menit, dan sekarang kau mencecarku dengan pertanyaan konyol. Apakah aku tidak boleh mandi? Berapa lama lagi kita harus berdebat?" 

Putus sudah tali kekang dalam dadaku. Aku tidak marah, tapi karena dia terus saja menanyakan pertanyaan konyol, waktuku jadi terbuang. Tidak menyinggungnya dengan bicara secukupnya adalah tujuanku, tapi dia malah memborbardir dengan pertanyaan yang sangat tidak masuk akal.

"Ke-kenapa kau bicara seperti itu?" mata Roselyn berkaca-kaca, membuatku menghela napas berat. Drama macam apalagi yang harus aku hadapi dari gadis tercantik di Lindbergh ini? Aku tidak marah dia bilang marah. Lalu aku menjawabnya, dia langsung menangis, padahal nadaku tidak tinggi sama sekali. Apakah hatinya terbuat dari agar-agar jadi begitu lembek?

"Iliana jahat! Aku hanya ingin berteman dengan Iliana, tapi ke-kenapa Iliana-"

"Terserah kau mau bilang apa, aku mau mandi!" tandasku kesal, mengambil celah antara bahunya dengan kamar mandi hingga dia terpaksa minggir dari pintu karena tersenggol badanku. Di saat yang sama dia terisak, suara tangisannya makin keras setiap detiknya.

Aku tidak peduli lagi dan menyalakan kran air, menyamarkan suara tidak menyenangkan dari luar kamar mandi.

Aku masih tidak mengerti apa yang salah dari kata-kataku?

Mengurus badan dengan keringat dan kulit mati yang menumpuk benar-benar menyita waktu. Sesuai anjuran Annabelle, aku harus berendam air hangat dan memastikan rambutku cukup lembab sebelum keluar dari kamar mandi. Rambutku kering dan mudah mengembang, kalau lembab setidaknya aku tidak terlalu berantakan.

Saat aku keluar dari kamar, mansion sudah kosong. Berjalan sendirian ke rumah kaca di belakang mansion, aku bisa mendengar suara riuh rendah orang mengobrol. Sepertinya aku sangat terlambat.

Aku membuka pintu rumah kaca, dan semua orang melihat ke arahku. Ada dua meja panjang yang berdampingan, namun berjarak cukup jauh. Aku reflek membungkuk memberi salam.

"Ma-maaf aku terlambat," kataku sebelum berjalan menuju meja di kiri yang sangat ramai dengan obrolan. 

Meja di sisi kanan ada Kepala Desa Ennius, Raja Hardian, Putra Mahkota Henry, Avallon, Roselyn, dan Icarus. Secara logika aku bisa membaca bahwa yang bisa duduk di sana adalah para petinggi, jadi aku langsung berjalan ke meja di kiri.

"Hei, Brainne! Kenapa kau terlambat?!" Thomas beranjak dari kursinya dan langsung mempersilahkanku duduk. Duduk di antara para ksatria bukanlah hal baru, tapi dengan sorot mata tajam dari tim penyembuh lain yang berada di sisi lain meja membuatku tidak nyaman. Aku merasa seperti pengkhianat, tapi aku tidak bisa mengabaikan Thomas yang sudah memberikan kursinya padaku.

"A-aku baru selesai mandi," jawabku seraya mengedarkan pandangan ke meja makan yang beberapa lauk masih utuh. Aku tidak melihat keberadaan Pangeran Adalgard, kemana dia? Biasanya dia paling sigap kalau urusan makan.

Pandanganku beralih pada piring di depan tempatku duduk masih bersih, lengkap dengan peralatan makannya.

"Kau belum makan?" aku bingung kenapa piringnya masih bersih.

"Bagaimana bisa aku makan, lihat dia?!" Thomas menunjuk ke ujung meja, dan baru aku sadari Sir Farvald duduk dengan barisan piring daging di depannya. Di sebelahnya duduk Bella yang melambai kecil ke arahku, aku tersenyum menjawabnya.

"Sir Farvald? Kau tidak bergabung dengan Raja?" 

Sir Farvald tersenyum lebar, dan melambaikan tangannya padaku dengan santainya.

"Aku sudah makan bersama di meja sebelah."

"Lalu kenapa Sir Farvald ada di sini?" aku makin bingung.

"Karena aku harus mengambil bagian dagingku." Tandasnya tanpa rasa bersalah sedikitpun, dan dia menusuk garpunya ke potongan besar daging, melahapnya penuh semangat.

"Ini bagianmu, Brainne!" Sir Farvald mengoper piring besar dengan tiga potong daging steak yang tebal dan lebar. Banyak sekali, aku bahkan tidak bisa menghabiskan satu porsinya.

"Ini …." Aku memberikan satu potong daging ke Thomas, dan matanya langsung berbinar cerah.

"Brainne! Kau memang anak berhati malaikat, tidak seperti Sir Farvald!" Thomas merangkulku seolah aku ini anak kandung yang membuatnya bangga. Aku gelagapan karena tangan berotot Thomas mengapit tubuhku sampai sulit bernafas.

"Tho-thomas," aku terbata-bata sambil menepuk lengannya berkali-kali.

"Kau mau membunuhnya? Turunkan tanganmu!" Sir Farvald melempar pisang dari meja tepat ke wajah Thomas, tapi pria tinggi dengan rambut cokelat pendek itu menangkapnya dengan cekatan. Akhirnya aku bisa kembali bernafas normal saat Thomas melepasku untuk menangkap pisang.

"Maafkan aku, Brainne."

"Tidak apa-apa!" jawabku seraya mengangkat tangan ke arahnya.

"Kau harus habiskan 2 sisanya, awas kalau berikan pada yang lain!" Sir Farvald mengancam sambil mengarahkan pisau daging padaku, ancamannya terlihat sangat serius. Jadilah aku terpaksa menghabiskan dua potong daging. Dagingnya terasa sangat enak, potongan pertama bisa aku nikmati, tapi begitu masuk ke potongan kedua, aku seperti memaksa mulutku mengunyah, perutku berteriak 'cukup' berkali-kali.

"Kau tampak cantik dengan rambut dikepang begitu. Kau belum menerima lamaran dari keluarga manapun 'kan? Boleh aku jodohkan dengan anakku?" Sir Farvald membuatku hampir tersedak, dan ksatria lain tertawa keras menjawab pertanyaan Sir Farvald. Bella malah mengangguk berkali-kali, seolah setuju dengan komentar Sir Farvald.

"Kau berani meminta restu ke Pendeta Brainne?!" Roxie bicara dengan wajah sinis, membunuh tawa yang baru saja terdengar.

Semua mengerti kalau Sir Farvald hanya bergurau, aku sendiri tidak menganggapnya serius, tapi sahutan Roxie membuat semua orang langsung mengunci mulut mereka, menatap Roxie dengan wajah masam. Pertanyaan Roxie terlalu tajam, terkesan dia meragukan Sir Farvald.

Seluruh mata ksatria dibawah kepemimpinan Sir Farvald menatap sinis ke arah Roxie, tapi Roxie tetap tenang menyantap makanannya.

Pada umumnya, perempuan atau laki-kali Lindbergh yang sudah menginjak usia 16 tahun sudah bertunangan, bahkan beberapa di antara mereka siap menikah beberapa bulan kedepan setelah genap berusia 16 tahun, tapi aku tidak menerima satupun lamaran. Aku tidak sedih, dan aku mengerti Sir Farvald hanya bergurau, tapi kenapa Roxie harus menimpalinya seperti itu?

"Aku tahu anakku, Nescius tidak mungkin menerima tawaran konyol ini. Lagipula aku hanya bergurau, kau tidak perlu terlalu serius. Atau kau tidak suka aku menyebut Brainne cantik?!" Sir Farvald mengembalikan ucapan Roxie, membuat wajah putih bersih tanpa ekspresi itu berubah merah padam.

Para anggota yang mengelilingi meja tidak bisa tertawa mendengar jawaban Sir Farvald, mereka bisa membaca nada sinis dalam suara Sir Farvald, belum lagi senior tertinggi dalam rombongan itu menopang dagunya seraya melihat ke arah Roxie menantang, seperti memaksa Roxie mengakui apa yang dituduhkan Sir Farvald.

Suasana berubah canggung dan kaku. Kesunyian yang menyesakkan membuat kami hanya mampu saling tatap.

"Bagaimana hidangan dari Pulau Ennius? Apakah kalian suka?" 

Semua orang memberikan reaksi yang sama karena Raja Hardian tiba-tiba muncul dari belakangku. Semua berdiri dari kursi dan membungkuk penuh khidmat.

"Salam untuk Yang Mulia Raja Hardian, semoga cahaya suci Lindbergh selalu menyertai." Kami berseru dengan kalimat dan nada yang sama, tidak ada yang berani menegakkan tubuh sampai Raja Hardian memberi aba-aba bahwa dia menerima salam kami.

"Aku mendengar obrolan kalian yang sangat menyenangkan. Sebaiknya kalian segera istirahat untuk agenda besok. Kau sudah memberikan arahan 'kan, Sir Farvald?" Raja Hardian bicara dengan suara tenang dan wajah bersahabat.

Ini pertama kalinya aku bertemu dengan Raja Hardian dari jarak dekat, rambut pirang yang hampir semuanya memutih nya benar-benar menggambarkan darah aslinya sebagai penduduk Lindbergh, matanya yang berwarna navy berkilat dan sesekali terlihat transparan. Dari ilmu yang diajarkan di akademi, mata seseorang bisa berubah menjadi transparan atau bercahaya karena aliran inti sihir yang sangat besar dalam dirinya. 

Raja Hardian pengguna sihir angin yang sangat handal, dan selalu berhasil memimpin perang karena kepiawaiannya dalam strategi perang. Siapapun lawannya, dia tidak pernah kalah.

Di usia 20 tahun Raja Hardian diangkat menjadi Raja Lindbergh oleh rakyat setelah berhasil menyelamatkan Lindbergh dari wabah mematikan yang merenggut ribuan nyawa warga Lindbergh. Sudah 30 tahun sejak dia menjabat sebagai Raja, dan Putra Mahkota Henry adalah satu-satunya putra yang terlahir dari selir ketiganya. 

Raja Hardian memiliki 7 orang istri, dimana sejarah mencatat bahwa selama beberapa tahun posisi Ratu kosong, karena ikrar Raja Hardian yang tidak akan mengangkat Ratu jika tidak ada yang berhasil memberinya keturunan.

Dari 7 orang istri tersebut, mereka selalu mengalami hal tragis yang merenggut bayi mereka, entah selagi dalam kandungan ataupun tidak lama setelah lahir. Beberapa rumor mengatakan bahwa kejadian buruk seperti itu hanya bisa terjadi pada jiwa yang melakukan perjanjian dengan Dewa Ahriman, Dewa Kehancuran yang selalu meminta persembahan jiwa untuk mewujudkan permintaan. Tapi rumor hanyalah rumor, tidak pernah ada yang cukup berani membuktikannya.

Beberapa orang mengatakan bahwa Dewa Ahriman meminta darah dari keturunan Raja Hardian agar kehancuran tidak berlanjut di Lindbergh. Hingga di usia 35 tahun dia baru berhasil memiliki Putra Mahkota, Henry.

Raja Hardian adalah sosok raja terbaik tapi juga paling menyedihkan yang pernah aku tahu.

Jika rumor itu benar, kenapa dia berani mempertaruhkan darah dagingnya sendiri demi Lindbergh? Apakah tidak ada Penyembuh yang bisa menyelesaikan wabah saat itu? Sejarah tidak pernah mencatat dengan jelas apa dan kenapa tentang wabah besar dan mematikan itu. Sejarah tentang Penyembuh baru dicatat sejak ayahku menjabat sebagai Penyembuh Kerajaan saat aku berusia 4 tahun.

"Brainne?" 

"Ya, Yang Mulia Raja Hardian?" aku menjawab seraya membungkuk, tidak berani menatapnya langsung. Aku menghindari sorot matanya yang seperti akan menelanku, jujur sekujur tubuhku merasa ada udara dingin yang membuatku bergidik. Di sebelahnya berdiri pangeran Henry, yang tersenyum tapi matanya berkata lain. Sampai saat ini aku tidak mengerti apa kesalahanku hingga Pangeran Henry tampak antipati seperti ini.

"Aku ingin memperkenalkanmu pada Kepala Desa Ennius, Midas."

Raja Hardian tidak menunggu jawabanku lagi, langsung memberi lirikan ringan, membuat Kepala Desa Ennius dan beberapa orang yang yang duduk di tempat yang sama datang menghampirinya.

Jika seorang Raja, pemegang tahta tertinggi dalam kerajaan, seharusnya bisa meminta orang lain memanggilku, tapi kenapa Raja Hardian memilih mendatangi mejaku, dan membuat orang-orang dari meja seberang menghampiri kami.

Lalu kenapa aku harus diperkenalkan? Ada Icarus yang menjadi pempimpin Tim Penyembuh, dan dia jauh lebih kuat juga berbakat dariku.

"Midas, ini Iliana Latasha Brainne, putra dari Pendeta Brainne dan Raisa Broshi."

Kepalaku menoleh cepat pada Raja Hardian, kaget mendengar nama ibu kandungku keluar dari mulutnya. Dia bahkan mengetahui nama lengkapku.

"Kau punya nama yang cantik," ucap Midas seraya mengulurkan tangan padaku. Tangannya yang sangat mulus, sangat bertolak belakang dengan wajahnya yang dipenuhi keriput. Apakah dirinya menua tidak seperti manusia pada umumnya?

"Terima kasih!" aku menyambutnya cepat, tapi tiba-tiba aku merasakan sengatan listrik dari tangan kami yang bersentuhan. Aku sempat mengangkat wajah, memastikan apakah sengatan ini sihir atau efek yang lain. Midas yang wajahnya dipenuhi kerutan hanya tersenyum dan mengangguk pelan sebelum melepaskan tangannya lagi.

"Tidak salah," ucap Midas lagi seraya mengusap jenggotnya yang panjang. Dia menoleh pada Raja Hardian seraya mengangguk samar. Raja Hardian yang berdiri di sebelahku tampak tersenyum lega, dan tiba-tiba menyentuh kedua bahuku.

"Dia siswa akademi Khusus Penyembuh, masih banyak hal yang perlu dia pelajari tapi aku yakin dia memiliki potensi besar untuk berkembang dengan belajar banyak selama ekspedisi ini." 

Raja Hardian tengah membanggakanku pada orang lain? Apakah aku bermimpi?

Ayahku saja tidak pernah melakukannya. Ini sangat tidak masuk akal.

Telingaku seketika berdenging hingga membuatku ngilu dan tanpa sadar memiringkan kepala. Kenapa ini? Apakah karena sengatan listrik dari tangan Midas tadi?

"Saat ini dia bahkan belum setengah jalan, aku yakin Ash bisa menjadi Penyembuh yang handal." Midas kembali tersenyum ke arahku.

Telingaku masih berdenging, tapi aku yakin tidak salah dengar. Dia baru saja menyebut nama kecilku? Ash? Bagaimana bisa dia mengetahui nama panggilan akrabku?

"Semua yang menjadi anggota rombonganmu memiliki potensi besar. Termasuk Duke Avallon, auranya sangat kuat, sihirnya masih bisa berkembang lagi." Midas menepuk bahuku bersahabat, dan aku menoleh pada Raja Hardian, masih bingung. 

Apa maksud dari perkenalan ini?

Tatapan sengit Icarus tertuju padaku, seperti ada yang sedang menggali lubang di belakang kepalaku. Aku bisa merasakan sorot matanya sekalipun aku tidak melihatnya langsung. Beberapa anggota Tim Penyembuh lain ikut melihat sinis ke arahku.

Midas dan Raja Hardian beranjak dari meja makan bersama dua orang pengawal berseragam lengkap. 

Tinggallah aku terbengong.

"Apakah matamu masih perih, Roselyn?" Putra Mahkota yang pertama kali buka suara, memecah keheningan setelah dua pemimpin pergi.

"Sedikit," jawab Roselyn, suaranya terdengar agak berbeda dari biasanya.

"Suaramu bahkan masih sengau karena menangis terlalu lama." Putra Mahkota kembali berkomentar, tapi kali ini matanya tajam melirikku.

"Ah, Pangeran Henry. Ini bukan salah Iliana. Aku yang salah sudah membuatnya kesal, padahal Iliana tidak suka didekati. Seharusnya aku berhenti berusaha, tapi aku tidak bisa meninggalkan Iliana yang masih marah. Aku ingin bicara dengannya, tapi Iliana malah makin marah. Aku juga salah karena terlalu cengeng."

Oh Dewa Hermush!

Drama apalagi ini?!

Aku reflek menghela napas berat dan mengusap wajahku dengan kedua tangan. Lelah yang amat sangat melanda hatiku tanpa ampun. Kenapa aku merasa drama yang tidak sengaja tercipta dari Roselyn makin harinya makin besar, bagai gulungan bola salju yang terus bergulir jika terus berlanjut seperti ini.

"Iliana, bukankah seharusnya kau minta maaf pada Roselyn?" Putra Mahkota yang beberapa tahun lebih muda dariku itu mendesakku lewat sorot matanya.

Aku ingin mengembalikan kata-katanya.

Seharusnya Roselyn yang meminta maaf padaku setelah menggunakan kamar mandi lebih lama dari yang seharusnya. Dia bahkan pergi ke rumah kaca tanpa membereskan barangnya sehingga aku kesulitan bergerak di kamar, membuatku makin terlambat datang makan malam ini dan terpaksa hadir dengan tampilan seadanya.

"Kenapa kau arogan sekali, Iliana Latasha Brainne? Haruskah aku menghukummu agar kau menyadari kesalahanmu?!" Putra Mahkota kembali menyerangku, sepertinya melihatku menahan diri dan menghela napas semakin menjatuhkan nilaiku di matanya.

Ini bukan arogan, tapi karena memang aku tidak bersalah!

"Pangeran Henry, aku rasa ini hanya salah paham." Avallon tiba-tiba maju dan menutupi pandanganku, yang bisa aku lihat sekarang hanya punggung lebarnya yang terbalut jubah mewah pengawal kerajaan.

"Bukankah kita juga awalnya banyak beda pendapat sebelum benar-benar dekat? Aku yakin Roselyn dan Brainne mengalami hal yang sama." Suara berat Avallon sangat memanjakan telingaku, tapi aku mendengar suara desis sinis dari Roselyn, sangat samar, yang aku yakin hanya aku yang bisa mendengarnya karena dia sedang menunduk. Sekalipun raut wajahnya tidak berubah saat kembali menatapku, entah kenapa aku merasa dia sedang menggunakan topeng demi menarik simpati orang lain.

"Kau benar juga Duke. Aku akan memakluminya kali ini, aku harap kalian segera menyelesaikan salah paham ini." Putra Mahkota Henry menunjukku sebelum beranjak pergi menyusul ayahnya, dan dua orang pengawal langsung mengekornya.

Aku menoleh pada Roselyn yang kembali menyeka jejak air mata di pipinya. 

Air matanya sangat mudah menetes, bahkan mata air kolam suci kuil Arthemys saja kalah.

"Aku minta maaf sudah membuat Iliana dimarahi Pangeran Henry." Roselyn membungkuk dalam seraya menyeka air matanya berkali-kali.

Ah, lagi-lagi aku dijadikan antagonis. Bahkan caranya meminta maaf tidak terlihat seperti orang yang menyesal.

Bagaimana aku harus bersikap sekarang? Haruskah aku jadi antagonis betulan dan menunjukkan wajah sengit?

Tapi biar bagaimanapun juga aku tidak cukup tega.

"Aku juga minta maaf," jawabku berat, lidahku terasa gatal setelah mengucapkan kalimat yang tidak ingin aku katakan. Tapi lebih baik seperti ini, aku tidak suka memperpanjang masalah, aku harap dengan begini semua selesai.

Roselyn tersenyum lebar dan langsung menjabat tanganku.

"Terima kasih, Iliana! Ray, ayo kita melihat bunga di sana!"

Roselyn menggandeng Avallon dan langsung membelakangiku, melengos pergi begitu saja.

"Apa-apaan dia?" aku menggaruk kepalaku yang mendadak gatal. Sikapnya sangat kontradiktif, bagai orang punya dua kepribadian. Padahal baru sedetik tadi dia menangis tersedu-sedu sambil menyeka wajah, tapi detik berikutnya dia sangat senang, pergi seolah tidak ada beban.

.

.

.