Seluruh area di sekitar berubah menjadi void yang hampa, hanya menyisakan para manusia yang masih hidup dan Tremor yang kebingungan karena serangan lasernya tidak bisa digunakan. Purgatorio memiliki kemampuan untuk menetralkan beberapa target yang dipilih, jadi ia sekarang hanyalah cacing raksasa biasa. Kali ini tubuh Tremor terlihat seluruhnya, karena ia tak lagi memiliki tanah untuk menyembunyikan tubuhnya. Mereka semua tidak berdiri diatas apapun, tapi tubuh mereka tidak jatuh kedalam Void. Perasaan aneh dan bingung dialami oleh mereka yang ikut masuk kedalam void. Muncul banyak malaikat putih bersayap dengan wajah yang menyeramkan dari berbagai arah. Mereka semua terbang menuju Tremor dan mengitarinya.
Cherry berjalan menuju Tremor. "Sucikan dirimu ..."
Sosok malaikat yang terbang mengitari Tremor semakin banyak hingga ia tidak terlihat sama sekali. Setelah beberapa saat, para malaikat itu menghilang bersama dengannya. Tidak ada yang tahu kemana perginya Tremor setelah terkena penyucian tersebut. Setelah Tremor menghilang, Cherry menonaktifkan Divine Comedy - Purgatorio dan mengembalikan semua hal seperti semula. Tanah kembali bisa terlihat dan dirasakan, serta kereta kuda yang masih utuh bisa digunakan.
Cherry berjalan kembali kearah Akane, Kurosaki, dan Reina. Pandangannya tertuju ke satu arah, yaitu tangan kiri Wei. Ia mengambil tangan tersebut dan menggenggamnya dengan erat sambil menangis.
"Wei ... Kakak ... Semuanya ..."
Tangan kiri Wei yang ia genggam tiba-tiba bercahaya. Cahaya tersebut semakin terang dan tangan Wei berubah menjadi rapuh seperti abu. Angin membawa abu tersebut terbang, menyisakan rantai kecil yang biasa Wei gunakan sebagai perisai. Cherry mengambil perisai tersebut dan mengeluarkan ornamen Wei yang terlepas saat ia menariknya dari Wei.
"Kenapa ..."
Cherry terus menangis tanpa henti. Berkali-kali ia berusaha mengusap air matanya, tapi air matanya terus mengalir tanpa bisa ia kendalikan. Ia hanya bisa menangis diatas segala hal telah terjadi. Saki yang masih terluka mendapati Cherry yang menangis. Ia segera berlari menghampiri dan berusaha menenangkannya. Begitupun dengan Akane, Kurosaki, dan Reina, mereka semua menghampiri Cherry, berusaha menghiburnya.
Beberapa bulan telah berlalu sejak saat itu. Para pengungsi sudah kembali ke kota setelah tim pengintai Raidil melaporkan bahwa tidak ada tanda-tanda iblis sama sekali. Tidak ada yang bisa menemukan satupun prajurit yang selamat dari peperangan dengan para iblis. Mereka juga tidak tahu bahwa orang-orang yang selamat ditarik kedalam sebuah portal yang sekarang telah menutup. Akademi diambil alih sementara oleh gubernur karena Ardent menghilang. Fallen Orions tak lagi terdengar akibat seluruh petingginya menghilang. Selain itu, kota berjalan seperti biasa dengan bantuan langsung dari ibu kota dalam soal pertahanan. Banyak prajurit dikerahkan untuk membantu dalam pemulihan kota.
Pemulihan kota terus berjalan dengan baik. Para warga sipil mulai bisa mengikhlaskan apa yang terjadi, dan berusaha untuk mengembalikan segalanya seperti sebelum terjadinya perang. Ribuan bunga ditabur dan ditanam di depan tembok kota, sebagai penanda bagi mereka yang gugur dan atau menghilang dalam peperangan. Akan tetapi, masih ada satu orang yang belum membaik sama sekali sejak ia merasa hancur.
"Sudah kuduga kau pasti disini, Cherry." Suara Akane terdengar dari belakang. Ia berjalan menghampiri Cherry yang berada di tembok luar kota.
"Akane?" Cherry menengok. "Kenapa kau membolos?"
Akane menghela nafas. "Hah ... Kau tak berhak bertanya seperti itu saat kau sendiri juga membolos."
Satu-satunya hal yang pulih dari Cherry adalah tatapannya. Matanya sudah sedikit lebih hidup, ia bisa menunjukkan beberapa ekspresi pada orang lain.
Akane menatap bunga-bunga yang diperhatikan oleh Cherry. "Kau sendiri juga kembalilah. Party kita tak pernah lengkap tanpamu."
"Maaf Akane, aku tidak berniat menjadi egois."
Akane memetik salah satu bunga dan menghirup wanginya yang sangat harum. "Tidak, justru akulah yang egois jika memaksamu untuk kembali."
Akane menatap Cherry dengan senyuman paling tulusnya. "Mau bagaimanapun, kita sama-sama kehilangan orang yang kita sayangi ..."
Cherry balik menatap Akane sambil tersenyum kecil. "Kau memang benar-benar kuat Akane ..."
Cherry duduk diatas rumput sambil kembali memperhatikan bunga didepannya. "Tak peduli apapun yang aku lakukan, rasa sakit ini tak kunjung hilang. Perasaan ini sangat menyiksa, sampai-sampai aku merasa bahwa lebih baik aku mati daripada terus hidup seperti ini."
Akane segera menggenggam tangan Cherry. "Kumohon, jangan pernah berkata seperti itu lagi!"
Cherry menatap tangannya yang di genggam oleh Akane. "Terimakasih Akane, tapi itu hanyalah metafora dari apa yang terus kurasakan."
Ia mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan sesuatu pada Akane. "Dengan ini, Wei akan selalu dekat denganku." Terlihat perisai rantai milik Wei yang dipakai oleh Cherry.
"Ia akan selalu bisa menyadarkanku saat aku kehilangan arah." Ia juga menatap ornamen milik Wei yang sekarang ia pasang di pinggangnya.
Ia menunjuk matanya yang sudah menjadi mata iblis sepenuhnya. "Dan kakak tidak akan pernah jauh dariku, selama kekuatan ini masih mengalir dalam tubuhku ..."
Mendengar ucapan Cherry, Akane menangis terharu. Ia segera memeluk Cherry dengan erat. "Cherry ... Kau lah yang kuat, bukan aku ..."
Cherry balik memeluk Akane. "Terimakasih Akane, tapi kau juga harus kembali ke kelas. Jangan menjadi murid brandalan sepertiku."
Akane mengangguk dan melepaskan pelukannya secara perlahan. "Ya, aku akan kembali."
Cherry berdiri lebih dulu dan memberikan tangannya pada Akane. "Ayo, biarkan aku mengantarmu."
Akane meraih tangan Cherry dan berdiri. "Ayo."
Saat bersentuhan lagi dengan tangan Akane, tiba-tiba Cherry mendengar suara Kurosaki dan Reina yang memanggil.
"Cherry!"
"Kurosaki, tak perlu keras-keras memanggilnya."
Cherry melihat sekeliling. "Kurosaki, Reina?!"
Akane malah kebingungan melihat Cherry. "Cherry, kau kenapa?"
"Akane, kau tidak mendengarnya?"
Suara Kurosaki dan Reina terdengar semakin dekat, tapi tidak ada sosok mereka sama sekali disana.
"Reina, cepat ambilkan kain! Sepertinya ia kesakitan" Terdengar suara Akane yang tidak berasal dari Akane yang sedang berada di depan Cherry.
"Uah, apakah ia demam?!" Suara Reina kembali dengar, kali ini suaranya sangat jelas.
"Badannya tidak panas. Apakah ini penyakit baru?!" Suara Kurosaki terdengar sangat dekat, seakan berada persis di sebelahnya.
Cherry menjadi semakin kebingungan. Ia mendadak merasa pusing dan perlahan kehilangan pandangannya. "Apa yang ..."
"Cherry, kau sakit?!" Akane yang berada di depan Cherry segera menahan tubuh Cherry agar tidak terjatuh, tapi Cherry sudah kehilangan kesadarannya lebih dulu.
Cherry membuka matanya kembali, dan tiba-tiba ia terbangun di pagi hari di dalam kereta kuda yang sedang bergerak.
"Ia bangun!" Akane mengusap air mata Cherry menggunakan kain.
"Matanya masih merah!" Reina terkejut melihat mata Cherry dan bersembunyi dibalik Kurosaki.
Kurosaki tersenyum pada Cherry. "Semuanya sudah aman, kau bisa mematikan kekuatan kegelapanmu kok!"
Cherry kembali dibuat bingung. "Semuanya?"
"Kenapa? Kau baru mendapat mimpi buruk?" tanya Akane.
Cherry segera duduk dan menatap Akane. "Sangat buruk." Ia menarik kedua pipi Akane.
Akane berusaha melepaskan tangan Cherry dari pipinya. "Sakit tahu, kenapa sih?!"
Chery langsung mendekati Kurosaki dan menatapnya dengan serius.
Kurosaki hanya bisa tersenyum sambil kebingungan. "E-eh? Kenapa?"
Cherry pindah ke belakang Reina, dan mengibaskan rambutnya. "Kau tertarik dengan rambutku?"
Cherry langsung teringat sesuatu. "Tofu!"
Tofu langsung muncul ke hadapannya. "Ada apa?"
"Dimana kakak?" Cherry langsung paham karena adegan tersebut mirip dengan apa yang dialaminya dalam mimpi. Akan tetapi, kali ini ia lebih bisa mengontrol dirinya.
"Ia tidak sadarkan diri, tapi jangan khawatir. Aku masih bisa merasakan kekuatan ku di tubunya, jadi ia masih hidup di suatu tempat!"
"Jadi kau hanya pindah sementara?"
"Tergantung apakah kakakmu bisa diselamatkan atau tidak."
Akane, Kurosaki, dan Reina saling bertatapan. Mereka menganggap Cherry menjadi gila karena berbicara sendiri.
Cherry menatap mereka dan bertanya, "Dimana Wei?"
"Dibelakang," jawab Akane.
"Terimakasih!" Cherry langsung melompat keluar kereta.
"Oi, kau mau kemana?" Kurosaki segera turun mengejar Chery, diikuti dengan Akane dan Reina.
"Wei!" Cherry berlari sambil meneriakan nama Wei berkali-kali.
"Wei, Wei William!"
Alice mendengar bahwa ada yang memanggil Wei dari jauh. Ia menepuk bahu Wei. "Ada yang memanggilmu."
"Siapa?"
Mitsuji menunjuk pada Cherry yang berlari kearah mereka. "Itu."
"Hah?" Wei terkejut dengan munculnya Cherry.
"Weeei!" Cherry segera melompat dan memeluknya.
"Syukurlah ... Kau baik-baik saja kan? Kau terluka? Tangan kirimu bagaimana?" Cherry memeluk Wei dengan lebih erat.
"Eh? Aku kan tidak kenapa-kenapa dari tadi?" Wei kebingungan degan sikap Cherry yang mendadak mengkhawatirkannya.
Yuika bersiul. "Manisnya masa muda."
"Yuika, bantu aku melepaskannya! Ia menempel dengan sangat kuat."
Yuika meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. "Kenapa? Biarkan saja. Kau juga menyukainya kan?"
Alice dan Mitsuji tertawa melihat Wei yang malu-malu.
"Y-yah, tapi ..."
"Biarkan saja Wei!" Suara Akane terdengar.
"Ya, ia sepertinya baru saja mendapat mimpi buruk," tambah Kurosaki.
Wei melihat Cherry. Meski tidak terdengar suaranya, tapi ia bisa melihat bahwa Cherry menangis sambil memeluknya dengan erat. Ia tahu Cherry bukanlah gadis yang bisa menangis dengan mudah. Ia memandang Cherry sebagai gadis dengan mental sekuat baja. Jika ia sampai menangis, maka ada sesuatu yang lebih kuat dari baja yang menghantamnya dengan keras. Akhirnya, ia membiarkan Cherry memeluknya selama beberapa saat sampai mereka sedikit tertinggal dari rombongan pengungsi.
"Yah, tapi aku masih belum sanggup jika ditantang berduel dengan kakakmu."