Pimpinan tertinggi Akademi memanggilku ke ruangannya saat istirahat setelah kelas memanah. Aku mengikat rambutku dengan selendang agar tidak berterbangan saat tertiup angin. Pandangan yang terganggu saat memanah tidaklah baik, aku bahkan sempat berpikir untuk memotong pendek, tapi Annabelle selalu menangis setiap kali aku bicara mengenai hal ini, jadilah rambutku panjang, gimbal dan sering kali berantakan karena aku kurang telaten merawatnya.
Menurut Annabelle, aku hanya perlu menunggu waktu karena sesungguhnya aku punya bakat sihir dan suatu saat bisa merapikan rambut dengan sihir, tanpa harus memotongnya. Mungkin dia berharap dengan begini aku akan termotivasi untuk meningkatkan sihirku.
Tapi pertanyaannya sampai kapan? Sekarang saja aku belum sampai tahap mengendalikan penuh sihir penyembuhku, lalu bagaimana bisa aku belajar ilmu sihir yang lain?!
Sihir teleportasi mulai bisa aku gunakan, tapi hanya sebatas menghilangkan barang, saat aku ingin menariknya lagi aku tidak bisa. Clift sampai memakiku gara-gara aku menghilangkan kompas kesayangannya dua bulan lalu. Aku pasrah saja, padahal maksudku ingin menggunakan pulpennya sebagai bahan percobaan, tapi sihirku malah menyasar ke kompas yang berada di sebelahnya.
Jalan menuju ke Bangunan Utama Ruang Administrasi memakan waktu sekitar 10 menit dari kelas, inilah kenapa aku harus punya sihir teleportasi. Setidaknya aku bisa menghemat waktu dan tenaga.
Begitu sampai di pintu ruangan, aku berusaha menenangkan nafasku yang masih agak ngos-ngosan. Dalam hitungan kesepuluh, baru aku berani mengetuk pintu dari kayu oak yang berukuran dua kali tinggi badanku. Aku dipersilahkan masuk ke ruangan Master Servius. Bapak tua yang terlihat berumur 100 tahun itu tampak agak bungkuk, tapi suaranya yang sangat rendah dengan jenggot putih panjang hampir menyentuh lantai, aku selalu berpikir dia terlihat seperti manusia bersejarah yang pantas dimuseumkan.
"Kenapa lama sekali, Brainne?"
Aku membungkuk memberi salam, tiba-tiba canggung setelah melihat tiga orang lain yang berdiri di hadapan Master Servius, punggung mereka menghadapku yang masih berjalan dari pintu masuk dan berdiri sejajar dengan mereka.
"Aku sengaja mengumpulkan kalian semua sesuai permintaan Yang Mulia Raja Hardian dan Putra Mahkota."
Terdengar suara helaan napas berat dari sebelahku, dan saat aku menoleh, aku mendapati Callisto Oliver Leonidas. Sosok yang selama ini hanya aku dengar selentingan cerita tentangnya dari Clift tampak sedikit menakutkan dengan aura kuat yang dipancarkannya. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh mengingat kami tidak pernah berada dalam satu kelas, jadi rasanya aneh melihatnya dari dekat.
Rambut pendeknya yang berdiri tegak menjulang seperti menantang langit, terlebih lagi dengan bekas luka yang membentang di sisi kanan rahangnya, menambah kesan garang padanya.
Aku mengenalnya sebagai siswa dari tahun kelima. Dia adalah Pangeran dari Negeri Adalgard yang sengaja dikirim sebagai tawanan dari keluarga kerajaan karena kekalahan Adalgard dalam peperangan melawan Lindbergh lima tahun lalu. Wajahnya terlihat sangar dan tak bersahabat, belum lagi ditambah beberapa cerita yang mengatakan bahwa pangeran Adalgard ini sangat tidak mengenal ampun setiap duel.
Kenapa dia ada di sini juga?
"Kalian diminta menjadi anggota pasukan pengawal ekspedisi Kerajaan Lindbergh ke Pulau Ennius akhir bulan ini. Kalian punya waktu 2 minggu untuk menjalani pelatihan bersama Putra Mahkota di pusat pelatihan Istana."
"Eh?" tanpa sadar aku mengeluarkan reaksi spontan, membuat semua orang menoleh ke arahku, dan di saat yang sama aku melihat semua wajah yang tidak begitu aku perhatikan sejak masuk ke ruangan.
Dari paling ujung ada Avallon, Roselyn, dan yang terakhir adalah Pangeran dari Adalgard.
"Ada yang salah, Brainne?" Master Servius mengirim tatapan tajamnya padaku, dan aku hanya menunduk dalam, malu.
"Yang Mulia Raja Hardian meminta beberapa siswa akademi untuk mendampingi Putra Mahkota. Kalian akan dibagi menjadi 2 tim, Avallon dan Killian mengawal Raja Hardian. Sementara Leonidas dan Brainne, kalian mengawal Putra Mahkota. Tugas kalian memastikan keselamatan keluarga kerajaan. Apakah cukup jelas?"
Aku masih tidak mengerti alasan kenapa mereka memilihku, padahal aku paling lemah di antara penghuni Kelas Khusus Sihir Penyembuh. Setiap kali ada tugas kelompok dari Master, maka aku akan menjadi pilihan terakhir dari 20 siswa di kelas. Bukan karena aku merasa rendah diri, tapi karena mereka tidak ingin direpotkan dan aku tidak ingin membebani siapapun.
Belum terjawab pertanyaanku, tiba-tiba masuk seorang ksatria dengan lambang kerajaan Lindbergh di jubahnya. Langkahnya tegap dan langsung berdiri di samping Master Servius.
"Ini adalah Sir Farvald. Dia yang akan menjadi komando utama, juga mengarahkan kalian ke pusat pelatihan. Sekarang kalian bisa kembali ke asrama dan bersiap. Kalian harus berkumpul di gerbang akademi 1 jam dari sekarang."
"Master." Aku mengangkat tangan ke udara.
"Brainne?"
"Aku harus memberitahu ay-"
"Pendeta Brainne sudah mengetahui hal ini sejak dua minggu lalu," Master menjawabku cepat, memotong pertanyaan yang bahkan aku tidak selesaikan.
Ayahku sudah tahu?
Lalu kenapa saat aku datang ke kuil dua hari lalu dia tidak mengatakan apapun?
Apakah Ayah lupa, atau sengaja tidak memberitahuku?
Aku sempat bertemu tatap dengan Avallon saat Sir Farvald berjalan ke arahnya. Senyum ksatria itu sangat lebar saat tangannya menyentuh bahu Avallon. Wajah Avallon tidak bereaksi, dia hanya mengangguk samar sebelum menoleh ke arahku lagi. Anehnya saat mata kami bertemu, aku menerima kilat penuh ancaman, dan Avallon membuang pandangannya ke tempat lain dalam sekejap.
Kenapa? Apa salahku?
Aku hanya melihatnya karena aku punya mata, tapi kenapa dia memusuhiku begitu?
Sir Farvald bergantian menyapa Roselyn, Pangeran Adalgard, dan saat melihatku wajahnya terlihat bingung, tapi saat aku menunduk memberi salam. Dia langsung tertawa lebar.
"Ha ha ha . Ternyata ini anak Pendeta Brainne. Tidak salah Putra Mahkota memilihmu, kau cukup menghibur tanpa harus melucu."
"Eh?"
Aku memiringkan kepala bingung.
"Aku suka semangatmu, Brainne." tambah Sir Farvald, tangannya terjulur dan mengambil sesuatu dari kepalaku, dan saat mengangkatnya di depan wajah, aku melihat bulu burung yang entah sejak kapan menempel di rambutku. Aku baru dari latihan memanah, dan seingatku tidak ada burung di tempat latihan. Angin, pasti angin yang membawa bulu burung ke rambutku.
"Kau pernah bertemu Putra Mahkota, Brainne?" tanya Master Servius memicingkan mata ke arahku dan aku reflek menggeleng hingga selendang yang mengikat rambutku berkibas menampar wajah Sir Farvald.
"Bwa ha ha ! Cukup, cukup, Brainne! Kau benar-benar menghibur. Tidak penting kau pernah bertemu Putra Mahkota atau tidak, yang penting Yang Mulia sudah memilihmu, jadi lakukan tugasmu dengan baik."
Aku hanya bisa mengangguk sekalipun aku masih sangat bingung.
Kami dibubarkan setelah mendapat pengarahan singkat tentang rencana ekspedisi. Aku melangkah di belakang Avallon dan Roselyn. Bagai pengawal mereka, aku terus mengekor sekalipun kami sudah keluar dari bangunan administrasi bersamaan. Aku tidak ingin beriringan dengan mereka, rasanya canggung. Seolah aku berada di tempat yang tidak tepat.
Aku selalu terpesona setiap kali melihat mereka jalan berdampingan. Bagai sepasang dewa dan dewi yang diciptakan dengan takdir indah, mereka akan bersama bahagia dan hidup dengan restu Dewa Hermush.
Rambut pirang Roselyn bergerak indah seiring angin yang menerpanya, kulit putih pucatnya berkilau di bawah sinar matahari sore. Aku sendiri tidak ingat sudah yang ke berapa kalinya aku berharap bisa menjadi Roselyn, berdiri berdampingan dengan Avallon dan mendapati senyum hangat Avallon setiap hari.
Tapi kenyataan lebih keras menamparku, mengingatkanku pada wajah bersungut-sungut Avallon saat mata kami bertemu.
Aku tidak ingin mencari tahu, karena terlalu banyak orang yang membenciku tanpa alasan di akademi. Bagi mereka, kehadiranku di akademi saja sudah sebuah kesalahan. Sehingga aku tidak ingin menambah beban, ada beban lain yang harus aku pikirkan.
Aku punya waktu dua minggu untuk mempersiapkan diri. Mungkinkah dalam waktu 2 minggu aku menyempurnakan sihir teleportasiku? Aku tidak bisa terus ketinggalan seperti ini. Bagaimana kalau aku tertinggal karena tidak bisa menggunakan sihir teleportasi? Jika sihir penyembuhku tidaklah bagus, bukankah seharusnya aku punya keahlian lain? Apakah dalam diriku hanya ada kekurangan?
Mataku turun ke sepatu yang terhentak ke rerumputan.
Bahkan kakiku jauh lebih besar berkali-kali lipat dari Roselyn padahal aku hanya 4 cm lebih tinggi darinya. Berkulit gelap, rambut ikal, warna mata aneh dan tubuh berisi. Kenapa aku terlihat seperti kebalikannya dari Roselyn?
"Kau bahkan tidak sadar ikat rambutmu terlepas?"
Terdengar suara dari sampingku. Sosok tinggi menjulang Pangeran Adalgard menaungi sinar matahari yang sedari tadi menyilaukan mataku.
Berapa tinggi badannya? 187? 190? Sepertinya dia lebih tinggi beberapa centi dari Avallon.
Di tangan besarnya terdapat selendang yang seingatku masih aku pakai untuk mengikat rambut. Aku terlalu banyak bengong sampai tidak sadar kalau ikat rambutku copot, dan rambutku kembali mencuat liar ke segala arah.
"Te-terimakasih. Ha ha ha, aku masih bingung sepertinya," kekehku seraya panik meraih selendang dari tangan Pangeran Adalgard.
"Kau Iliana, kan?"
Aku terkesiap, karena ini pertama kalinya orang yang tidak aku kenal menyebut namaku dengan sangat santai. Di Akademi orang-orang akan menyebutku Brainne, memanggil nama keluarga adalah hal yang baku di kerajaan Lindbergh.
"Kau bisa memanggilku Callisto."
Woah, sontak akugelagapan. Bagaimana bisa aku menyebut nama dari pangeran negeri tetangga semudah itu. Dia bukan warga biasa juga, mana mungkin aku bisa bersikap familiar. Kami beda kasta sejak lahir.
"Di negeriku kami biasa menyebut nama, rasanya aneh dipanggil pakai nama keluarga," tambahnya sambil menyeringai.
Aku kira dia orang yang tidak mudah didekati. Dia bahkan terlihat menyeramkan saat pertama kali bertemu di ruangan Master Servius, lalu kenapa sekarang dia bersikap ramah?
"Aku kira menjadi tawanan perang di negeri asing menjadikanku orang paling kesepian, ternyata ada yang jauh lebih menyedihkan dariku."
Aku berhenti melangkah, reflek berbalik menghadap Pangeran Adalgard. Suaranya terdengar datar, tapi ucapannya meninggalkan rasa pahit dan menusuk di hatiku.
"Kau anak satu-satunya Pendeta Brainne yang terkenal, bahkan orang-orang di negeriku menghormatinya, tapi melihatmu lebih dekat, kau terlihat sangat menyedihkan."
Deg! Ada hantaman kuat di ulu hatiku, membuat dadaku sakit.
Aku menyadari keberadaanku yang tidak mencerminkan darah Brainne, dan orang-orang menyayangkan hal itu. Mereka membicarakan semua kekuranganku di belakangku, mengejekku tanpa mereka sadari aku mampu mendengar mereka, tapi tidak ada seorangpun yang dengan gamblang mengatakan aku 'terlihat sangat menyedihkan' tepat di depan wajahku seperti ini.
Rasanya seperti dipaksa mengubur diri di lubang yang sudah disediakan, menyadarkanku sekalipun aku sendiri sudah mengetahuinya.
Aku tidak sanggup mengucapkan kalimat bantahan di ujung lidahku.
"Bagaimana bisa kau membiarkan orang-orang merundungmu dan bersikap seolah semua hal yang normal?" Pangeran Adalgard itu kembali bicara tanpa beban. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti belati yang terasah, menusuk ke hatiku berkali-kali.
Kemarahan yang tertahan itu naik ke kepala hingga panas memenuhi hatiku dengan cepat.
Kami bahkan belum saling mengenal dengan baik, aku tidak ingat pernah mengizinkannya bicara sok akrab seperti ini. Ini pertama kalinya kami bertatap muka, tapi dia sudah menciptakan benih permusuhan.
Aku memicingkan mata sengit ke arahnya.
Aku dijauhi dan dikucilkan bukanlah hal baru, dan aku tidak ingin hal itu membebaniku sehingga aku lebih memilih mengabaikan mereka. Bagiku kekuranganku adalah tanggungjawabku, aku tidak ingin menyalahkan saiapa-siapa.
Tapi orang ini….
"Oh! Jangan salah paham. Aku bukan menyindir, aku hanya penasaran bagaimana bisa kau melakukannya? Apa kau punya semacam sihir sampai bisa mengabaikan mereka? Semacam penyembuh kesepian? Atau penuli telinga? Kalau iya aku ingin belajar darimu." cerocosnya lagi sambil menggaruk kepalanya dengan canggung.
"Eh?"
Kemarahan yang sudah mencapai titik didih di kepalaku mendadak padam hingga titik suhu terendah.
Wajah Pangeran Adalgard terlihat datar dan normal. Ekspresi macam apa itu? Sampai detik sebelumnya aku masih merasa dia seperti sedang memojokkanku, tapi kenapa sekarang dia terlihat seperti hewan liar yang tersesat. Apakah ini karakternya? Apakah di Adalgard mereka terbiasa bicara terang-terangan seperti ini?
Pemilihan katanya memang tidak cukup baik, dia berkata begitu gamblang hingga aku merasa dia sedang bicara sarkas padaku.
"Aku heran juga, kenapa berita penting tentang eskpedisi Raja Hardian tidak sampai padamu sebelumnya? Aku saja sudah menerima surat pemberitahuan resmi sejak dua minggu lalu. Kerajaan Adalgard juga sudah mengirimkan surat balasan ke Kerajaan Lindbergh tiga hari lalu. Apakah kau benar-benar diasingkan? Tidak hanya di akademi, kau bahkan dikucilkan keluargamu sendiri? Bagaimana rasanya diasingkan di negeri sendiri?"
"Hei!" aku berteriak di luar kendali.
Pangeran Adalgard yang sempat membungkuk meneliti wajahku sampai melompat kaget karena suaraku yang keras. Wajahnya tampak bingung mendapatiku berteriak tepat di depan wajahnya.
Dia seolah menanamkan kesan bertanya seperti ini adalah hal yang normal, tidak menyinggung, tapi yang terjadi sebaliknya. Aku tidak suka caranya bicara.
"Kau tidak bisa bicara dengan cara normal? Caramu bertanya membuat orang salah paham. Bagaimana bisa aku menjawab kalau kau terus bocara dengan kata-kata memojokkan seperti itu?" cerocosku kesal.
Aku bahkan merasa orang ini berada jauh di atas Clift yang tidak pernah punya filter setiap kali bicara. Kata-katanya jauh lebih pedas dari Clift.
"Kau kenapa?" Pangeran Adalgard tampak bingung dan mengerutkan kedua alisnya.
"Apa kau punya hubungan darah dengan Clifton Halbert Romello, hah? Kalian punya mulut yang sama, sama-sama tidak ada saringannya!" tambahku lagi.
"Kau-" Pangeran bermata tosca itu makin mengerutkan dahinya.
"Apa? Kau mau bilang apa?!" aku bertolak pinggang dan menengadahkan dagu menantangnya.
Selama beberapa saat kami saling mendelik. Lebih tepatnya aku sendiri yang melotot, karena Pangeran Adalgard malah mengerutkan dahinya bingung. Hingga tiba-tiba kerutan di kedua alis Pangeran Adalgard menghilang, sisi kanan kiri bibirnya tertarik perlahan.
"Kau lucu! Bwa ha ha ha! Benar-benar lucu!"
Tiba-tiba Pangeran Adalgard itu merangkulkan tangannya di bahuku dan menggiringku berjalan bersamanya.
"Tu-tunggu dulu!" aku gelagapan karena sikapnya yang aneh membuatku makin tidak bisa membaca kemana arah logikanya.
Aku sedang marah, apakah dia tidak bisa melihatnya?
Dia terus mengarahkan langkahku untuk mengimbanginya, padahal kakinya jauh lebih panjang dariku. Berkali-kali berusaha lepas dari lengkungan tangannya, tapi semua percuma karena badannya jauh lebih besar dariku.
Aku bisa merasakan pandangan tajam yang ditujukan padaku dari segala arah. Selama ini aku selalu berusaha tidak menarik perhatian di akademi. Hidup dalam bayangan, tanpa perhatian berlebihan, dan tidak menjadi bahan bahasan orang adalah hal yang aku lakukan selama ini.
Lalu apa yang terjadi sekarang? Orang tersisih di Akademi Lindbergh, justru menempel pada tahanan perang dari Adalgard.
"Mulai saat ini kau adalah temanku," celetuk Pangeran Adalgard seketika.
"Aku? Bagaimana mungkin!" sanggahku yang terus menggeliat berusaha lepas dari simpul tangannya yang begitu kuat di leherku. Makin aku perhatikan, tingkah Pangeran Adalgard ini makin tidak masuk akal.
"Pangeran Callisto."
Seorang anak laki-kali bertubuh lebih pendek dariku dengan tanda lahir berbentuk pyramid di pipinya menghadang kami. Dia melihatku dan Pangeran Adalgard bergantian.
"Oh, pertemuanku sudah selesai, Adam. Ini-"
"Iliana Latasha Brainne? Kenapa kalian bersama?" Orang bernama Adam itu menatapku skeptis, terlihat sangat tidak suka padaku.
Bagus, aku bahkan bisa mendapatkan musuh sekalipun aku hanya bernapas.
Jangan salahkan aku! Pangeranmu yang bersikap aneh!
"Ekspedisi Raja Hardian, Iliana akan jadi rekanku."
Aku panik dan mengibaskan tangan di depan Adam.
"Bukan hanya aku, ada Avallon dan Killian juga!"
Adam mengerutkan alis dan menoleh ke sisi kanannya, dan ternyata di sana berdiri Avallon dan Roselyn Killian. Mereka melihat ke arah kami. Ketika Roselyn terlihat biasa saja, aku justru mendapati tatapan Avallon sangat mengerikan, seolah dia mengirimkan ancaman pada kami.
"Aku tidak tahu kalau Pengawal Utama Raja Lindbergh seseram ini," ucap Pangeran Adalgard tiba-tiba. Aku langsung meninju perutnya, karena menghina pengawal utama kerajaan sama saja kau meminta hukuman penggal di tempat. Tapi Pangeran Adalgard di sebelahku ini tampak tidak mengindahkan peringatanku sama sekali, dia malah menyeringai ke arahku dan berganti memicingkan mata ke arah Avallon.
Pasangan Akademi Lindbergh itu berjalan ke arahku, membuat panik seketika menyerangku.
"Kalian sangat akrab, Iliana dan Pangeran Callisto," ucap Roselyn dengan suara ceria. Suaranya sangat merdu, mengalahkan penyanyi kerajaan. Aku jarang mendengar suara Roselyn, hanya melihatnya dari kejauhan saja sudah cukup menyilaukan. Sosoknya terlalu menyilaukan, saat Roselyn tersenyum aku bisa melihat taburan bunga kasat mata di sekelilingnya.
"Aku harap di ekspedisi nanti kita semua makin akrab." Roselyn bicara sambil mengatupkan kedua tangannya di dada, gerakannya terlihat sangat anggun dan mempesona.
"Akrab, heh?" Pangeran Adalgard mencemooh Roselyn. "Kalau kalian mau akrab, tidak seharusnya kalian membangun tembok begitu. Aku tahu kalian orang elit di Lindbergh, tapi tidak menyapa dari awal pertemuan bahkan sampai keluar dari ruangan Master Servius, kalian sebut itu akrab?!"
Bagai mendapatkan pencerahan, kata-kata Pangeran Adalgard menyadarkanku, bahwa tidak saling sapa bukanlah hal yang biasa. Aku tidak pernah memperhatikan hal seperti itu karena terbiasa sendiri, tapi sekarang aku sadar kalau Avallon selalu bersama Roselyn dan sekalipun kami berada sangat dekat, kami tidak pernah saling sapa.
Bagiku, mereka yang tidak peduli akan kehadiranku adalah hal yang lumrah.
Senyum di wajah Roselyn hilang, terkesiap mendengar kata-kata Pangeran Adalgard. Aku yakin dalam hitungan detik Roselyn akan meneteskan air mata, mengingat jiwanya yang terlalu lembut.
Avallon mengerutkan dahinya sedemikian rupa, tapi matanya berpusat padaku yang hampir mendaratkan wajahku di dada Pangeran Adalgard karena rangkulan tangannya yang kuat.
Matanya dipenuhi kebencian, dan aku tanpa sadar mengalihkan pandanganku karena tidak ingin melihatnya lebih lama. Mendapati orang yang kau suka melihatmu dengan penuh kebencian terasa tidak adil bagiku. Aku tidak melakukan apapun yang bisa membuatnya membenciku. Sorot matanya membuatku merasa bersalah karena menyukainya sekalipun aku tidak pernah menyatakan perasaanku. Aku selalu menutupinya dengan baik.
"Kau harus menahan auramu." Roselyn memeluk pinggang Avallon, membuat pandangan Avallon teralihkan padanya.
Roselyn memberikan senyum tipis dipaksakan sebelum menggandeng Avallon, undur diri dengan satu anggukan kepala. Aku berusaha menjawabnya dengan anggukan kepala juga, tapi Pangeran Adalgard menahanku terlalu kuat, hingga tubuhku tidak leluasa bergerak.
"Apa Avallon sekuat itu?" tanya Pangeran Adalgard pada Adam, dan pria mungil itu hanya menggelengkan kepala sambil menghela napas, tampak tidak habis pikir kenapa Pangeran Adalgard menanyakan hal ini.
"Kenapa? Kau berpikir untuk menantang Avallon?" celetukku kesal.
"Aku yang terkuat di Adalgard, aku tidak akan kalah sekalipun dia pengawal raja kalian!"
"Tukang Pamer!"
"Apa kau bilang?" Pangeran Adalgard mencubit pipiku, dan aku balas meninju perutnya yang keras seperti tembok baja. Berkali-kali kami saling balas hingga akhirnya Adam turun tangan dan melerai kami.
Ini pertemuan pertama dengan Pangeran Adalgard, tapi aku merasa sangat lelah seperti baru naik gunung, bahkan rambutku yang tak terikat makin berantakan dan kusut.
Kenapa Pangeran Adalgard begitu menyebalkan?!
.
.
.