Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 4 - Chapter 3: Takdir yang Ditentukan

Chapter 4 - Chapter 3: Takdir yang Ditentukan

Apa mimpi terburuk dari siswa akademi?

Tentu saja ujian akhir!

Setiap pergantian tahun ajaran, siswa lama akan melakukan ujian akhir yang menentukan apakah mereka akan melanjutkan ke tingkat berikutnya, demi mengosongkan kursi untuk siswa baru tahun pertama. Jika tidak lolos naik tingkat, maka siswa yang gagal akan menjadi bahan ejekan siswa lain, dan acap kali dijadikan objek yang disalahkan keluarga bangsawan lain yang gagal diterima masuk ke akademi.

Aku membenci ujian akhir yang dilakukan di depan khalayak ramai, karena Master membuat kami seperti bahan tontonan di tengah auditorium terbuka. Tidak hanya dari kalangan akademis dan siswa seluruh tingkat, tapi akademi juga mengundang keluarga bangsawan dan kerajaan untuk hadir. Menguji tingkat sihir dan kemampuan yang kami miliki setiap tahunnya. Tidak peduli itu kemampuan sihir, pedang, memanah, pengetahuan umum, administrasi kerajaan, semua menjadi bahan tontonan. 

Ada 100 orang siswa akademi tahun ketiga yang hari ini harus di uji, salah satunya aku. Semua diuji sesuai minat yang mereka pilih dari awal tahun ajaran.

Aku tidak punya pilihan lain, karena aku masuk ke kelas sihir penyembuh, aku harus menunjukkan kemampuanku. Tidak banyak orang yang tahu kalau kekuatan penyembuhku adalah memindahkan, bukan benar-benar menyembuhkan seperti penyembuh pada umumnya.

Lalu kalau aku gagal, apa yang akan terjadi padaku?

Tidak ada istilah dikeluarkan dari akademi. Jika kau memiliki kulit yang cukup tebal, maka kau bisa mengulang tingkat yang sama berkali-kali. tapi kebanyakan orang lebih memilih mengundurkan diri dari pada menahan malu.

Apakah aku akan lolos di ujian kali ini?

Bukan hanya itu yang aku khawatirkan, tapi juga kehadiran ayahku di antara kerumunan para penonton. Aku mengerti bahwa ujian akhir tahun ketiga adalah penentu apakah siswa pantas melanjutkan pendidikannya di bidang yang mereka pilih, tapi bagiku kehadiran keluarga bukanlah dukungan, melainkan ancaman. Siswa lain terlihat begitu senang melambaikan tangan ke arah keluarganya, tapi aku merasa hatiku berat dan kosong.

Tekanan yang aku rasakan begitu menakutkan, hingga tanganku keluar keringat dingin.

Satu demi satu nama dipanggil. Bagusnya Clifton lebih dulu diuji dariku. Dia terlihat tenang melangkah ke tengah-tengah auditorium, menghadap Master yang sudah siap memberikannya pertanyaan tentang kasus di administrasi kerajaan. Ujiannya cenderung pada ide dan pemecahan masalah politik kerajaan. 

Otak jeniusnya tidak akan kesulitan sama sekali, aku yakin itu.

Clift sempat menoleh ke arahku, dan dia menyeringai meledek seraya menggerakkan tangannya di leher. Mengisyaratkan bahwa aku tidak boleh lengah, kalau tidak aku benar-benar dihabisi hari ini.

Dia meledekku!

Dia selalu melakukannya sejak dia tumbuh tinggi pesat sejak tahun kedua. Siapa sangka dia bisa jadi sebesar monster padahal tidak suka susu dan latihan fisik. Sementara aku sudah berusaha latihan fisik dan minum susu, tapi tinggi badanku hanya bisa bertambah beberapa cm aja. Sepertinya tinggi badanku sudah mencapai batas, 169cm adalah angka terbaikku.

Aku membalas Clift dengan mengacungkan tinjuku, tapi tidak lama kemudian Master menegurku lewat tatapan tajamnya.

Kepalaku menunduk canggung karena teman-teman di sebelahku tertawa sambil menutup mulut mereka. Aku makin malu dan gugup, tanpa sadar aku lagi-lagi memainkan ujung kuku jemariku. Tiba-tiba aku merasakan tatapan tajam ke arahku, dan saat aku mengangkat kepala, sepasang mata emerald tengah melihat ke arahku. Avallon seperti elang yang sedang mengintai mangsa, padahal aku tidak melakukan apapun. Di sebelahnya duduk Roselyn Killian yang ikut mengarahkan pandangannya padaku, dan dia tersenyum begitu manis ke arahku, mau tidak mau aku membalasnya dengan anggukan canggung.

Kenapa mereka melihatku begitu?

Apakah aku yang dimarahi Master terlihat sangat lucu?

Sebagai informasi, mereka berdua tidak ikut ujian kali ini. Bukan karena perlakuan khusus, yang membuat mereka otomatis lolos ujian adalah prestasi mereka yang berhasil menang di kompetisi di Kerajaan bulan lalu. 

Manusia pilihan Dewa Hermush memang tidak bisa disamakan dengan strata yang ada, mereka berada di kasta berbeda, bukan hanya dari segi penampilan tapi juga kemampuan. Lebih payah lagi aku, sudah mempermalukan diri, masih saja merasa pipiku panas saat melihat Avallon. Kenapa dia sangat tampan?!

Perhatianku kembali pada Clift, dia melakukan debat terbuka dengan Master yang memberinya pertanyaan. Setiap ucapannya lantang dan tegas, tidak terlihat ada keraguan. Dia seperti duplikat ayahnya yang duduk di seberangku, duduk berdampingan tepat di sebelah ayahku.

Argus Alex Romello, termasuk orang berpengaruh yang jarang terlihat. Sosoknya sebagai penasehat kerajaan, cukup disegani, tidak heran dari akademi menempatkan posisi duduknya di sebelah ayahku. Sosok Penasehat Kerajaan Lindbergh itu seperti Clift versi matang. Matanya tajam mengamati anaknya, tapi senyum puasnya terbentang lebar, terlihat sangat bangga dengan kemampuan anaknya.

Ujian Clift berlalu dengan mulus, dan dia berhasil masuk ke kelas khusus ilmu administrasi kerajaan.

"Iliana Latasha Brainne!"

Master memanggil namaku yang bergema ke seluruh auditorium. Jantungku berdetak keras saat aku beranjak dari kursi dan berjalan mendekati Master.

Banyak orang berbisik dan menatap ke arahku dengan wajah kaget, sesekali mereka berpindah pandang ke ayahku yang duduk tenang tanpa ekspresi. Aku tahu mereka pasti sedang membahas diriku yang sangat tidak mirip dengan ayahku. Terdengar jelas mereka menyebut Pulau Broshi dengan nada merendahkan. Aku mampu mendengar dengan baik sekalipun dalam jarak jauh, dan aku membenci kemampuanku yang satu ini. Mengetahui intonasi kebencian dari bisikan tidak menyenangkan, juga nada sumbang merendahkan, aku tidak membutuhkan hal itu.

"Apakah kau siap?" tanya Master yang seluruh jenggotnya hampir memutih.

Aku mengangguk penuh paksa.

Siap atau tidak, aku harus melewatinya. 

Lulus atau tidak, tidak ada bedanya bagiku. Sejak awal aku tidak pernah memikirkan masa depan. Takdir apa yang akan aku terima seolah sudah ditentukan karena darah Brainne yang mengalir padaku.

Aku hanya perlu menjalani pendidikan di akademi dua tahun lagi. Saat aku lulus dan genap berusia 18 tahun, aku bermimpi akan pergi dari keluarga Brainne, berpetualang mencari jalanku sendiri. Tapi besar kemungkinan mimpiku hanya akan menjadi mimpi, dengan segala kelemahan yang aku miliki, bakat apa yang akan menyelamatkanku ketika keluar dari akademi?

Datang dua orang ksatria lengkap dengan baju perang mereka, membawa tandu yang berisi seseorang yang tengah mengerang kesakitan. Di perutnya ada sebuah panah yang tertancap, menembus hingga pinggang bagian belakang. Orang-orang terkesiap dan menutup mulut mereka, ngeri.

"Waktumu 10 menit untuk menyembuhkannya," kata Master lugas dan cepat.

Bagaimana bisa mereka membawa orang dengan luka seperti ini ke tengah ujian?

Aku bergidik ngeri dan bertanya lewat sorot mataku, tapi Master tidak memberikanku kesempatan untuk menghindar. 

Berusaha menenangkan diri, aku memejamkan mata dan berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan dalam diriku. Aku harus bersiap, karena luka orang di hadapanku ini akan berpindah padaku. Aku harus memindahkannya, dan menahannya selama evaluasi ujian. 

Apakah aku bisa menahannya selama 30 menit? 

Aku harus meditasi lebih dari satu hari untuk menyembuhkan luka berat seperti ini.

Ya, 30 menit cukup untukku sampai ujian selesai, karena aku peserta ujian yang terakhir. Aku pasti bisa menahan sakitnya saat luka itu berpindah padaku.

Ibu, bantu aku. Jangan biarkan aku menjadi produk gagal.

Mulai dengan mengosongkan pikiran, aku mengarahkan seluruh kekuatanku di telapak tangan, memusatkan energi dan mengarahkannya pada luka si ksatria. Dengan kemampuan telekinesisku, aku menarik keluar panah dengan sangat hati-hati, berusaha menggerakkan setiap sel dalam tubuhnya agar memberi ruang pada panah dan berusaha menutup luka.

Tidak ada satu orangpun yang akan menyadari sihir telekinesisku.

Kepalaku terasa berat dan keringat mulai bercucuran saat aku menggunakan begitu banyak aura. Saat panah benar-benar terlepas dari badannya, aku kembali memusatkan pikiran pada luka yang masih mengalirkan darah.

Dalam konsentrasi penuh, aku bisa mendengar sayup sayup suara orang yang terkagum atas aksi yang kulakukan. Mereka antusias membicarakan mataku yang perlahan bersinar terang saat menggunakan sihir, menyebutku benar-benar berdarah Brainne sekalipun hanya setengahnya. Ada yang skeptis menganggapku tidak akan mampu lulus dari tes ini. Ada yang menyebutku terlalu lambat menyelesaikan ujian ringan ini.

Aku tidak ingin mendengarnya, dan aku sudah hampir mencapai batas kemampuanku. Gelombang aura berwarna silver mengelilingi luka sebelum akhirnya tertutup sempurna, dan pria yang mengerang kesakitan itu tampak bingung menatap ke arahku. Lukanya hilang tanpa jejak, bahkan warna di wajahnya berangsur membaik.

"Iliana Latasha Brainne, lulus. Kelas Khusus Sihir Penyembuh!" seru Master penuh antusias.

Suara sorak sorai terdengar ke seantero auditorium, dan aku tersenyum sambil membungkuk, mengabaikan rambut ikalku yang jatuh menutupi wajah sepenuhnya. Saat kembali menegakkan badan, aku mulai merasakan nyeri di perutku dan bergegas duduk ke kursiku.

Sekilas aku melirik ayahku yang hanya mengangguk, lalu menutup matanya. Dia tidak terlihat senang, tapi juga tidak kecewa. Entah ekspresi macam apa yang bisa aku baca dari wajah datarnya.

Penutupan ujian akhir tahun ketiga ditutup dengan lantunan lagu Kemenangan Lindbergh yang dibawakan oleh paduan suara kerajaan. Selama lima belas menit pertama aku masih bisa menahan nyeri yang bersumber dari perutku, dan aku sadar bahwa bagian dalam perutku sudah mulai berlubang. Aku harus secepatnya meditasi sebelum luka benar-bener menganga terbuka. Di tengah gaduhnya teriakan para siswa yang lulus ujian, aku terduduk penuh konsentrasi berusaha memusatkan seluruh aura dan kekuatan ke perutku. Tapi itu tidaklah mudah. Tarik nafas, hembuskan, dan menghitung dalam diam.

Akhirnya Pimpinan Tertinggi Akademi, Master Servius memberikan pidato singkatnya sebagai penanda ujian benar-benar berakhir. Seluruh penghuni auditorium bubar. Beberapa menghampiri orang tua mereka, saling berpelukan dan menyapa dalam tawa riang. Di sisi lain aku segera berlari menuju pintu keluar, menaiki anak tangga sekaligus dua dua menuju asrama.

Aku tidak ingat kalau jarak antara auditorium dan asrama sejauh ini. Sekujur tubuhku mulai kesemutan dan aku bisa meraskan tenagaku semakin lemah. 

Jangan, aku tidak bisa pingsan di sini! Aku akan mempermalukan ayahku kalau mereka tahu aku tidak memiliki kekuatan Penyembuh sebenarnya dari keluarga Brainne. Ayah tidak pernah menghukumku atas kekuranganku, tapi aku tidak akan menjatuhkan nilaiku di matanya lagi. Aku tidak ingin dirantai dalam mansion Brainne setelah lulus dengan dalil karena aku tidak cukup kompeten untuk meninggalkan sangkar bernama Brainne.

"Akh!" 

Aku terjatuh ketika tidak sengaja menabrak orang di depanku. Nafasku mulai pendek, dan aku yakin tidak sampai 5 menit aku benar-benar akan hilang kendali.

"Kau tidak apa-apa?" 

Sebuah tangan terjulur dan suara berat Avallon terdengar begitu jelas di telingaku. Sontak aku panik dan langsung memaksa untuk berdiri. Sorot matanya yang datar, terasa tajam menusuk hatiku sekalipun dirinya terlihat hampir tanpa emosi.

"Ma-maaf, aku kurang hati-hati."

Avallon terbengong karena uluran tangannya aku abaikan, dan bergegas memacu kakiku pergi meninggalkannya sekalipun beberapa kali hampir limbung. 

Perutku sakit tak tertahankan. Sepertinya panah yang menembus perut ksatria tadi beracun, aku bisa merasakan demam mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Bangunan asrama sudah terlihat, aku bisa sampai jika punya sihir teleportasi. Aku harusnya belajar sihir teleportasi, telekinesis tidak berguna banyak di saat seperti ini.

"Kau terlihat tidak baik-baik saja!"

Avallon tiba-tiba menghadangku, satu tangannya terentang lebar menghalauku. Dia bisa mengejarku secepat itu? 

Apa yang harus aku lakukan agar dia berhenti mengikutiku?

"A-aku me-memang tidak baik-baik saja. Ta-tapi aku bisa mengatasinya. Bisakah kau mengabaikanku saja?" pintaku sepenuh hati, karena nyerit di tubuhku semakin buas menyerang kesadaranku. 

Avallon memicingkan matanya, setiap detik yang berlalu membuatku menghitung berapa lama aku bisa bertahan. Laki-laki berambut hitam di depanku ini terlihat sangat curiga dengan gerak gerikku. Dia tidak pernah bicara langsung denganku seperti ini setelah kejadian di penginapan daerah perbatasan tahun lalu. Kemungkinan kami untuk saling sapa sangat kecil sekalipun beberapa kali kami memilih kelas yang sama.

Lalu kenapa saat ini dia terlihat sangat peduli?

"Apa kau-"

"Ukhuk!" aku tiba-tiba terbatuk, dan gumpalan darah segar menyembur dari mulutku, dalam sekejap aku kehilangan keseimbangan dan ambruk di rerumputan.

Aku berusaha mengendalikan diri. Ini pertama kalinya aku muntah darah setelah melakukan sihir penyembuh. Kecurigaanku terbukti, panah itu memang beracun.

"Ash!"

Kami menoleh dan mendapati Clift berlari ke arahku, dengan cekatan dia mengangkat tubuhku dan menopangnya di lututnya.

"Kau kenapa? Apa yang terjadi padamu?" Clift mendongak ke arah Avallon, dan aku menjawabnya lewat gelengan lemah.

"A-aku terlalu banyak menggunakan aura. Aku harus cepat istirahat," kataku seraya merenggut baju Clift kuat-kuat. Aku bisa merasakan darah mulai merembes keluar dari luka terbuka di sisi perutku.

Clift membantuku berdiri, dan mengalungkan lenganku ke bahunya.

"Pegangan Ash, aku akan menggunakan sihir teleportasi. Kau harus ikut tanggungjawab kalau Master memotong poinku karena menggunakan sihir teleportasi di luar kelas!" gerutu Clift, dan aku hanya tersenyum meledeknya. Saat seperti ini saja dia masih sempat memikirkan poin, dia tidak peduli aku kesakitan atau tidak. Dasar teman tidak tahu balas budi!

Tanganku mengalung kuat di bahu Clift, dan sesaat sebelum pandanganku memutih semua, aku menoleh pada Avallon yang melihat lurus ke arahku tanpa emosi.

Aku tidak yakin pernah meninggalkan kesan baik padanya. Setiap ada kesempatan berinteraksi dengannya, aku hanya menambahkan coretan pengurang poin. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi cahaya terang mengaburkan pandanganku, tubuhku terasa seperti tersedot ke dimensi lain dan saat tersadar aku sudah berpindah tempat.

"Apa yang kau lakukan sampai muntah darah begitu?" Clift mendudukkanku di tempat tidur kamar asramaku. Aku yang sudah kehilangan banyak tenaga membiarkan tubuhku jatuh terhempas begitu saja.

"Haruskah aku panggil Penyembuh Akademi?" cerocos Clift seraya membetulkan letak kacamatanya.

"Aku tidak bisa menunjukkan ini pada siapapun." 

Tanganku bergerak mengangkat ujung baju seragamku, menunjukkan perutku berusaha aku tutup, sudah bersimbah darah.

"Kau gila! Kenapa kau menyembuhkan ksatria itu, seharusnya kau tidak-"

"Apa yang bisa aku lakukan sementara takdirku sudah ditentukan? Apa yang akan terjadi padaku jika aku tidak lulus ujian kali ini? Aku tidak ingin kembali ke mansion Brainne dan  menjadi produk gagal seperti yang mereka harapkan," bisikku dengan nafas terputus-putus. 

Clift melihatku dengan mata penuh iba. Aku mengerti apa yang sedang dipikirkannya, karena aku selalu seperti ini, ketakutan dan terpojok. Tenggorokanku kembali panas dan terbatuk-batuk, aku bisa merasakan darah di lidahku. Clift kembali panik dan berlari ke kamar mandi. Entah apa yang dia cari, tapi aku memaksa diriku bergerak demi mencari posisi nyaman, dan mulai mengosongkan pikiranku untuk meditasi.

"Dimana kau letakkan kotak obatmu?" Clift berteriak hingga suaranya bergema di seluruh kamarku. Jika ketahuan dia masuk asrama perempuan, aku bisa pastikan dia akan mendapat 50 potongan poin.

"Tenanglah, kau tidak perlu panik, aku hanya perlu meditasi beberapa hari."

"Siapa yang tidak panik melihat perutmu berlubang seperti itu?!" Clift tidak berhenti menggeledah kamarku, membuka setiap rak dan laci.

"Clift, cukup! Terimakasih sudah menolongku, tapi sebaiknya sekarang kau pergi sebelum Master menangkap basah kau masuk ke asrama perempuan." 

Seketika Clift membeku, aku tidak lagi terdengar kegaduhan setelah Clift mendecak kesal, mungkin akal sehatnya kembali begitu ingat hukuman yang akan dia terima. Dia terlihat berat meninggalkanku, tapi setelah aku mengangguk meyakinkannya, Clift pun berteleportasi dalam sekejap. 

Aku berusaha berkonsentrasi lagi melanjutkan meditasiku. Deman, nyeri dan sakit yang bersumber dari perutku perlahan berkurang. Aku bisa mengendalikan rasa sakit sekarang, berlatih berkali-kali menolong hewan terluka ternyata cukup membantuku. 

Ya, pelan-pelan. Aku akan terbiasa dengan rasa sakit ini jika aku terus melakukannya. Sekalipun aku tidak menguasai kekuatan penyembuh seutuhnya, bukan berarti aku produk gagal.

Aku bukan produk gagal.

.

.

.