Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 8 - Chapter 7: Pusat Pelatihan Istana Lindbergh

Chapter 8 - Chapter 7: Pusat Pelatihan Istana Lindbergh

Hari berganti dengan sangat cepat. Apa yang aku lakukan beberapa hari belakangan ini tidaklah banyak. 

Semenjak datang ke Pusat Pelatihan Istana, jadwalku banyak berubah. Mengikuti bimbingan Master di pusat pelatihan dan mengambil kelas tambahan tidak resmi dari Clift adalah makanan rutinku setiap hari. Aku juga dipaksa mengikuti kelas ilmu pedang, karena di ekspedisi ilmu pedang adalah ilmu dasar wajib. Master Ilmu Pedang yang namanya sampai saat ini tidak aku ketahui, tidak memuji tapi juga tidak memojokkanku. Kalau dari pendapat Pangeran Adalgard, kemampuanku tidaklah buruk, dan bisa menyesuaikan dengan cepat.

Di luar dugaan, awalnya aku kira aku tidak punya bakat ilmu pedang, dan otomatis mundur teratus, tapi ternyata aku bisa mengimbangi. Apakah ini pertanda bakatku yang tersembunyi?

Aku sebenarnya lebih ingin benar-benar bisa menguasai sihir teleportasi, dan aku meminta Clift membimbing. Dia jenius untuk sihir teleportasi, dan beruntungnya punya teman jenius apalagi selain dimanfaatkan. Dia bahkan dengan mudah menemukan kesalahanku saat praktek di depannya. Ada satu metode sihir yang salah dalam praktek teleportasi yang aku lakukan.

Dia mengatakan aku seharusnya memusatkan auraku dalam diriku dan membayangkan benda yang akan aku pindahkan ke tempat tujuan. Sementara selama ini aku memusatkan auraku pada benda yang akan aku pindahkan, pantas saja aku selalu berujung menghilangkan, bukan memindahkan.

Alih-alih meningkatkan sihir penyembuh, aku malah mendadak ingin meningkatkan sihir teleportasi. Karena ini juga Clift yang awalnya mengejekku, berubah jadi lebih antusias dan terus memaksaku sekalipun aku sudah sangat kelelahan. Aku bicara jujur kalau aku sudah menyerah pada sihir penyembuh. Sihir penyembuh benar-benar bukan ranahku.

Setiap bulan ke kuil Arthemys tidak cukup membantuku meningkatkan sihir Penyembuh. Sekalipun aku merasa auraku lebih kuat, tapi inti sihir dalam diriku tidak berubah sama sekali. Kalau Lancelot bilang, masih sangat lemah bagai cahaya lilin yang nyaris padam. 

Berkat bantuan Clift selama seminggu ini, aku sudah mulai bisa berpindah dari tempat tidur ke kamar mandi, sekalipun setelahnya aku merasa cukup kelelahan karena terlalu keras memeras aura dalam diriku.

Clift memberikanku batu sihir yang diterimanya dari suku Elf di hari ulang tahunnya. Batu sihir bisa membantu mengembalikan sihir yang melemah dalam waktu cepat. Batu sihir juga bisa menstabilkan sihir yang fluktiatif. Batu sihir yang berwarna hijau terang ini, mengingatkanku pada mata Avallon, mata yang berisi kebencian setiap kali melihat ke arahku. Rasanya ingin sekali aku bertanya apa salahku, tapi aku selalu takut, takut mendengar jawabannya.

Jadilah sekarang aku terbengong di kamar pusat pelatihan sambil memegang batu sihir di tanganku. 

Seluruh tim akademi yang dipilih untuk mendampingi ekspedisi saat ini sedang diberikan waktu untuk membereskan barang-barang sebelum kami berangkat besok ke Pulau Ennius. Aku mendapat kamar di sayap kiri, dan kejutan lain, aku sekamar dengan Roselyn.

Aku jadi ingat kata-kata Clift tiga hari lalu.

"Aku memberikan batu sihir ini karena kau sekamar dengan Roselyn."

"Maksudmu?"

"Aku tahu kau terbiasa di alam liar, tapi Roselyn adalah perempuan rapuh yang terbiasa hidup dalam perlindungan."

Aku mengernyit bingung. Kata-katanya membuat sekujur tubuhku merinding, apalagi dia bicara dengan wajah serius begitu.

"Dengan bantuan batu sihir ini, aku harap kau bisa menjaga Roselyn."

"Kau-! Jadi kau memberikannya bukan karena khawatir padaku?!"

Clift tersenyum lebar. "Kalau kau selamat, maka Roselyn selamat. Bukankah dengan begini aku bisa memastikan kalian berdua aman? Jangan lupa bilang ke Roselyn kalau kau mendapatkan batu sihir itu dariku."

"Kepalamu!" aku emosi dan menjitak kepalanya.

Punya sahabat seperti Clift memang tidak pernah selalu menyenangkan. Terlebih lagi sahabatmu sedang dibutakan oleh cinta sepihak. Ini bukan pertama kalinya dia melakukan tindakan konyol seperti ini hanya karena ingin mendapatkan poin tambahan di mata Roselyn. Sekalipun, aku bersyukur masih punya seseorang yang bisa diandalkani. Mungkin kalau tidak ada Clift aku akan benar-benar buntu dan sendirian di akademi. 

Clift yang merupakan anak Penasehat Raja bisa dengan leluasa keluar masuk pusat pelatihan hanya dengan menunjukkan tanda pengenal, sehingga dia sering kali datang denga nalasan bertemu denganku sementara matanya hampir pindah posisi karena terlalu sering melirik ke arah Roselyn dengan wajah bicara menghadapku.

Selain meningkatkan kemampuan sihir teleportasi, dan pedang, aku banyak menghabiskan waktu di perpustakaan hingga lewat tengah malam karena Clift adalah guru paling disiplin yang pernah aku kenal. Saat mataku hampir tertutup karena mengantuk, dia malah terus-terusan mencubit pipiku agar aku langsung tersadar.

Perpustakaan di pusat pelatihan memang tidak terlalu lengkap, tapi setidaknya cukup sunyi agar aku bisa meditasi. Berada di satu kamar dengan Roselyn masih terasa canggung sampai aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku tidak bisa berhenti kagum dengan kecantikannya, suaranya yang merdu. Roselyn sangat ramah dan baik hati, tapi aku makin tidak enak hati, karena dalam hatiku selalu terselip rasa iri setiap kali mengingat bagaimana dia berdiri berdampingan dengan Avallon.

Aku tidak bisa membuang pikiranku yang selalu berharap andai aku bisa berada di posisi Roselyn, dan dicintai sepenuhnya oleh Avallon. Bukankah itu adalah hal paling menyenangkan dari pada cinta tak berbalas? 

Menarik napas demi melegakan hati, aku kembali mengantongi batu sihir dan memeriksa isi tas sederhanaku. Tidak banyak barang yang aku bawa, hanya beberapa baju ganti, herbal untuk pertolongan pertama, kain perban, belati, dan buku catatan.

"Iliana, kau sudah selesai berkemas?"

Roselyn masuk ke kamar setelah mandi. Mandi bukan aktivitas yang luar biasa, namun melihat penampakan Roselyn seusai mandi bukanlah hal biasa. Wajahnya yang polos tanpa riasan (memangnya aku yang tidak pernah pakai riasan kecuali terpaksa karena pesta debut?!) terlihat sangat bening tanpa cela, aku bahkan tidak bisa melihat pori-porinya. Kulitnya benar-benar mulus, rambutnya pirangnya yang setengah kering terurai dan menambah kesan menggoda dengan gaun tidur yang tipis memeluk tubuh langsingnya.

"Se-sedikit lagi," jawabku gugup, menyadari bahwa aku sedikit lebih lama menatap Roselyn, sampai dia terlihat tidak nyaman.

"Aku dengar di Pulai Ennius banyak Penyembuh yang menciptakan beberapa obat penyakit langka."

Aku mengangguk. Sir Farvald menceritakan hal itu seminggu lalu saat kami sedang istirahat siang sebelum kelas ilmu pedang. Padahal aku ada di kelas yang sama, mungkin Roselyn tidak melihatku karena aku duduk di barisan paling belakang.

Ada 20 orang pilihan untuk ekspedisi Raja Hardian kali ini. 4 orang di antaranya diambil dari siswa akademi, dan sisanya adalah orang-orang terbaik Kerajaan Lindbergh dari kalangan militer, akademis, dan politik.

"Kau bisa menyembuhkan semua penyakit, Iliana?"

Lidahku kelu, karena menyembuhkan versiku bukanlah menyembuhkan, tapi memindahkan sakit pasien ke tubuhku. Jadi kalau ditanya bisa menyembuhkan semua penyakit atau tidak, tentu saja aku bisa (jika sihirku cukup kuat). Tapi pertanyaan lainnya, apakah aku sanggup menanggungnya? Jika tidak maka bisa jadi nyawaku sebagai taruhannya.

"Apa pertanyaanku terlalu sulit?"

"Bu-bukan begitu-" aku panik karena wajah Roselyn yang berubah gelap karena aku tetap diam. Aku hanya sedikit terlambat menjawabnya, tapi sepertinya sikapku sangat menyinggungnya.

"Aku sering dengar Iliana sangat pendiam, tapi aku merasa kau seperti membenciku. Berkali-kali aku mencoba mengobrol denganmu, tapi kau selalu tidak merespon. Maafkan aku jika aku pernah berbuat salah, Iliana." Roselyn meraih tanganku dan menangkupnya dengan jemari lentik miliknya.

"Bu-bukan- A-aku tidak-" aku bingung bagaimana menjawab prasangka Roselyn yang membuatku tidak enak hati ini.

"Oh! Maaf, aku tidak sadar menyentuhmu tanpa izin. Mulai saat ini aku akan jaga jarak. Maaf, aku hanya berusaha akrab denganmu, tapi kalau kau tidak suka seharusnya kau bilang. Aku kira setelah dua minggu tinggal sekamar, kita bisa lebih dekat. Maafkan aku yang sudah egois, Iliana."

Roselyn berbalik, langsung menuju lemarinya dan memunggungiku.

Roselyn terus bicara tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Dia membuat kesimpulan sendiri, tidak enak hati sendiri, dan sekarang menjauhiku. Tapi bukankah sikapnya tidak benar? Dia tidak mau mendengarkanku yang masih tergagap, dan membuatku seperti orang jahat.

Perasaan macam apa ini? Kenapa aku merasa ada batu besar yang sangat mengganjal? 

Apakah aku terlalu sensitif?

Ah, terserah sajalah! Sejak awal kami memang tidak akrab.

.

.

.