Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 12 - Chapter 11 : Pulau Ennius & Peri Hutan

Chapter 12 - Chapter 11 : Pulau Ennius & Peri Hutan

Kapal merapat ke Pelabuhan Pulau Ennius dengan mulus. Setelah perjalanan selama tiga minggu, kami akhirnya bisa menginjakkan kaki di Pulau Ennius. Tidak ada pemeriksaan di pelabuhan, bahkan tidak ada penyambutan dari pemimpin sekitar, seolah kami ini penduduk lokal yang baru kembali dari berlayar.

Tapi sudah ada ada 3 kereta kuda dan belasan ekor kuda lain yang sepertinya sudah dipesan lebih dulu untuk memudahkan mobilisasi kami saat tiba di pelabuhan Pulau Ennius, dan anehnya tidak ada satu orangpun yang menunggu atau memastikan kuda atau kereta kuda ini tidak kabur.

Mungkin ini perbedaan Pulau Ennius dengan Kerajaan Lindbergh.

Horsemen bergerak cepat mengambil alih kendali kuda, dengan cekatan mereka memeriksa satu persatu kuda, dan setelah memastikan semua kuda dalam kondisi baik, kami baru membagi kuda sesuai dengan perjalanan awal ekspedisi.

Aku segera meletakkan panah dan barang bawaanku ke sisi sadel kuda, menaikinya dengan cepat untuk mengimbangi dengan rombongan Sir Farvald yang sudah berada di atas kuda. 

"Woah, Brainne. Kau lebih mirip ksatria dari pada penyembuh!" Thomas yang semalam baru aku kenal, tiba-tiba berseru meledekku sambil bersiul membuatku menunduk malu, dan ksatria lain menimpali gurauannya dengan bertepuk tangan ke arahku.

"Ah, itu …." Aku tidak bisa menjelaskan dan malah jadi malu sendiri, pipiku panas, karena aku lebih suka melakukan kegiatan fisik dibandingkan sihir penyembuh. Jadi sudah sewajarnya aku bisa melakukan hal sederhana seperti ini.

"Tim Penyembuh sudah siap," Icarus berseru dari belakangku dan mengambil posisi di depanku bersama Penyembuh yang lain, menghalangi pandanganku dari tim ksatria yang berada di barisan depan. Aku tidak kaget lagi, dia selalu bersikap seperti itu setiap kali aku mendapat perhatian dari orang lain. Entah dia berusaha menyingkirkanku atau apa, padahal aku selalu berada jauh di belakangnya?

"Lindbergh, maju!"

Suara Sir Farvald menggelegar terdengar hingga ke formasi paling belakang. Aku menarik tali kekang kuda perlahan, memastikan kuda berjalan sesuai kecepatan bagian depan, dan aku melihat hamparan Pulau Ennius yang sangat menakjubkan. Dari peta yang aku lihat, ada enam batu karang menjulang tinggi yang mengelilingi pulau. Saat air surut, maka pantai berpasir merah muda akan tercipta menjadikan batu karang bisa didatangi dengan berjalan kaki.

Di tengah pulau yang berbentuk lingkaran hampir sempurn itu, saat air laut surut, banyak saksi para penjelajah yang menyebutkan bahwa bentuk Pulau Ennius menyerupai Hexagon, bentuk lambang sihir hitam yang legendaris. Kesan mistis semakin kental karena penduduk Pulau Ennius sangat tertutup dan jarang mau menerima penjelajah dari luar pulau.

Aku tidak begitu mengerti kenapa Raja Hardian memutuskan expedisi ke pulau ini, tapi dari informasi Sir Farvald, kami diminta mempelajari ilmu Penyembuh di Pulau Ennius. Dengan melimpahnya tanaman penyembuh pulau ini menjadi tempat yang tepat untuk mengembangkan Teknik penyembuhan. Tempat dimana sihir kuno dan beragam tanaman yang bisa memudahkan melakukan riset dan percobaan.

Sepanjang perjalanan aku memerhatikan sekelilingku, ketika kami melewati dataran menyerupai gurun tidak ada satupun hewan atau manusia yang bisa kami lihat, hanya ada tanaman kaktus sebesar tubuh orang dewasa. 

Tidak sampai 1 jam kemudian kami masuk ke hutan, dan aku bisa merasakan dengan jelas kekuatan spirit hutan yang begitu kental, bulu tengkukku sampai berdiri. Aku bisa melihat beberapa peri hutan terbang saling berkejaran sambil tertawa, suara tawa mereka terdengar begitu jelas. Aku lupa apakah aku pernah belajar bahasa kuno, tapi aku bisa mengerti apa yang dibicarakan para peri di sisi kananku. Mereka saling menggoda dan meledek rombongan yang mungkin bisa merusak hutan mereka. Mereka tampak cemas tapi tidak berhenti bergurau, selain itu mereka juga terlihat tampan dan cantik sekalipun ukuran tubuh mereka tidak lebih besar dari kepalan tangan.

Tidak ada seorangpun yang menunjukkan raut wajah seperti terganggu dengan kehadiran peri hutan. Icarus yang memiliki sihir level tinggi saja tampak tidak terganggu sama sekali dengan kehadiran peri hutan yang terbang begitu dekat dengannya, berkali-kali mereka menarik rambutnya sambil tertawa kecil, tapi dia hanya mengibaskan tangan seolah mengusir nyamuk.

"Oh, ada Arkais!" salah satu peri menunjuk ke arahku, dan aku yang memusatkan perhatian pada mereka sambil melihat ke orang di sekelilingku yang tidak bereaksi.

Arkais? Apakah itu aku?

Aku tersenyum melihat peri hutan yang menunjukku.

"Woah, dia bisa melihat kita?!" sahut yang lain.

Apa aku seharusnya tidak bisa melihat mereka? Kenapa mereka terlihat kaget sekali aku bisa melihat mereka.

Ada tiga peri hutan yang terbang di dekatku, dan saat aku tersenyum, mereka langsung berpindah cepat ke depan mukaku, membuat pandanganku samar karena serbuk berkilauan yang keluar dari sayap mereka. Sayap mereka yang berbentuk seperti daun terkepak cepat tanpa henti.

"Kalau Aslan tahu pasti dia senang bisa bertemu Arkais lagi." Peri dengan sayap berwarna silver bergerak lincah membuat pola melingkar di depan wajahku, membuatku harus terpejam setiap kali serbuk kilaunya harus aku lewati karena kuda terus melangkah maju. Aku merasakan pandanganku semakin terang setiap kali jejak peri menerpa wajahku.

"Apakah kau datang dari dunia luar?" tanya peri lain dengan sayap berwarna merah tua.

"Tentu saja, kau tidak lihat rombongannya. Pertanyaanmu sangat bodoh!" sahut peri dengan sayap berwarna biru terang.

"Aku kan hanya bertanya!"

Aku menahan tawa karena peri dengan sayap warna merah tua itu merajuk dan melipat wajahnya, kesal.

"Aku dari Lindbergh," bisikku pelan. Sepelan mungkin agar tidak ada yang mendengar suaraku, dan peri berwarna merah tua itu kembali melompat kegirangan mendekatiku, senang karena aku bicara dengannya.

"Lindbergh?! Aslan tidak pernah menyebut tempat bernama Lindbergh. Apakah Aslan sudah pikun kalau ada Arkais di Lindbergh?" tanya peri dengan sayap berwarna silver.

"Aslan sudah terlalu lama tinggal di hutan Ennius, dia menunggu ada Arkais yang datang membuat perjanjian dengannya. Hanya dia spirit yang puluhan tahun tidak punya Jiwa Pengikat."

"Aslan terlalu kaku. Salahnya sendiri tidak mau buat Perjanjian dengan manusia lain, kenapa harus Arkais?"

Semakin aku mendengarkan obrolan para peri ini, semakin bingung aku.

Apakah aku ini Arkais?

Ini pertama kalinya aku mendengar nama Arkais. Apakah itu nama keluarga? Nama tempat?

Aku hanya tahu bahwa aku bukan berdarah Lindbgerh murni, Ibuku berasal dari pulau Broshi. Aku tidak pernah mendengar kisah apapun tentang masa lalu ibuku selain nama pulau tempatnya tinggal sebelum menikahi ayah. Apakah mereka menyebut Pulau Broshi sebagai Arkais?

Memikirkan ibu, kabut hitam menaungi hatiku. Bagiku sosok ibuku adalah yang paling sempurna, aku hanya membutuhkan kehadirannya. Bagiku masa lalunya, asal musalnya, tidak pernah menjadi pertanyaan yang penting.

"Bisakah kau membuat mahkota dari daun mandrake? Aku dengar Arkais punya kekuatan mengendalikan pohon mandrake. Kau tahu 'kan pohon mandrake selalu menyebalkan, dia menganggap dirinya paling hebat, paling sombong dan tidak mau kami dekati."

Aku menggeleng. "Aku tidak pernah melihat pohon mandrake. Tapi apa itu Arkais? Kalian maksud aku ini Arkais?" tanyaku bingung.

Ketiga peri tadi terkesiap kaget, dan mereka menggeleng kuat sambil berdecak lidah, seolah menyayangkan diriku yang tidak mengerti tentang apa yang mereka bicarakan.

"Ok! Kesimpulannya berarti kau memang membutuhkan Aslan. Aku akan beritahu Aslan. Sampai ketemu lagi, Arkais!" peri bersayap silver terbang cepat mengecup puncak hidungku, dan aku hanya bisa berkedip kaget karena cahaya kerlip sayapnya menyilaukan sekalipun sosoknya sudah menghilang.

Ketika aku kira sudah selesai, ternyata dua peri lain melakukan hal yang sama dan melambai padaku sebelum terbang meninggalkanku. Aku sontak mengerjap berkali-kali, karena pandanganku begitu jelas. Aku bahkan bisa melihat jejak warna warni yang ditinggalkan para rombongan. Aku bisa melihat warna aura mereka, dengan cepat aku menoleh ke belakang, memastikan mataku tidak salah, dan aku benar-benar melihat warna aura setiap orang.

Apakah ini efek kecupan peri hutan tadi?

Lancelot bisa melihat warna aura, apakah Lancelot juga pernah dicium peri hutan?

Jantungku berdetak cepat, mengalami hal aneh seperti ini, membuatku bingung tapi juga bersemangat. Membayangkan hal menakjubkan lainnya yang mungkin terjadi jika aku bertemu dengan peri hutan lagi. Aku tidak pernah melihat peri hutan di Lindbergh, tapi begitu menginjakkan kaki di Pulau Ennius, aku bisa melihat mereka. Apakah selama ini aku selalu bisa melihat peri hutan? Ataukah di Lindbergh tidak ada peri hutan, sehingga aku tidak pernah melihatnya?

Aku kembali memusatkan pandanganku ke depan, melihat jejak warna aura yang sangat indah saling membaur.

Avallon berada di belakang menutup formasi, saat aku melihat ke arahnya dia langsung menatapku.

"Lihat ke depan Brainne, kudamu berjalan miring."

Buru-buru aku mengembalikan pandanganku ke depan seraya menarik tali kendali kuda. Aku melihat warna aura Avallon yang berwarna emerald seperti warna matanya, tapi ditiap tepinya diliputi kabut gelap hitam pekat. Warna hitam itu seolah menunjukkan jiwanya yang diliputi kebencian. Aku ingin menoleh dan memastikan, tapi pandanganku berangsur kembali normal, jejak aura berangsur samar. Ternyata efeknya tidak tinggal lama.

Apakah Avallon benar-benar membenciku? Hatiku kembali berat. Apakah senyum yang aku lihat di Hutan Gunung Hima hanya ilusi belaka?

Sir Farvald memberi aba-aba bahwa kami akan sampai di gerbang masuk desa utama. Kami merapikan barisan lagi dan mempersiapkan barang persembahan yang akan kami serahkan pada Kepala Desa. Menurut informasi Bella, Raja Hardian khusus menyiapkan beberapa berlian dan bibit tanaman yang tidak ada di Pulau Ennius. Secara garis besar, expedisi kali ini lebih mirip pertukaran.

"Selamat datang Penjelajah dari Lindbergh, kami menyambut kedatangan kalian!"

Rombongan terhenti seketika, kuda-kuda mulai bertindak aneh dan sulit dikendalikan setelah mendengar suara yang menggelegar dari atas langit, seolah yang baru saja bicara adalah dewa. Tidak selesai sampai di situ, tiba-tiba gerbang raksasa di depan kami bergeser terbuka perlahan. Aku terkesiap ketika gerbang yang sangat kokoh itu bergerak dengan mudah, terangkat ke atas.

"Woah, apakah itu sihir?" gumamku penuh kekaguman.

"Troll. Mereka menggunakan troll untuk membuka dan menutup pintu."

Aku menoleh ke sumber suara, dan Pangeran Adalgard mengarahkan kudanya hingga berada tepat di sebelahku.

"Troll?" aku tidak percaya. Troll adalah makhluk penyendiri yang biasanya tinggal di gua, mereka makhluk liar dengan ukuran berkali-kali lipat dari ukuran manusia. Wujud mereka yang jelek dan menakutkan membuat siapapun ketakutan melihat mereka. Lalu tadi dia bilang mereka menggunakan troll untuk membuka dan menutup pintu? Mereka menjinakkan troll?

"Iya, mereka melakukannya. Kau tidak perlu pasang wajah bodoh begitu!" Pangeran Adalgard mengusapkan telapak tangannya ke wajahku. Tangannya bau kotoran kuda, aku hampir muntah, tapi dia malah tertawa tanpa beban.

"Apa dia benar-benar Pangeran?" gerutuku kesal. Kelakuannya benar-benar tidak mencerminkan jiwa seorang pangeran. Seharusnya dia tahu kalau menyentuh wajah orang lain (terutama wanita) tanpa izin sangatlah tidak sopan.

"Kenapa? Kau bilang apa tadi?" 

Aku menggeleng cepat, dan mengalihkan perhatianku pada kereta kuda milik Raja dan Putra Mahkota yang sudah memasuki gerbang. Sedikit demi sedikit kami bergerak masuk. 

Saat kudaku bergerak melewati gerbang desa Ennius, dari jarak dekat ternyata gerbang itu bertabur berlian dan beberapa batu berharga lain yang tidak aku sadari, dan benar saja di sisi kanan kiri ada troll dengan badan berwarna hijau lumut, tinggi badan mereka dua kali ukuran badan Sir Farvald, taring rahang bawah mereka mencuat ke atas, telinga lancip mereka terlihat jelas di kepala mereka yang tidak berambut.

Ini pertama kalinya aku melihat troll dari jarak dekat, mereka sangat menakutkan, tapi orang Ennius bisa menjinakkan mereka, sungguh luar biasa. Satu orang troll di sisi kanan melihat ke arahku langsung, dan betapa kagetnya aku saat troll itu menunduk seolah memberi hormat. Aku tidak mengerti kenapa, mungkin dia melakukannya pada yang lain juga. Tapi saat anggota rombongan yang lain lewat, mereka tetap diam seperti patung.

Apa aku salah lihat?

"Brainne, rambutmu menghalangi pandangan. Kenapa tidak kau ikat rambutmu?!"

Icarus teriak dari belakangku. Dia dipaksa berada di belakangku sebagai penutup formasi tim penyembuh, dan suaranya yang dipenuhi kebencian membuatku ingin menjahit mulutnya. Aku tahu dia tidak pernah ramah, tapi haruskah dia bicara seperti itu. Mungkin dia ingin menunjukkan ketidaksukaannya padaku ke semua orang.

Aku melepaskan tali kendali kuda dan menarik selendang yang terikat di pinggangku, dan mengikat rambutku yang mengembang ke segala arah menjadi satu ikatan. Semua aku lakukan dengan cepat.

"Puas?!" tanyaku dengan nada tinggi seraya menoleh ke Icarus, dan penyembuh berambut pirang panjang sebahu itu tidak menjawabku, malah membuang pandangannya ke tempat lain.

"Woah! Brainne!" terdengar suara tepuk tangan dari depan. Aku tidak sadar kalau kelompok ksatria barisan depan menoleh ke arahku. Aku bingung mendapati perhatian mereka padaku, menatapku takjub.

"Keren, Brainne! Kau bisa mengikat rambut dan tidak jatuh dari kuda yang masih jalan. Ksatria saja perlu waktu lama untuk bisa stabil di atas kuda." Sir Farvald menjawab sambil mengangkat jempolnya, dan aku hanya terdiam, tapi saat aku menoleh lagi pada Icarus, dia malah berwajah lebih masam dari sebelumnya.

"Ada masalah hidup apa sih dia? Semua yang aku lakukan membuatnya menekuk wajah!" gerutuku yang mempercepat kecepatan kuda saat barisan depan membuka formasi. 

Kami menempatkan kuda di kandang yang sudah disiapkan kepala desa Ennius. Dari kandang kuda aku bisa melihat Raja Hardian sedang berjabat tangan dengan seorang pria dengan kepala plontos dan jenggot putih panjang seperut, wajahnya dipenuhi kerut hingga matanya terlihat seperti dua garis lengkung saja.

Beberapa ksatria membawa kotak persembahan masuk ke bangunan paling besar yang pernah aku lihat sejak masuk ke desa. Aku yakin itu adalah upeti yang sudah disiapkan Raja Hardian. Bella berdiri beberapa langkah dari Raja Hardian tampak memastikan kotak yang dibawa sesuai, tubuh mungilnya terlihat sangat kontras dengan barisan ksatria lain yang siaga mengawal. 

Tiba-tiba Raja Hardian menoleh ke arahku, dan kepala desa Ennius melakukan hal yang sama. Reflek aku menoleh ke kanan, kiri dan belakangku, berpikir mungkin mereka bukan melihat ke arahku, tapi yang lain sedang berpencar mengurus kuda masing-masing.

Mungkin perasaanku saja. Tidak mungkin mereka membicarakanku, aku ini hanya pelengkap penderita di rombongan expedisi Lindbergh.

.

.

.