Setiap akhir tahun pelajaran seluruh siswa akademi mendapatkan libur selama sebulan, semua di luar libur 2 minggu yang dijatah setiap akhir semester. Pihak akademi menetapkan sistem pendidikan yang sangat ketat, sehingga kami tidak memiliki waktu kosong sama sekali. Selama 7 hari seminggu, 15 jam sehari, jadwal siswa hanya diisi materi dan pembelajaran dari Master. Aku bersyukur tidak mengambil kelas ilmu pedang dua tahun ini. Aku bisa memakai pedang, tapi tidak selihai panah. Jika aku mengambil kelas ilmu pedang, tidak mungkin aku bisa mengambil istirahat seperti ini, liburanku hanya akan diisi latihan tanpa henti.
Aku berada dalam kereta berkuda menuju rumah. Selalu dituntut mandiri, itulah aku. Ketika siswa lain banyak yang dijemput di depan gerbang sekolah oleh keluarga mereka, aku justru langsung memesan kereta berkuda dengan uang saku yang aku terima setiap bulannya.
Ayahku terlalu sibuk di kuil sebagai Pendeta tertinggi, sementara ibuku sudah meninggalkanku untuk selamanya. Ibuku meninggal karena sakit saat ayahku pergi membantu Raja Hadrian berperang melawan pemberontak di daerah Utara.
Masih jelas dalam ingatanku saat ibuku memegang tanganku yang masih sangat kecil, senyumnya terlihat cantik sekalipun wajahnya sangat pucat. Aku menangis di depan pengasuhku, Annabelle, memintanya segera meminta ayah pulang agar bisa menyembuhkan ibu, tapi ayahku tidak datang sekalipun kami sudah mengirim surat sejak sebulan sebelumnya melalui seorang prajurit kerajaan. Saat itu, aku belum memiliki cukup kekuatan untuk bisa menyembuhkan ibu, dan aku merasa begitu sedih mendapati kekuatan penyembuh Brainne yang mengalir dalam darahku bahkan tidak bisa menyelamatkan ibu. Lebih menyakitkan lagi, ketika Ayahku yang selalu mengutamakan pekerjaan, tidak pulang untuk menyelamatkan ibuku.
Aku ingat bagaimana sedihnya aku menangis sambil berusaha mengeluarkan auraku demi meringankan sakit yang ibuku rasakan. Aliran aura yg terlalu lemah itu hanya menghasilkan senyuman haru di wajah ibuku, tapi tidak bisa meringankan sakit yang dideritanya.
Ayahku selalu bersikap tegas. Bahkan saat dia kembali dari Utara, tepat dua bulan setelah kepergian ibu, tidak terlihat kesedihan dalam dirinya. Hanya tatapan dingin yg tidak pernah bisa aku baca.
Saat itu usiaku masih 7 tahun. Aku hanya memiliki Annabelle, dan karena kesedihan yang terlalu dalam, aku tidak berhenti menangis dan sering jatuh sakit. Belakangan aku baru tahu kalau Ayah menolak permintaan Annabelle untuk menyembuhkanku, dan tidak memanggil Penyembuh lain.
Aku mungkin bisa menyembuhkan luka orang lain, tapi kekuatanku tidak bisa aku gunakan untuk menyembuhkan diri sendiri. Kekuatan yang mengalir dalam darah Brainne bukanlah penyembuh seutuhnya seperti Penyembuh lain. Para Penyembuh berdarah Brainne menyerap dan memindahkan rasa sakit orang lain ke diri kami, dan kami bisa sembuh dengan meditasi selama periode tertentu, semua tergantung dari jumlah kekuatan inti sihir dalam diri kami.
Ayahku adalah sosok Pendeta yang sangat dihormati, bahkan Raja Hadrian memberikan dukungan penuh pada kuil Arthemys karena rasa segannya pada ayahku. Kemampuan yang dimiliki ayahku sebagai penyembuh, merupakan satu dari lima pilar kerajaan Lindbergh.
Pendeta Brainne yang dikagumi semua orang adalah sosok sempurna dengan rambut pirang dan mata ungu terang, sedikit bicara dan dingin.
Terkadang aku tidak bisa menggambarkan wajah ayahku dalam benakku, ingatanku bagai gambar buram setiap kali aku berusaha mengingatnya. Aku tidak bisa mengingat kapan aku terakhir kali melihat senyuman di wajah ayahku, yang aku bisa ingat hanyalah ketika aku berusia 5 tahun, saat aku menunjukkan kekuatan penyembuhku. Sikap ayahku yang memang tidak pernah hangat, menjadi jauh lebih menjaga jarak dariku.
Mungkin kecewa karena kekuatanku tidak seperti harapannya. Kekuatanku tidak seperti pewaris darah Brainne pada umumnya.
Mereka menyebutku produk gagal.
Orang di sekitarku banyak memuji Ayah, namun bagiku, dirinya bukan seseorang yang bisa aku rindukan. Dalam benakku hanya ada ingatan buruk tentang ayahku.
Hingga setiap kali libur akhir semester aku memilih untuk tinggal di asrama. Bagiku itu lebih menyenangkan dari pada kembali ke rumah.
Kereta berkuda melaju dengan tenang tanpa guncangan berarti, semua karena sihir yang disematkan Clift. Dia terlalu jenius hingga sihir penyeimbangan yang baru bisa dikuasai siswa akademi tahun ketiga, sudah bisa dia lakukan tanpa banyak kendala.
Awalnya Clift menawarkan untuk berlibur di rumah singgah milik keluarganya di daerah Timur, tapi aku menolak. Apa yang akan dikatakan anggota keluarga dan kerabat yang lain begitu tahu aku tidak pulang lagi di liburan kali ini. Belum lagi agenda pesta ulang tahun sepupu dan bibi yang bahkan wajahnya tidak mampu aku ingat lagi. Mereka akan berbisik di belakangku, menyebutku produk gagal yang selalu bersembunyi di balik tembok akademi.
Langit berubah gelap, aku putuskan singgah di penginapan yang terletak di perbatasan Central dengan daerah Barat. Kerajaan Lindbergh terbagi menjadi 5 wilayah, Selatan, Utara, Barat, Timur dan Central sebagai pusat pemerintahan dan pendidikan. Lokasi Akademi, pusat militer dan Istana Utama berada di Central, sementara kediaman Brainne berada jauh di ujung Barat, sehingga perjalanan membutuhkan waktu tempuh tiga hari dua malam dengan kereta kuda.
Penginapan yang aku singgahi terlihat sederhana, setelah petugas kereta memastikan kudanya aman, dia ikut masuk untuk menikmati teh sementara aku maju ke meja resepsionis memesan kamar.
"Satu kamar untuk satu malam," kataku seraya menurunkan tudung jubah hitam yang aku gunakan, dan sang petugas wanita berambut warna jagung itu tampak kaget saat rambutku bak semak-semak mencuat keluar dari jubah. Rambutku kusut luar biasa setelah seharian di perjalanan.
"Oh, apakah kau pendatang? Kau masih muda sekali tapi sudah berani singgah ke negeri lain."
Aku ingin meluruskan pendapat sang wanita di depanku, tapi aku mengurungkannya. Percuma, hanya akan menjadi penjelasan panjang. Jadi, aku membalasnya dengan senyuman sederhana.
"Apakah termasuk sarapan?" tanyanya lagi sambil menuliskan sesuatu di buku tamu.
"Iya, dan aku minta air panas untuk mandi," jawabku cepat.
"Baiklah, semua jadi lima koin emas."
Aku melongo mendengar harga yang disebutkan petugas cantik di depanku. Penginapan sederhana seperti ini, satu malam menghabiskan lima koin emas? Penginapan mewah sekalipun biasanya hanya menetapkan harga 3 koin emas.
"Apakah tidak bisa kurang lagi?" tanyaku, karena harga yang dipatok sangat tidak masuk akal.
"Kau tahu 'kan sekarang musim liburan, permintaan kamar begitu banyak."
Apa karena dia pikir aku orang pendatang, jadi tidak mengerti standar harga di Lindbergh?
"Bukankah kau hanya memberi harga 2 koin emas padaku?"
Terdengar suara dari sebelahku, dan aku mendongakkan kepala, mendapati sosok tinggi dengan rambut hitam dan mata hijau emerald berdiri menjulang di sebelahku. Tubuhku yang bahkan tidak sampai 165cm terlihat sangat pendek di sebelahnya.
"Avallon?" desisku tidak percaya. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan teman satu akademiku di sini, matanya memandang tajam ke arah petugas resepsionis yang sekarang terlihat agak panik.
"Ka-kalian saling kenal?" tanya sang petugas tergagap.
Aku mengerti kenapa dia tergagap, bukan hanya karena ketahuan memberikan harga tidak masuk akal padaku, tapi juga karena yang menegurnya adalah calon pewaris tunggal dari keluarga Duke Avallon.
Siapa yang tidak kenal calon penerus Duke Avallon? Keluarga yang berada di puncak piramida para bangsawan Lindbergh. Belum lagi mata hijau emerald dengan rambut hitam legam adalah ciri khas Avallon, auranya sangat mendominasi lawan.
"Kenal atau tidak. Kau seharusnya memberikan harga yang sama. Apa kau memperlakukan pelangganmu berdasarkan suasana hatimu?" tambah Avallon lagi.
"Ma-maaf, aku sepertinya memberi harga yang salah karena dia meminta sarapan dan air hangat. Sebentar … se-seharusnya 2 koin emas dan 3 silver," kata wanita itu agak panik.
Melihat kesempatan ini, aku segera mengeluarkan uang dari saku celana dan segera memberikannya pada petugas penginapan sebelum dia menarik lagi ucapannya.
"Te-terima kasih, Avallon!" ucapku saat Avallon berbalik hendak pergi dari meja resepsionis.
Avallon menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku, sontak aku gugup dan mengaitkan jemariku, tanpa sadar mengorek dan memainkan kuku ibu jari. Setiap detik yang berlalu sambil menunggu reaksinya membuat jantungku makin tak menentu.
"Lain kali kau harus mengajak pengawal. Sekalipun kau merasa aman, tidak seharusnya perempuan bangwasan pergi sendirian."
Aku hanya terdiam. Kagum dengan kata-katanya, sekalipun dengan wajah dan nada dingin, aku merasa diperhatikan olehnya.
"A-aku akan lebih hati-hati. Te-terima kasih sudah mengingatkanku."
Avallon pun pergi menghilang di balik pintu penginapan. Aku menyesali suaraku yang kecil dan terbata-bata, biasanya aku tidak pernah segagap ini. Apakah karena aku bicara di depan orang yang terlalu tampan jadi aku merasa gugup?
Ah …. nyawaku serasa terbang separuh.
.
.
.
Sebagai anak dengan darah campuran, aku akan selalu mendapatkan sorot mata aneh dari orang-orang di Lindbergh. Mereka tidak pernah percaya kalau aku anak perempuan Pendeta Brainne. Baik dari fisik, hingga kemampuan sihir.
Aku hanya mengingat sedikit cerita bagaimana ayah dan ibu bisa menikah, keduanya dijodohkan karena kakekku memiliki hutang budi dengan orang tua ibuku. Keluarga dari ibuku tinggal di pulau pedalaman jauh dari perbatasan bagian Timur Lindbergh. Kakekku yang merupakan satu-satunya penerus Brainne, senang berpetualang, tapi saat melintasi selat Broshi kapalnya mengalami kebocoran, keluarga ibuku yang merupakan penduduk asli pulau Broshi menyelamatkannya.
Pernikahan yang tak didasari cinta itu bukannya tidak harmonis, aku justru melihat keduanya terlihat sangat bahagia. Aku bisa melihat cinta di mata ibuku setiap kali menatap ayah. Sekalipun ayah bersikap dingin, tapi tak pernah luput memberikan perhatian pada ibuku. Sayangnya aku tidak ingat jika aku pernah ikut tersenyum bersama mereka.
Setiap kali mengingat tentang mereka, aku merasa seperti melihatnya sebagai orang luar, bukan bagian dari Brainne.
Entah apa yang terjadi saat aku berusia 5 tahun dan membuat sikap ayahku jadi dingin, hingga setelah kepergian ibuku, aku merasa seperti tak dianggap. Kekecewaan yang aku rasakan hampir berubah menjadi kebencian dalam hatiku, tapi aku mencoba mengerti perkataan ibuku untuk terakhir kalinya sebelum maut menjemputnya.
'Jangan membenci ayahmu, Ash. Dia hanya pria dingin yang tidak bisa menunjukkan hati baiknya dengan mudah, sehingga banyak yang sering salah paham padanya. Jangan menghakimi, cobalah untuk mengerti dirinya.'
Aku tidak membencinya, tapi sikapnya membuatku berhenti berharap pada sosok seorang ayah dalam hidupku.
Mataku bergerak seiring kereta yang semakin dekat dengan gerbang mansion Brainne. Tanah kelahiran yang sudah aku tinggal selama 2 tahun sejak aku masuk ke akademi, terlihat masih sama seperti terakhir aku ingat. Sepertinya Albert, kepala pelayan di mansion Brainne masih sangat rajin menjalankan tugasnya.
Saat kereta kuda berhenti, aku disambut para pelayan yang berbaris, banyak wajah yang masih aku kenali, tapi beberapa di antaranya terlihat asing. Mereka membungkuk sempurna saat aku turun dari kereta kuda dibantu Albert. Usia Albert yang hampir tiga kali usiaku, sangat gesit meraih tanganku.
"Apa kabar, Albert?" sapaku saat dia melepaskan tangan dan mengekorku berjalan di sepanjang jalur yang dipagari pelayan yang menundukkan pandangan mereka.
"Aku baik, terima kasih sudah bertanya. Bagaimana dengan kabar Nona Iliana?"
Kakiku reflek berhenti melangkah. Terakhir kali Albert selalu menyebutku dengan Nona Latasha, mendengar nama Iliana darinya membuatku melihat jarak yang tak pernah ada di antara kami sebelumnya. Setelah Annabelle, Albert adalah orang kedua yang aku suka di mansion ini.
"Ada apa dengan Iliana?" tanyaku sambil memiringkan kepala.
"Tuan meminta semua pelayan memanggil Nona dengan nama itu," jawab Albert cepat.
Ah, bahkan setelah tidak bertemu selama dua tahun, aku tidak tahu bahwa ayah masih ingin menetapkan tata krama ini.
Sejak awal perjalanan aku sudah diselimuti perasaan tidak enak, dan ternyata begitu sampai ke rumah ini aku benar-benar tidak menemukan kenyamanan yang aku bayangkan. Aku tidak lagi merasa keterikatan dengan rumah ini, semua terasa begitu asing.
"Selamat datang Nona Ash."
Aku berbalik dan mendapati Annabelle, pengasuhku berdiri di depan kamarku sambil tersenyum hangat. Kakiku bergerak dengan sendirinya berlari ke arahnya, memeluknya erat.
"Aku sangat merindukanmu, Nona. Sepertinya kau sedikit tambah tinggi?"
Aku mengangguk antusias. "Aku tambah 5cm, 2 tahun ini. Sedikit sih, tapi tidak apa-apa. Aku yakin masih bisa tambah tinggi lagi sebelum debut."
"Annabelle, kau lupa pesan Tuan?" Albert memberi peringatan keras, matanya bahkan sampai membulat.
"Tidak apa-apa. Apakah kau akan terus bersikap kaku begitu? Kau lupa kalau Nona Ash sudah 2 tahun tidak pulang?"
Albert menghela napas panjang dan menyerah, tidak lagi mendebat Annabelle.
"Bagaimana denganmu, Nona? Benarkah sekarang kau sudah bisa menyembuhkan sakit kepala dan demam?" tanya Annabelle, mengabaikan Albert dan mengajakku masuk ke kamar.
"Tentu saja! Aku belajar sangat keras 2 tahun ini, aku bahkan belajar sihir lain. Mau aku tunjukkan?" seruku sambil menyisir rambut yang bergerak liar menutupi pandanganku.
"Kita bisa melakukannya nanti, kau harus mandi dan merapikan rambut. Kenapa rambutmu terasa sangat kasar?"
"He he he !" aku tertawa polos karena memang tidak pernah merawat rambutku dengan benar. Aku juga tidak merasa bersalah mendapati Annabelle yang mendesah berat, karena dengan begini Annabelle akan membantuku keramas dan menyisirnya sampai benar-benar lembut.
.
.
.
Malam tiba, dan aku dilanda lelah setelah perjalanan jauh. Berusaha memejamkan mata, tapi hingga tengah malam aku tidak bisa tidur. Tanganku terjulur dan memusatkan pikiran, memindahkan gelas di atas meja samping tempat tidur ke lantai, lalu kembali lagi ke meja. Terus seperti itu berkali-kali.
Ilmu sihir lain yang aku pelajari adalah telekinesis.
Aku bisa memindahkan dan menggerakkan benda sesuai kemauanku. Aku baru mengetahui kemampuanku ini saat masuk awal semester tahun kedua. Clift sendiri tidak mengetahui kemampuanku ini.
Seperti kemampuan penyembuh, kemampuan telekinesisku pun tidak ada apa-apanya.
Menurut Master di akademi, ada beberapa orang yang tidak menyadari kekuatannya sendiri. Mungkin seperti aku, aku lebih cepat mempelajari telekinesis dibandingkan dengan sihir penyembuh. Sekalipun hingga saat ini aku sudah bisa menyembuhkan beberapa sakit dan luka ringan, tapi menurut standar ilmu sihir penyembuhan, seharusnya aku sudah jauh di atas itu. Penyembuh lain yang satu angkatan denganku bahkan sudah bisa menyembuhkan luka, lalu bagaimana denganku?
"Apa yang menghalangi perkembanganku?"
Apakah karena aku membenci darah Brainne yang mengalir dalam diriku?
Apakah Dewa Hermush menghukumku karena tidak hormat pada ayahku?
Atau karena aku berdarah campuran?
Para penyembuh di Kuil Central banyak yang seusiaku, bahkan lebih muda lagi.
Master di akademi sempat memeriksa level kekuatanku dan mereka mengakui kekuatan inti sihir dalam diriku sangat lemah, tapi anehnya auraku besar. Padahal aura dengan kekuatan sihir harusnya seimbang. Aura adalah pancaran sihir yang bisa dirasakan sesama pengguna sihir. Lalu bagaimana bisa auraku lebih besar dari kekuatan inti sihir?
Aku selalu berada di deretan 10 besar dari bawah di kelas. Semakin banyak orang yang mencibirku di kelas, Master di akademi juga berhenti menaruh perhatian padaku sejak masuk tahun kedua. Akademi memilih siswa yang benar-benar berbakat. Aku tereliminasi secara otomatis, karena nama Brainne yang disematkan padaku ternyata hanya membawa kekecewaan pada mereka.
Tidak menjadi pusat perhatian adalah kebahagian tersendiri bagiku yang terbiasa menyendiri. Aku lebih suka menghabiskan waktu sendirian di perpustakaan, atau bereksperimen di kamar asrama.
Sihir telekinesis bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipelajari, tapi aku menguasainya lewat buku secara otodidak. Master di akademi selalu memberikan demo yang mencengangkan di kelas, siapa sangka aku langsung bisa melakukannya saat mencobanya diam-diam.
Sihir telekinesis termasuk kemampuan langka, sejarah mencatat 1 : 1000, sehingga telekinesis tidak menjadi pelajaran baku di akademi.
Aku ingin mencari tahu, mungkin bakat ini aku dapatkan dari darah ibuku. Tapi aku tidak bisa bertanya pada siapapun, karena ibuku adalah orang terakhir dari Pulau Broshi. Buku sejarah tidak banyak mencatat tentang Pulau Broshi. Buku sejarah hanya mencatat terjadi bencana besar di pulau itu, gempa besar puluhan tahun lalu menenggelamkan pulau terpencil itu dan jejak mereka hilang bersama hilangnya pulau.
"Ibu, aku rindu. Tapi bagaimana aku bisa menghilangkan rindu ini? Rumah ini terasa lebih dingin dari musim salju tanpa ibu. Aku ingin pergi dari sini …."
Tanganku terangkat ke udara dan dengan telekinesis, menarik selimut yang terlipat rapi di kakiku hingga terbentang menutupi badanku. Aku berusaha mengosongkan pikiranku, dan melakukan meditasi untuk menyeimbangkan emosi dalam diriku yang terus bergejolak.
.
.
.