Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 5 - Chapter 4. Debut

Chapter 5 - Chapter 4. Debut

Menginjak usia 16 tahun bagi anak perempuan di kerajaan Lindbergh berarti waktunya kami memasuki dunia sosial. Dunia yang berisi pergaulan antar keluarga bangsawan yang terdiri dari beberapa tingkatan, mencari pendamping dan bertunangan.

Aku tidak pernah menerima pendidikan tata krama dari kecil, karena itu aku tidak pernah peduli tingkatan apalagi kasta keluarga di Lindbergh. Yang aku tahu aku harus menjaga diri di hadapan tiga keluarga saja, yaitu keluarga kerajaan, keluarga Avallon dan Romello. Ketiganya adalah orang berpengaruh di Lindbergh. 

Keluarga Avallon adalah keluarga yang menjadi penanggungjawab militer, juga pengawal Raja Hardian. Setiap orang dalam silsilah Avallon memiliki kekuatan pedang dan sihir yang tak tertandingi. 

Sementara keluarga Romello, adalah keluarga yang paling dihormati karena kedudukannya sebagai penasehat Raja. Membuat masalah dengan mereka sama saja mencari mati.

Sebenarnya ada satu lagi, yaitu keluarga Killian. Mereka adalah penguasa perdagangan di Lindbergh. Tidak ada sekutu pedagang sebesar dan sekaya mereka. Stanford Clay Killian selalu berhasil menjadi produsen dari banyak sektor perdagangan Lindbergh. Membeli ataupun menjual, keluarga Killian selalu menjadi orang pertama yang dicari para bangsawan Lindbergh. Tidak heran banyak yang mengincar Ashley Roselyn Killian sebagai pasangan mereka. Sekalipun bukan penerus Killian, tapi menjadi pendamping putri tunggal keluarga Killian, adalah mimpi dari banyak para putra bangsawan.

Seperti acara malam ini, malam debut para putra dan putri di Lindbergh yang rata-rata usai antara 16 - 20 tahun. Dulu setiap keluarga mengadakan pesta untuk men-debut-kan anak mereka, tapi sejak lima tahun lalu kerajaan membuat aturan khusus bahwa pesta debut di adakan setahun sekali oleh pihak kerajaan dan mengundang anak perempuan dan laki-laki bangsawan yang memasuki usia debut .

Aku suka pesta seperti ini karena aku bisa menikmati makanan sesukaku, dan aku sudah diperbolehkan minum alkohol, tapi aku tidak suka menggunakan korset dan gaun. Rasanya badanku digantungi batu dan harus menahan nafas setiap kali aku bergerak. Bagaimana bisa mereka masih tersenyum setelah menggunakan pakaian penyiksa seperti ini?

Banyak orang yang harus membuat janji khusus ke salon untuk bisa mengubah penampilan mereka menjadi sangat sangat sangat cantik. Aku tidak menggunakan banyak riasan, tapi aku meminta kenalan Clift untuk membantuku merapikan rambutku. Bagai keajaiban, teman Clift yang sangat cantik itu (maaf aku lupa siapa namanya, yang aku tahu dia naksir Clift sejak tahun pertama), bersedia membantuku, hingga penampilanku jauh lebih menyejukkan pemandangan dibandingkan keseharianku di akademi. Dia membuat rambutku terkepang indah dengan hiasan manik berbentuk kelopak bunga. Dia menghabiskan waktu hampir 2 jam untuk meluruskan rambutku dengan minyak bunga matahari, lalu baru mulai menatanya. Aku sangat kasihan padanya, tapi usaha tidak mengkhianati hasil. Aku tidak pernah tahu kalau rambutku bisa ditata seindah ini.

"Kau masih bisa makan lagi?" Clift menyenggolku yang hendak mengambil makaron.

"Tenang saja, lambung kiriku masih kosong!" celetukku sambil tertawa.

"Apa ini yang dilakukan orang yang baru saja muntah darah 2 bulan lalu. Aku kira kau sekarat."

Aku tidak menjawabnya dan lanjut melihat tumpukan makaron yang akan menjadi santapan.

Terdengar suara lantunan lagu dan beberapa orang turun ke lantai dansa. Aku masih sibuk mengambil makaron ke piringku.

"Ash!"

"Apa?" jawabku tidak antusias.

"Aku sebenarnya juga malas berdansa, tapi kau lihat ayahku dan ayahmu melotot dari atas sana?"

"Eh?!"

Kepalaku menoleh ke arah lantai dua, tempat para orang tua beristirahat menghabiskan waktu sambil mengobrol. Benar saja, kepala keluarga Romello dan ayahku berdiri berdampingan sambil memegang gelas wine melihat ke arah kami. 

"Sejak kapan mereka melihat ke sini?" tanyaku kesal, dan meletakkan piring ke meja.

"Sejak kau makan kue sponge ketigamu."

"Hah?" aku melotot, kesal karena Clift bukannya menegurku. Berarti mereka melihat bagaimana aku seperti orang kelaparan memakan tiga porsi kue sponge tadi? 

Tapi Clift tidak merespon, malah menjulurkan tangannya, layaknya seorang pria sejati yang bersikap ramah meminta wanita untuk berdansa.

"Auh …. Rasanya aku mau muntah melihat sikapmu."

"Kau pikir aku suka?! Aku sengaja memakai tuxedo terbaikku supaya bisa berdansa dengan Roselyn, bukan denganmu!"

"Kau? Berdansa dengan Roselyn? Kau mengigau?" jawabku sengit.

Sekalipun pertengkaran verbal kami tidak menunjukkan tanda-tanda berakhir, kami turun ke lantai dansa sambil melemparkan kata-kata sengit. Mungkin dari luar akan terlihat mustahil, tapi kami benar-benar berdansa dengan luwes. Berdansa adalah kelas wajib di akademi. Setiap tahunnya kami berdansa setidaknya sebulan sekali agar tubuh kami terbiasa. Hingga saat seperti ini tiba, gerakan tubuh kami sudah seperti mesin otomatis.

"Kenapa musiknya berganti?" Clift panik saat lagu lain diputar.

Aku ikutan panik, karena lagu ini adalah tanda kami harus bertukar pasangan dengan siapapun lawan jenis yang ada di samping kami setiap intro diputar. Di antara lagu dansa, aku paling tidak suka lagu ini, karena aku tidak tahu siapa pasanganku nanti, bahkan kami harus bertukar pasangan berkali-kali selama lagu masih diputar.

"Apa ini ujian dansa?" celetukku saat Clift melepaskan tanganku dan berputar menyambut rekan dansanya yang baru.

"Mana aku tahu!" jawab Clift yang mengikuti arus lagu, sementara aku kaget ketika orang yang menangkap tanganku adalah siswa tahun kedua dari ilmu pedang. Aku lupa pakai sarung tangan, dan bisa merasakan dengan jelas kapalan di tangannya.

"Apa kabar, Brainne?" 

"Ah, baik …."

"Aku Lucius."

"Oh, iya, Lucius." Rasanya canggung sekali berdansa dengan orang yang tidak aku kenal. Apa lagi anak laki-laki di depanku ini terus saja tersenyum dan melihat wajahku tanpa berkedip.

"Kau cantik sekali malam ini. Aku suka warna kulitmu yang gelap, kau terlihat sangat menarik dan eksotis."

Apakah ini pujian?

Haruskah aku merasa senang? Tapi aku tidak suka dia membahas warna kulitku, karena kulitku memang gelap sebagai bukti aku bukan penduduk asli Lindbergh.

"Kau juga menata rambutmu dengan sangat cantik."

"O-oh. Terima kasih. Teman Clift membantuku merapikannya," jawabku seraya berputar mengikuti irama lagu.

"Gaun yang kau pakai juga terlihat angggun, warna ungu sangat cocok untukmu, sesuai dengan warna matamu."

Argh…. Dia seperti burung beo, tidak berhenti bicara. Tidak bisakah dia diam saja dan membiarkan satu intro berlalu dengan tenang?! Aku kikuk diajak bicara terus.

"Bolehkah aku menemuimu setelah pesta ini?"

Aku mendongak dan melihat wajah Lucius yang klimis mengkilat putih bersih.

Kenapa kulitnya terlihat seperti porselen?

"Ehm …  a-aku rasa kau-"

"Bukankah sudah waktunya ganti pasangan?"

Eh?

Aku menoleh dan mendapati Avallon berdiri di sebelahku seperti menunggu. Aku baru sadar kalau intro lagu sudah ganti lagi, dan kami harus berputar ganti pasangan. Lucius melepaskan tangannya dari pinggulku saat aku menarik tanganku dari genggamannya dengan panik.

"Senang berdansa denganmu, Brainne. Semoga kita bisa ngobrol di lain kesempatan." ucap Lucius sebelum berpindah ke pasangan dansanya yang baru.

Ngobrol? Denganmu? Aku lebih merasa seperti sedang mendengar ceramah Master. Kau terus saja bicara tanpa peduli rekan bicaranya memperhatikan atau tidak. 

"Brainne?"

"Eh?"

Aku masih belum bisa memproses situasi, tapi tangan Avallon terulur menungguku. Dia mengenakan sarung tangan warna hitam elegan, membuat jari-jarinya terlihat langsing dan indah. Ragu-ragu aku meraih tangannya. Jujur saja jantungku jadi tak karuan sejak mendengar suaranya. Belum selesai sampai di situ, Avallon memperpendek jarak dan menyentuh pinggangku hati-hati. 

Walaupun otakku masih kalut, tapi tubuhku bergerak dengan cepat menyesuaikan dengan irama lagu. Avallon terlihat sangat mempesona dengan pakaiannya yang menyerupai Putra Mahkota. Jubahnya yang berwarna hitam dengan ornament silver bergerak senada dengannya, menambah level ketampanannya hingga jauh tak tergapai.

Apakah aku bermimpi?

Aku bahkan tidak pernah berpikir bisa berdansa dengan Avallon. kemungkinannya mendekati nol, sama seperti Clift yang berharap bisa berdansa dengan Roselyn. 

"Ash .…" 

Clift berjarak beberapa langkah dariku dan sedang berdansa bersama … Roselyn?

Apakah Dewa Hermush sedang berbaik hati dan membuat kami bertukar pasangan?

Bukankah kebetulan ini sangat tidak biasa?

Senyum Clift begitu lebar, aku yakin bibirnya bisa kaku karena tidak berhenti tersenyum. Bahkan dia sempat melirikku, seolah membanggakan dirinya yang berhasil mewujudkan harapannya yang aku remehkan tadi.

"Apakah kau diajarkan untuk melihat ke pasangan lain saat berdansa?"

"Eh?" 

Aku tersentak dan reflek mendongak, menatap sepasang kolam berwarna emerald yang begitu dalam. Aku merasa seperti bercermin saat melihat pantulan wajahku di matanya.

Kenapa dia bicara seperti itu? Seolah-olah dia tidak suka aku melihat yang lain. 

Apakah dia marah? Cemburu? 

Ah tidak mungkin! Jangan membuat harapanku semakin besar. Pipiku terasa panas karena membayangkan hal yang sangat tidak mungkin.

"Aku harap kau tidak menginjak kakiku," ucap Avallon cepat, dan bunga-bunga yang bermekaran di hatiku mendadak hangus terbakar. Wushhh! tak bersisa.

Apa kubilang! Tidak seharusnya aku berpikir yang aneh-aneh.

Cemburu apanya?! Kami bahkan tidak pernah mengobrol lebih dari beberapa kalimat. Aku tidak yakin dia akan melihat ke arahku kalau bukan karena lagu yang mengharuskan kami berdansa dengan bertukar pasangan. Selama beberapa menit aku menundukkan kepala dan memilih melihat dada Avallon yang dihiasi ornament rantai silver dan kancing batu berlian yang sangat mewah. Tidak hanya pakaiannya, bahkan aksesoris pilihannya terlihat berkelas.

"Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik-ba- Eh?" jawaban otomatisku terpotong saat otakku sadar bahwa pertanyaan Avallon terdengar aneh. 

"Apakah 'eh' kata kesukaanmu?" Avallon terlihat seperti sedang menahan senyum. 

Apakah dia sengaja meledekku? 

"Kau mendadak muntah darah, dan memintaku mengabaikanmu tempo hari."

"Oh itu… itu-"

Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku dan kembali tertunduk, bingung mencari kata yang tepat untuk menjawabnya.

Aku tidak bisa membuka kenyataan tentang kekuatanku yang sangat lemah, dan berhasil lulus hanya dengan perbedaan setipis benang jika aku gagal menahan diri di tengah ujian. Tidak banyak orang tahu mengenai kekuatan penyembuhku yang lebih mirip mengorbankan diri ini.

"Apakah tergagap dan tidak menjawab pertanyaan juga kebiasaanmu?"

Lidahku kelu seketika.

Baru aku sadari kalau aku selalu tergagap di hadapannya. Aku selalu gugup dan tidak bisa mengendalikan perasaanku. Mungkin dia menyadari juga karena auraku jadi tidak stabil. Jujur saja, aku tidak pernah berhenti menyukai Avallon sejak pertama kali melihatnya. Seburuk atau sejelek apapun aku di matanya, aku tidak pernah berpikir untuk menghentikan perasaanku. Aku hanya menikmati hari-hariku di akademi yang jadi lebih berwarna karena mengaguminya. Melihat sosoknya dari kejauhan.

"Aku tidak tahu kalau anak Pendeta Brainne sangat pendiam dan kikuk."

Aku memutar tubuh saat Avallon mengangkat tanganku. Dua putaran sebelum dia kembali menangkapku dan aku reflek mendaratkan tanganku di dadanya, mencegah jarak tubuh kami jadi lebih pendek.

Aku harus mengatakan sesuatu, jika tidak aku akan merasa canggung seumur hidupku setiap kali melihat Avallon.

Lagu tiba-tiba behenti, Avallon menarik diri dan membungkuk ke arahku, terlambat satu detik aku baru membalas salamnya, dan saat aku kembali menegakkan diri dia sudah menghilang ke sisi lain lantai dansa sambil menggandeng Roselyn.

"Dan pasangan terbaik pesta debut kembali bersatu," desis Clift yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku lagi, tampak kecewa melepaskan Roselyn.

"Tapi biar bagaimana juga Roselyn itu sangat sempurna, lekuk tubuhnya terasa begitu pas di tanganku. Dia bahkan tersenyum padaku selama berdansa. Dia bertanya apakah kau dan aku berteman baik karena terlihat selalu bersama. Dia juga cerita bagaimana kompetisinya bulan lalu. Apa kau ngobrol banyak dengan Avallon?"

"Beruntungnya kau," jawabku sambil menggeleng tak bersemangat, langkahku gontai menuju piring makaronku yang sempat terabaikan, tapi saat aku mencarinya, aku tidak menemukan piringku, makaronpun sudah hilang dari deretan sajian di meja.

Kenapa aku tidak bisa menikmati makaronku? Kenapa?!

Pesta debut ini ditutup dengan rasa hambar yang bersumber dari dasar hatiku.

.

.

.