6 jam sudah berlalu sejak para pengungsi memulai perjalanan mereka. Pasukan kerajaan sudah tiba di kota, dan mereka membangun beberapa kamp sementara di dalam dan diluar kota. Strategi sudah dibuat dengan matang, dan sudah diumumkan kepada semuanya. Beberapa pemanah dan penyihir jarak jauh berada diposisinya untuk melakukan pengintaian. Sihir penguatan tembok, artileri, dan beberapa jebakan sedang dipasang di tempat yang strategis. Yang mereka lakukan sekarang hanyalah menunggu sambil terus bersiap-siap.
Karena tidak ada Saki, Ardent bergabung dengan party Army, Shiro, dan Rikka untuk melengkapinya. Tidak ingin waktu terbuang percuma, Ardent beberapa kali keliling untuk memeriksa seluruh persiapan. Ia berjalan di tembok luar kota, bersama dengan Army, Shiro, dan Rikka.
Shiro memperhatikan lapangan hijau yang luas di area luar kota. "Menurut kalian, darimana mereka akan datang?"
Ardent ikut melihat ke arah yang Shiro lihat. "Mungkin dari depan sana, karena mereka mengarah kesini dari kota sebelumnya."
"Dari depan ya? Tidak ada masalah juga sih dari arah manapun." Rikka melihat ke kiri dan kanan, memperhatikan Artileri yang sudah dipasang dimana-mana.
Army tertawa. "Haha, ya. Kota ini sudah dirubah menjadi benteng raksasa dengan sangat cepat."
Rikka memperhatikan salah satu Artileri yang ada tepat di depannya. Ia menengok keatas, untuk melihat ujungnya. "Tinggi sekali."
"Mau kugendong untuk memanjatnya?" tanya Shiro dengan nada bercanda.
Diluar dugaan Shiro, Rikka menengok dan menerima tawarannya. "Oh, tentu saja!"
"Eh!?" Shiro terkejut dengan jawaban Rikka.
Karena harus menjaga ucapannya, Shiro akhirnya menggendong Rikka dibelakangnya. Ia memperkuat kekuatan cengkraman tangannya dengan kekuatan kegelapan.
"Pegang yang kuat ya, aku tidak akan menangkapmu jika jatuh."
"Aku mengerti!" Rikka segera melingkarkan tangannya dari belakang Shiro agar ia tidak jatuh.
Kemudian, Shiro dengan cepat memanjat laras artileri yang besar dan tinggi dengan cengkramannya.
"Aaaaaa!" Rikka merasa seperti dirinya sedang menaiki sebuah wahana hiburan.
Hanya dalam beberapa detik, Shiro dan Rikka sampai diatas. Shiro langsung meletakkan Rikka di ujungnya dan kembali turun.
Sambil mempertahankan keseimbangannya diatas laras artileri, Rikka melihat sekeliling. "I'm the top of the world!"
Rikka tersenyum dan tertawa riang. Angin bertiup cukup kencang, membuat udara diatas cukup sejuk. Pemandangan hijau yang luas dapat dilihat olehnya. Ia juga dapat melihat proses persiapan di sisi lain kota dari sana. Meski berada cukup tinggi, senyum dan keceriaan Rikka terasa oleh mereka bertiga dibawah. Mereka bertiga ikut tersenyum, tertular oleh keceriaan yang dipancarkan oleh Rikka.
Tiba-tiba Army teringat sesuatu. "Oh iya."
Ia berjalan mendekati Ardent yang ada di depan. "Mau mampir ke salah satu kamp?"
"Kenapa?" Ardent agak bingung dengan ajakan Army yang mendadak.
"Ada sesuatu."
"Sesuatu apa?"
"Sesuatu."
Dibelakangnya, Shiro mendengar pembicaraan mereka. "Hah ... Beritahu saja langsung."
Army menengok kearah Shiro. "Sesuatunya itu kejutan, jadi bagusnya tidak diberitahu dulu."
Mendengarnya, Ardent menjadi tertarik. "Oh ya? Kejutan disaat seperti ini?"
Army mengangguk. "Ya, kejutan."
Ardent langsung mempercepat langkahnya. "Jadi, kamp mana yang harus kita kunjungi?"
"12, di dekat gerbang utama."
Rikka yang berada diatas kemudian berteriak. "Army! Tangkap!"
Army menengok keatas, dan melihat Rikka yang melompat kearahnya.
"Rikka!?"
Dengan cepat, Army menangkap Rikka dengan kedua tangannya.
"Hampir saja."
Rikka mengedipkan sebelah matanya. "Hehe, terimakasih!"
Rikka diturunkan oleh Army, dan mereka berjalan pergi dari sana. Mereka semua pergi menuju kamp yang disebutkan oleh Army. Sesampainya disana, banyak prajurit yang sedang bersantai, latihan, atau mempersiapkan peralatannya.
Ardent menengok ke kanan dan kiri, mencari tahu apa kejutan yang dimaksud oleh Army. "Jadi, mana kejutannya?"
Army langsung melihat ke suatu arah. "Itu dia!"
"Reol, Fuuko!" Army memanggil mereka dengan cukup keras.
Reol dan Fuuko yang sedang duduk mendengar panggilan Army. Mereka segera berdiri dan menghampiri yang lainnya di dekat pintu masuk kamp.
"Reol? Fuuko?" Ardent terkejut melihat mereka berdua yang berada disana.
Reaksi yang sama juga diperlihatkan oleh Rikka, tapi tidak dengan Shiro. Selama ini, Shiro memang sudah mengetahui bahwa Army sering berkomunikasi dengan Reol dan Fuuko, jadi ia sudah tidak bingung jika mereka ada disini.
"Yo, Army!" Reol langsung mengangkat tangannya, mengajak Army untuk melakukan tos.
"Bagaimana kabarmu, Ar?" tanya Fuuko.
Army membalas tos dari Reol. "Baik. Terimakasih sudah mau datang kemari, kalian."
Reol tertawa dengan cukup keras. "Hahaha. Membaca surat dirimu, rasanya kami tidak memiliki pilihan lain."
Fuuko ikut menambahkan, "Ya. Setidaknya kami bisa menambah peluang kemenangan disini, daripada kabur dan tidak jelas selamat atau tidak."
Shiro mendekati Army dan berbisik, "Kau yang memanggil mereka?"
"Ya. Lebih banyak bantuan lebih bagus."
Shiro menyukai ide Army, jadi ia tidak masalah dengan kedatangan kembali Reol dan Fuuko. "Benar sih, lebih banyak bantuan lebih bagus."
Rikka berjalan mendekat dan bergabung dengan pembicaraan mereka. "Bukannya kalian ada di guild kota lain?"
Fuuko mengangguk. "Ya, tapi kami kesini setelah membaca surat dari Army."
Sambil tersenyum, Rikka memberikan tangannya untuk bersalaman dengan Fuuko. "Kalau begitu, selamat datang kembali!"
"Terimakasih, Rikka." Fuuko meraih tangan Rikka dan bersalaman dengannya.
Kemudian, Ardent memberikan tangannya pada Reol untuk bersalaman. "Selamat datang kembali, Reol."
Reol menatap tangan Ardent, dan menatap Ardent tepat di matanya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya meraih tangan Ardent untuk bersalaman. "Ya, terimakasih, Ardent."
Army dan Shiro yang melihatnya menjadi cukup lega. Mereka mengira kalau akan ada sedikit perdebatan yang akan terjadi diantara mereka, tapi untungnya perkiraan mereka salah.
Army melebarkan tangannya. "Kalau begitu, selamat datang kembali!"
"Ya!" Reol dan Fuuko menjawab sambil mengangguk secara bersamaan.
Setelahnya, Army, Shiro, Rikka, dan Ardent kembali melakukan perjalanan keliling kota. Mereka membiarkan Reol dan Fuuko menikmati waktu bersantainya di kamp, karena mereka tidak memiliki kewajiban apapun selain bertempur nantinya.
Waktu terus berjalan sampai malam akhirnya tiba. Persiapan dapat dikatakan sempurna dengan selesainya sihir penguatan tembok, pemasangan artileri, dan jebakan di sekeliling area luar kota. Para prajurit yang tidak bertugas diberikan waktu bebas untuk beristirahat. Pesta kecil-kecilan dilakukan oleh mereka, untuk meningkatkan semangat.
"Silahkan dinikmati semuanya!" Rikka terlihat menghidangkan makanan untuk beberapa prajurit yang berpesta.
Diluar rolenya sebagai tank, sisi feminin Rikka sangatlah kuat. Selain pandai mempercantik diri, ia juga cukup hebat dalam memasak. Dengan bahan seadanya, ia bisa membuat sup hangat yang nikmat untuk para prajurit dalam malam yang dingin. Karena keterbatasan kemampuannya, Rikka memberitahu juru masak di kamp lain soal resepnya, agar mereka juga memberikan masakan yang sama. Hal itu dilakukan oleh Rikka untuk menghindari kecemburuan yang terjadi akibat tidak samanya makanan yang mereka komsumsi.
Sementara itu, dari atas tembok Army memperhatikan keceriaan dari pesta yang ia bisa rasakan dari jauh. Ia berada disana karena ia bukanlah bagian dari prajurit kerajaan, dan sudah mendapatkan porsi makanan buatan Rikkanya sendiri sebagai keuntungan dari anggota Fallen Orions. Saat para prajurit bernyanyi, ia menggerakkan kepalanya mengikuti lantunan lagunya. Malam yang indah, begitulah pikirnya saat itu.
Semakin malam, Army mulai merasa sedikit mengantuk. Ia menguap, dan merasa bahwa ia butuh tidur sebentar. Saat berpikir soal tidur, Shiro tiba-tiba datang menghampirinya.
"Tumben."
Army menengok kearah Shiro yang berjalan mendekat. "Apanya?"
"Mengantuk."
"Haha, mungkin karena sup buatan Rikka terlalu enak."
Shiro bersandar disamping Army. "Atau mungkin milikmu diberi obat tidur."
"Eh? Kenapa?"
"Kau kan susah tidur, jadi Rikka sengaja memberinya agar kau bisa tidur."
Mendengar jawaban Shiro, Army berpikir sebentar. "Cukup masuk akal. Mungkin aku tidak akan tidur sampai besok, kalau tidak diberi obat tidur."
"Jadi, apakah kau akan pergi tidur?"
Army kembali memperhatikan para prajurit dibawah. "Mungkin sebentar lagi, aku masih mau menonton mereka."
Shiro ikut menengok kebawah, melihat para prajurit yang sedang bermain dengan permainan ala mereka.
"Sepertinya menyenangkan," ucap Shiro.
Army mengangguk. "Tentu saja."
"Padahal besok kita akan berperang."
"Ya, tapi justru inilah pentingnya."
Shiro melirik Army sesaat, dan kembali memperhatikan prajurit dibawah. "Ya, keceriaan memang dibutuhkan sebelum peperangan dimulai."
"Ya, seperti suasana tenang sebelum badai."
Mereka berdua fokus memperhatikan prajurit dibawah yang sedang beradu tarian dengan diiringi oleh musik khasnya masing-masing. Mereka bergiliran menunjukkan gerakan tari yang paling rumit, sampai lawannya tidak bisa membalas sama sekali.
Tiba-tiba, pertanyaan dilontarkan oleh Shiro. "Bagaimana menurutmu soal besok?"
"Soal perang yang akan terjadi."
Shiro mengangguk.
Army menatap langit diatasnya, dan berpikir untuk menyusun kata-katanya. "Cukup khawatir."
"Tentang apa?"
"Tentu saja tentang apakah kita bisa menang atau tidak."
"Kau tidak terlihat seperti itu." Shiro memperhatikan Army dari atas hingga kebawah.
"10% kemungkinan untuk kalah tetap membuatku khawatir."
Shiro terkejut mendengar persentase yang disebutkan oleh Army. "10%? Berarti kau 90% yakin kalau kita akan menang?"
Army mengangguk. "Tapi kita tidak akan tahu, apakah 10% itu tepat mengenai kita atau tidak."
"Angka itu cukup tinggi, darimana kau mendapatkannya?"
Army kembali berpikir. "Hmm, mungkin perkiraan pribadi."
"Kau memiliki kartu as mu sendiri? Aku bahkan tidak yakin jika Regretless akan cukup untuk menahan mereka."
Army tertawa sambil membalikkan badannya, berhenti melihat para prajurit yang sedang menari. "Haha, seperti itulah."
Shiro melipat tangannya, semakin penasaran karena tebakannya benar. "Apa itu?"
Army terdiam, tidak menjawab pertanyaan Shiro. Ia kemudian berjalan perlahan, kembali kedalam.
Sambil berjalan pelan, ia berkata, "Maaf, tapi aku belum siap untuk memberitahukannya."
"Kenapa?" Shiro menjadi bingung. Tidak biasanya Army menutupi sesuatu seperti itu.
Army menghentikan langkahnya, dan kembali menatap langit diatasnya. "Bagaimanapun, aku masih memiliki kemanusiaan didalam hatiku."
Meski tidak memahaminya sama sekali, Shiro hanya diam dan melihat Army yang berjalan menjauh.
"Sampai nanti Shiro, aku sudah cukup mengantuk malam ini." Army menguap sambil berjalan.
"Ya, sampai nanti."
Rasa penasaran yang ada didalam Shiro semakin menguat, tapi ia tahu bahwa Army tidak akan menceritakan langsung padanya. Ia hanya bisa menunggu besok, sampai Army sendiri yang memperlihatkannya sendiri.
"Heh." Shiro tersenyum sinis.
Shiro tertawa kecil. "Haha, kemanusiaan dalam hati?"
"Sejak awal, kau memang manusia secara seluruhnya, Ar ..."
Ia menatap prajurit dibawah. "... Kau tidak pernah menjadi iblis sama sekali."
Ingatan tentang masa lalu mulai bermunculan dalam kepala Shiro. Mengingatkannya kembali tentang bagaimana seorang manusia hampir menjadi iblis sepenuhnya. Kehancuran sebuah kerajaan yang menindas seorang anak berbakat, dan bagaimana anak tersebut dapat menarik dirinya kembali dari kemarahan yang menguasainya.
"Hah ... Lebih baik aku minta porsi tambahan dari Rikka."