Chereads / Arkais, The Promised Soul / Chapter 1 - Prolog

Arkais, The Promised Soul

F15TY
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 26.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

Halaman Guild terlihat sepi, di sisi kanan ada beberapa kuda dan sebuah kereta kuda yang parkir. Aku yakin tidak banyak orang di Guild, jadi kalaupun aku harus dipermalukan di depan umum, setidaknya tidak akan separah bayanganku.

Aku membuka pintu masuk Guild yang hanya bertuliskan Red Sleeve dengan lambang mawar berduri dililit ular hitam, dan aku memiliki tato yang sama di ujung tulang selangka kiriku, tato yang aku terima tepat saat penobatan ranking SS-ku di Guild. Gill sempat bilang aku boleh tidak menato tubuhku, padahal itu aturan baku bagi siapapun yang menjadi anggota Guild. Mungkin Gill masih berpikir aku masih ingin mempertahankan kehormatan seorang darah bangsawan yang bebas dari tato.

Bagiku tato ini adalah bukti bahwa aku memiliki tempat pulang, terlalu berharga untuk aku lewatkan.

Pintu terbuka dengan suara decit engsel yang sudah karatan parah, diiringi suara kerincing bel.

Betapa kagetnya aku saat melihat bagian dalam Guild yang ramai minta ampun. Pasar Malam saja kalah ramainya dengan Guild saat ini.

Kenapa bisa ada banyak orang, padahal Ann bilang permintaan/pekerjaan sedang turun?

Banyak wajah baru yang tidak aku kenal, dan beberapa di antara mereka memiliki aura yang sangat besar.

Ada apa ini? Apakah ada perekrutan? Saat permintaan sedang turun? Tidak mungkin! Ben sudah gila kalau merekrut orang saat permintaan sedang turun! Siap-siap saja diamuk Gill.

"Oi, Max!"

Suara Ben memanggilku dari sisi kanan, dan aku sampai menjulurkan kepala mencoba mencarinya di antara banyak kepala. Ben memang berbadan agak mungil dibandingkan pria pada umumnya, dia lebih tinggi sedikit dariku, tapi tetap saja di antara tubuh menjulang di Guild dia tidak mudah ditemukan.

Aku mencari pancaran auranya, tapi aku malah menangkap pancaran aura yang tidak aku duga sama sekali.

'Kenapa orang itu ada di sini, Ash?' Aslan berbisik dari dalam kepalaku. 

Aku juga bingung!

'Kau harus hati-hati, Latasha!' Sqeeth ikut menimpali.

Dua spirit ini tidak pernah melewatkan reaksi setiap kali aku merasa ada yang aneh.

Aku membeku di tempat saat Ben muncul dari kerumunan orang yang sedang mengobrol, dan di belakangnya ada sosok tinggi berjubah hitam yang mengekornya. Semakin dia mendekat, semakin besar tekanan aura yang aku rasakan.

'Manusia dengan aura sebesar ini… Entah dia titisan dewa, pemakan inti sihir naga, atau melakukan perjanjian dengan lebih dari tiga spirit.'

Aku kehilangan kata-kata mendengar ocehan Sqeeth. Bagaimana bisa ada manusia yang melakukan perjanjian dengan tiga spirit? Aku yang hanya melakukan perjanjian dengan dua spirit saja sudah kewalahan dengan tingkah mereka yang tidak pernah akur.

'Apa maksudmu, Ash?'

Oh, he he he, mereka mendengar apa yang aku pikirkan. Suara Aslan terdengar sangat kesal.

"Apakahkau ke sini karena hukuman?" Ben berdiri di depanku dengan sombongnya, tangannya menepuk bahuku keras sampai aku berjengit kaget dari dialog tanpa suaraku dengan Sqeeth dan Aslan.

Aku tidak melepaskan pandanganku dari sosok tinggi yang wajahnya bahkan tidak terlihat di belakang Ben. Wajahnya tertutup tudung jubah. Tanganku mengangkat keranjang ke wajah Ben tanpa berkedip.

"Apa ini?" tanya Ben dengan wajah girang.

"Salmon!" jawabku ketus, dan mataku memicing ke sosok tinggi yang bahkan tak bergeming saat aku mengirim sorot mata tak bersahabat padanya. Seseorang dengan aura besar sepertinya pasti bisa merasakan aura yang aku sengaja pancarkan untuk mendominasinya.

"Aku tahu di sekeliling Guild dipasang sihir kedap suara, tapi aku bahkan tidak melihat banyak kuda di depan. Lalu kenapa Guild ramai sekali?" tanyaku yang menyerah memasang wajah sangar, balik melihat Ben yang masih nyengir lebar.

"Oh, aku rasa kita harus ke kantor, aku juga harus menjelaskan beberapa hal padamu."

Ben memimpin meniti anak tangga, disusul aku dan sosok misterius berjubah di belakangku.

Kantor Ben di lantai tiga terlihat jauh lebih berantakan dari dapur setelah festival besar. Aku tahu Ben orang yang suka melakukan riset ramuan dan obat, tapi siapa sangka dia akan menyebarkan alat percobaannya di kantor juga?

"Dimana aku harus duduk?" tanyaku kesal karena sofa saja tidak bisa diduduki, penuh dengan kertas catatan ramuannya.

"Di lantai? Atau kau 'kan bisa membereskannya. Telekinesis. Punya sihir berguna kenapa tidak dimanfaatkan?! Anggap saja ini hukuman awal untukmu."

"Kau-!" aku mengepalkan tangan menahan kesal. Ben selalu punya cara aneh untuk memancing kekesalanku. Gill susah payah menyembunyikan kemampuan telekinesisku, tapi Ben dengan entengnya menyebutnya di depan tamu yang bahkan tidak jelas identitasnya.

"Kau jangan bersikap liar di depan tamu kita," ucap Ben seraya melirik sosok tinggi yang saat ini berdiri tidak jauh dari pintu, melipat tangan di dada, tak bersuara bak penjaga pintu, tapi aku bisa merasakan pandangannya yang tertuju padaku.

"Aku tahu kau sangat sayang padaku, Max, tapi tidak sampai level menghabisiku 'kan?" lanjut Ben seraya mengacak-acak rambutku.

Aku tidak merespon Ben, hanya merapatkan gigi dan membereskan kertas dengan telekinesisku. Mulai dari kertas di sofa dan lantai, bergerak cepat menumpukkan diri mereka sendiri di udara, sebelum mendarat di meja kerja Ben.

"Aku tidak tahu kalau ranking SS di Guild Red Sleeve punya kemampuan telekinesis juga. Pengguna sihir telekinesis yang aku tahu hanya tersisa satu orang, Gilliard Westwood."

Tanganku yang tangkat untuk menggerakkan beberapa botol ramuan di meja, mendadak beku, tanpa aku komando lagi kepalaku menoleh pada sosok berjubah hitam itu.

Suaranya …

Sudah bertahun-tahun aku tidak mendengar suaranya, tapi ingatanku masih sangat jelas merekam bagaimana suaranya yang berat terdengar bagai dari dalam gua, bergema dalam benakku. Sekelilingku mendadak sunyi senyap, tidak ada lagi suara desiran angin dan bisik berisik dari peri hutan yang bersarang di pohon maple seberang balkon, tidak ada lagi suara burung yang berkicau. Hanya ada gema suaranya yang berulang-ulang.

"Oh, Max keponakan Gill, jadi aku pikir sihir telekinesis mengalir dalam darah Westwood." Ben menjawab tanpa beban, tapi aku bisa merasakan tatapan tajam tertuju padaku, bahkan tanpa ragu dia mengirim aura intimidasi, seolah dia bersiap menyerangku kapanpun aku lengah.

Aku tidak bisa mengenalinya sama sekali dengan aura dan tubuh tertutup jubah seperti ini, sampai mendengar suaranya… aku tidak akan salah mengenalinya.

Pikiranku terusik suara ketukan pintu dari luar, dan Ben mempersilahkan tamu kedua masuk.

"Aku sudah bilang tunggu di luar." Suara beratnya kembali terdengar, mengirim ingatan lain, mengirim ombak emosi ke hatiku.

Seseorang bertubuh pendek dengan wajah pucat. Orang yang hanya aku temui sesekali di akademi Lindbergh, wajahnya yang tak bersahabat dan dingin tak berubah sama sekali, dia juga tidak tumbuh, dia tetap pendek seperti dalam ingatanku.

"Mereka tidak tenang meninggalkanmu sendirian," jawab orang berpostur pendek itu dengan santai dan berdiri di sebelah sosok tinggi itu.

Aku tidak salah.

Dengan kemunculan orang ini, bisa aku pastikan sosok tinggi dengan aura besar ini adalah seseorang dari masa laluku yang tidak ingin aku akui.

Tapi … Bagaimana … A-aku tidak bisa menyelesaikan pertanyaan yang bermunculan di kepalaku. Bagaimana mungkin dia bisa sampai di Guild Red Sleeve?

Aku tidak pernah mencari tahu tentangnya setelah meninggalkan semua masa laluku, karena berpikir tidak akan mungkin takdir kami akan bersinggungan.

Lalu apa yang Dewa Hermush lakukan sekarang? Dewa yang selalu diagungkan seluruh warga Lindbergh kembali melakukan leluconnya padaku? Aku yang sudah dibuang oleh Hermush?! 

Apa maksud dari semua ini? Haruskah aku mengulang kehidupan kelamku saat aku hidup sebagai Iliana Latasha Brainne? Saat Hermush mengkhianatiku tanpa ampun sekalipun aku berdoa tanpa henti?