Chereads / Fallen Orions Tales / Chapter 38 - Chapter 28 - Pengungsian

Chapter 38 - Chapter 28 - Pengungsian

Seluruh anggota Fallen Orions yang berkepentingan telah dikumpulkan oleh Ardent. Seperti biasa, mereka berkumpul di ruang rapat markas rahasia. Dengan adanya panggilan darurat dari Rikka yang menyampaikan tentang pengungsian, mereka semua terlihat sangat khawatir. Sepanjang diskusi dilakukan, mereka mendengarkan Ardent dengan sangat serius. Hal-hal terkait dengan pengungsian, strategi, dan lain-lainnya telah mereka ingat dengan sangat detail.

Sambil membaca beberapa dokumen yang ia pegang, Ardent hendak menutup diskusi yang telah dilakukan.

"Baiklah, semuanya sudah jelas kan?"

Mereka semua mengangguk, menandakan kalau mereka sudah memahami situasi dan apa yang harus mereka lakukan.

Ardent mengulangi hasil diskusi mereka, untuk memastikan bahwa semua benar-benar mengerti. "Setelah seluruh warga pergi, kita akan menyerahkan keamanan pada para petugas keamanan yang terdiri dari murid akademi, utusan kerajaan, dan beberapa orang lainnya."

Ardent menatap Saki. "Untuk itu, aku menugaskanmu sebagai salah satu pemimpin penjaga."

"Ya, papa!" Saki menegakkan tubuhnya, dan memberi hormat.

Ardent mengangguk, menandakan kalau Saki bisa menurunkan kembali tangannya. "Bukan karena aku tidak percaya dengan kemampuanmu di garis depan, tapi karena aku percaya kalau hanya kau yang cocok untuk itu."

"Tak masalah pa!" Saki menurunkan kembali tangannya.

Ia paham dengan maksud Ardent meletakkannya bersama para pengungsi. Ia masih terlalu muda untuk menanggung resiko di garis depan. Ia adalah aset kerajaan yang harus dilindungi sebaik mungkin.

Ardent berdiri dari tempat duduknya. "Diskusi berakhir. Segera kemasi barang kalian, dan bersiap membantu pengungsian sesuai tugas masing-masing."

Mengikuti Ardent, seluruh anggota ikut berdiri.

"Ingat ..." Ardent meletakkan dokumen yang pegang di meja. "... 2 hari adalah estimasi waktunya. Kita tidak tahu apakah mereka bisa datang lebih cepat dari itu atau tidak."

Mereka semua menjawab dengan serempak, "Siap pa!"

Rapat dibubarkan, dan seluruh orang keluar dari ruangan.

Saat berjalan di koridor, Rikka memeluk Saki dari belakang. "Sakiii!"

Saki sedikit terkejut dan menengok. "Ada apa, senior Rikka?"

"Kita akan berpisaaah ..." Rikka memasang ekspresi sedih yang tidak meyakinkan.

Saki tersenyum dan tertawa kecil melihat Rikka yang berpura-pura sedih. "Haha, cuma sementara kok, senior."

"Tetap saja ... " Rikka menengok kearah Army dan Shiro yang berada di sebelah kirinya.

"... Akan lain rasanya kalau bersama dengan cowok-cowok terus."

"Ahaha ..." Saki kembali tertawa kecil. Ia sedikit memahami apa maksud Rikka.

Shiro balik menatap Rikka. "Bukannya kau memang sudah biasa bermain dengan pria?"

Army tertawa mendengar balasan Shiro, dan ikut menjawab, "Haha, ya. Kau kan memang suka bermain."

"Enak saja!" Rikka memicingkan matanya, menegaskan kalau ia tidak seperti yang mereka bilang.

Tiba-tiba, Rikka teringat sesuatu.

"Oh iya." Rikka bergeser ke sebelah kanan Saki.

Ia seakan berbisik, tapi ia mengeraskan suaranya dengan sengaja agar didengar oleh Army dan Shiro. "Saki, ini kesempatanmu untuk lebih dekat dengan Cherry loh!"

Saki bingung mendengar ucapan Rikka. "Eh? Kenapa?"

Rikka tertawa kecil sambil menatap Army. "Hehe ..."

Army balik menatap Rikka. Ia mengetahui kemana arah pembicaraan selanjutnya, tapi ia membiarkan Rikka melakukannya.

"... Kalau ingin dapat kakaknya, harus dapat izin dari adiknya."

"Eeeh?" Saki tersipu. Ia mulai memahami apa maksud Rikka.

"Apalagi, kakak yang satu ini sangat-sangat menyayangi adiknya. Kalau adiknya menyukaimu, maka kakaknya juga pasti tidak bisa menolakmu."

Army tertawa dan memotong obrolan mereka. "Hahaha, sepertinya kau melupakan sesuatu Rikka."

"A-apa!?" Rikka terkejut. Ia mengira bahwa Army akan tersipu seperti Saki. "Aku bisa salah!?"

"Saki itu ..." Army menatap Saki. "Sudah tidak perlu izin adikku lagi."

Saki kembali tersipu. Ia memalingkan pandangan dan menutup wajahnya. "Senior ..."

"Wooo!" Shiro dan Rikka bertepuk tangan atas jawaban Army.

Suasana yang cukup menyenangkan tercipta diantara mereka. Akan tetapi, ada salah satu diantara yang menyimpan sesuatu di dalam kepalanya. Sejak bertemu Kirito, pikiran Shiro tidak bisa berhenti untuk memikirkan bahwa hal buruk akan terjadi. Ditambah dengan pengungsian yang akan dilakukan, pikirannya semakin terisi oleh berbagai hal. Meskipun begitu, ia tidak terlihat seperti orang yang pikirannya sedang terbebani, karena ia dengan sangat baik menyembunyikannya.

Siang hari itu menjadi hari yang sangat sibuk bagi seluruh penduduk kota. Para warga yang mengungsi akan berangkat besok pagi, karena Ardent tidak mau adanya kecelakaan jika pengungsian dilakukan dengan terburu-buru. Seluruh persiapan dilakukan dengan hati-hati dan penuh pemeriksaan kembali. Meski memakan waktu yang lama, tapi perjalanan merekabisa dijamin aman.

Sepanjang hari, mereka mempersiapkan segalanya, hingga malam akhirnya tiba. Ardent menganjurkan semua orang untuk beristirahat yang cukup, karena mereka akan berangkat saat pagi buta. Anak-anak tidur lebih awal. Para remaja terkena insomnia, terutama mereka yang akan bertugas untuk menjaga rombongan. Sementara itu, orang-orang dewasa masih ada yang sibuk, dan ada juga yang sudah beristirahat.

Dini harinya, Army baru saja selesai mempersiapkan segala keperluannya. Ia sedang menikmati waktu istirahatnya, sebelum menjadi sangat sibuk saat matahari sudah muncul nanti. Ia menyeduh teh kesukaannya, dan menyantap sarapannya sendirian. Meski sendirian, ia terlihat menyiapkan sarapan sebanyak 2 porsi.

Beberapa saat kemudia, terdengar suara langkah kaki yang berasal dari kamar.

Cherry yang masih memakai piyama keluar dari kamarnya. "Kakak?"

Ia melihat Army yang sedang duduk di kotatsu. Ia meregangkan tubuhnya dan menguap, karena masih mengantuk.

"Duduklah, aku tau kau akan bangun." Army mendorong gelas teh kedua yang ada di kotatsu.

Suasana menjadi hening saat mereka berdua menyeruput tehnya.

Army mencoba berbicara, untuk menghilang keheningan yang menyelimuti mereka.

"Kau nanti akan bersama dengan yang lainnya kan? Ayah Reina telah menawarkan perlindungan untuk kalian yang akan mengungsi."

Cherry mengangguk. "Iya. Kita juga bisa menitipkan barang pada mereka."

"Apakah semua barangmu sudah disiapkan?"

Cherry menengok ke kamar. "Sudah, tinggal barang kakak saja."

"Oh." Army menepuk tas yang ada disampingnya. "Punyaku sudah disini."

Cherry berdiri dengan lututnya, berusaha melihat tas Army. "Segitu saja?"

"Ya, hanya itu yang penting."

Cherry kembali duduk. "Baiklah, nanti kakak sendiri kan yang membawanya kesana?"

"Ya, sekalian mengantarmu."

Army kemudian memperhatikan Cherry dengan sangat teliti.

Merasa diperhatikan, Cherry bertanya, "Kenapa kak?"

Sambil terus memperhatikan Cherry, Army menjawab, "Sepertinya kau sangat santai, meski keadaan darurat sedang terjadi."

Cherry memalingkan pandangannya. "Y-yah ... Aku tidak bisa bilang bahwa aku benar-benar santai."

"Lalu?" Army memangku wajahnya dengan tangan kanan diatas kotatsu, seakan meminta Cherry untul bercerita padanya.

"Hmm ..." Cherry berpikir sebentar. Ia ingin menyusun kata-katanya lebih dulu.

"... Aku sedikit cemas, tapi aku juga harus tetap profesional, karena aku juga memiliki tugas sendiri."

"Cemas? Mencemaskan apa?" Army menjadi penasaran. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Cherry mencemaskan sesuatu.

"Tentu saja kakak dan yang lainnya. Memangnya kakak tidak khawatir dengan apa yang terjadi?"

"Khawatir ya ..." Army berpikir sebentar.

"... Tidak sih. Aku cukup percaya diri."

Cherry ikut memangku wajahnya. "Benar juga. Jika diperhatikan, kakak sendiri tidak terlihat cemas sama sekali."

Army tertawa. "Haha, tidak sepercaya diri itu sih sebenarnya. Mungkin 90% yakin lebih tepatnya."

"Lalu 10% nya?"

Army meletakkan tangan kirinya dibawah dagu, memikirkan penjelasan yang mudah untuk dipahami Cherry. "Bisa dibilang, 10% nya adalah kejutan yang tidak kami prediksi, atau ..."

"Atau?" Cherry menunggu kelanjutan kata-kata Army.

"... Atau takdir berkata kami harus kalah."

Cherry melepas pangkuannya, dan menghela nafas. "Hah ... Kalau begitu tinggal di 100% kan saja."

"Bagaimana caranya?" Army cukup heran dengan ucapan Cherry. Jawaban yang cukup berani dari Cherry, begitulah yang ia pikirkan.

Dengan senyumannya yang lebar, Cherry menjulurkan tangannya pada Army. "Agar 100%, berjanjilah kalau kakak akan pulang."

Cherry memberikan jari kelingkingnya pada Army, untuk melakukan sebuah janji diantara mereka berdua.

Army balik tersenyum dan meraih jari kelingking Cherry dengan kelingkingnya. "Tentu saja aku akan kembali, Cherry."

"Aku akan menunggu, kakak."

Cherry memberikan senyum termanisnya dalam penyempurnaan janji mereka.

Di waktu yang sama, Shiro sedang duduk di bangku taman kediamannya. Ia memperhatikan pantulan cahaya bulan dari air mancur yang ada di depannya.

Akane berjalan menghampiri Shiro. "Keberatan jika membagikan isi kepalamu padaku?" Ia mengetahui bahwa Shiro sedang memikirkan sesuatu.

Shiro menengok. "Oh, Akane. Yang lainnya sedang apa?"

Akane duduk di sebelah kiri Shiro. "Mereka sedang bersiap-siap, sesuai dengan tugas yang akan mereka jalankan nanti."

"Hoo ... Bagaimana denganmu? Apakah kau sudah siap?"

Akane bergeser, dan bersandar di bahu Shiro. "Untuk ditinggal olehmu? Tentu saja tidak."

"Yah, bukan itu maksudku ..."

Akane tersenyum. "Bercanda. Aku sudah siap, hanya tinggal berangkat saja."

Akane menatap air mancur yang ada di depan mereka. "Lagipula, kau tidak mengkhawatirkan hal itu. Aku jadi yakin kalau kau akan baik-baik saja."

Shiro tertawa kecil. "Tentu saja."

"Kenapa kau begitu yakin?" Akane sudah tidak heran dengan sifat Shiro yang selalu percaya diri, tapi ia tetap penasaran dengan alasan yang mendasari hal tersebut.

Shiro tersenyum dengan sombong. "Karena ada aku disana."

Akane menghela nafas karena jawaban Shiro tidak sesuai ekspektasinya. "Hah ... Sepertinya aku salah bertanya."

"Hehe."

Suasana menjadi hening untuk sesaat. Mereka berdua memperhatikan pantulan cahaya bulan di air mancur, terpikat seperti serangga yang mendekati cahaya dari kegelapan.

Tiba-tiba, Akane membuka percakapan baru untuk mereka. "Nah, Shiro ... Apakah kau pernah berpikir ..."

"Soal apa?" Shiro menengok, menunggu Akane menyelesaikan pertanyaannya.

"... Bagaimana jika nanti, kita terpisah sangat jauh?

Akane menghentikan ucapannya sesaat, dan melanjutkannya kembali. "Sangat jauh, sampai kita tidak bisa bertemu lagi, untuk selamanya."

Pertanyaan Akane membuat Shiro tertawa. Ia tidak pernah menyangka pertanyaan seperti itu dilontarkan oleh Akane. "Haha, pertanyaan seperti itu ya ..."

Shiro mengalihkan pandangannya dari air mancur. Ia menatap keatas langit, dan menjawab dengan penuh keyakinan, "Aku akan mengejarmu, dan menjagamu agar tidak pergi jauh dariku."

Akane kembali bertanya, "Tapi, bagaimana jika yang pergi adalah dirimu?"

Shiro mengelus kepala Akane menggunakan tangan kanannya sambil tersenyum. "Kau sendirilah yang paling tahu, bahwa hal itu sangat tidak mungkin."

Akane memejamkan matanya, menikmati kenyamanan yang ia rasakan saat bersama Shiro. "Terimakasih, Shiro."

Ia memejamkan matanya dan berkata, "Berjanjilah untuk tidak pergi jauh dariku, Shiro."

Shiro memperhatikan ketulusan pada wajah Akane saat ia mengatakannya. "Ya, aku tidak akan pergi jauh darimu, Akane."

Setelah beberapa saat menikmati keheningan, Akane membuka matanya, dan kembali bertanya tentang sesuatu yang membuatnya menemui Shiro.

"Jadi, apa yang sejak tadi kau pikirkan?"

"Ah ... Ketahuan ya kalau aku sedang memikirkan sesuatu?" Shiro tertawa kecil. Ia bisa menyembunyikannya dari semua orang, kecuali Akane.

"Katakan saja. Aku datang kesini untuk mendengarkan isi kepalamu."

Karena sudah ketahuan, Shiro menarik nafas, dan mulai menceritakannya pada Akane. "Kau tahu? Aku, Army, dan Cherry berasal dari kerajaan yang sama."

Akane cukup terkejut mendengar ucapan Shiro. Selama ini, Shiro tidak pernah menceritakan masa lalunya sebelum ia bertemu dengan keluarga Akane, dan Akane sendiri tidak pernah menanyakan hal yang tidak ingin Shiro ceritakan.

"Oh ya? Aku tidak pernah mengetahuinya." Akane makin mendekatkan tubuhnya kepada Shiro, agar bisa mendengar ceritanya dengan lebih jelas.

Shiro melanjutkan ceritanya. "Saat itu, kota kami diserang oleh banyak monster kelas atas. Insiden portal yang lalu tidak seberapa, jika dibandingkan dengan kejadian saat itu."

"Lalu, apa yang membuatmu merasa janggal?"

"Usiaku dan Army saat itu masih sangat muda, dan belum sekuat sekarang. Aku bisa selamat karena aku sedang tidak dikepung, sehingga aku bisa lari dengan mudah."

Shiro menutupi fakta bahwa dialah yang membawa para monster tersebut untuk menyerang kota.

"Lalu, bagaimana dengan Army?" tanya Akane.

"Itu yang kupikirkan."

Shiro melanjutkan ceritanya. "Ia bisa dengan mudah kabur dengan Absolute Control, tapi skill itu baru ia kuasai setelah bergabung dengan Fallen Orions."

Akane hanya diam, menunggu kelanjutan cerita dari Shiro.

"Aku sangat yakin ia berada tepat di tengah kepungan monster saat itu. Ia sendiri yang bilang bahwa ia mempertahankan kota sampai sang raja terbunuh."

Shiro kembali menatap air mancur di depannya dengan sangat fokus, sambil mengingat beberapa detail tentang masa lalunya.

"Saat sang raja terbunuh, hanya ada sedikit penjaga yang tersisa, termasuk dirinya."

Akane terus mendengarkan cerita Shiro. "Sepertinya ia memang orang yang diberkati."

"Disitulah aku merasa aneh. Saat para penjaga yang tersisa kabur dari kota, Army memisahkan dirinya, dan pergi untuk menyelamatkan Cherry."

Shiro menambahkan kembali kata-katanya. "Sendirian."

Akane tertawa kecil. "Tidak heran Cherry sangat menyayangi kakaknya."

Shiro mengangguk. "Ya, tapi tidak kah kau penasaran?"

Akane menjadi bingung. "Dengan apa?"

Shiro menjawab, "Bagaimana caranya ia bisa selamat dari kepungan para monster? Ia dan Cherry bahkan tidak terluka sama sekali selama pelarian mereka."

Akane kembali terkejut mendengar cerita Shiro. "Matanya? Itu bukan luka akibat serangan monster?"

Shiro menggelengkan kepalanya. "Itu adalah ulahnya sendiri, tapi itu cerita yang lain."

Akane mulai menyadari keanehan yang ada di dalam cerita Shiro. Army secara misterius bisa selamat, sambil membawa Cherry tanpa mendapat luka apapun. Dengan kekuatannya yang sekarang pun, akan cukup sulit dipercaya bahwa ia bisa melakukannya.

Shiro melanjutkan kembali ceritanya. "Jika dulu ia bisa bertahan dari serangan banyak monster, bahkan sambil menjaga adiknya, mungkin saja sekarang dia sudah menjadi jauh lebih kuat daripada itu."

"Memang apa kemampuan aslinya?"

Shiro kembali menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu. Sejauh ini, ia belum pernah menunjukkannya. Ia hanya pernah bilang kalau ia akan kalah jika behadapan denganku."

Akane berpikir sebentar. "Mungkin bohong?"

Shiro mengangguk. "Mungkin saja, tapi kurasa ia tidak memiliki alasan untuk berbohong."

"Jadi itu yang kau pikirkan sejak tadi?"

"Ya. Jika ia memang memiliki sesuatu, kurasa itu bisa menjadi salah satu kunci kemenangan kami nanti."

Akane melirik Shiro. "Dan itulah kenapa kau tidak terlalu khawatir dengan pengungsian ini?"

"Begitulah. Aku hampir yakin kalau akan ada kejutan dari pihak kita."

Shiro tiba-tiba berdiri.

"Eh, Mau kemana?" Akane membetulkan kembali posisi duduknya setelah Shiro berdiri.

Shiro meregangkan tubuhnya. "Aku ingin mengambil beberapa makanan. Masih ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu."

Ia berkedip. "Lebih enak kalau kita berbicara sambil menikmati suasana bukan?"

Akane tersenyum. "Kalau begitu, tolong ambilkan kue red velvet untukku."

Shiro mengacungkan jempolnya. "Serahkan padaku!"

Sementara itu di kediaman Ardent, ada 2 orang yang masih sibuk menyiapkan peralatan mereka di dalam gudang.

"Ah Rikka, tolong ambilkan kotak itu." Ardent menunjuk ke tumpukkan box yang berada di samping lemari.

Rikka menunjuk ke salah satu box. "Ini?"

"Bukan, yang sebelahnya."

"Baiklah." Rikka mengambil box yang diminta oleh Ardent, dan memberikan box tersebut padanya.

"Terimakasih." Ardent membuka box tersebut, yang ternyata berisi sepatu.

"Sepatu?" Rikka agak bingung dengan kotak yang berisi sepatu. Ia membayangkan kalau box tersebut berisi sesuatu yang lebih spesial.

Ardent kemudian mengganti sepatunya. "Yang ini lebih cocok untuk sekarang."

Setelah mengganti sepatu, Ardent memperhatikan seisi gudang. "Apakah semuanya sudah siap?"

Rikka mengangguk. "Ya. Sisanya sudah kuletakkan di pintu depan."

"Baiklah."

Ardent memasang kedua pedangnya di punggung. "Yosh, semuanya sudah siap."

Ia memperhatikan seluruh atribut yang Rikka kenakan. "Apakah kau juga sudah selesai?"

Rikka mengangkat perisai dan pistolnya. "Tentu saja."

Karena sudah selesai, mereka berdua keluar dari gudang, dan berjalan menuju pintu depan. Mereka berjalan berdampingan di koridor yang cukup panjang.

Sepanjang koridor, Rikka memperhatikan jalanan di luar yang sepi melalui jendela.

"Beberapa lampu rumah telah menyala. Sepertinya banyak yang masih bersiap."

Ardent menengok kearah jendela. "Kau benar. Kurasa mereka tidak ingin terlambat untuk mengungsi."

Rikka menatap Ardent. "Yah, pengungsian ini sudah dijadwalkan dengan sangat baik. Seharusnya, tidak ada yang tertinggal nantinya."

Ardent mengangguk. "Kuharap begitu."

Saat menatap luar jendela, Rikka mendapat sebuah pertanyaan untuk Ardent.

"Pernahkah kau merasa takut?"

Ardent menengok kearah Rikka. Ia penasaran kenapa Rikka memberi pertanyaan seperti itu. "Tentu saja. Memangnya kenapa?"

"Kukira kau tidak pernah takut akan sesuatu, karena kau sangat kuat."

Ardent tertawa mendengar jawaban Rikka yang sangat tidak terdengar seperti dirinya. "Hahaha. Ada banyak sesuatu diluar sana yang bisa saja mengalahkanku, terutama jika aku lengah."

"Apakah sekarang kau takut?"

Ardent kembali menatap koridor di hadapannya sambil berpikir. "Hmm ... Daripada takut, mungkin aku lebih penasaran dengan apa yang akan terjadi."

"Begitu ya ..." Rikka kembali memandangi jalanan yang masih sepi.

Ada beberapa orang yang sedang melakukan sesuatu di depan rumahnya. Mereka terlihat mengeluarkan beberapa barang berharga, menyiapkan alat yang akan digunakan sebagai pengangkut, berbicara dengan tetangga, dan berbagai hal lainnya.

Saat berjalan menuruni tangga, Ardent bertanya pada Rikka.

"Rikka. Tadi kau bertanya apakah aku takut, lalu bagaimana denganmu? Apakah kau merasa takut sekarang?"

Rikka menatap Ardent. "Sama sepertimu, aku juga penasaran tentang apa yang akan terjadi."

Tiba-tiba, ia menghentikan langkahnya "Meski begitu, aku juga takut untuk membayangkannya."

Melihat Rikka berhenti, Ardent ikut berhenti sambil menunggu jawaban darinya.

"Tapi ..." Rikka mempercepat langkahnya dalam menuruni tangga, dan sampai dibawah lebih dulu.

Ia membalik badannya, dan menatap Ardent dengan senyuman lebar. "Selama ada dirimu dan yang lainnya disana, aku yakin kita pasti bisa!"

Ardent terkejut melihat Rikka yang mendadak bersikap sangat manis. Seakan, Rikka yang selama ini ia kenal bukanlah Rikka yang asli.

Ia tertawa kecil, dan lanjut menuruni tangga.

"Ya. Mari kita selesaikan ini, bersama-sama."