Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 2 - Chapter 1 : Akademi Lindbergh

Chapter 2 - Chapter 1 : Akademi Lindbergh

Bangunan termegah kedua setelah Istana Lindbergh adalah Akademi Lindbergh. Satu-satunya sekolah yang menerima semua penghuni kerajaan Lindbergh yang memenuhi persyaratan, tidak memandang status, tidak memandang kekayaan, tidak memandang jenis kelamin. Sekolah yang luasnya sama dengan satu kota itu terdiri dari 6 bangunan utama, ruang akademis, ruang perpustakaan, laboratorium sihir, auditorium terbuka, asrama laki-laki dan perempuan dan yang terakhir adalah ruang staff dan administrasi. Sekolah yang mengedepankan para lulusannya itu selalu menyeleksi calon siswanya dengan sangat ketat.

Tidak ubahnya denganku, setelah melewati 5 tahap seleksi, akhirnya aku bisa masuk ke sini, dan masuk kriteria sebagai siswa di bidang sihir. Banyak orang yang skeptis dengan hasil testku, karena mereka berpikir pengaruh besar ayahku yang seorang petinggi di Kuil Arthemys pemimpin warga Lindbergh dalam memuja Dewa Hermush, seorang pemilik kekuatan penyembuh terbaik di Lindbergh.

Oh, sebelumnya perkenalkan namaku, Iliana Latasha Brainne, panggil saja aku Ash atau Latasha. Orang yang kenal dekat denganku biasa memanggilku seperti itu. Aku anak dari Claude Roger Brainne. Ibuku bukan warga Kerajaan Lindbergh, dan memiliki warna kulit gelap, karena itu kulitku jauh lebih gelap dari warga Lindbergh pada umumnya. Rambutku berwarna brunette juga ikal, dan sulit disisir, karena itu aku sering membiarkannya terurai berantakan seperti sarang burung bahkan sampai kusut. Hobiku bertualang dan memanah, dan itu membuat kulitku tambah gelap. Warna mataku juga cenderung gelap, lebih tepatnya hazel, tapi hanya satu sisi. Aku punya sepasang mata yang beda warna, kanan hazel dan yang kiri ungu terang. Ungu terang adalah warna mata yang diwariskan darah Brainne. Karena penampilanku inilah banyak orang yang mengira aku musafir yang singgah di Lindbergh.

Kadang aku sangat iri dengan penduduk asli Lindbergh yang memiliki kulit cerah, hampir transparan malah, lengkap dengan rambut lurus. Seperti sepasang siswa di seberangku sekarang. Seorang laki-laki berpostur tinggi tegap dengan rambut hitam dan mata berwarna emerald, sedang serius mengobrol dengan seorang perempuan berambut pirang dan mata biru khas keluarga bangsawan Lindbergh. Melihat keduanya membuatku silau, keduanya bagai sepasang dewa dewi yang turun dari langit. Bahkan saat sang perempuan tersenyum, aku bisa melihat pancaran cahaya di sekelilingnya. 

Tapi biar begitu, sosok tampan jauh lebih menarik, karena itu aku tidak pernah bosan menatap siluetnya sekalipun dari kejauhan.

"Apa yang kau lihat?"

Aku menoleh pada anak laki-laki berkacamata di sebelahku. Teman dudukku di kelas, Clifton Halbert Romello, kutu buku yang sudah aku kenal sejak kami masih pakai popok. Dia anak jenius dari kalangan bangsawan, juga putra tunggal dari Penasehat Kerajaan, Argus Alex Romello. Rambutnya yang kemerahan terlihat sangat kontras dengan kulit pucatnya. Entah karena menurun dari ibunya, atau kelainan darah, tapi Clifton punya imunitas badan yang sangat lemah dan sering sakit-sakitan. Wajahnya selalu terlihat kelelahan, terlebih dengan kantung gelap di bawah mata dan kacamatanya selalu melorot turun ke hidungnya seperti kebesaran.

Clifton yang sedari tadi sibuk mencatat materi di bukunya, seketika menoleh dan mengikuti arah pandanganku. Dari tempat duduk kami yang berada di deretan atas ruang akademis yang menjorok turun, kami bisa melihat jelas pengajar yang sedang menuliskan sesuatu di papan yang ada di bagian bawah tengah ruangan. Pandanganku berpusat pada sepasang siswa yang asyik berdiskusi dan tampak tidak peduli sekalipun Master yang sedang memberi penjelasan ada tepat di depan mereka.

"Sepertinya Dewa Hermush sangat tidak adil," gerutuku sambil menghela napas berat.

"Kau suka Avallon?" Clift langsung menyerang tanpa memberi aba-aba, kontan aku gelagapan dan pipiku langsung terasa panas. Aku memang suka melihat Avallon dari kejauhan, bukan apa-apa, bagiku dia terlihat sangat sempurna sebagai makhluk ciptaan Dewa Hermush. 

"Siapa yang tidak suka melihat manusia tampan?" 

Clift sontak mendorong kepalaku, tapi sedetik kemudian wajahnya mengerut, karena rambutku yang gimbal menelan tangannya dengan sempurna.

"Bicaramu seperti wanita dewasa mesum!"

"Apa kau bilang?" Aku bertolak pinggang, siap menarik rambutnya yang panjang terikat seperti ekor kuda.

"Kau masih belum cukup umur! Apa Annabelle sudah memberikan pendidikan pernikahan padamu sampai kau dewasa sebelum waktunya? Lagipula kau harus sadar diri, Edmund Rayburn Avallon sangat jauh dari jangkauanmu. Aku takut kau hanya sakit hati." 

Clifton selalu bermulut pedas. Aku tahu dia tidak pernah menyaring kata-katanya, tapi semenjak masuk akademi dia jadi makin gamblang. Seiring otaknya yang terus dilatih, semakin tipis saringan di mulutnya. Kadang aku berpikir, kami sama-sama berusia belasan tahun, tapi dia selalu memiliki bendahara kata yang aku tidak pernah dengar dan berujung aku belajar darinya.

"Kau selalu merusak suasana!" 

Aku membuang wajah, menolak meladeninya yang terus saja berkata menyebalkan.

"Apa karena kita berteman sejak kecil, jadi kita punya nasib yang sama?" gerutu Clift tiba-tiba.

"Apa maksud-?" aku bingung, tapi sikap bungkam Clift membuatku berpikir keras sambil melihat lagi kemana matanya terarah. 

"Ha? Kau suka Roselyn? Ashley Roselyn Killian?" kataku sambil menekap mulut, mataku terbelalak sempurna tak mampu mengurangi reaksiku yang agak berlebihan.

"Apakah terlihat jelas?" ucap Clift lagi, wajahnya seketika berubah masam.

"Mmm!" aku mengangguk cepat.

"Kenapa kau jawab polos begitu?!" Clift lagi-lagi mendorong kepalaku, tapi aku malah tersenyum lebar melihat tingkahnya yang menahan malu. Aku senang karena kami lagi-lagi berbagi rahasia.

Siapa sangka kalau Clift yang selalu menenggelamkan kepalanya dengan buku bisa menyukai seseorang, bisa menyembunyikan perasaannya.  Bahkan sekelas Ashley Roselyn Killian? 

Roselyn terkenal sebagai dewi yang tidak sengaja turun ke bumi. Kecantikannya tak tertandingi di seluruh kerajaan Lindbergh. Bahkan sempat ada berita kalau dia akan menjadi seorang yang mendampingi Putra Mahkota, tapi karena perbedaan usia yang terlalu jauh, juga beberapa rumor tentang Roselyn, akhirnya Roselyn batal menjadi calon Putri Mahkota dan bertunangan dengan Edmund Rayburn Avallon. 

Menurutku jauh lebih tampan Avallon dibandingkan Putra Mahkota, tapi kalau aku bilang seperti itu pasti aku langsung dipenggal dengan tuduhan menghina keluarga kerajaan.

"Woah … kau bahkan jauh lebih tidak sadar diri dibandingkan aku."

"Kau-!" Clift menarik telingaku kuat-kuat, reflek aku menarik pipinya yang tak berlemak, kami sama-sama melotot tidak mau kalah.

Semakin kuat Clift menarik telingaku, maka semakin keras aku mencubit pipinya. Kami saling menantang siapa yang lebih dulu kalah.

"BRAINNE! ROMELLO!"

Baik aku maupun Clift langsung menegakkan badan dan duduk dengan sikap sempurna, mendapati seluruh perhatian kelas, bahkan barisan paling depan sampai membalikkan badan demi bisa melihat kami. Pandanganku langsung bertemu dengan Avallon. Mata emeraldnya menatap lurus seolah dia sedang membuat lubang di kepalaku dan berusaha melihat isinya.

"Apakah kelas ini begitu membosankan sampai kalian bisa bertingkah seperti ini?"

Kami menunduk, tidak bisa membantah karena rasa bersalah. Ini murni kesalahan kami yang malah mengobrol di tengah kelas.

Hancurlah sudah. Dengan begini Avallon akan mengenalku sebagai seorang pembuat onar, padahal aku masih siswa tahun pertama.

Baru juga 6 bulan kami resmi menjadi siswa, aku sudah menerima pengurangan poin siswa sebanyak 10 poin, juga hukuman memandikan kuda akademi setiap awal minggu selama 3 bulan.

Oh nasibku, semua gara-gara Clift!

.

.

.