Di sebuah padang rumput yang luas, terlihat Raidil yang sedang duduk diatas sebuah batu. Ia memperhatikan sebuah mahluk hidup yang telah ia bunuh dengan sangat teliti.
"Apa mereka ini?"
Ia mengangkat tubuh mahluk tersebut yang menyerupai ular.
"Bukan hanya menyeramkan, tapi jumlah mereka sangat banyak ..."
Raidil menengok ke belakang, tempat dimana ia meletakkan lebih banyak tubuh mahluk menyerupai ular yang telah ia bunuh.
"Mereka seperti menuju para pengungsi."
Raidil kembali berdiri dan membersihkan pedangnya dari darah mahluk itu. "Perasaanku tidak enak ..."
Sementara itu di sisi lain, tepatnya di bagian paling belakang dari pasukan iblis. Ada seorang pemimpin yang sedang duduk di tahtanya, memperhatikan bagaimana pertempuran baru saja terjadi melalui cermin misterius di mejanya.
Dari sebelah kanan, ia melihat seorang pelayan menghampirinya. "Ada apa, Aegir?"
Pelayan itu bersujud didepannya dam berkata, "Para Interceptor telah dihabisi, tuan Lucius yang terhormat. Apa yang akan anda lakukan setelahnya?"
"Hmm, begitu ya ..." Lucius berpikir sebentar.
"Kalau begitu, kirimkan Tremor pada mereka. Seharusnya itu sudah cukup."
"Laksanakan, tuan Lucius." Aegir sang pelayan kembali berdiri, dan pergi untuk menjalankan perintah tuannya.
Lucius kembali menatap cermin misteriusnya. "Trik yang cukup bagus Ardent, kau tahu bahwa kami juga mengincar orang-orang."
Ia melipat kaki dan memangku wajahnya. "Tapi sayang sekali, aku jauh lebih memahamimu ketimbang dirimu sendiri."
Di tengah medan pertempuran, perwujudan Ashura milik Reol mengacak-acak formasi pasukan iblis.
"Fuu, mari kita turun!" Reol melompat dari bahu Ashura, dan menghantamkan Goliath Punch sambil mendarat.
"Ayo!" Fuuko menggunakan Meteor Breaker dan menghantam tanah tempatnya mendarat.
Dibawah langkah Ashura, mereka saling membelakangi satu sama lain, menjaga agar tidak ada titik buta sama sekali.
Reol mengaktifkan kembali charge Goliath Punchnya. "Mari kita habisi mereka yang berani melawan Ashura!"
Disaat yang sama, kota sedang diserang oleh para naga. Artleri yang tersedia berusaha dimaksimalkan untuk menahan serangan naga yang sangat destruktif. Ashborn berlari dari atap ke atap, mengejar tiap naga yang bisa ia lihat.
"Itu dia!"
Ia melihat sebuah menara jam dan segera menembakkan pengait kesana untuk mendapatkan jangkauan tembak yang lebih baik. Setelah pengait tersebut sampai, ia menggunakan sedikit sihir untuk membuat dirinya lebih ringan, dan bisa dengan mudah berpindah keatas menara.
"Kena kalian!"
Sambil naik, ia menembak jatuh beberapa naga yang terlihat. Tiba-tiba, seekor naga yang berukuran lebih besar muncul di belakangnya.
Ashborn menengok, dan hendak menggunakan Vanquishernya. "Sial, tidak akan sempat!"
Tepat sebelum naga tersebut menyemburkan apinya, Shacchi yang ternyata berada diatas menara lebih dulu berhasil menembaknya dengan Vanquisher.
"Cepat naik, Ash!" Ia meraih tangan Ashborn yang sudah sampai diatas untuk membantunya naik lebih cepat.
Dengan cepat, Ashborn menggunakan Vanquishernya kepada naga yang lain untuk mengisi kembali peluru senapannya. "Terimakasih Shacchi!"
Sambil mengaktifkan kembali Twin Storm, Shacchi menjawab, "Nanti dulu berterimakasihnya!"
Sementara pertempuran sudah dimulai, party Army, Shiro, Rikka, dan Ardent masih belum bergerak sama sekali. Mengetahui bahwa yang lain sudah sibuk dengan pertempurannya masing-masing, Shiro segera bersiap untuk maju.
"Wahai kegelapan dalam diriku ..."
Ia hendak mengaktifkan Regretless, dan masuk ke mode yang tak bisa dihentikan.
"Tunggu dulu." Ardent menepuk bahu Shiro, menahannya agar tidak langsung mengaktifkan Regretless.
Shiro menengok dengan heran kearah Ardent. "Kenapa? Bukankah kita juga harus ikut maju?"
Ardent mengangguk. "Ya, tapi Army menyarankan kita untuk maju agak terlambat."
Shiro terkejut dan menatap Army. "Kau tau kalau kita tidak maju sekarang, akan banyak orang yang mati sia-sia disana kan?"
Army tersenyum dan mengangguk. "Justru itu tujuannya."
"Hah?" Shiro menjadi bingung, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia yakin bahwa ada sesuatu yang sedang disiapkan oleh Army.
Rikka berjalan ke samping Army sambil memperhatikan pertempuran yang terjadi dihadapan mereka. "Jadi, berapa lama lagi?"
Army hanya diam, tak menjawab pertanyaannya. Rikka melirik Army, masih menunggu jawaban darinya.
Setelah beberapa saat, Army secara tiba-tiba bertanya, "Apakah kalian percaya, dengan adanya neraka?"
"Eh? Kenapa tiba-tiba?" Shiro bertanya balik.
Rikka berpikir sebentar "Tentu saja. Itu adalah tempat bagi jiwa yang menyimpang dari ajaran tuhan."
Army melanjutkan pertanyaannya, "Disana, manusia akan dihukum hingga mati, dan dihidupkan kembali untuk dihukum lagi."
"Ya, seperti itulah neraka," sahut Ardent.
Secara perlahan, Army membuka penutup matanya. "Benar, seperti itu."
Meski sudah membuka penutup mata, ia masih menutup matanya. Shiro, Rikka, dan Ardent menyadari bahwa Army sedang melakukan sesuatu.
Ia memasukkan penutup matanya ke dalam kantong baju. "Situasi saat ini, mirip seperti neraka. Tubuh mereka tercabik-cabik, sampai tidak bisa dikenali lagi wujudnya. Mereka merasakan rasa sakit yang luar biasa, bahkan di akhir hayatnya.
Apa yang diucapkan oleh Army adalah sesuatu yang sedang terjadi. Pertempuran antara manusia dan iblis sudah menjatuhkan korban yang banyak diantara keduanya. Mayat-mayat mulai berjatuhan di medan tempur. Banyak dari mereka yang tidak dapat dikenali, akibat serangan parah yang mereka terima.
Army memanjat pembatas tembok, dan duduk diatasnya. "Terimakasih, kalian tidak akan mati sia-sia disini."
Shiro menyadari bahwa yang Army ucapkan bukanlah sekedar kalimat biasa. Ia ikut memanjat pembatas tembok, dan berdiri disamping Army.
"Wahai kegelapan dalam diriku ..." Shiro mengulangi pengaktifan Regretlessnya. Aura ungu dan hitam mulai menyelimuti tubuhnya.
Setelah Shiro mulai mengaktifkan Regretless Army melanjutkan kata-katanya. "Tuhan, ampuni aku. Tofu, aku mengandalkanmu."
"Mari bermain tuhan ..."
Ia membuka matanya secara perlahan. "... Divine Comedy - Inferno."
Bersamaan dengan terbukanya mata Army, seluruh jasad yang ada di medan tempur kembali bergerak. Mereka yang anggota tubuhnya tidak lengkap menjadi tersambung kembali, sehingga bisa berdiri dengan kokoh. Organ tubuh yang berceceran sekalipun tetap menyatu kembali, membuat pemandangan yang sangat tidak mengenakan. Mereka yang 'hidup' kembali memiliki mata yang terlihat kosong, seperti boneka yang sedang dikendalikan.
Reol dan Fuuko yang berada dibawah langkah Ashura menjadi sangat bingung dengan sesuatu yang terjadi.
"Oi, Fuu!"
Setelah menebas salah satu musuh, Fuuko menengok. "Ya, aku melihatnya juga!"
Reol kembali mundur ke belakang Fuuko. "Apa itu barusan!?"
"Mereka kembali bangkit, tapi tidak bergerak sama sekali. Tatapan matanya juga kosong, seperti wadah tanpa jiwa."
Reol memperhatikan sekitar yang mendadak menjadi aneh. "Ya, tapi tidak hanya para iblis yang seperti itu."
Seperti ucapan Reol, jasad yang kembali bangkit berasal dari kedua pihak, tidak peduli iblis atau manusia. Pertempuran sempat terhenti beberapa saat, tapi semuanya kembali berlanjut setelah jasad yang bangkit itu menyerang para iblis. Manusia yang melihatnya yakin bahwa itu adalah semacam sihir yang digunakan oleh pihak mereka, sehingga mereka malah semakin semangat.
Meski terlihat sangat baik, jasad-jasad tersebut sebenarnya tidak melakukan apapun selain menjadi tameng 'hidup'. Mereka tidak memiliki pikiran sendiri dan menyerang dengan membabibuta, sehingga serangannya tidak efektif. Namun, hal tersebut menyulitkan para iblis karena mendapatkan gangguan secara terus menerus. Meski sudah dihancurkan, tubuh mereka akan kembali utuh dan bisa mengganggu lagi.
Shiro yang menyaksikan dari atas menunda pengaktifan Regretlessnya. "Ar, apakah itu ..."
Army mengangguk. "Ya, kartu as ku."
Shiro berpikir sebentar, dan bertanya, "Ini caramu bisa pergi dari kota saat itu?"
"Tepat sekali."
"Pemandangannya pasti tidak enak bagi adikmu."
"Ah, ia tidak mengetahuinya sama sekali. Aku menutup matanya sampai situasi aman."
Shiro tertawa. "Haha, tentu saja ya. Siapa yang mau melihat potongan tubuh manusia yang hancur utuh kembali."
Shiro sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. Sekarang, tak ada lagi hal yang mengganggu pikirannya.
Army menengok kebelakang. "Kalian siap, Ardent? Rikka? Mereka hanya bisa menjadi tameng, tidak bisa menjadi senjata."
Rikka menggenggam senapan dan perisainya. "Seleramu cukup mengerikan. Saki pasti akan terkejut jika melihatnya."
"Haha ... Makanya aku tidak pernah membicarakan hal ini," jawab Army dengan senyum kecil.
Ardent mengeluarkan kedua pedangnya. "Pastikan kau bertaubat setelah ini."
Army menengok kearah Shiro. "Dan Shiro ..."
Sebelum ditanya, Shiro sudah selesai mengaktifkan Regretlessnya. "Aku memerintahkanmu untuk melepaskannya, bagai sebuah ledakan."
Aura ungu dan hitam pekat menyelimuti tubuh Shiro. Rambutnya berdiri, seakan tertiup oleh auranya sendiri. "Apakah kita akan turun sekarang?"
Dengan bola mata yang menghitam akibat menggunakan kemampuannya, Army menatap Shiro. "Ya, sudah saatnya."
Shiro sedikit terkejut melihat mata Army yang menjadi hitam seluruhnya. "Matamu kenapa? Kau bisa melihat?"
"Jangan khawatir, ini hanya penanda aktifnya Divine Comedy." Army langsung terjun bebas dari tembok.
Mereka bertiga segera menyusul, dan langsung membentuk formasi setelah mendarat dibawah.
Rikka mengaktifkan Guardian dan Twin Stormnya. "Saatnya beraksi!"
Gelombang pertama pertempuran sudah dimulai. Kedua pihak masih terlihat seimbang, belum ada yang bisa menebak siapa pemenangnya. Di dalam kota menahan serangan para naga, dan di luar kota menahan serangan pasukan iblis dan golem raksasa. Kedua pihak masih terlihat kokoh dengan strateginya masing-masing.
Disaat pertempuran mencapai puncak pertamanya, para pengungsi yang masih berada ditengah perjalanan tidak mengetahui bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu. Sesuatu sedang bergerak dengan sangat cepat menuju mereka. Sesuatu itu berada jauh dibawah kaki mereka, tersembunyi didalam tanah tanpa bisa disadari keberadaannya.
Cherry membuka sebuah peti dan mengeluarkan isinya satu persatu. "Reina, dimana kau meletakkannya?"
"Mencari apa?" Reina turun dari kereta yang sedang berjalan, karena saat itu sudah giliran mereka untuk menjaga.
"Minum."
"Ah, bukan di peti tapi ..."
Tiba-tiba, terasa sebuah gempa yang sangat besar di dekat mereka. Gempa itu kemudian disusul dengan suara ledakan yang sangat kencang, hingga membuat seluruh kereta kuda berhenti mendadak.
Akibat guncangan yang terjadi, Cherry terjatuh dan kepalanya sedikit terbentur. "Aduh ..."
"Apa itu?" Cherry mengelus kepalanya sebentar, dan melihat teman-temannya yang berada diluar.
Ia segera menyadari ada sesuatu yang tidak beres setelah melihat ekspresi Akane, Reina, dan Kurosaki yang tidak terlihat baik-baik saja. "Ada apa!?"
Ia turun dari kereta untuk melihat apa yang terjadi diluar sana. Cherry menatap keatas, melihat sesuatu yang menjulang tinggi dihadapannya.
"Itu ... Apa?"
Dihadapan mereka, muncul mahluk raksasa yang berbentuk seperti cacing. Ukurannya sangat panjang dan besar. Ia masih lebih panjang daripada rombongan pengungsi, meski masih ada bagian tubuhnya yang berada di dalam tanah. Ia memiliki diameter sepanjang 12 meter, dengan banyak gigi tajam menghiasi bagian mulutnya. Kulitnya memiliki zirah yang berbentuk seperti sisik berwarna hitam, dengan sedikit lapisan minyak yang terlihat jelas melapisinya.
"Pakai nanya ..." Dengan cepat, Akane mengeluarkan tongkat sihir dan mengalirkan energi melalui sayap sihirnya.
Reina melepas pengaman pistolnya. "... Sudah pasti musuh!"