Chereads / Fallen Orions Tales / Chapter 37 - Chapter 27 - Respon Kerajaan

Chapter 37 - Chapter 27 - Respon Kerajaan

Siang hari di jalanan kota, terlihat Army dan Shiro yang sedang jalan berdua. Mereka baru saja menyelesaikan sesuatu, dan perlu memberitahu Rikka akan hal yang baru saja mereka selesaikan.

Saat melintasi kanal kota, Army melihat sesuatu yang bergerak diujung matanya.

"Shiro, tunggu." Army melebarkan tangannya, menahan langkah Shiro sambil menatap tempat terakhir ia melihat sesuatu tersebut.

"Ada apa?" Shiro melihat sekeliling, mencari tahu apa yang Army lihat.

Tiba-tiba, Army berlari dengan cepat menuruni tangga menuju bagian bawah kanal. "Ayo!"

"Hah? Ada apa sih?" Shiro yang kebingungan segera berlari mengikuti Army, meski ia tidak mengerti.

"Oi, Army! Memangnya ada apa?" Shiro bertanya sambil terus menuruni tangga.

Sambil terus berlari, Army menjawab, "Ada sesuatu yang bergerak dengan mencurigakan."

Ekspresi Shiro berubah menjadi serius dan bingung. "Masa?"

Sesampainya di bagian dalam kanal, mereka menghentikan langkahnya. Shiro melihat keseliling area kanal yang lembab dan sepi, mencari apa yang dilihat Army. Tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan disana, selain beberapa slime lemah dan tikus.

Sambil berjalan mendekati Army, Shiro berkata, "Kau meli ..."

Tiba-tiba, Army membuka penutup matanya. "Shiro."

"Eh!?"

Dengan cepat, Army menggunakan Absolute Fear ke seluruh area kanal. Untuk merespon Absolute Fear tersebut, Shiro dengan cepat mengaktifkan mata iblisnya agar terhindar dari efek Absolut Fear.

"Kena."

Beberapa detik kemudian, seseorang jatuh dari bagian atas kanal yang gelap.

Orang itu menggunakan tudung yang menutupi tubuhnya, tapi Army dengan cepat mengenali siapa orang tersebut.

Army berjalan menghampiri orang yang jatuh. "Jadi rumor itu benar ya ..."

Shiro ikut berjalan menghampiri orang itu. "Lain kali bilang lebih cepat sebelum menggunakan itu dong ..."

Setelah mematikan kembali mata iblisnya, Shiro terkejut melihat orang yang terjatuh itu.

"Kirito!?"

Army menekuk lututnya, dan membuka tudung Kirito. Terlihat jelas wajah Kirito yang tidak berubah sejak terakhir kali mereka mengirimnya ke penjara.

"Ya, ini dia."

Kemudian, Army melepaskan sedikit efek Asbolute Control, dan menurunkan Absolute Fear menjadi Fear biasa.

"Jadi, apa yang kau lakukan disini?"

Setelah bisa berbicara kembali, Kirito segera berbicara. "Hah ... Ardent ... Kota ... Pasukan ... Iblis ..."

Ia berbicara dengan tidak karuan, akibat efek dari Absolute Fear yang masih sedikit tersisa."

"Ardent? Ada apa dengannya?" Shiro berusaha memahami ucapan Kirito yang tidak jelas.

Beberapa saat kemudian, Kirito sudah bisa kembali berbicara dengan normal. "Ardent ... Ia sedang diincar. Kota ini dalam bahaya, karena pasukan iblis sedang mengejarnya ..."

"Iblis?" Army menarik rambut Kirito, dan mengangkat kepalanya. "Jelaskan lebih rinci."

Army hanya melepaskan Absolute Control di kepala Kirito, sehingga ia hanya bisa merasakan kepalanya, dan tidak dengan badannya. Ia merasa sedikit sakit ketika rambutnya dipegang dan diangkat oleh Army.

"Kalian ... Harus segera menyiapkan sesuatu. Sesuatu yang berbahaya akan segera terjadi."

Army melepas pegangannya, dan menjatuhkan wajah Kirito ke lantai. "Kupikir kau sedang serius."

"Oi." Shiro menepuk bahu Army. "Setidaknya biarkan ia berbicara dulu."

Army menengok kearah Shiro sesaat, dan kembali menatap Kirito, menunggunya berbicara lagi.

Kirito menghadapkan wajahnya ke kiri, agar suara bisa keluar. "K-kehancuran akan terjadi sebentar lagi. Mereka telah datang untuk mencari Ardent, orang yang mereka cari. Sebaiknya kalian mulai pergi, atau menunggu Ardent menyerahkan dirinya."

Army kembali menengok kearah Shiro, seakan bertanya bagaimana pendapatnya tentang ucapan Kirito.

Setelah berpikir sebentar, Shiro memberikan beberapa pertanyaan. "Siapa mereka?"

"Para iblis ..."

"Kenapa Ardent?"

"Karena Ardent adalah orang spesial."

"Kenapa spesial?"

"Aku tidak mengetahui secara spesifiknya."

"Darimana mereka berasal?"

Kirito diam selama beberapa saat, menciptakan keheningan diantara mereka. Setelah memikirkan sesuatu, ia akhirnya menjawab, "Dunia bawah, Toram."

Army menengok kearah Shiro, tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Kirito. Shiro hanya mengangkat kedua bahunya, karena ia juga tidak mengetahui apa maksudnya.

Kehilangan kesabaran, Army kembali mengangkat kepala Kirito. "Kurasa kau memang tidak bisa serius."

Army menatap mata Kirito dengan sangat dalam, hendak melakukan sesuatu terhadapnya.

"Army, hentikan!" Shiro berusaha menghentikan apa yang akan Army lakukan. Ia merasa bahwa Kirito memberikan mereka sebuah peringatan yang nyata, dan mereka harus mendengarkannya.

"Aku sudah memperingatkan kalian ..."

Tiba-tiba, seluruh tubuh dan pakaian yang Kirito kenakan berubah menjadi bayangan. Ia mendadak menghilang dihadapan mereka, sekaligus lepas dari Absolute Control Army.

"Tcih, harusnya aku menguncinya kembali."

Shiro menghela nafas. "Hah ... Kau malah menakutinya dengan Paranoid Pareidolia."

Army kembali berdiri, dan menjawab, "Tidak kok, aku hanya ingin menggunakan Pareidolia."

Army melihat wajah Shiro yang sangat serius. "Memikirkan ucapannya tadi?"

"Ya, tapi kita harus keluar dari kanal lebih dulu." Shiro berjalan menuju tangga untuk keluar dari kanal.

Army menutup matanya kembali, dan mengejar Shiro yang sudah menaiki tangga. "Merasakan sesuatu yang buruk?"

Shiro menggelengkan kepalanya. "Tidak, jauh lebih dari itu."

Disisi lain, Rikka yang dicari oleh Army dan Shiro sedang berlari di dalam kediaman Ardent. Ia menggunakan Twin Storm di dalam ruangan, dan wajahnya tidak seperti Rikka yang biasanya. Ia terlihat cemas sambil membawa sebuah gulungan pesan di tangannya.

Tanpa memanggil, ia membuka pintu ruang kerja Ardent dengan cepat. "Ardent!"

Ardent terkejut dengan kedatangannya. "Rikka? Jangan se ..."

Sebelum Ardent selesai berbicara, Rikka menghampirinya dan memberikan gulungan pesan yang dibawanya. "Dari raja, baca!"

Ardent membuka gulungan tersebut, dan mulai membacanya. Semakin jauh dibaca, ekspresi Ardent juga tidak menunjukan adanya berita baik dari gulungan tersebut.

Setelah selesai membaca, ia menggulung kembali gulungan tersebut. Ia menatap Rikka dan bertanya, "Apakah ini benar, Rikka?"

Seperti biasa, Rikka duduk di meja Ardent. "Tentu saja." Ia menunjuk ke lambang kerajaan yang terletak pada gulungan tersebut, menandakan keaslian gulungan itu.

Ardent melipat tangannya, dan mulai berpikir. "Dalan 24 jam, kita diminta untuk mengungsikan seluruh penduduk kota, sesuai dengan standar operasional pengungsian."

Rikka menatap Ardent dan mengangguk. "Iya."

"Dan ..."

Ardent menatap kembali gulungan tersebut

"Kita diminta untuk bersiap dengan kemungkinan akan berperang, dan lawan kali ini adalah iblis asing."

Rikka mengangguk lagi. "Iya."

"Jumlah mereka tidak diketahui, tapi mereka muncul secara mendadak."

Rikka menatap langit-langit sambil mengayunkan kakinya. "Kudengar, kota sebelah sudah menjadi debu."

"Ya, hal itu tertera dalam gulungan ini."

Rikka kembali menatap Ardent. "Kau tau alasan mereka meyerang?"

Ardent memejamkan matanya. "Ya, mereka mencariku."

Rikka memalingkan pandangannya.

Suasana menjadi hening. Mereka sama-sama menunggu lawan bicaranya memulai percakapan yang baru.

"Apa yang kau sembunyikan?" Rikka bertanya pada Ardent.

Dengan cepat, Ardent menjawab, "Tidak ada."

"Lalu, kenapa mereka bisa tiba-tiba muncul dan menghancurkan kota karena mencarimu?"

"Aku tidak tahu." Ardent tau bahwa Rikka mencurigainya.

Rikka menatap Ardent dengan tatapan yang serius. "Sebenarnya apa yang kau lakukan saat pergi?"

Ardent menjawab tanpa menatap balik Rikka. "Semuanya sudah kuceritakan padamu."

"Kau yakin?" Rikka tidak percaya dengan jawaban Ardent yang kurang meyakinkan.

Ardent mengangguk. "Ya."

Rikka mendekatkan wajahnya ke Ardent dan berkata, "Tatap mataku, dan ucapkan sekali lagi."

Ardent menatap Rikka dengan sangat serius, menandakan kejujurannya dalam menjawab. "Tidak ada yang kusembunyikan. Aku juga tidak mengenali mereka, ataupun mengetahui alasan mereka mencariku. Semua yang kulakukan saat pergi sudah kuceritakan padamu."

Setelah Ardent menjawab, mereka berdua terus bertatapan tanpa berkata apapun selama beberapa saat. Ardent menunggu respon Rikka, dan Rikka memastikan bahwa Ardent menjawab dengan jujur.

Tiba-tiba, Rikka tertawa kecil dan tersenyum. "Hehe, maaf terlalu serius." Suasana hatinya telah kembali normal. Ia cukup yakin bahwa Ardent berkata jujur.

Ardent menghela nafasnya, lega karena Rikka telah mempercayainya. "Hah ... Tidak biasanya kau seperti itu."

"Memang, tapi ..."

Rikka turun dari meja, dan kembali menatap Ardent.

"... Aku tidak bisa menahan diri, jika itu menyangkut dengan dirimu."

Ardent tertawa dan menjawab, "Terimakasih, Rikka."

"Jadi ..." Rikka meletakkan tangannya di pinggang. "... Siapa saja yang harus kupanggil?"

"Hmm? Sepertinya kau sangat tenang, meski perintah untuk berperang diturunkan oleh sang raja."

Dengan bangga, Rikka menjawab, "Tentu saja! Kau sendiri juga terlihat tenang."

Ardent tertawa. "Haha, tidak setenang itu kok."

Ia bersandar di kursinya dan berkata, "Kalau begitu, panggilkan semuanya dan bilang kalau kita akan segera melakukan pengungsian."

"Laksanakan!" Rikka memberi hormat dengan tangan kanannya, dan keluar dari ruangan Ardent.

Setelah Rikka keluar, Ardent berdiri dari tempat duduknya. Ia menumpuk tubuhnya diatas meja dengan kedua tangannya.

"Terlalu mencolok. Sepertinya mereka memiliki sesuatu hingga berani muncul seperti itu."

Saat berjalan di koridor, senyum lebar di wajah Rikka tiba-tiba menghilang. Ekspresi ceria dan berbinar-binarnya berubah menjadi serius. Ia berbicara dalam hati sambil menatap ujung koridor.

"Mereka mengetahui Ardent, dan tetap melakukan serangan yang bisa memicu kemunculannya. Sepertinya mereka sangat percaya diri untuk berhadapan dengannya."

Rikka menggenggam tangannya dengan erat. "Ardent, aku ingin percaya ..."

Ia menggelengkan kepalanya. "... Tidak, aku percaya padamu!"