Seluruh tim ekspedisi berbaris di depan gerbang utama perbatasan Timur Lindbergh. Ada total 30 orang, 20 orang tim dari pengawal dan penyihir yang ditempatkan untuk melindungi Raja dan Putra Mahkota. Sisanya adalah horsemen yang mengendarai kereta kuda, juga pelayan istana yang ditugaskan untuk membantu logistik selama perjalanan.
Ekspedisi Pulau Ennius diperkirakan memakan waktu 2 sampai 3 bulan.
Aku sudah memberitahu Annabelle bahwa dia harus membatalkan agenda perayaan ulang tahunku, karena aku tidak akan pulang ataupun berada di asrama. Merayakan ulang tahun bukanlah kebiasaanku, bagiku merayakannya hanya meninggalkan rasa getir, karena di hari yang sama ibuku pergi untuk selamanya. Aku tidak ingin menghabiskan waktu dengan merayakan, aku lebih memilih mengunjungi makam ibuku dan mengobati kerinduan.
Aku mengerti dengan baik kenapa Annabelle selalu ingin merayakan ulang tahunku. Sebagai pengasuhku sejak kecil, Annabelle mengerti apa yang aku rasakan, dan selalu berusaha mengalihkan perasaan sedihku. Hingga setiap tahunnya, dia akan selalu memberikan hadiah-hadiah yang tidak aku duga. Beberapa tahun sejak kepergian ibu, setiap aku menerima hadiah atau kejutan dari Annabelle, aku selalu menunggu Ayahku melakukan hal yang sama. Berkali-kali kecewa tidak membuatku berhenti berharap, hingga menginjak usia 9 tahun, saat menghadiri pesta ulang tahun anak dari Marquis Elleanor, aku baru mengerti bahwa aku mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin.
Namun Annabelle tidak pernah mengenal kata menyerang, sekalipun semua dia persiapkan sendiri, aku akan merasa bersalah jika aku mengabaikan usahanya. Hingga tidak sadar, aku ikut bahagia melihat senyum lebarnya, membuatku lupa siapa yang sebenarnya ulang tahun.
Udara di perbatasan sangat berbeda dari pusat kota Lindbergh, dan rombongan terlihat kelelahan setelah perjalanan panjang. Tiga hari lalu sebelum berangkat, Sir Farvald memberikan peta dan briefing singkat, mengatakan kalau kami akan melewati beberapa gunung dan hutan yang berbahaya. Beberapa di antaranya terkenal dengan bandit yang suka menjarah dan membantai musafir atau penjelajah. Aku mengerti kenapa ilmu pedang adalah syarat wajib ekspedisi. Kami harus bisa melindungi diri sendiri.
Di perbatasan Timur Lindbergh berhadapan dengan Negeri Orestes. Kami menunggu giliran pemeriksaan yang dilakukan prajurit Orestes.
Orestes adalah negeri yang dipenuhi pegunungan dan hutan. Dari sejarah yang aku baca, Lindbergh tidak pernah terlibat konflik dengan Orestes, hanya saja bandit dari Orestes sering menyerang warga di daerah perbatasan Timur, hingga Raja Hardian mengirim pasukan khusus untuk mengamankan daerah Timur. Berbanding terbalik dengan Adalgard yang berbatasan dengan daerah Utara Lindbergh, selalu terjadi konflik perebutan daerah kekuasaan hingga akhirnya perang pecah lima tahun lalu. perang tidak berlangsung lama karena Adalgard bertekuk lutut pada Lindbergh setelah mengalami kekalahan telak. Adalgard tidak memiliki cukup Penyembuh, sehingga pasukan mereka gugur begitu banyak.
Pandanganku reflek berpindah ke Pangeran Adalgard yang berdiri menjulang di sebelahku. Statusnya sebagai tahanan perang, tidak lantas membuatnya terlihat seperti tahanan perang. Dia hidup terlalu santai, dan tercukupi sekalipun bukan di negerinya sendiri.
Satu hal lagi yang membuatku heran. Sejak pengumuman dari Master Servius, orang ini selalu menempelku. Bukan aku membencinya, tapi dia suka sekali melakukan kontak fisik. Bukan masalah besar memang, tapi aku risih karena dia sering tanpa sebab mencubit pipiku, hidungku, mengalungkan tangannya di bahuku, bahkan pernah dia menjadikan kepalaku sandaran tangannya. Gara-gara sikapnya ini banyak yang mengira kami akrab sejak lama, padahal aku saja baru mengenalnya selama 2 minggu selama di pelatihan.
"Kenapa kau melihatku begitu?" dia mengangkat alisnya tinggi dan aku menghela napas sambil membuang pandangan ke tempat lain.
Setampan, setinggi, sekuat, sehebat dan se- se- yang lain yang dimilikinya, bagiku pangeran satu ini tetap akan terlihat menyebalkan karena sikapnya.
"Biasanya kau selalu melihat ke Pengawal Raja. Matamu yang dipenuhi bunga-bunga musim semi sampai aku mengira kau kena sihir selalu melihat ke arahnya. Kau bahkan sampai sering lupa berkedip. Lalu kenapa sekarang melihatku? Kau mulai menyukaiku?!"
Aku menggelengkan kepala, tak habis pikir. Baru kali ini aku menemukan manusia seunik dirinya. Mungkin karena dia tinggal di negeri yang berbeda, kepribadiannya pun jadi tidak biasa.
Kembali melihat ke barisan pemeriksaan, tinggal dua orang lagi di depanku, dan saat aku menoleh ke sisi kanan, sepasang mata emerald tengah melihat lurus ke arahku. Tatapannya kosong tanpa emosi dan aku bingung, kenapa Avallon terlihat seperti jiwa yang kosong.
Jika aku punya kekuatan seperti Lancelot, mungkin aku bisa melihat warna auranya dan membaca emosinya dengan mudah.
Saat tiba giliranku di pemeriksaan, aku ditahan lebih lama oleh bagian prajurit Orestes sementara Pangeran Adalgard yang masuk bersamaan denganku sudah lebih dulu bergabung dengan rombongan yang lolos pemeriksaan. Hanya karena aku membawa busur dan anak panah, mereka mempermasalahkan statusku sebagai penyembuh. Yang harusnya membawa busur dan anak panah seharusnya bagian pengawal, dan mereka mau menyitanya sebelum melewati perbatasan.
"Ini hanya untuk pertahanan diri. Apa kalian tidak pernah bertemu hewan buas di hutan?" kataku sengit.
"Peraturan tetaplah peraturan."
"Tapi kalian tidak meng-"
Ada tangan besar terulur hampir menutupi pandanganku. Sosok tinggi Avallon berdiri di sebelahku dengan wajah datar, bahasa tubuhnya seolah mengatakan agar aku berhenti. Jujur saja, aku tidak bisa membaca isi kepalanya, dan apa alasan dia menahanku. Busur dan anak panah ini harta berhargaku, dan aku tidak akan menyerahkannya begitu saja.
Awas saja kalau dia memihak prajurit Orestes dan memintaku mengalah!
"Raja dan Putra Mahkota mengedepankan keselamatan semua anggota rombongan ekspedisi. Jika Orestes termasuk wilayah aman, maka kami akan menyerahkan busur dan anak panah ini. Tidak hanya itu, kami akan menyerahkan semua senjata kami, tapi sebagai gantinya Orestes harus menjamin keselamatan kami hingga perbatasan. Apa kalian mau menanggung resikonya?"
Para prajurit Orestes terbengong, saling bertukar pandang panik.
Jujur, suara Avallon terdengar sangat berwibawa, apalagi dengan suara beratnya. Suaranya terdengar jauh lebih berat dari pada saat pesta Debut. Aku yakin dia berlatih untuk membuat suaranya lebih berat seiring bertambah usia. Tapi bukan hanya itu yang membuat orang-orang tidak bisa membantahnya, caranya menyampaikan pendapat sangat tepat sasaran. Aku menunduk malu, karena aku bahkan tidak bisa mempertahankan argumenku sendiri.
"Temanku ini tidak pandai menggunakan pedang, karena itu dia mengandalkan panah. Apa usaha untuk menjaga diri juga termasuk kejahatan?" Avallon kembali menambahkan amunisi dalam kata-katanya.
Mendengarnya menyebut 'temanku' membuat jantungku berdesir senang.
Aku tidak pernah mengetahui seperti apa Avallon menganggapku, terlebih setelah beberapa kali dia melihatku seperti musuh. Aku pikir dia membenciku, tapi sepertinya tidak. Dia bahkan dengan sukarela membantuku.
"Baiklah, kau boleh membawanya, aku akan memberikan catatan khusus agar kalian tidak bermasalah di pemeriksaan berikutnya."
Akhirnya mereka menyerah. Tangan mereka bergerak cepat menuliskan sesuatu di kertas berukuran kecil dan membubuhinya dengan stemple resmi prajurit pemeriksaan Orestes. Agak tergesa-gesa aku membereskan barang bawaanku yang mereka keluarkan dari tas, berjalan cepat menyusul Avallon yang sudah masuk ke barisan rombongan.
"A-avallon!" aku berseru dengan suara pelan, Avallon menoleh ke arahku.
"Te-terimakasih sudah menolongku."
Avallon tidak bereaksi. Wajah datarnya membuat jantungku yang sempat memacu senang, mencelos padam. Terlebih lagi saat sosok Roselyn muncul dari belakangnya dan langsung menyentuh tangannya, sorot mata Avallon berubah drastis.
Roselyn tersenyum lebar, cerahnya mengalahkan matahari yang tengah bertandang di langit.
"Iliana? Apa kau baik-baik saja? Aku meminta Ray membantumu tadi, karena aku lihat sepertinya kau tidak bisa lolos pemeriksaan. Apakah kau masih marah padaku? Aku hanya ingin berteman baik dengan Iliana? Tidak apa-apa 'kan aku meminta Ray membantumu?"
Avallon mengerutkan alisnya ke arah Roselyn.
"Oh!" tanpa sadar suara penuh kekecewaan itu lolos dari mulutku.
Otakku mendadak tidak berfungsi setelah mendengar Roselyn bicara. Apa yang aku rasakan beberapa menit sebelumnya terasa seperti mimpi.
Apa yang aku harapkan? Kenapa aku berpikir Avallon yang berinisiatif membantuku padahal dia tidak benar-benar ramah padaku? Tentu saja ada orang lain yang memintanya. Bodohnya kau Ash berpikir bahwa Avallon menganggapmu sebagai teman. Itu hanya sebutan sederhana untuk menyelesaikan proses pemeriksaan.
"Te-terimakasih," ucapku lemah seraya menunduk dan berbalik berjalan gontai menjauh dari mereka.
Hatiku sedikit nyeri mendapati kenyataan ini. Jika Avallon memang menganggapku teman, dia tidak mungkin melihatku seperti melihat kotoran. Aku merasa iri dan ingin memanggil Avallon dengan akrab seperti itu. Seperti teman pada umumnya.
Aku menyadari aku tidak sempurna, tapi mengetahui sosok Avallon aku menyadari bahwa dia pasti menginginkan seseorang yang sempurna di sisinya, mungkin baginya aku hanya seseorang yang merusak pemandangan.
"Ray, kau sudah memasukkan semua tas ke kereta kuda? Di tasku ada gelang sihir pelindung yang mau aku berikan padamu dan Iliana. Tapi sepertinya aku tidak bisa memberikannya pada Iliana."
Kakiku berhenti melangkah mendengar Roselyn menyebut namaku.
Gelang apa yang dia maksud? Aku tidak pernah mendengar hal ini selama di asrama pelatihan ataupun perjalanan selama 3 hari ini.
"Kenapa?" Avallon bertanya dengan suara datar.
"Dia membenciku. Entah apa kesalahanku, yang jelas dia tidak mau bicara padaku sekalipun kami tinggal satu kamar. Iliana sepertinya lebih senang sendiri."
Arghhh! Berhentilah bicara seperti itu! Kau akan membuat semua orang salah paham! Aku bukannya membencimu, tapi kau tidak memberiku kesempatan untuk bicara!
Aku berbalik hendak mengoreksi Roselyn, tapi lidahku jadi kelu saat mataku bertemu Avallon. Ada begitu banyak susunan kalimat yang terlintas di benakku, tapi dalam sekejap terhapus karena putus asa yang tiba-tiba menghantamku. Avallon terlihat bagai singa yang siap menerkam buruannya.
Apa gunanya aku memberi penjelasan?
Mereka sudah memvonis bahkan sebelum mencari tahu kebenarannya. Terlebih lagi semua orang mengenalku sebagai orang yang tidak bisa berbaur, selalu memisahkan diri dari kerumunan.
Aku tidak tahu apakah Avallon salah satunya di antara orang-orang itu, yang pasti hati kecilku berkata kalau dia tidak begitu menyukai kehadiranku di dekatnya.
"Hei, Iliana! Aku bawa biskuit, kau mau?" Pangeran Adalgard muncul entah dari mana, menyodorkan sepotong biskuit cokelat di tangannya, sementara tangannya yang satu lagi memegang kantong seukuran kepalanya.
"Kenapa kau hanya memberiku satu?!" gerutuku dengan tangan menyambar biskuit yang dia berikan, meninggalkan Roselyn yang terus bicara pada Avallon, menyebutkan beberapa kejadian di asrama pelatihan dari sudut pandangnya sendiri.
"Hei, tunggu aku Iliana! Jangan marah! Adam bilang aku hanya bisa makan satu per hari. Hei, Iliana!" Pangeran Adalgard menyusulku yang berjalan cepat ke barisan depan, membuat perhatian orang-orang tertuju padaku sambil berbisik satu sama lain.
Bagus, setelah ini akan ada rumor bahwa anak Pendeta Brainne berani mengabaikan Pangeran dari negeri lain. Iliana Latasha Brainne membuat rombongan melambat karena tidak kooperatif di pos pemeriksaan. Atau rumor lain yang bisa mereka ciptakan sendiri hanya dengan menontonku dari kejauhan.
Harus sedalam apa aku menjatuhkan nilaiku di depan orang-orang?
Kebenaran itu akan terus tersembunyi, bersama hal-hal buruk lain yang mereka sematkan padaku.
.
.
.