Memasuki hari ke 15, rombongan memutuskan rehat di Gunung Hima. Lokasi Gunung Hima masih dalam teritori Negeri Orestes. Perjalanan tidak terlalu melelahkan karena banyak penyihir penyembuh yang menyebarkan sihirnya ke seluruh rombongan untuk mengembalikan kondisi tubuh yang menurun. Total ada lima orang Penyembuh dalam rombongan, salah satunya adalah aku. Sayangnya aku tidak memiliki cukup kekuatan, sehingga yang bekerja menyebarkan sihir pemulihan adalah empat orang lain yang ditunjuk dari Kuil Arthemys.
Ke-empat orang itu tidaklah asing bagiku, karena mereka adalah orang yang dididik di bawah Pendeta Tertinggi Kuil Arthemys. Semuanya mengetahui level kekuatanku, karena aku sering bolak balik ke kuil dan melakukan ritual setiap bulannya.
Kami terlihat akur di depan peserta expedisi yang lain, tapi aku mengerti mereka sengaja menjaga jarak karena tidak mau berurusan dengan Pendeta Brainne jika tidak sengaja membuat masalah denganku. Bagi mereka, aku adalah anak Pendeta Brainne yang mendapatkan perlakuan khusus. Sekalipun sihirku sangat lemah, aku tetap masuk dalam jajaran riset pengembangan sihir, padahal jika ada orang lain dengan sihir selemah diriku akan langsung dieliminasi dari kuil. Aku juga sadar diri, karena perlakuan khusus yang tidak aku minta ini, lebih baik aku menghindari mereka dari pada membuat mereka makin kesal dan merundungku.
Hutan Gunung Hima adalah hutan basah dengan curah hujan tinggi. Kami terpaksa harus membangun tenda di bawah deraian air hujan. Mantel yang aku gunakan tidak mampu lagi menahan air yang tak ada habisnya.
Aku membantu tim penyembuh untuk membangun tenda, bekerja tanpa bicara aku mengikat simpul tali besar ke patok yang ditanam ke tanah sementara rekan yang lain memegangi tiang yang lain.
"Nona Brainne, jangan menarik talinya terlalu kuat takutnya putus."
"Eh?" aku mengangkat kepala karena mendengar suara asing yang bicara padaku. Hujan yang terlalu lebat membuatku tidak bisa melihat jelas siapa yang bicara, hanya terlihat siluet mungil yang tenggelam tertutup mantel hitam kebesaran.
Tapi aku tidak menjawabnya dan sedikit merenggangkan tali yang aku tarik.
"Ok, cukup!"
Aku kembali mengikat simpul tali, memastikannya terikat sempurna sebelum menegakkan tubuh. Aku sendiri kesulitan melihat, tapi orang tadi bisa memastikan dengan jelas aku mengikat simpul dengan sempurna. Saat aku berpindah ke tali lain dan hendak mengikatnya, orang itu lagi-lagi memberikanku arahan. Rasanya sudah lama sekali aku mengalami saat-saat seperti ini. Bekerja sebagai tim dan saling melengkapi.
Tenda berdiri sempurna dan kami mulai mengatur bagian dalam tenda, memastikan sihir pelindung menghalangi air masuk ke bawah tenda, menggelar alas tidur dan meletakkan barang-barang kami. Aku mengambil tempat di sisi paling jauh di belakang tenda berukuran besar yang muat untuk lima orang itu.
Tidak mudah membedakan siang dan malam ketika langit tidak lagi terlihat jelas karena pohon yang tumbuh begitu rapat, belum lagi awan gelap yang terus menaungi sekalipun hujan tidak turun.
Dari sepuluh hari perjalanan kami, aku merasa ini adalah yang terberat. Kami harus bertarung dengan cuaca dan alam. Bagusnya tidak ada bandit seperti yang dikhawatirkan Sir Farvald selama di hutan Hima.
Selesai merapikan barang-barang, aku keluar tenda mencari kesibukan lain, dan saat menoleh ke arah barisan kereta kuda, aku mengenali siluet mungil yang tadi membantuku tengah memeriksa isi muatan kereta. Aku langsung mendekatinya.
"Emm ... permisi, ada yang bisa aku bantu?" aku menurunkan tudung mantelku karena hujan hanya menyisakan rintik ringan dan sosok mungil itu mendongak, yang pertama kali menyapaku adalah senyum cerah di bibirnya yang sumbing. Aku sempat kaget melihatnya, tapi dengan cepat menguasai diri karena aku tidak ingin membuatnya tersinggung.
"Terimakasih, tapi aku sudah menemukannya. Ini untuk Nona Brainne."
Kedua tangannya yang jauh lebih putih dariku terulur menyodorkan sepotong roti yang masih terbungkus kertas berwarna cokelat tua. Caranya menggerakan tubuhnya sangat sopan dan penuh hormat, jujur aku merasa makin tidak enak hati setelah sempat tertegun melihat wajahnya.
"A-aku?"
Dia mengangguk cepat, "Nona Brainne tidak makan siang tadi, kan?"
Bagaimana dia bisa tahu?
Senyum di bibirnya makin lebar, kebingungan di wajahku seperti membuatnya bangga.
"Tadi siang Nona Braine mengobati rusa yang terluka. Aku mau menolong, tapi aku lihat Nona Brainne malah menjauh dari rombongan dan meditasi. Kebetulan aku punya roti ini. Silahkan."
Ragu-ragu aku menerima roti darinya. Dia tampak sangat ceria dan senang aku menerima kebaikannya. Sosoknya sangat mungil di antara semua anggota rombongan, aku baru menyadarinya sekarang. Mungkin dia masih seumuran Lancelot, tubuh mereka terlihat sama tinggi.
"Siapa namamu?" tanyaku penuh rasa ingin mengenalnya lebih dekat.
"Isabella. Panggil saja aku Bella. Aku budak perang dari Adalgard, dan dibebaskan karena kemurahan hati Raja Hardian. Aku bekerja di istana Lindbergh sejak tiga tahun lalu sebagai pelayan."
Kenyataan lain menghantamku. Dia budak perang, tapi entah kenapa tidak ada jejak kesedihan atau trauma di dirinya, justru bagiku terlihat seperti orang paling bahagia di dunia? Aku jadi makin penasaran dengan sosoknya. Apakah dia punya keahlian atau ilmu sihir lain hingga Raja Hardian menaruh perhatian khusus padanya?
"Nona Brainne baik sekali. Padahal rusa itu kalau dilihat Sir Farvald akan langsung dijadikan santapan makan malam," Bella kembali bersuara, suaranya sangat riang dan memanjakan telinga. Aku pikir siapapun yang mengobrol dengannya bisa betah selama berjam-jam.
"Ah … itu... bukan, aku hanya mampu melakukan sihir penyembuhan sederhana, jadi penyembuhan lain dilakukan tim dari kuil Arthemys. Jadi aku pikir, dari pada kekuatanku tidak digunakan sama sekali, apa salahnya menyembuhkan rusa yang terluka."
Bella memiringkan kepala, dan untuk pertama kalinya aku lihat awan hitam menangungi wajahnya.
"Apakah Nona Brainne merasa tidak percaya diri?"
Aku menunduk dalam, tidak ingin mengakui pertanyaan Bella dengan lisanku sendiri, tapi hatiku mengakui sepenuhnya.
"Sebaiknya Nona Brainne makan rotinya sekarang. Ayo kita duduk di sana."
Bella menunjuk kayu panjang di bawah pohon lebat, mengalihkan perhatianku. Tidak ada tetesan air hujan yang jatuh karena daun yang terlalu rapat , dan kami duduk berdampingan.
Mata polos Bella melihat ke arahku terus menerus, dan aku sadar dia sedang menungguku menyantap roti pemberiannya. Tanpa kata aku membuka roti dan mulai melahapnya. Rasa manis dan cokelat menyebar sempurna ke seluruh mulutku, membangkitkan rasa lapar yang tadinya tidak terasa sama sekali. Hingga aku dengan cepat menghabiskannya. Rotinya sangat enak.
"Apakah kau bertanggung jawab di bagian logistik?" tanyaku.
"Iya." Bella menjawab dengan cepat dan antusias.
"Lalu kenapa tadi kau bisa ada di tenda Tim Penyembuh dan membantuku?"
Bella menurunkan pandangannya, tampak memikirkan jawabannya.
"Umm… sebenarnya aku hanya melihat dari kejauhan Nona Brainne bekerja sendirian, jadi aku hanya ingin membantu. Bukankah tim harus kerjasama, bukan kerja sendiri?"
Aku mengangguk. Dia tidak salah, karena aku dan timku menyadari interaksi kami yang tidak terlalu baik, dan aku hanya ingin menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Jika mereka tidak membantuku menyelesaikannya, maka aku akan melakukannya sendiri. Aku tidak ingin terlihat tidak akur atau berdebat hanya karena pembagian tugas.
Saat aku menarik perlengkapan tenda tadi, ke-empat penyembuh lain langsung pergi menghampiri Sir Farvald, membantu persiapan tenda untuk Raja Hardian dan Pangeran Mahkota.
"Bagaimana aku harus menjelaskannya. Kalau kau pernah mendengar tentangku, aku yakin kau tidak akan mengobrol denganku seperti ini." Hatiku terasa terhimpit dua batu besar, karena aku tidak ingin menceritakanhal tidak menyenangkan dalam ingatanku secara rinci. Apa yang terjadi padaku, dan kenapa aku menjadi penyendiri atau lebih tepatnya dijauhi.
Bella tetap diam, aku tidak berani meliriknya sedikitpun.
"Kalau kita memandang semua dari sudut yang salah, maka selamanya kita akan terjebak dalam pola pikir yang sama."
Kepalaku tersontak dan memerhatikan wajah Bella, bingung.
"Aku yatim piatu yang hidup sebagai budak di Adalgard. Orang yang membawaku ke penjualan budak mengatakan aku cacat dan tidak bisa dijual pada bangsawan, bagi mereka penampilanku menjijikkan. Jadi, mereka menjualku ke rumah bordir sebagai pekerja kasar. Aku bekerja tanpa digaji selama 10 tahun, tapi aku bersyukur karena masih punya tempat tinggal dan diberi makan. Saat berusia 18 tahun rumah bordir kebakaran, aku kehilangan tempat tinggal dan hidup di jalan selama 2 tahun.
"Hingga akhirnya prajurit Adalgard membawaku ke istana dan ikut membantu logistik perang. Saat Adalrgard kalah perang, aku terluka parah dan bekerja sebagai tahanan perang di perbatasan Timur Lindbergh dengan kaki pincang selama 2 tahun. Aku bertemu Raja Hardian yang sedang patroli di peternakan kuda. Raja Hardian menolongku, dan membawaku ke istana.
"Selama ini aku selalu bersyukur karena hidupku yang buruk tidak pernah benar-benar merenggut nyawaku, jadi ketika Raja Hardian membantuku, aku merasa seperti dewa Hermush akhirnya benar-benar menjawab permintaanku. Sejak saat itu aku berjanji akan mengabdi pada Raja Hardian hingga akhir hayatku. Tidak akan cukup membalas kebaikannya dengan seluruh hidupku."
Kekagumanku pada Bella naik berkali-kali lipat. Kisah hidupnya yang panjang bisa dia ceritakan dalam susunan kalimat yang sederhana dan dipenuhi rasa syukur. Wajahnya tidak ada jejak kesedihan sama sekali.
"Jika kita terus melihat ke orang yang berada di atas kita, maka selamanya kita akan merasa kekurangan. Karena itu, saat aku merasa sangat terpuruk, aku akan melihat orang lain yang nasibnya jauh lebih buruk dariku. Bukan aku bahagia karena mereka bernasib lebih buruk dariku, tapi aku bersyukur karena dewa Hermush masih memberikan kondisi yang lebih baik padaku."
Aku terdiam dan merenungi kata-katanya.
Selama ini aku selalu merasa iri pada orang-orang yang bisa menggapai apa yang aku inginkan dengan mudah. Aku iri dengan orang-orang yang bisa dengan bangganya bercerita tentang ibunya. Bisa menghabiskan waktu bersama keluarganya dan merayakan hal-hal kecil. Aku iri dengan siapapun yang bisa dekat dengan orang baru dengan mudah, memiliki banyak sahabat. Aku iri dengan Roselyn yang selalu berada di dekat Avallon. Aku iri dengan Clift yang bisa menguasai sihir teleportasi dengan mudah. Aku iri dengan orang-orang di kuil Arthemys yang memiliki sihir lebih tinggi dariku. Aku iri karena orang lain lebih cantik, lebih putih kulitnya, bermata indah.
Aku selalu iri, tapi sekarang ada sosok Bella di hadapanku. Seorang perempuan, budak dari negeri lain yang hidupnya tidak sebaikku. Dia menderita selama bertahun-tahun, tapi dia selalu merasa bersyukur dan tidak mengeluh, lalu apa yang aku lakukan selama ini?
"Merasa iri pada apa yang tidak kita miliki bisa jadi menahan langkah kita untuk maju. Jika rasa iri itu membantu semangat untuk berjuang lebih sangatlah baik, tapi jika itu hanya membuat rendah diri, tidak percaya diri, sebaiknya segera hentikan, Nona Brainne."
Bella menyentuh tanganku.
"Nona Brainne punya pesona yang berbeda. Dewa Hermush menciptakan Nona Brainne dengan sangat sempurna. Jika orang lain menjauhi Nona Brainne, bukan berarti Nona Brainne harus menjadi penyendiri. Jika Nona Brainne terus menjauh, maka orang yang ingin mengenal Nona Brainne ikut menjauh. Mereka tidak akan tahu kalau Nona Brainne jauh lebih baik dari bayangan mereka."
Aku tersenyum, merasakan bola mataku tiba-tiba panas. Tidak ada seorang pun yang pernah berkata sehangat ini padaku. Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik, tapi jika orang lain berpikir sebaliknya, aku tidak akan berusaha meluruskannya karena aku selalu merasa itu hal yang percuma. Sering kali aku merasa menjadi manusia gagal di hadapan Ayahku. Darah campuran dalam diriku menjadikanku tidak bisa menjadi penerusnya di kuil Arthemys.
"Bukankah kita semua pernah merasa gagal, tapi jangan sampai kegagalan itu melemahkan. Kegagalan hanyalah keberhasilan yang tertunda."
Bella lagi-lagi mengeluarkan kalimat yang membuatku seperti dicambuk. Tanpa aku sadari mataku basah, dan air mata mengalir dengan cepat dari kedua mataku.
"Jika merasa lelah, kita bisa beristirahat sejenak, tapi jangan lupa untuk berjuang lagi setelahnya."
"Huwa….!" Aku tidak bisa menahan gumpalan kesedihan yang bercampur lega dalam diriku, akhirnya aku menekap kedua wajahku dan menumpahkan seluruh air mata yang tidak pernah aku tuntaskan selama ini. Selama ini aku selalu merasa terpuruk, tapi aku selalu berpikir akan tiba saatnya bagiku untuk pergi, melarikan diri dari hidup yang tak ada ubahnya dengan mayat hidup ini.
Aku selalu berkaca pada hidup orang lain dan memperburuk hidupku sendiri. Aku akan berhenti membandingkan diriku sendiri. Rasa iri memang tidak bisa aku hapus seutuhnya, tapi aku tidak akan membiarkan rasa iri itu menggrogotiku.
Aku selalu berusaha sekalipun gagal berkali-kali karena aku berharap akan tiba saat hasil tidak akan mengkhianati usaha. Tapi aku lupa, bahwa berusaha di saat aku lelah, hanya akan membuatku gagal, hanya akan membuatku makin terpuruk.
"Be-bella, kau adalah dewi, benar-benar Dewi, hiks hiks." Aku memeluk Bella, membuat tubuh mungilnya tenggelam sempurna dalam dekapanku.
"N-Nona Brainne?"
"Hiks … selama ini hiks… aku … aku … huwa ….hiks hiks Terima kasih!" aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku, bahkan suaraku yang bercampur isak tangis terdengar aneh.
Tangan mungil Bella menepuk punggungku menenangkanku.
"Nona Brainne bisa meminta tolong pada yang lain, tidak perlu merasa segan. Orang seperti Nona Brainne, yang terbiasa memberikan yang terbaik untuk orang lain akan selalu berusaha mandiri dan menyelesaikan masalah sendiri. Tapi tidak baik memaksakan diri. Seperti Nona Brainne yang suka menolong, pasti orang lain juga suka jika bisa membantu Nona Brainne, seperti aku. Jika kebaikan Nona Brainne tidak menerima ucapan terimakasih dari mereka yang Nona Brainne tolong, percayalah, akan datang pertolongan untuk Nona Brainne di saat tak terdua. Jangan membenani diri dengan pikiran buruk."
Aku mengangguk berkali-kali, menyadari bahwa aku selalu berusaha menyembunyikan kelemahanku, berusaha semampuku. Karena aku terlalu mandiri, orang lain cenderung menjauh dariku, beranggapan aku tidak membutuhkan mereka.
"Aku merasa seperti anak kecil kalau dipeluk Nona Brainne begini, padahal aku sudah 25 tahun, he he he."
Tangisku terhenti seketika, tubuhku tegak dan dengan mata masih basah aku melihat wajah Bella yang sangat imut.
"K-kau 25 tahun?!" aku mengelap ingus dari bawah hidungku, masih tidak percaya.
Apa yang dewa Hermush lakukan pada Bella? Membekukan waktu di dimensinya dan membuatnya tampak muda seumur hidup?
"He he he, iya, aku sudah 25 tahun, maafkan aku yang awet muda ini," candanya sambil tersenyum seraya memiringkan kepala, terlihat sangat senang mendapati aku yang bingung. Tangannya bergerak menyeka tanganku yang basah oleh ingus dengan ujung mantelnya. Sikapnya benar-benar mengingatkanku Annabelle.
"Uwah! Apa kau punya sihir awet muda? Beritahu aku, ya? Ya?"
Bella tidak menjawabku, dia malah terus tertawa.
"Oh, Duke Avallon?" Bella melepaskan pelukannya dan berdiri tegak seraya membungkuk memberi salam penuh hormat.
"Eh?!"
Mendengar nama Avallon, sekujur tubuhku kaku dan menoleh ke arah Bella melihat. Untuk yang kesekian kalinya aku mendapati sepasang mata emerald yang sangat aku kenal tengah melihat ke arahku. Bagai radar yang mengintai, Avallon melihat ke arahku tanpa berkedip. Aku tidak bisa bergerak, dan masih mengunci pandangan dengannya. Entah benar atau salah, tapi aku melihat jejak kesedihan dalam sorot matanya.
Terdiam selama beberapa detik membuatku tidak sadar kalau ingusku kembali mengalir melewati bibir, reflek aku mengelapnya dengan tangan lagi.
"Nona Brainne!" Bella menarik tanganku, seolah dia mendapati tingkahku sangat aneh. Sorot mata Bella sangat mirip dengan Annabelle saat aku memanjat pohon dengan mamakai gaun saat aku berusia 7 tahun. Dia seperti siap memarahiku, tapi menahan diri dan hanya menarik tanganku agar tidak naik lagi untuk mengusap ingu dari hidungku.
Lalu, apa yang salah denganku sekarang? Apa aku tidak boleh mengelap ingusku?
"Ada yang bisa aku bantu, Duke?" Bella kembali merendahkan kepalanya ke arah Avallon.
"Tidak ada. Aku hanya patroli. Sebaiknya kalian masuk ke tenda, sebentar lagi hujan badai akan datang."
Avallon menjawab Bella, tapi matanya tidak pernah lepas dariku. Pandangannya sedikit naik memeriksa entah rambut atau pohon di atasku, dan saat pandangannya kembali padaku, aku tengah mengusap wajahku yang basah oleh air mata dan menyedot ingus yang hampir turun lagi.
"Duke?"
Aku hampir memindahkan lokasi jantungku saat melihat sudut bibir Avallon naik, dan menunjukkan lesung pipi yang samar di pipi kanannya.
Avallon tersenyum?
Ini pertama kalinya aku melihat senyum di wajahnya yang selalu datar dan tak bersahabat. Ketampanannya bertambah berkali-kali lipat, ada cahaya yang membuat wajahnya terlihat lebih bercahaya dari sebelumnya. Apakah ini sihir?
Aku menoleh pada Bella, mencari tahu apa yang membuat orang sedingin Avallon tersenyum, tapi Bella memberikan raut wajah bingung yang sama, dan menurutku tidak ada yang lucu dari kami.
Jangan bilang dia menertawakan penampilan Bella?! Tapi senyumnya tidak terlihat seperti sedang mengejek, senyumnya terlihat tulus. Atau malah aku yang terlihat lucu?
Terdengar suara hujan yang semakin dekat, dan Avallon langsung memberi isyarat dengan tangannya, menyuruh kami segera masuk ke tenda.
Bagaimana mungkin dia bisa tahu hujan badai akan datang, dan tidak sampai lima menit hujan benar-benar datang. Terlihat kilatan petir menyilaukan di langit dan disusul suara yang menggelegar memekakkan telinga.
"Kalau begitu, aku permisi." Bella pamit lebih dulu dan meninggalkanku yang tidak bisa bergerak, hanya menonton sosok mungilnya menghilang masuk ke tenda rombongan logistik. Aku merasa hampa, ditinggal sendirian seperti ini. Aku mengembalikan pandangan pada Avallon, tapi detik kemudian dia menghilang dengan sihir teleportasi.
"Sebegitu enggannya kah dia melihatku sedikit lebih lama? Padahal aku mau memberi salam sebelum pergi."
Tinggal aku yang kemudian memacu kaki, berpacu dengan hujan yang mengekor di belakangku. Kakiku bergerak cepat, tapi hujan jauh lebih cepat dariku, akhirnya aku terguyur hujan lagi. Terlanjur basah ya sudah aku berjalan santai sambil menaikkan tudung mantelku.
"Akh!"
Kaki terhenti di depan tenda tim pengawal yang berukuran sangat kecil, terdengar suara erangan yang sangat jelas. Total ada 4 tenda tim pengawal, dan aku tidak tahu siapa yang berada di tenda paling kecil ini, tapi suara erangan kesakitan itu sangat jelas. Aku terdiam sebentar mencoba mendengar lagi, dan suara itu tidak terdengar jelas seperti sengaja diredam.
"Permisi!" aku berseru dari depan tenda, ragu apakah aku masuk saja atau sebaiknya aku abaikan.
"Kalau kau cari Sir Farvald, dia sedang patroli. Argh!"
Pangeran Adalgard? Aku baru bisa mengenali suaranya ketika bicara, tapi suaranya terdengar aneh.
"Pangeran Adalgard, apa kau terluka?" tanyaku yang masih berdiri di depan tenda, menunggu jawaban sambil menahan diri masuk ke tenda yang tertutup rapat itu.
Penutup tenda tersibak, dan aku mendapati wajah Pangeran Adalrgard yang sangat dekat. Wajahnya pucat, bekas luka di sisi rahangnya terlihat lebih gelap dari biasanya.
"Iliana?"
"Kenapa wajahmu pucat sekali? Kau sakit?" aku meneliti wajahnya, nafasnya yang pendek-pendek membuatku mengenali paru-parunya sedang tidak berfungsi normal. Pangeran Adalgard tidak menjawabku, pandangannya berpindah pada pepohonan yang berisik tertimpa hujan, lalu tiba-tiba dia meringis kesakitan dan hampir limbung. Aku menangkap bahunya cepat, dan menopang tubuhnya yang ternyata cukup berbobot. Aku kira dengan badan sekurus ini dia akan lebih enteng, ternyata tidak. Bagai menopang batang pohon besar, aku menggiringnya masuk ke tenda dengan susah payah.
"Akh. Sss… Punggungku-," dia meringis dengan wajah berkerut, aku langsung mengarahkannya duduk di alas tidur terdekat.
Pangeran Adalgard terlihat sangat kesakitan, padahal seingatku dia sama sekali tidak terluka selama ekspedisi. Bahkan saat kami harus melawan serangan bandit dua hari lalu dia yang paling depan menghabisi bandit, tingkahnya sangat menyebalkan saat membanggakan diri, tapi aku yakin dia tidak tergores sedikitpun.
"Kenapa punggungmu?"
Pangeran Adalgard tampak ragu, dan melihatku dengan mata sayu.
"Buka bajumu!" kataku seraya menarik ujung simpul bajunya.
"Ka-kau mau apa?" Pangeran Adalgard langsung memeluk dirinya rapat-rapat dan menjauh dariku.
"Apa yang kau pikirkan? Kau pikir aku mau memperkosamu? Aku harus memeriksa punggungmu! Kau bilang sakit 'kan?"
Aku merasa sangat kesal mendapati sorot mata Pangeran Adalgard, seolah aku ini sangat menakutkan dan tidak bermoral.
"Tapi-" Pangeran Adalgard mengangguk lega, dan tampak malu sendiri.
Dia terlihat sangat ragu dan sedikit … takut?
"Sebenarnya ini hal yang biasa. Aku bisa menahannya, tapi sudah berhari-hari hujan tak berhenti, dan nyerinya makin parah."
Pangeran berbadan besar itu terlihat kikuk menjelaskan kondisinya padaku. Mungkin menunjukkan sisi lemahnya membuatnya berpikir kalau dunia akan menertawakannya. Reaksiku biasa saja, dan menunggunya menyelesaikan penjelasan yang bahkan belum cukup membuatku mengerti sumber sakitnya.
Cukup lama aku melipat tangan di dada sambil menunggunya melanjutkan penjelasannya, tapi selama beberapa detik yang terdengar hanya suara rintikan hujan yang semakin besar dan dia makin mengerutkan wajah kesakitan.
Kepalanya tertunduk dengan tangan mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Entah apa yang membuatnya begitu berat membuka mulut.
"Saat aku berusia 8 tahun, Adalgard mengadakan festival berburu dan ada serangan naga. Aku melawan anak naga sendirian di pedalaman hutan Utara. Luka akibat cakarnya membuatku hampir kehilangan nyawa dan seperti kutukan, setiap hujan turun, nyeri di punggungku selalu muncul."
Pangeran Adalgard menatapku seolah menunggu reaksiku, tapi tetap memberikan wajah yang sama. Bagiku tidak ada yang salah dengan nyeri yang timbul setiap hujan, karena naga adalah makhluk kuno yang memiliki banyak misteri dan legenda yang berkaitan dengannya. Satu hal yang aku ketahui, ketika naga mati tanpa kehendaknya, dia akan meninggalkan kutukan pada penyebab kematiannya.
"Tidak ada Penyembuh yang bisa menghilangkannya?" tanyaku penasaran.
Pangeran Adalgard tertawa keras, tapi tawanya terdengar menyedihkan. "Kau pikir apa yang menyebabkan peperangan Adalgard dan Lindbergh?"
Aku berpikir keras. Jujur saja ilmu sejarahku tidak terlalu bagus, karena itu aku tidak mendapatkan jawaban dalam benakku. Setahuku karena perebutan daerah kekuasaan. Aku ingat detail seperti berapa lama perang berlangsung dan berapa banyak korban yang jatuh, kebijakan apa yang diambil Kerajaan Lindbergh. Apakah aku salah mengingat? Atau aku membaca buku sejarah yang salah?
"Raja Adalgard menculik banyak Penyembuh dari negeri lain untuk menyembuhkanku, tapi hingga puluhan Penyembuh yang didatangkan paksa, hingga yang terhebat sekalipun, tidak bisa menyembuhkanku."
Kepalaku bekerja cepat. Mendengar Pangeran Adalgard menyebutkan Penyembuh dari negeri lain, seingatku ayahku menjadi Penyembuh Raja bahkan sejak masih sangat muda. Jika waktu yang disebutkan Pangeran Adalgard benar, jika Penyembuh Terbaik yang dimaksud adalah ayahku, mungkinkah yang diculik Raja Adalgard adalah ayahku?
"Selama hampir sebulan penuh di Adalgard, dia terus berusaha bahkan bekerja sama dengan Penyembuh dari Adalgard, tapi tidak ada tanda-tanda perkembangan. Hingga akhirnya dia berkata dengan tegas kalau aku tidak bisa disembuhkan, dan seumur hidup harus hidup menahan rasa sakit ini. Aku tidak bisa lupa mata ungunya yang tanpa ekspresi. Sebelah matamu selalu mengingatkanku pada vonis mengerikan Pendeta Brainne saat itu. Hari ketika aku harus menerima kenyataan, menerima rasa sakit ini selama sisa hidupku."
Aku terkesiap, dan berbagai macam pertanyaan dan teori berseliweran di benakku.
Ayah tidak pernah cerita tentang kejadian ini, tidak ada seorangpun yang memberitahuku tentang kisah ini.
"Apakah di perbatasan Utara pernah ada pemberontakan atau perang sipil saat itu?" bisikku yang masih tidak yakin.
"Pemberontakan? Perang Sipil? Kau baca buku sejarah buatan siapa? Lindbergh terlalu banyak mengarang sejarah. Seingatku tidak ada pemberontakan."
Otakku bekerja lebih cepat, dan menyimpulkan dengan cepat. Ayah tidak benar-benar menangani pemberontakan, aku yakin Raja Hardian menutupi kebenaran untuk menghindari kekacauan di istana. Yang aku tidak mengerti adalah sikap Ayah setelah kembali dari Utara, tepat setelah ibu meninggal, sangat dingin. Tidak ada kesedihan di wajahnya, dia bahkan tidak menengokku yang terbaring sakit.
Bukankah ini seperti memalingkan wajah dari pemandangan menyedihkan keluarga sendiri?
Lalu bagi ayahku, ibu dan aku ini apa?
"Akh!" Pangeran Adalgard kembali mengerang kesakitan saat suara petir menggelegar di atas tenda.
"Buka bajumu, aku akan berusaha meringankan sakitnya sampai hujan berhenti."
Pangeran bermata tosca itu sempat ragu sebelum meraih ujung bajunya.
"Pendeta Brainne aja tidak bisa melakukan apa-apa, kau yakin bisa melakukan sesuatu?" tanyanya skeptis, wajahnya mengejek sekalipun sambil menahan sakit.
"Lakukan saja! Jangan banyak bicara!" selorohku kesal.
Akhirnya Pangeran Adalgard membuka bajunya, menunjukkan badannya yang berbentuk sempurna dan dipenuhi otot. Ada banyak bekas luka di tubuhnya, namun yang membuatku kaget adalah bekas luka cakaran tiga garis bentuk parut besar di punggungnya yang bidang.
"Hanya anak 8 tahun kurang waras yang berani bertarung dengan naga." Aku bicara keras menyuarakan isi kepalaku tanpa sadar, dan Pangeran Adalrgard menoleh padaku cepat. Matanya membulat sempurna ke arahku, mungkin ini pertama kali ada yang menyebutnya kurang waras. Tapi aku tidak akan menahan diri, karena orang ini juga sering bicara seenaknya. Aku bertanya 'apa' lewat sorot sambil mengangkat dagu sedikit.
"Ha ha ha! Kau memang lucu!" Pangeran Adalgard menyentuh puncak kepalaku dan mengacak-acak rambutku yang lepek. "Rambutmu seperti kucing tercebur di kolam!"
Dia meledekku dan mengangkat ujung rambutku yang jatuh di bahu. Rambut ikalku kalau mengembang terlihat seperti sarang burung, tapi saat basah begini terlihat lurus panjang hingga punggung. Aku sering melihat penampilanku setiap habis keramas, sering kali aku berpikir bahwa dengan rambut lurus, aku tidak seburuk bayanganku.
Tapi beraninya dia bilang rambutku seperti kucing tercebut kolam?!
"Kau mau aku tolong atau tidak?! Apa ini yang dilakukan pasien pada Penyembuh di Adalgard?" gerutuku kesal, memicingkan mata sengit.
"Maaf … maaf!"
"Aku butuh air hangat, kau pengguna sihir api, 'kan?" kataku yang tidak mau memperpanjang bahasan karena sekalipun masih bisa bergurau, warna wajah Pangeran Adalgard semakin pucat.
"Tentu saja, apa yang kau harapkan dari Pangeran Adalgard kalau bukan sihir api?" dia masih sempat menyombongkan diri dan menunjukkan percikan api di telapak tangannya yang terangkat. Aku segera membawa wadah berisi air hujan dan menarik kain terdekat dariku, memintanya menghangatkan air untuk kompres.
Aku langsung mendorong bahu orang menyebalkan di depanku saat air sudah cukup panas, dan menyuruhnya berbaring dengan posisi tengkurap.
"Apa kau selalu kasar begini?" dia menggerutu saat aku melebarkan kain yang baru saja aku peras.
"Kompres air hangat akan membantu meringankan nyeri. Jangan ganggu konsentrasiku. Kau tahu sihirku tidak terlalu kuat, jadi jangan berharap banyak aku bisa benar-benar menghilangkan rasa sakitmu."
"Aku tidak akan berharap banyak, ayahmu saja tidak bisa melakukan apa-apa, bagaimana denganmu? Aku cukup apresiasi niatan baikmu, Iliana."
Setelah memastikan kain hangat menutupi seluruh punggungnya, aku duduk dengan posisi sempurna dan memastikan batu sihir elf pemberian Clift berfungsi baik di genggamanku. Aku akan membutuhkan banyak aura untuk menyerap rasa sakit dari Pangeran Adalgard, dan berharap batu sihir akan membantu kekuatanku pulih dengan cepat.
Hujan masih turun dengan deras di luar, aku berharap hujan akan segera berhenti. Aku hanya khawatir tidak bisa bertahan lama berbagi sakit yang dirasakan Pangeran Adalgard.
Aku menarik nafas panjang, dan menyentuh punggungnya dengan satu tangan, sementara tangan lain tersimpan di saku bajuku sambil memegang batu sihir. Perlahan gelombang aura berwarna silver mengalir dari ujung telapak tanganku, menyelimuti punggung yang tertutup kain.
"Akh-!" aku tersentak saat serangan nyeri yang amat sangat menusuk punggungku, mataku terpejam rapat untuk konsentrasi penuh.
Seperti inikah sakit yang dirasakannya selama bertahun-tahun?
Bagaimana bisa dia bilang ini bukan masalah besar? Hal yang biasa? Sepertinya Pangeran Adalgard ini memang tidak waras! Selain melawan naga di usia 8 tahun, dia juga bisa menahan sakit seperti ini seolah tidak ada apa-apa?
Selama di Hutan Gunung Hima selalu hujan, tapi tidak sedikitpun aku melihatnya selemah ini. Setelah menahannya berhari-hari dia tumbang hari ini? Apakah dia manusia dengan kekuatan monster?!
Awal-awal menerima transfer rasa sakit, aku tidak bisa mengendalikan diri hingga sekujur tubuhku ikut gemetar dan keluar keringat di tengkuk dan dahi. Aku berusaha keras tetap tenang, menarik dan mengeluarkan nafas hingga akhirnya aku terbiasa dan mulai bisa mengimbangi aliran energi dari batu sihir.
Setelah merasakan napasku kembali normal, aku membuka mata hendak memeriksa kondisi Pangeran Adalgard, tapi aku mendapati dia tengah memiringkan kepala menatap ke arahku. Warna tosca di matanya bersinar terang seperti ada nyala api di dalamnya.
"Kenapa warna matamu berubah?" tanyaku bingung, karena tadi matanya tidak seperti ini.
"Aku sedang berusaha mengeringkan pakaianmu."
Aku tidak menyadari tangan Pangeran Adalgard tengah menyentuh pergelangan tanganku yang memegang batu sihir. Wajahnya tenang, sekalipun tengah mengalirkan sihir ke padaku.
"Tapi kenapa kau terlihat lebih kesakitan dariku?" ujarnya lagi dengan alis bertaut.
Aku tidak menjawabnya, dan kembali memejamkan mata, merasakan hangat mengelilingi tubuhku yang sempat menggigil. Entah kenapa aku merasa ini seperti siklus. Aku membatunya dan dia balas membantuku. Aku jadi ingat perkataan Bella tadi. Saling membantu tidaklah buruk.
Suara hujan perlahan mereda, aku bisa meraskan nyeri di punggungku sedikit berkurang, tapi aku tidak lantas melepaskan tanganku dari punggung Pangeran Adalgard.
Kalau Clift tahu aku menggunakan batu sihir pemberiannya bukan untuk menolong Roselyn, dia pasti akan protes berat. Tapi Roselyn tidak mungkin terluka, selain dia punya sihir yang kuat, ada banyak orang yang melindunginya. Ada Avallon dan beberapa ksatria lain yang dengan senang hati selalu mendampinginya. Goresan karena duri tanaman liar saja langsung membuat para Penyembuh panik, dan berusaha menyembuhkan tanpa perlu diminta.
Roti yang tadi diberikan Bella sudah terproses seluruhnya di perutku, dan sekarang perutku kembali minta diisi. Menggunakan aura tidak seharusnya menyita tenaga sebegini besar, tapi karena aku tidak mensuplai kebutuhan asupan dengan benar, aku jadi mudah lapar.
Ah, aku merindukan makanan manis. Makaron, kue, biskuit, aku akan terima apapun wujudnya jika itu manis. Badanku perlahan kehilangan tenaga saat tidak ada lagi rasa sakit yang berpindah padaku.
"Brainne? Pangeran Callisto?"
Suara asing yang bersumber dari arah masuk tenda membuatku membuka mata dan menghentikan aliran aura. Sosok Sir Farvald berdiri berdampingan dengan Avallon, melihat ke arah kami dari tutup tenda yang disibak. Entah kapan mereka tiba, aku tidak bisa merasakan pancaran aura mereka sama sekali.
Ratu wajah mereka sulit aku baca, tapi aku sadar pasti mereka bertanya apa yang sedang aku lakukan di tenda Pangeran Adalgard.
Perhatianku berpindah pada Avallon yang melihat ke arahku di belakang Sir Farvald. Tubuh tingginya yang menjulang di belakang Sir Farvald, mata emeraldnya menatapku tajam, dan perlahan berpindah ke tempat lain, ke tanganku yang tengah memegang kain basah di punggung Pangeran Adalgard dan aku sontak berdiri menjauh dari Pangeran Adalgard, panas merambat naik dari leher hingga wajahku.
"A-aku me-membantu Pangeran A-adalgard," jelasku gugup. Aku menepuk pahaku, kesal karena aku kembali tergagap.
"Kau sudah selesai patroli, Sir?" Pangeran Adalgard terduduk dan melirik ke arahku dengan santai, menutupi badannya dengan selimut, dengan cepat dia menoleh pada Avallon, lalu kembali padaku. Berkali-kali melihatku dan Avallon bergantian hingga kepalanya seperti hampir bergeser.
Aku yakin dia menyadari sikap canggungku karena kehadiran Avallon.
"Duke Avallon membantuku patroli jadi bisa selesai lebih cepat. Apa kau sudah lebih baik? Kenapa kau tidak bilang kalau kau perlu Penyembuh, seharusnya aku panggilkan Icarus untuk menyembuhkanmu." Sir Farvald masuk ke tenda dan memeriksa Pangeran Adalgard dengan seksama. Avallon pun masuk, berdiri tidak jauh dari kami.
"Kau bilang hanya merasa lelah, jadi aku pikir tidak cukup serius. Kau tahu kenapa kau dipasangkan denganku? Karena Raja Hardian tidak mau terjadi hal buruk pada Pangeran Adalgard yang harus dikembalikan ke negeri asalnya kurang dari dua tahun lagi."
Dikembalikan? Aku tidak tahu jika tawanan perang harus dikembalikan.
"Aku sebenarnya tidak mau dibantu, tapi Iliana memaksa."
Avallon melihat ke arah Pangeran Adalgard, dan alisnya berkerut saat namaku disebut.
"A-aku tidak memaksamu! Seharusnya kau bilang kalau tidak mau ditolong!" sahutku sengit sambil menunjuk-nunjuk wajah Pangeran Adalgard.
"Brainne, kau tidak boleh bersikap tidak sopan begitu pada Pangeran Callisto." Sir Farvald menegurku, dan aku langsung mengatupkan bibirku, mencibir karena kesal mendapati senyum orang yang tidak tahu terima kasih di depanku. Dia terlihat senang sekali aku dimarahi. Aku tahu tidak sopan menunjuk wajah orang dengan posisi jauh lebih tinggi dariku, tapi dia benar-benar menyebalkan.
"Perlu aku panggil Icarus?" Sir Farvald lagi-lagi bertanya, tapi pasien di depanku itu menggeleng cepat dan tersenyum lebar sambil mengangkat sebelah tangannya, menunjukkan kalau dia baik-baik saja.
Aku baru sadar kalau luka di dekat rahangnya sudah kembali ke warna semula, wajahnya juga sudah tidak sepucat sebelumnya. Sedikit ada kelegaan di dadaku, ternyata aku bisa meringankan sakit sekalipun kemampuanku tidak terlalu baik.
"Kau yakin?" Sir Farvald melirikku, seolah mempertanyakan jawaban Pangeran Adalgard. Aku tahu aku tidak sebaik Icarus, tapi bukan berarti aku tidak bisa membantu.
Icarus adalah satu dari empat Penyembuh handal Kuil Arthemys, dan aku mengetahui kemampuannya yang sangat bisa diandalkan. Sir Farvald pasti ingin meyakinkan kondisi Pangeran Adalgard baik-baik saja, dia bahkan secara tidak sengaja mengakui aku tidak cukup kuat dengan bertanya perlukah memanggil Icarus.
Selemah itukah aku di mata mereka?
"Sebaiknya kau kembali ke tendamu, Brainee, sudah waktunya istirahat." Sir Farvald menoleh padaku, dan aku langsung membungkuk memberi salam, berjalan cepat melewati Avallon, tapi kemudian aku merasakan genggaman di tanganku, reflek aku menoleh.
"Pakai tudung mantelmu, masih hujan," kata Avallon dengan wajah tanpa ekspresi.
Aku tidak sanggup menjawab ucapan Avallon saking kagetnya, jadilah aku hanya mengangguk singkat dan menaikkan tudung mantelku, berlari cepat menuju tendaku.
Saat memasuki tenda Tim Penyembuh, aku mendapati empat pasang mata yang menyambutku penuh tanya, seolah mereka baru saja menyadari ketidakhadiranku. Aku hanya mengangguk memberi salam singkat dan langsung ke tempat tidurku, rebahan sambil berusaha meredakan degup jantungku yang tak beraturan.
Sikap Avallon tidak bisa aku mengerti. Satu waktu dia terlihat baik, tapi di lain waktu dia terlihat sangat tidak bersahabat. Aku bersumpah dia pernah melihat ke arahku dengan mata mengancam, tapi tadi dia mengingatkanku menggunakan tudung mantel, seolah dia cemas.
Kenapa sikapnya membingungkan seperti ini?
Ah terserah! Aku tidak mau berpikir macam-macam. Aku sedikit lega karena dia memerhatikanku. Di bawah selimut aku tersenyum sambil menekap mulut, merasa hatiku dipenuhi harapan.
.
.
.