Hari berangsur cerah saat kami keluar dari hutan gunung Hima, sinar matahari menyinari tubuh kami yang tidak tersentuh cahayanya selama empat hari. Hidungku terasa seperti plong saat menghirup udara segar, kelembaban hutan basah membuat penciumanku hampir tak berfungsi sama sekali.
Rombongan ekspedisi menuju pelabuhan Timur Orestes, dari sini kami akan naik kapal yang akan menyeberang menuju Pulau Ennius. Setelah dua minggu perjalanan yang melelahkan, akhirnya kami bisa melihat tempat tujuan kami dari dekat sekalipun masih diseberang lautan. Kapal harus berlayar selama sehari semalam sebelum benar-benar sampai di Pulau Ennius.
"Jangan lengah! Begitu sampai di Pulau Ennius, kalian harus lebih waspada. Hati-hati dengan tanaman beracun ataupun hewan buas. Pulau Ennius habitat alami hewan purba dan tanaman beracun, beberapa di antaranya bisa mematikan. Kalian juga harus mengenali artefak sakral yang masih menyimpan sihir kuno, yang kemungkinan akan kita temui sebelum mencapai pusat desa Ennius. Aku harap kalian tidak melupakan pelatihan khusus dua minggu kalian di istana. Jangan bertindak gegabah, karena nyawa kalian yang akan jadi taruhannya jika kalian melanggar aturan pulau Ennius."
Sir Farvald memberikan briefing singkat saat rombongan berkumpul di dek kapal dua jam lalu. Raja Hardian dan Putra Mahkota sudah masuk ke ruangan mereka, sementara tim lain diharuskan mengatur peletakkan barang, setelahnya baru kami bisa istirahat.
Ombak sangat tenang, matahari juga bersinar dengan bangganya di atas kepala kami. Terik dan membakar, tapi justru rombongan ekspedisi menyukainya, kami benar-benar butuh sinar matahari. Angin berhembus semilir, membawa wangi laut yang kuat. Jika alam mendukung seperti ini, kami tidak perlu terlalu lelah bertarung dengan fisik terkuras karena harus melawan cuaca.
Aku mengelap peluh setelah meletakkan karung terakhir yang berisi tepung untuk persedian logistik, Bella yang mengangkat keranjang berisi selimut kering tersenyum senang. Awalnya dia menolak bantuanku, tapi aku mana tega melihat badan mungilnya mengangkat karung tepung yang besarnya hampir sama dengan tubuhnya. Lagipula aku punya kekuatan fisik seperti ksatria lainnya, jadi mengangkat benda berat bukanlah perkara sulit.
"Aku dan pelayan lain harus menyiapkan makan malam untuk Raja dan Putra Mahkota. Terimakasih sudah membantuku, Nona Brainne." Bella bicara sambil membungkuk sempurna.
Jempolku terangkat ke udara, memberi isyarat agar Bella tidak perlu sungkan, tapi Bella tetaplah Bella. Dia selalu bicara apa adanya, tapi juga tidak pernah melupakan tata karma karena perbedaan status kami. Terkadang aku kesal kenapa kami harus membentengi diri dengan status, padahal kami sama-sama melakukan pekerjaan kasar untuk Raja dan Putra Mahkota. Tapi status rakyat jelata dan bangsawan seperti jurang besar yang tidak bisa kami hilangkan.
Usai memastikan tidak ada yang tertinggal, kapal langsung berlayar menuju Pulau Ennius, dan setiap orang diperbolehkan istirahat di pos masing-masing.
"Iliana. Kau mau biskuit?" Pangeran Adalgard muncul entah dari mana dan menyodorkan sepotong biskuit berbentuk tak beraturan di tangannya. Dia bicara dengan mulut masih mengunyah, membuat kesan biskuit yang ditawarkannya sangat enak. Padahal aku tahu biskuit aneh buatan Adam itu benar-benar fantastis, aku tidak bisa menyebutkan rasa pastinya seperti apa. Ada manis, asin, bahkan sedikit pahit juga asam, bahkan aku bisa mencium wangi mawar dari biskuitnya setelah masuk ke mulut. Selera orang dari Adalgard benar-benar aneh.
"Tidak, terima kasih!" jawabku sambil mengangkat tangan.
Aku berjalan menuju ruangan tim penyembuh, mengabaikan Pangeran Adalgard yang mencibir kesal karena penolakanku.
Kapal berukuran besar ini jauh lebih nyaman dari berkemah di hutan, dan setiap bagian mendapatkan ruangan khusus, seperti pembagian tenda di Gunung Hima. Aku berjalan menyusuri koridor, hingga menemukan pintu berwarna cokelat tua di ujung.
"Pendeta Brainne?"
Tanganku yang hendak membuka pintu, terdiam mendengar suara Icarus yang menyebut ayahku. Aku ragu apakah aku harus masuk ketika mereka membicarakan tentang Ayahku? Tapi tidak benar juga membicarakan Ayahku di belakangnya seperti ini.
"Iya, Pendeta Brainne sendiri yang bilang ke Pendeta Noah." Aku mengenali suara Roxie yang tinggi menyerupai penyanyi soprano menimpali Icarus.
"Kau serius?" suara lain menyahut.
"Aku tahu Pendeta Brainne orang yang tegas, tapi siapa sangka dia bahkan tega membuang anaknya sendiri."
"Apa maksudmu?"
"Ya apalagi namanya kalau bukan membuang. Dia memutuskan mencoret Si Kulit Gelap itu sebagai pewarisnya. Bahkan aku dengar pihak kuil sedang membahas tentang harta kekayaan keluarga Brainne, mereka bilang Pendeta Brainne akan menyumbangkan semua hartanya ketika dia meninggal nanti. Jadi tidak ada sepeserpun harta yang akan diterima si Mata Aneh. "
"Apakah dia anak haram, makanya Pendeta Brainne seperti tidak mengakuinya?"
"Tapi mata ungunya itu ciri khas darah Brainne."
"Apakah dia anak dari hubungan gelap Saudara Pendeta Brainne sebelum meninggal?"
"Hush! Jangan sembarangan bicara!"
"Ya ... aku hanya berspekulasi. Apa penyebabnya kalau sampai ayah kandungmu bersikap seperti itu?"
"Tapi kan dia masih mendapat perlakuan khusus di kuil."
"Aku yakin itu hanya sandiwara, supaya orang-orang tidak curiga." Roxie lagi-lagi mengeluarkan kalimat tajam dan meyakinkan.
"Aku juga bingung bagaimana bisa Penyembuh selemah dia bisa terpilih dalam ekspedisi ini." Icarus menyahut dengan suara skeptis.
"Betul! Dia hanya jadi beban!"
Suara satu dan yang lain saling bersahutan menimpali. Aku membenci pendengaranku yang terlalu peka, sehingga aku bisa mendengar dengan jelas suara mereka.
Kata demi kata, aku bahkan bisa membayangkan raut wajah mereka saat mendengar intonasi dalam suara mereka. Mereka bukan orang asing bagiku, tapi kenapa menyebut namaku saja sepertinya membuat mereka jijik. Menyebutku dengan 'Si Kulit Gelap' atau 'Si Mata Aneh' tidaklah membuatku sakit hati, karena itu kenyataan, tapi nada dalam suara mereka membuatku sadar bahwa mereka sangat tidak menyukaiku yang 'berbeda' dari mereka.
Aku tahu mereka menghindariku, tapi aku tidak pernah tahu kalau kebencian mereka sedalam itu kepadaku.
Aku ikut ekspedisi ini karena keputusan dari pihak kerajaan, bukan karena aku meminta. Bahkan Ayahku yang menerima pemberitahuan, tidak lantas memberi kabar tentang ekspedisi ini. Duniaku selalu ditutup.
Tidak ingin mendengar lebih banyak lagi, aku memilih pergi ke dek kapal. Bersandar pada pembatas aku melihat permukaan laut yang ditutup gelombang tenang. Entah berapa lama aku terdiam di dek dekat barisan barel berisi minuman. Warna kulitku yang gelap membuatku membaur dengan baik di sini.
Dari sinar matahari yang terik, berganti dengan cahaya hangat senja, hingga langit berubah berwarna gelap muncul, bersama taburan bintang yang terlihat sangat indah. Ketenangan ini sangat bertolak belakang dengan kepalaku yang berisik, sehingga aku mampu dengan baik mendengar bisikan-bisikan buruk yang membuatku semakin sedih.
Saat seperti ini aku ingin laut sedikit lebih berisik, menyibukkanku, mengalihkanku dari rumitnya pikiran ini.
Aku tidak pernah mendengar apapun tentang hak waris. Tak sedetikpun terlintas dalam benakku untuk melanjutkan tanggungjawab ayah sebagai kepala keluarga, tapi apakah kehadiranku sangat tidak signifikan hingga tidak sedikitpun ayah merasa perlu memberitahuku informasi ini?
Sebagai keluarga dengan pengaruh cukup besar dan dihormati di seluruh Kerajaan Lindbergh, keputusan yang diambil ayah akan memengaruhi pandangan orang terhadap fraksi bangsawan yang mendukung Raja Hardian. Jika pewaris keluarga Brainne tidak ada, apakah artinya keluarga Brainne akan berakhir di sini?
Jika Ayah tidak berniat memberikan hak padaku, apakah itu artinya aku harus mulai bekerja dan mengumpulkan koin dari sekarang?
Aku harus bersiap, jika saat itu tiba, aku tidak ingin menjadi gelandangan.
Kenapa hatiku terasa nyeri? Aku ingin menangis membayangkan diriku yang mungkin hidup luntang lantung di jalan. Bahuku merosot, seiring hatiku yang terasa berat.
"Berhentilah berpikir yang aneh-aneh, Ash!" kataku pada diriku sendiri.
Aku hanya membuat dirimu makin terpuruk. Aku bahkan tidak tahu kapan Ayah akan meninggal, berpikir seperti ini seolah-olah mengharapkan kematian ayahku.
"Ibu, jika kau melihatku dari atas sana, bisakah kau memberi tahuku apa yang harus aku lakukan? Kenapa aku tidak bisa menemukan alasanku dilahirkan? Apakah aku wujud cinta ayah dan ibu? Cinta seperti apa yang ayah miliki ketika tidak sedikitpun ayah menunjukkan kasih sayangnya padaku? Bagaimana aku bisa mengertinya jika ayah selalu menjauh dariku? Hati baik seperti apa yang ibu lihat dari ayah yang tidak bisa aku lihat?"
Aku berbisik pada angin, dan merasakan pijar sihir dalam diriku melemah. Angin membuat rambutku terkibas, membawa hawa dingin bersamanya. Sendirian di dek kapal, aku merasa jauh lebih tenang dan lega. Tanganku terjulur seolah hendak menggapai bulan yang terlihat sangat jelas di langit. Aku memusatkan pikiran dan membuat sulur berwarna silver keluar dari telapak tanganku, berkhayal telekinesisku bisa menggerakkan bulan agar semakin dekat denganku.
"Apa yang kau lakukan?"
Terkejut, aku reflek berbalik dan menyembunyikan tanganku ke belakang. Tak mampu bicara, aku melihat Putra Mahkota Henry berdiri di seberangku, dia mengenakan jubah berwarna emas yang terlihat sangat memukau saat bergerak ditiup angin. Lekuk wajahnya yang sempurna, juga aura sombong yang terpancar darinya terlihat sangat kuat. Selama ini aku selalu melihat Putra Mahkota dari kejauhan, tapi melihatnya dari sedekat ini, dan dengan perhatian tertuju padaku sepenuhnya, aku merasa canggung.
Putra Mahkota Henry setahuku berusia 15 tahun, tapi tubuhnya sama tinggi denganku. Sosoknya terlihat sangat royal dengan rambut berwarna pirang dan mata berwarna navy. Garis wajahnya begitu tegas dan posturnya sangat bagus sebagai pengguna pedang.
"Kenapa kau tidak istirahat, Iliana?"
Aku tertegun. Bukan karena Putra Mahkota menyebut namaku yang terdengar akrab, tapi lebih pada pertanyaan kenapa dia mengenaliku? Aku teringat ucapan Sir Farvald di ruang Master Sevius.
Benarkah kami pernah bertemu, sehingga Putra Mahkota memilihku menjadi satu anggota rombongan? Tapi aku tidak ingat sama sekali.
"Sa-salam untuk Yang Mulia Pu-putra Mahkota, semoga cahaya suci Lindbergh selalu menyertaimu."
Membungkukkan badan sempurna, aku menunjukkan penghormatan sepenuhnya kepada calon pewaris tunggal Raja Hardian. Dia tetap diam setelah menerima salamku, dan itu membuatku makin gugup. Keheningan di antara kami menyumbat salur pernafasanku, hingga aku berkali-kali melirik ke atas degan tubuh masih membungkuk.
Berapa lama aku harus berada di posisi ini? Apakah ada yang salah dengan salamku?
"Iliana?"
"Eh?" aku reflek menegakkan tubuh mendengar namaku kembali disebut.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa yang kau lakukan?"
"A-aku sedang berlatih," lanjutku tergagap setelah berpikir keras mencari alasan.
"Kau benar-benar seperti yang Roselyn ceritakan. Kaku dan tidak bersahabat."
Lidahku kelu, tidak bisa menjawab vonis dari Putra Mahkota, terlebih lagi sorot matanya yang tajam membuatku semakin takut menentang kata-katanya.
"Aku kira anak dari Pendeta Brainne akan seperti Pendeta Brainne, tapi kau seperti kebalikannya. Apakah kau harus semuram itu dan membuat semua orang menjauh darimu? Kau tidak bersahabat dengan orang-orang di sekitarmu, tapi bisa dekat dengan Pangeran Adalgard. Aku penasaran apa yang ada di kepalamu?"
Keringat dingin bermunculan di dahiku, jantungku berpacu ketika nyaliku makin ciut mendengar kata-kata Putra Mahkota.
"Ma-maafkan aku Putra Mahkota, tapi aku tidak-"
"Brainne!" suara lantang memanggilku dari belakang Pangeran Henry, dan di ujung pandanganku berdiri Avallon di anak tangga menuju dek. Matanya berkilat terang, entah karena efek pantulan sinar bulan atau apa, yang pasti aku mendapati auranya tidak stabil. Avallon yang biasanya tak bisa kubaca suasana hatiny, kali ini aku merasakan dengan jelas kemarahan samar dalam auranya.
Apakah dia marah padaku? Kesalahan apa yang sudah aku buat? Aku dari tadi sendirian di dek, aku tidak melakukan apapun! Sumpah!
Avallon berjalan sangat cepat mendekati kami.
"Maafkan aku, Pangeran Henry. Sir Farvald mencari Brainne. Mohon izinkan Brainne undur diri,"ucap Avallon dengan suara tenang, tapi aku bisa melihat jelas dia tengah berusaha menenangkan diri.
"Tentu saja. Aku tidak punya alasan menahan Iliana." Wajah Putra Mahkota berubah cerah saat Avallon berdiri di depannya. Senyum ramah melengkung lebar di pipinya, dia bahkan tidak lagi melihat ke arahku saat aku membungkukkan badan memberi hormat sebelum pergi meninggalkan mereka berdua. Kehadiranku benar-benar terhapus dari pandangannya.
Apakah Putra Mahkota memiliki dendam padaku? Aku bisa merasakan dengan jelas dia tidak suka padaku.
Untung saja Sir Farvald mencariku, jika tidak aku mungkin bisa mati berdiri menghadapi Putra Mahkota yang terus menyerangku tanpa ampun.
Ruangan Sir Farvald terletak tepat di sebelah kamar Raja Hardian dan Putra Mahkota. Jantungku masih berdetak tak beraturan setelah berlari cepat kabur dari Putra Mahkota. Sempat memberi salam pada dua pengawal yang menjaga kamar Raja Hardian dan Putra Mahkota, aku meleati mereka sambil menarik napas panjang beberapa kali. Setelah memastikan aku cukup tenang, baru aku mengetuk pintu ruangan Sir Farvald.
"Masuk!"
Aku mendorong pintu, mendapati Sir Farvald dan beberapa orang ksatria duduk mengelilingi meja yang dipenuhi gelas minuman dan beberapa kartu domino yang berbaris.
"Brainne? Apa yang kau lakukan di sini?" Sir Farvald yang pertama kali menoleh ke arahku, dan membuat sisa penghuni ruangan memberikan perhatiannya padaku. Rasa tidak nyaman langsung mengelilingiku, rasanya ada ribuan semut yang menggerayangiku.
Apa yang terjadi? Kenapa Sir Farvald balik bertanya padaku?
"Du-Duke Avallon bilang Sir Farvald men-mencariku," jawabku dengan suara pelan.
"Hah? Aku?" wajah Sir Farvald mengerut bingung. Selama beberapa detik terlewat dalam diam, seolah sedang menggali bagian terdalam ingatannya, Sir Farvald menautkan alisnya.
Sebelum akhirnya berkata, "Oh iya! Aku lupa! Sini sini! Aku perlu teman untuk melawan mereka!" Sir Farvald melambaikan tangannya antusias, dan aku ragu-ragu mendekatinya.
Tangan besar Sir Farvald menyikut rekannya yang duduk di sebelahnya, dan orang berjenggot panjang itu langsung beranjak seraya menarik kursi lain untuknya, merelakan kursi yang tadi di dudukinya padaku.
Badan Sir Farvald tinggi dan berisi penuh otot. Tidak perlu menguji kekuatannya lagi, ketika dia mendapat julukan pria terkuat di Lindbergh bukanlah sesuatu yang perlu diragukan. Jadi aku yakin sikutan sederhana tadi pasti sedikit menyakitkan, tapi orang tadi terlihat santai saja.
Banyak rumor bertebaran tentang Sir Farvald di Akademi. Cerita yang paling menggemparkan tiap angkatan di akademi adalah cerita tentang Sir Farvald pernah mengalahkan Cerberus sendirian. Membawa kepala Carberus dan mendapatkan penghargaan besar dari kerajaan, membuatnya jadi salah satu ksatria yang melegenda.
Aku melirik ke arahnya tanpa sadar, duduk di sebelahnya, membuatku merasa sangat kecil.
Kartu domino yang tidak terlalu kecil itu tenggelam di tangan Sir Farvald, dia melihat dengan seksama barisan kartu di tangannya, dan melirik lima orang lawannya yang terlihat sama seriusnya. Ini hanya permainan, tapi kenapa mereka terlihat lebih tegang dari pada saat melawan bandit di Gunung Hima.
"Kartu mana yang harus aku keluarkan, Brainne?" Sir Farvald menunjukkan kartunya padaku, dan aku memiringkan kepala, bingung. Aku sendiri tidak pernah berpikir keras kalau bermain kartu seperti ini. Clifton bukan tipikal yang sulit dibaca, aku bisa mengerti kartu apa yang dia miliki hanya dengan membaca kerutan di wajahnya, tapi kali ini ada lima orang ksatria yang semuanya tidak aku kenal baik.
"Yang mana?" Sir Farvald terus mendesak, tanganku bergerak mengikuti insting menunjuk kartu paling kiri.
"Oke, ini pilihan Brainne!" kartu pilihanku dibanting sedemikian rupa ke meja, mengikuti urutan kartu lain yang sudah ada di meja. Empat wajah di hadapanku tampak memucat.
"Ha! Kalian pasti tidak punya kartu lagi!" Sir Farvald menunjuk empat orang yang sudah pasrah. "Bagaimana denganmu, Thomas?" satu lagi lawan Sir Farvald terdiam penuh khidmat, berpikir sangat keras.
"Biarkan aku berpikir, jangan mengacaukan konsentrasiku. Aku tidak akan membiarkanmu mengambil jatah daging makan malamku!" sahut Thomas sengit.
Aku tanpa sadar menganggukkan kepalaku. Rupanya mereka mempertaruhkan daging makan malam mereka, aku mengerti sekarang kenapa mereka terlihat sangat serius. Daging dalam menu makanan adalah hidangan 'mewah' dalam ekspedisi. Kami hanya bisa makan daging buatan koki ahli Raja seminggu sekali.
"Lagipula kau sudah dapat jatah dari mereka!" Thomas menunjuk empat orang lain yang sudah tak punya semangat juang, lesu karena kalah, "memangnya perutmu bisa menampung 6 porsi sekaligus?!" gerutu Thomas lagi.
"Oh, tentu saja aku bisa makan daging lebih banyak dari perkiraan kalian. Kalau tidak habis aku bisa membaginya dengan Brainne."
Thomas memicingkan mata dan melemparkan kartunya menyambut kartu Sir Farvald.
"Oh, aku suka kartumu!" Sir Farvald jauh lebih senang sekarang mendapati lawannya tidak menyerah sekalipun terpojok. Sir Farvald melirikku dan kembali memintaku memilih kartunya. Entah kenapa dia memegang banyak kartu bagus, dan aku berpikir mengakhiri permainan lebih cepat lebih baik. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Alasan Sir Farvald memanggilku agak tidak masuk akal sebenarnya.
"Ini," jawabku seraya menarik kartu dari tangannya yang besar dan meletakkannya hati-hati menimpa di atas kartu Thomas. Pria itu langsung berubah pucat.
"Kenapa? Kau tidak punya kartu lagi?"
Thomas tidak berkata-kata lagi.
"Aku menang?! Yeah!" Sir Farvald bersorak seraya mengangkat tanganku bersama tangannya, reflek aku berdiri sambil berjinjit, aku hanya bisa tersenyum takut-takut karena peserta permainan yang lain tampak sangat kesal.
"Jangan pasang tampang begitu, kalian bisa menakuti anak ini!" kata Sir Farvald seraya merangkul bahuku, membuat rambut ikalku menutupi sebagian wajahnya. Aku tidak tahu berapa usia Sir Farvald, kalau dilihat dari wajahnya dia terlihat tidak terlalu senior, mungkin beda beberapa tahun dari ayahku.
"Bwa ha ha ha!" Thomas tiba-tiba tertawa sambil melihat ke arah kami.
"Aku akui kemenanganmu! Ini pertama kalinya kau menang setelah kalah berkali-kali! Aku mengerti kau sudah sangat merindukan daging di mulutmu." Thomas tersenyum ke arahku, menghapus rasa takutku seketika.
"Kau harus berterimakasih pada Brainne!" sahut orang yang tadi disikut Sir Farvald.
"Tentu saja! Dia pahlawan dagingku!" jawab Sir Farvald yang semakin erat mengalungkan tangan besarnya di bahuku.
Semua penghuni ruangan tertawa mendengar sebutan Sir Farvald untukku, dan aku hanya bisa tersenyum lebar. Suasana hangat seperti ini jarang sekali aku rasakan sejak mengikuti tim ekspedisi. Aku terbiasa sendiri, dan beberapa hari ini bersama Bella, tapi berada di tengah-tengah orang menikmati kebahagiaan yang sama sungguh menyejukkan hatiku.
"Terimakasih, Brainne. Melihatmu seperti melihat anakku sendiri."
"Jangan membual! Anakmu bahkan bukan perempuan, mana mungkin mereka sama!" sahut satu suara.
"Kau lupa anakmu menjadi ksatria tahun ini?" celetuk yang lain meledek Sir Farvald.
"Maklum saja, menginjak usia 50 tahun membuatnya mulai pikun!" sahut Thomas.
"Betul, Betul! Kau orang tertua di rombongan ini!" suara lain ikut meledek Sir Farvald.
"Ha ha ha! Tentu saja aku menolak tua!"
Tawa keras membahana di ruangan. Semua tertawa, dan hanya aku yang agak sungkan tawa lepas, berada di tengah-tengah para ksatria unggulan Lindbergh membuatku seperti anak hilang. Belum lagi mendapati kenyataan bahwa Sir Farvald lebih tua 10 tahun dari ayahku. Dia terlihat sangat muda, kulitnya bahwa tampak bersinar sekalipun dihiasi bekas luka.
.
.
.