Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 6 - Chapter 5 : Kuil Arthemys

Chapter 6 - Chapter 5 : Kuil Arthemys

Setiap orang di Lindbergh yang memiliki kekuatan sihir penyembuh, maka harus masuk ke kuil jika tidak bisa masuk akademi. Tidak peduli mereka dari kalangan bangsawan atau bukan. Bagi kerajaan Lindbergh, Penyembuh adalah aset yang harus dijaga. Karena tidak jarang dari negeri tetangga meminta dikirimkan Penyembuh, dan Lindbergh akan meminta kontribusi atas transaksi itu.

Banyak negeri tetangga yang terkena wabah atau penyakit langka, sehingga mereka membutuhkan Penyembuh dari Lindbergh yang terkenal sangat berkompeten. Penghasilan terbesar Lindbergh bukanlah dari tambang, atau hasil pertanian, melainkan para Penyembuh.

Namun aturan kuil Arthemys tidak berlaku bagiku yang merupakan putri tunggal Pendeta Brainne. Memasuki tahun ke empat, aku bisa merasakan beban tugas yang semakin berat dan tidak masuk akal. Sejak masuk Kelas Khusus Sihir Penyembuh, aku harus datang ke Kuil Arthemys setiap sebulan sekali untuk melakukan upacara penyucian aura. Setiap tengah bulan (tepatnya 1 hari setelah malam bulan purnama) aku harus dan mau tidak mau memaksa diriku pergi ke kuil.

Ritualnya sangat sederhana, karena aku hanya perlu meditasi selama 2 jam dibawah kucuran air suci kuil Arthemys. Namun yang membuatku tidak nyaman adalah, keberadaan ayahku mengawasi selama 2 jam penuh. Aku tidak habis pikir, apakah pekerjaan Pendeta Tertinggi begitu sedikit, sampai dia memiliki waktu luang begitu banyak untuk mengawasiku?

Setelah bertahun-tahun aku merindukan sosoknya, hingga semua berubah menjadi ketakutan, sekarang aku harus melihatnya setiap bulan.

Hari ini sudah memasuki bulan ketujuh, dan aku masih belum terbiasa dengan suasana kuil yang sangat tenang. Aku mengganti seragamku dengan jubah putih milik kuil dan segera masuk ke kolam pemandian air suci.

Kolam berukuran besar yang terdiri dari beberapa kucuran air itu dihiasi patung dewa Hermush yang rupawan. Lekuk tubuhnya yang sempurna, rambut yang lurus tanpa gelombang, juga wajah yang terbentuk sempurna sekalipun seluruh bagian patung berwarna putih.

Mengambil posisi di bawah kucuran air, aku membiarkan tubuhku beradaptasi dengan dinginnya air yang menyapa kulit. Setelah beberapa detik mataku tertutup, aku mulai meditasi dan memusatkan aura di seluruh tubuh.

Seperti biasa aku tidak merasakan apa-apa, hingga perutku, yang merupakan tempat luka panah saat ujian akhir, minggu lalu terasa panas. Padahal setelah ujian akhir, hingga menjalankan ritual beberapa bulan ini, aku tidak merasakan apa-apa. Aku berusaha mengabaikan panas dan meneruskan meditasi, aku bisa merasakan tatapan tajam ayah ke arahku. 

Waktu dua jam terasa begitu panjang, hingga akhirnya saat aku keluar dari kucuran, dengan jubah basah melekat erat pada kulit saat melangkah keluar dari kolam, panas dari perutku masih terasa.

Aku mengambil handuk dan menyelimuti badan, tepat sebelum ayah menghampiriku. 

"Apakah kau tidak tahu kalau sihir kutukan menempel padamu?"

"Kutukan?" aku tidak mengerti dan belum pernah mengetahui ada sihir kutukan padaku. Bagaimana mungkin aku tidak merasakannya, padahal sihir kutukan terkenal sangat kuat dan mudah dideteksi?

"Apa yang-"

"Iliana!"

Obrolan kami terhenti saat ada anak laki-kali berusia 12 tahun dengan rambut berwarna emas dan mata merah darah berlari ke arah kami. Tubuhnya terlihat mungil berlari melewati pinggir kolam, mengabaikan para tetua yang menggeleng pasrah melihat tingkahnya.

"Iliana! Iliana! Iliana!" dia berkali-kali meneriakkan namaku dan aku yakin gendang telingaku akan pecah karena suaranya yang bergema.

"Iliana!" anak itu berhambur dan memelukku, padahal badanku masih basah setelah ritual penyucian, tapi dia memelukku tanpa ragu.

"Lancelot, harus berapa kali aku bilang kau tidak boleh bertindak kekanakan begini?!" Ayah menghela napas berat dan berusaha menarik Lancelot dariku, tapi sayangnya tangan mungil Lancelot jauh lebih kuat memelukku.

Tinggi badan Lancelot tepat dibawah dadaku, dan saat dia memelukku aku bisa merasakan wajahnya yang terbenam di perutku. Tinggi tubuhnya memang tidak seperti anak usia 12 tahun lainnya, Lancelot sangat imut. Jujur saja aku tidak risih karena menganggap Lancelot seperti adik kecil yang menggemaskan, tapi para tetua tidak pernah berpikir sama. 

Lancelot adalah Anak Terpilih.

Anak Terpilih adalah sebutan untuk anak yang tidak memiliki darah keluarga dengan sihir Penyembuh, tapi memiliki sihir penyembuh yang sangat kuat. Mereka lahir dengan bakat itu sebagai bukti Dewa Hermush memilih mereka. Saat keberadaan mereka diketahui, mereka akan langsung dipindahkan ke Kuil Arthemys dan mendapatkan pendampingan untuk mengetahui tingkat sihir mereka, lalu melatihnya menjadi Penyembuh handal.

Aku mengenal Lancelot sejak dia berusia 8 tahun, sejak dia masih sangat bingung karena harus beradaptasi dengan kehidupan di kuil. Terbiasa hidup sebagai anak petani, dia hanya menyadari dirinya bisa menyembuhkan orang lain, senang bisa membantu orang lain. Dirinya yang terlalu polos, justru membuat orang tuanya mengeksploitasi kemampuannya. Mereka keluarga petani yang sederhana, tapi sejak mengenal uang dan jatuh dalam hutang judi, mereka bahkan tega menjual anak mereka pada lintah darat hingga Lancelot menjadi budak dan menyembuhkan bandit di daerah perbatasan. Keberadaan Lancelot diketahui pihak kuil, membuat pihak kuil mengambil tindakan dan menghukum orang tuanya.

Tahun pertama dia berada di kuil adalah saat terberat baginya, karena bertahun-tahun terbiasa hidup bersama bandit, membuatnya tidak terbiasa dengan aturan kuil, terkucilkan dan selalu ketakutan.

Dia takut dengan orang lain, tapi menempel bagai lem padaku. 

Semua berawal pada pertemuanku dengan Lancelot empat tahun lalu. Aku ke kuil Arthemys karena pihak kerajaan ingin memastikan kekuatanku sebagai pewaris tunggal keluarga Brainne. Raja Hardian dengan khusus mengumpulkan para petinggi kuil dan kerajaan, namun pada akhirnya mereka kecewa karena sihirku tidaklah sehebat yang mereka bayangkan. Mereka menyalahkan darah campuran yang mengalir dalam diriku. Aku tidak menyukai mereka yang menyalahkan ibuku, karena yang membuatku seperti ini bukan ibuku, tapi Dewa Hermush yang telah menentukan.

Kalau mereka mau protes, seharusnya mereka protes pada Dewa Hermush!

Saat aku keluar dari ruang sidang, aku langsung kabur ke taman, dan di sanalah aku bertemu dengan Lancelot yang sedang dirundung penghuni kuil lain yang seumuran dengannya. Mereka meledeknya karena dia bukan dari keluarga penjahat, dan besar di kalangan bandit. Tentu saja aku tidak tinggal diam, dan memarahi mereka semua. Lancelot yang mengalami luka ringan masih bisa aku sembuhkan, dan sejak saat itu dia melihatku seperti melihat makhluk suci atau titisan dewa.

Aku jarang sekali datang ke kuil, seingatku hanya setahun sekali setiap perayaan kelahiran Dewa Hermush. Setiap kali aku datang ke kuil, dia akan meninggalkan semua agendanya demi menemuiku, mengabaikan peringatan para tetua. Padahal sekarang Lancelot adalah calon kuat yang nantinya akan menggantikan ayahku. Lancelot punya kekuatan sihir yang sangat besar, hingga dia bisa menyembuhkan orang lain tanpa menyentuhnya, dia bahkan mampu menyelamatkan orang sekarat dan menghidupkan beberapa hewan sakral yang sudah mati, dan tidak sepertiku, dia bisa menyembuhkan dirinya sendiri tanpa meditasi atau sihir apapun.

Kalau saja matanya berwarna ungu terang, aku mungkin akan berpikir dia adalah anak haram ayahku.

"Apakah ritualmu sudah selesai?" Lancelot mengangkat kepalanya dari perutku, tersenyum begitu lebar dan aku mengangguk cepat turut membalas senyumnya.

"Iliana kenapa?" Lancelot menyentuh perutku, tempat panas masih terasa.

"Lancelot, kau tidak bo-"

Lancelot memejamkan mata, kemudian aku bisa melihat sinar berwarna emas dari telapak tangannya yang menyentuh perutku. Bagai berpindah ke gurun, sekujur tubuhku diterpa badai panas dan detik berikutnya sekelilingku dipenuhi cahaya membutakan. Yang mampu aku lihat hanya Lancelot yang tengah memejamkan mata. Kepalaku kosong karena situasi sekelilingku yang berubah. 

Apa yang terjadi?

Belum sampai terjawab pertanyaanku, tiba-tiba aku merasakan sepasang tangan meraih sisi wajahku, menarik tubuhku dan sebuah sentuhan hangat menyapa dahiku. Begitu cahaya menyilaukan padam, aku mendapati wajah Lancelot yang begitu dekat tengah mengecup dahiku.

"Iliana sekarang sembuh, he he he!"

Aku terbengong.

Lancelot tersenyum lebar, mengabaikanku yang masih tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi panas dari perutku sudah hilang, dan entah kenapa tubuhku terasa begitu ringan.

"Iliana?" 

Tangan Lancelot yang lebih kecil dariku menggenggam tanganku erat, dia sampai mendongakkan kepala agar bisa melihatku.

"Lancelot, sudah berapa kali aku bilang kau tidak boleh menggunakan kekuatanmu sembarangan?!"

Ayah bicara dengan nada tinggi, kerut-kerut di dahinya tiba-tiba saja terlihat, padahal selama ini dia selalu terlihat tanpa cela. 

"Kekuatan?" aku masih bingung dan melihat Lancelot juga Ayah bergantian, dan lebih hebatnya lagi jubah, baju dan seluruh tubuhku sekarang kering. Rambutku yang tadinya lepek menempel, sekarang kembali mengembang bak gumpalan benang wol berukuran besar.

"Lancelot menghilangkan kutukan yang bahkan kau tidak sadar ada di tubuhmu. Sihirmu terlalu lemah bahkan untuk mendeteksinya."

Lidahku kelu, aku tidak bisa menjawab. Kata-kata ayah mungkin terdengar datar, tapi aku merasa tusukan hebat di ulu hatiku.

Jujur saja, aku lebih menyukai kegiatan fisik seperti memanah atau berkuda, atau petualangan yang bisa memacu detak jantungku. Aku tahu sihirku lemah, tapi bukan berarti aku tidak terluka ketika ayah menyinggungnya, terlebih lagi di depan orang lain. 

"Iliana, ayo kita ke taman. Pendeta Brainne terlalu banyak bicara!" Lancelot langsung menarik tanganku meninggalkan area kolam suci. Aku sempat menoleh pada sosok ayah yang masih terdiam sambil melihat sengit ke arah kami. Hati yang baru saja merasa ringan, tiba-tiba tertutup kabut. 

Berapa kali aku harus diingatkan tentang kekuranganku? Aku tidak perlu dijatuhkan berkali-kali dengan dalil untuk menyadarkanku.

"Ayo, Iliana!"

Lancelot begitu bersemangat berlari-lari kecil menyusuri koridor kuil menuju taman yang terletak di sayap timur kuil. Tangannya yang berwarna putih bersih, terlihat begitu kontras dengan warna kulitku yang gelap. Aku tidak pernah berpikir bahwa ada orang yang mau bersusah payah mengirim kutukan padaku. Kenapa dan siapa yang melakukannya? Selama ini aku hanya menghabiskan waktu di akademi dan kuil. Aku ingin menampik kenyataan bahwa orang di akademi dan kuil tidak ada yang begitu membenciku, tapi aku sepertinya lupa, ada banyak alasan bagi mereka untuk membenciku.

"Lancelot baru saja menanam pohon akasia, Iliana harus lihat!"

Kami masuk ke area taman, dan berbelok ke sisi labirin. Angin sejuk berhembus menerpa kulitku, mengirim suara gesekan daun yang menentramkan. Aku berjongkok di depan pohon yang tanahnya masih sangat basah. Lancelot tersenyum lebar menatapku dan aku sadar dia sedang menunggu pujian dariku.

Kenapa anak ini terlihat sangat polos di depanku, tapi bisa bermulut tajam saat bicara dengan orang lain?

"Kau sangat pintar, Lancelot. Kau melakukan semuanya dengan baik. Apa kau sudah meminta izin Pendeta Brainne sebelum menanamnya?" tanyaku.

"Tentu saja, Pendeta Brainne bilang a-"

Lancelot berhenti bicara tiba-tiba, telunjuknya terangkat ke bibir mengisyaratkanku untuk tidak bersuara. Selama bebeapa detik aku terdiam dan menajamkan indera pendengaran. Benar saja, ada suara langkah kaki dua orang dari dalam labirin yang semakin dekat ke arah kami. Reflek kami berdua menyembunyikan aura kami. Lancelot melakukannya dengan sangat cepat, tapi aku perlu beberapa detik sampai auraku benar-benar tak terpancar lagi.

Tapi kenapa kami harus bersembunyi?

"Pendeta Noah." Lancelot bicara dalam bahasa bibir, dan aku langsung mengangguk mengerti. Bagiku dan Lancelot, Pendeta Noah adalah orang yang harus dihindari. Bukan hanya sikapnya yang terlalu kaku dan penegak penuh peraturan, tapi dia juga tidak pernah segan memberi hukuman berat sekalipun itu hanya kesalahan kecil.

Mengetahui keberadaanku di taman saat ritual adalah kesalahan kecil yang bisa berakibat fatal. Seharusnya setelah meditasi, aku kembali ke ruang Pendeta Utama untuk menguji tingkat sihirku, tapi Lancelot malah menarikku ke sini. Aku melakukannya bukan karena ayahku pemilik pangkat tertinggi di kuil, tapi karena aku tidak bisa menolak Lancelot. Dia manusia paling menggemaskan yang pernah aku kenal, karena itu aku tidak bisa menolaknya.

Angin kencang tiba-tiba berhembus menerpa wajahku, rambutku yang sudah mengembang semakin berantakan dan beberapa helai daun tersangkut. Lancelot tertawa tanpa suara dan mengambil daun serta rumput kering yang bersarang di rambutku.

"Aku mengerti, tapi kau harus mempersiapkan diri untuk mengawal Raja Hardian ekpedisi bulan ini."

Suara berat Pendeta Noah terdengar seperti berasal dari gua yang sangat dalam, aku yakin dia banyak melakukan latihan aura sehingga suaranya terdengar begitu berwibawa.

Sejarah awal Pendeta Noah datang ke kuil, sama seperti Lancelot. Dia berasal dari keluarga biasa, tapi kekuatan sihirnya setara dengan ayahku. Jauh sebelum aku terlahir, mereka sempat bersaing untuk posisi pimpinan tertinggi kuil Arthemys, tapi karena darah bangsawan ayahku, pihak kerajaan lebih memilih ayahku. Mungkin karena itu juga Pendeta Noah terlihat tidak pernah menyukaiku. Bahkan saat pemeriksaan level sihirku, dia tampak lega mendapati sihirku tidak memiliki banyak perkembangan.

Aku bisa merasakan aura dua orang dari balik rimbunnya labirin yang terbentuk dari tanaman yang potong sedemikian rupa, tapi entah kenapa aura ini terasa tidak asing?

"Bahkan belum genap tiga bulan sejak kepergian ayahku, tapi Raja Hardian bersikeras melakukan ekspedisi."

Aku terkesiap, dan hampir lengah menyembunyikan auraku jika Lancelot tidak menyentuh tanganku, menyadarkanku dari pikiranku yang mendadak kosong. Suara yang baru aku dengar barusan adalah suara Avallon, sudah beberapa bulan ini aku tidak mendengar atau melihatnya di akademi. Roselyn sering terlihat sendirian, dan Clift mengambil peluang itu dengan sangat baik.

Lalu bagaimana Pendeta Noah dan Avallon bisa sedekat itu?

"Kau tidak bisa mengabaikan perintah Raja. Kau sudah ditunjuk menjadi pengganti ayahmu, kau harus siap. Kau tahu betapa pentingnya posisi ini, dan inilah caramu membangun dukungan untuk mewujudkan impianmu."

Aku akui, kematian Zayn Ludwig Avallon menjadi berita besar beberapa bulan lalu. 

Seluruh Kerajaan Lindbergh agak terguncang karena kepergian kepala keluarga Avallon yang begitu mendadak. Beberapa rumor mengatakan bahwa Pengawal Raja itu sakit keras sejak lama, tapi terlambat menunjukkan gejala. Ada juga yang bilang karena kutukan mematikan yang ditujukan pada Raja Hardian tapi berpindah padanya. Sampai saat ini tidak ada yang tahu persis mana yang benar.

Namun, mendengar Avallon menggantikan ayahnya benar-benar baru di telingaku. Apakah itu berarti dia menjadi Pengawal Raja sekarang? Menjadi kepala keluarga Avallon? Pantas saja aku tidak pernah melihatnya lagi sejak pesta debut.

"Setidaknya aku ingin menyelesaikan pendidikanku di Akademi."

"Kemampuanmu sudah jauh di atas siswa terbaik akademi. Kau bahkan berhasil mengalahkan Komandan Perang Baris Terdepan Kerajaan Lindbergh. Jangan ragukan kemampuanmu sendiri."

"Bukan aku ragu, tapi masih ada Cicero, seharusnya dia yang menjadi kepala keluarga."

"Kau tahu kondisi Cicero tidak terlalu baik. Fisiknya terlalu lemah, dan dia sakit-sakitan. Sihir penyembuh tidak cukup untuk mengembalikan kondisi sihirnya yang tidak bisa stabil."

"Tapi ada satu hal yang belum aku selesaikan."

"Ck ck ck! Kau bisa menyelesaikannya setelah kau berhasil memegang penuh kendali Raja Hardian. Kau harus menggeser Putra Mahkota dari kursinya. Jika kau berhasil, kau bisa melakukan apapun yang kau mau."

Avallon tidak bicara lagi, tapi dengan jelas aku bisa merasakan auranya mendadak tidak stabil, seolah seluruh jiwanya sedang terguncang.

"Kau tahu apa yang harus kau lakukan pada Pendeta Brainne?" suara Pendeta Noah terdengar sangat tenang, tapi aku bisa merasakan ancaman yang sangat jelas dari kata-katanya.

"Aku tidak ragu lagi," jawab Avallon penuh keyakinan, dan detik kemudian aura keduanya menghilang, lenyap tak bersisa. Aku yakin kedua menggunakan sihir teleportasi.

Lancelot mengangguk padaku, dan kami sama-sama melepaskan katup aura kami, membiarkan sel tubuh kami kembali tenang.

"Bukankah Edmund Rayburn Avallon teman Iliana di akademi?"

Aku mengangguk cepat, tidak begitu heran dengan pertanyaan Lancelot, tapi yang aku heran adalah obrolan mereka yang menyebut tentang ayahku. Apa yang mereka rencanakan sebenarnya? Haruskah aku memberitahukan pada ayah? Lalu bagaimana dengan ucapannya yang akan menggeser Putra Mahkota dari kursinya?

Sebenarnya agak aneh memang. Kenapa mereka memilih Rayburn sebagai kepala keluarga? Dimanapun system pemilihan kepala keluarga akan turun pada anak pertama. Anak pertama dari Zayn Ludwig Avallon adalah Cicero, terlepas dari kondisi fisiknya, tidak seharusnya menunjuk anak kedua, kecuali anak pertama yang mengundurkan diri dari posisi itu.

Auh, silsilah keluarga dan politik membuat kepalaku sakit.

"Lancelot tidak suka Pendeta Noah, ada roh jahat yang selalu mengikuti Pendeta Noah. Kenapa teman Iliana dekat dengan Pendeta Noah?"

"Roh jahat?"

"Iya, Lancelot lihat aura hitam Pendeta Noah."

"Lancelot bisa lihat warna aura?"

"Tentu saja! Aura Iliana warna silver, aura Lancelot warna emas, aura Pendeta Brainne warna ungu, lalu aura Kepala Bangsal Kuil warna oranye, em… lalu warna … Lancelot lapar, ayo kita makan Iliana, sebentar lagi matahari terbenam."

Aku terbengong. Bisa-bisanya dia berganti topik dengan tiba-tiba begitu?!

Sikap Lancelot benar-benar menggemaskan. Aku reflek memeluknya, mengacak-acak rambutnya sementara dia hanya tertawa melihatku. 

"Ayo, Iliana!" Badanku menurut saja saat Lancelot meraih tanganku, menggiringku pergi meninggalkan pohon akasia yang tanahnya masih basah, mengabaikan banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam kepalaku.

Aku tidak pernah mengikuti perkembangan dunia luar, terlebih lagi hubungan politik atau personal antar bangsawan. Di akademi saja aku hanya dekat dengan Clift. Bukan hanya karena orang-orang cenderung menjauhiku, tapi juga karena aku tidak ingin memperumit kapasitas otakku yang terbatas. Mengingat nama dan wajah orang kadang membuatku pusing. Maklum saja, otakku kalau sudah kepenuhan suka buntu mendadak.

.

.

.