Chereads / Angel of Sin [INDONESIA] / Chapter 5 - Chapter 1: Di Balik Kehidupan.

Chapter 5 - Chapter 1: Di Balik Kehidupan.

Ketukan langkah berlarinya sinkron dengan debarannya. Sekarang, dia terpaksa mengambil jalan panjang lewat belakang panggung karena dia gak boleh melewati tirai yang dah tertutup dan melompat dari panggung dengan semangat bebalnya. Sebagai tanda menghargai, dia pikir; diikuti persetujuan hati nuraninya. Si bocah bernama Tenten sedang bergegas menuju ke depan bangunan.

Di sinilah dia. Sebuah keharmonian yang tak mungkin terlihat beberapa tahun yang lalu. Banyak orang di sini, di gedung aula sebelah gereja reformed, berbincang santai, menyantap makanan, dan membeli oleh-oleh dengan kepuasan tertulis di seluruh wajah mereka. Ciri wajah yang menular harga diri dia sebelumnya. Namun perhatiannya tidak terfokus pada orang asing ini. Yang dia cari adalah seseorang yang telah memenuhi janjinya padanya. Sebuah janji untuk . . .

"Ah!" 

Tiba - tiba, penglihatan mata kirinya menjadi seperti mata kanannya yang tertutup penutup mata. Dunia di sekelilingnya gelap, tapi itu bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti.

"Tebak siapa?"

Dialah yang selama ini dicari. "Mama!"

Hal berikut yang dia lakukan adalah memberinya pelukan. 

"Whoah, hei!"

Dia menghampirnya seperti halilintar, menyambarnya dengan rasa sayang untuk lebih tepatnya. 

"Ehe~."

Rambut gadis kecil itu membasahi area perut ibunya. Dia tidak bisa menahannya karena dia ingin memulai rantai cinta mereka setelah sekian lama, bagi dia.

Dia melepaskan pelukannya dan membuka lengannya seperti yang biasa dia lakukan saat latihan hingga hari ini.

Dengan wajah semanis gula, dia memberinya rasa seperti di rumah sendiri.

"Selamat datang kembali, Mama!"

"Aku juga merindukanmu, Tenten. Maaf sudah meninggalkanmu selama sebulan terakhir." Ibunya, Koko, menurunkan salah satu lututnya ke tanah. Muka berhadapan dengan putrinya.

Sekarang, dia bisa melihat dengan jelas wajah kesalnya, entah kenapa. "Tidak apa - apa. Tentenk kan dah bilang. Kita tidak perlu membicarakan rasa bersalah lagi, bukan? Semenjak―"

"Semenjak kamu akan berusia 13 tahun besok, kan? Yeah, yeah. Aku selalu bisa mengandalkanmu untuk mengurusku saat aku tua nanti."

"Kamu tua berarti,"

"Jangan mengarah ke sana, nyonya muda!"― Dia menjentikkan jarinya ke kening, tak lama kemudian terdengar suara aduh yang keluar dari mulut gadis kecil itu ―" Saya relatif masih muda. Dua puluh dua, ya'know?"

"Tapi kamu dua kali lipatnya umur Tenten."

"Lalu kamu sebut apa orang berusia lima puluhan atau empat puluhan?"

"Kematian."

Keheningan yang canggung menyelimuti udara. Sang ibu merespons humor anehnya―atau olokannya―dengan cara terbaiknya yaitu menjentikkan jarinya lagi ke kening. 

"Hahahahaha!" Tenten tertawa puas. Ibunya tertawa kecil. Dan udara kini dipenuhi dengan kebahagiaan mereka.

Arus percakapan ini lebih cocok untuknya. Udara ini menenangkan paru-parunya. Menyegarkan.

Saat ini, dia bisa bersantai dan menikmati hidupnya.

"Mama, mama!"

"Ya?" Koko memiringkan kepalanya sedikit dengan senyum jujur di air mukanya. "Ada apa?"

"Apa pendapat Mama tentang penampilan Tenten tadi?"

Jawabannya jelas, api itu tidak akan mempengaruhi keinginannya untuk memenuhi keserakahannya yang tidak bersalah. 

"Tadi adalah pertunjukkan yang menakjubkan!"

Suara penenang yang memuji gadis kecil itu, Dia terus menceritakan semua kehebatannya saat di depan orang banyak.

Dimulai dari yang jelas, dia memberi tahu dia betapa akuratnya perangainya dengan visi pertunjukkannya dia memberi tahu dia betapa akuratnya tingkah laku dia dengan visi pertunjukannya. Betapa tepat sasarannya dengan nada bicara dan dialognya seolah-olah kamu memejamkan mata, dia bisa membayangkan persis hal yang sama yang terjadi di kenyataannya. Cara dia mengekspresikan emosi yang tak mungkin diungkapkan dengan expresi wajah. Menunjukkan hal – hal kecil dalam pengekspresiannya: gerakan kepalanya, bahunya yang terangkat, posisi lengannya, bahkan tangannya yang menghadap ke langit-langit, jari-jarinya yang mengayun dengan penuh keyakinan di balik itu semua, atau lebih tepatnya, seluruh lengannya menunjukkan keyakinan yang besar selama pidatonya yang gemilang, cara dia mengayunkannya tanpa berlebihan untuk memikat penontonnya.

"Semua itu memuaskan hatiku sekarang saat mengingatnya kembali."

Meskipun dia mungkin terlalu berlebihan menganalisis sandiwara panggungnya, dia hanya dapat menundukkan kepalanya dalam malu – malu yang tersembunyikan. Harga dirinya tidak menolak atau mencoba untuk menghentikan sanjungan ibunya.

Dari senang hingga sangat gembira.

Dia mungkin tidak mengungkapkannya sebesar ukuran gumpalan ekstasinya. Dia jujur ​​​​dengan hal itu. 

"Tenten, kamu mendengarkan?"

Ya, dia dengar. 

Dia mendengar setiap pujian yang dia curahkan pada putrinya. Namun ibunya belum selesai berbicara.

"Ingat ketika orang lain berbicara kepadamu, pastika―" Sebelum dia selesai berbicara, malaikat kecil itu mengangkat kepalanya.

"Pastikan matamu menatap balik, bukan?" Tenten mengakhiri nasihat umumnya dengan senyuman.

Senyum tulus. Pipinya mengendur dan matanya melembut. Itu bukanlah senyuman lebar, tapi senyuman kecil yang terasa alami baginya. Wajah berseri yang mampu menembus atmosfer bumi itu sendiri. Dia hanya menunjukkan senyuman tulus padanya.

"Benar." Ada jeda tiga detik sebelum dia memberikan jawaban itu karena terdistraksi oleh kasih saying putrinya. 

Tuk melanjutkan rantai cinta ini, sang Angel of Sin menepuk rambutnya yang berbentuk merpati. 

"Aku bangga dengamu, malaikat kecilku."

 

"Terima kasih atas sukarelawanmu, partner." 

"Tidak apa. Dia anak yang baik selagi kamu pergi, nyonya."

"Tentu saja." Putriku menyuarakan laporannya dengan acuh. Saya tidak ragu untuk memulainya.

Omong - omong, saat ini aku berada di dalam mobil dan seperti yang terlihat, melakukan apa yang dilakukan orang normal di dalam mobil. Ahh~ Betapa kangennya aku dengan sensasi pengap dari mobil kecilnya yang ketinggalan jaman. Berbicara tentang mobilnya, perkenalkan pengemudi kami dan pemilik mobil ini, Domini. Mitra saya dalam kejahatan.

"Ada masalah?" Terkejut dikit karena kecemasan dia, aku refleks menjawab bahwa itu bukan apa - apa. Dia mungkin memperhatikan aku menatapnya meski aku hanya melamun.

"Anda dapat berbicara dengan saya jika ada sesuatu yang mengganggumu." 

"Aku baik aja. Jujur."

Aku tidak bohong, koh. Hari ini adalah hari yang hebat karena alasan yang jelas. Dan aku akan mengkalilipatkan kehebatan ini karena aku dan putriku sedang dalam perjalanan menuju tanah perjanjian.

"Kecuali, satu hal . . ."

Satu kejengkalan, satu rewelan kecil untuk es batu canggung ini.

"Jangan panggil aku nyonya, please. Kita tidak sedang dalam misi, Dom." 

"Maaf, kamu tahu itu kebiasaan burukku, partner."

Partner? Hehe~ Tak buruk untuk mengembalikan martabat nyonya ini.

Entah dari mana, putriku bergabung dalam perbincangan kami. "Rayuan terdeteksi," ledekan Tenten, atau setidaknya menurutku itulah yang dia coba lakukan. Aku cekikikan sedikit, dan pengemudi kita memalingkan wajahnya dari kami berdua. Menarik.

"Lihat jalannya, Domdom." Itu adalah nama panggila dariku untuk dia, Imut.

Dia melakukan apa yang kukatakan tanpa komen. Wajahnya datar, sayangnya. Kurasa, inilah yang mereka sebut sebagai muka poker.

"Bicara tentang misi . . ."

Aku menoleh ke malaikat kecilku yang selama ini dikesampingkan dalam percakapan tiga arah ini. 

"Ta-daa!"

Aku menunjukkan oleh – oleh kepadanya dari kepergianku selama satu bulan terakhir. Hadiah utamanya terdiri dari buku dan pena, kalung arloji, dan emas utama dari semuanya, sebuah topeng luchador yang ikonik. Ini semua mungkin tidak diklasifikasikan sebagai "suvenir paling favorit untuk anak-anak." Namun wajahnya menunjukkan pancaran rasa suka yang murni.

Dia tidak banyak bicara―hanya terdengar sorakan yay―sesaat dia mejulurkan tangannya untuk mengambil hadiahku. Dia mengamati itu. Mulut dia terbuka membentuk huruf O. Kemudian, dia memakai topeng luchador sebagai hal pertama yang dia lakukan dengan oleh - olehku.

"Gimana?"

Tenten memandang aku Kembali, tetap dengan muka miliknya itu, dan berkata, "Tenten suka, Tenten suka."

"Baguslah kamu suka," Kutanggapi meski dia tidak memberiku waktu sedetik pun sebelum kembali menyibukkan diri dengan oleh - olehnya. Aku bahkan lebih senang akan hal itu.

"Dari mana Anda dapat barang – barang itu?" Domdom bertanya. Pertanyaan wajar karena kami tinggal di tempat terpencil bernama Ruluna.

Aku bilang bahwa aku menemukannya di markas musuh. "Jujur."

Dia bereaksi dengan wajah sedingin batu seperti biasanya. Dan, saya menganggapnya sebagai tantangan.

"Jika kamu ingin oleh - oleh,"― Aku meletakkan jari telunjukku di depan bibirnya ―"aku akan pesan satu di sini untuk kencan malam kita."

"Ew." Di kursi yang tersampingkan, lagi, dia terpaksa mendengar pembicaraan orang dewasa kami. Maaf telah  menjadikanmu orang ketiga, Tenten. Meliriknya yang masih memakai topeng luchador, aku memeletkan lidahku. 

"Hehe~"

Sementara itu, Aku melirik kembali ke sasaran kegenitanku. Aku mengatisipasikan sebuah reaksi, hanya untuk ditemukan dengan wajah sedingin batu gyang terpaku dengan jalannya. Tanpa tanggapan apapun atau lirikan sekilas. Balok es satu ini.

"Dih, peka dong," Aku katakan sambil mengetuk pipinya kaya pintu. 

"Aku dah menduga kamu akan mengatakannya." 

"Eh?"

Tiba – tiba, Domdom mengucapkan kalimat yang keluar dengan keyakinannya yang tenang.

"Kau dengar itu dengan jelas, kan?"

"Yup, godaan terdeteksi."

Sekarang mataku teralih ke putriku lagi, aku melihatnya mengeluarkan dua lembar kertas dari tasnya. Dia melingkari pojokkannya pada kedua kertas―yang mempunyai pola lima kali lima mirip dengan papan catur. Bentar, jangan - jangan?

"Hei! Jangan jadikan aku bahan bingo!"

"Gyahahaha!" Tenten membawa kertasnya jauh dari aku sementara dia memainkan aku secara harifiah. 

Menggeserkan muka jengkelku ke arah Domdom lagi, dia hanya ngasih jempol saat mata kita berjumpa.

"Ukh, mengapa?"

"Mama tidak punya hak untuk mengeluh."

Karma sungguh mengenaimu seperti telur di muka.

Meski begitu, Domdom menjawab keluhan saya. 

"Itu karena dia selalu membicarakanmu saat kamu pergi. Dia selalu senang saat itu menjadi topik utama kami dan sekaligus sedih saat dia merindukanmu. Jadi, saat kami berbagi kekesalan kami terhadap Anda, aku merancang solusi untuk mengenai satu burung dengan dua batu sekaligus."

"Dan, ini solusi terbaikmu?"

"Ya! Kamu perlu melihat wajahmu sendiri, partner."

"Humph!" 

Putriku sekarang menyodok pipi kembungku dari belakang seperti yang kulakukan sebelumnya. Harus kuakui, solusi mereka efektif. Mereka mengocehku hingga reaksi yang mereka inginkan. Namun anehnya―

"Anda tidak keberatan, kan?"

". . ."

Saat aku memandang ke luar, matahari lebih cerah dari sebelumnya dengan dua orang ini di sampingku. Merupakan keajaiban bahwa mereka masih hidup sampai sekarang, menyebarkan kegembiraan mereka kepada aku, dan berbincang denganku, orang yang tidak pantas menerima semua ini. Bahkan merendahkan 'aku.'

Apakah aku keberatan?

Tentu saja ini memalukan. Tapi karena percakapan mereka terpusat di sekitarku. Semenjak aku bahagia sekarang.

"Bukannya aku keberatan atau apa."

Aku memalingkan wajahku dari mereka dan menatap langit sore.

"Izin terdeteksi." Tenten lanjut melingkari salah satu kotaknya

. . .

Aku dan putriku akhirnya mengeluarkan tas kami dari mobil.

"Jemput kami jam 4," dia mengatakannya duluan sebelum aku sempat Lalu dia mengangkat jari kelingkingnya dan menambahkan, "Janji?"

"Janji. Satu jam dari sekarang, Saya akan di sini lagi." Domdom juga mengangkat kelingkingnya. Karena jaraknya yang jauh, mereka tidak dapat mengunci kelingking mereka. Hanya kognisi mereka saja sudah cukup untuk mengunci janji mereka.

Lalu dia pergi keluar dari penglihatan kami.

Akhirnya, kita berada di sini pada waktu ini dalam setahun. Waktu kita.

"Tempat di mana kita pertama kali bertemu," Aku mengarahkan pandanganku ke gerbang masuk.

Dibangun kembali dari abu, sekarang hanya menjadi taman biasa.

Aku menawarkan tanganku kepada anakku, malaikat kecilku, atau dalam hal ini…

"Mari kita jalan, putri."

"Jangan panggil Tenten seperti itu lah! Malu - maluin."

Meskipun demikian, dia tidak mengatakan apa pun yang menolak tanganku. Putri ini sekarang menemaniku ke istana kerajaan. Yah, setidaknya dulunya mirip dengan kastil. Saat ini hanya sekedar taman untuk kita bersenang-senang dan menghirup udara segar. 

"Mama, Tenten mau ke 'sana.'"

'Sana' itu sendiri bisa di―. . . Ya'know, mengapa aku memikirkan ini? Tentu saja setelah tinggal bersama selama 7 tahun, aku tahu di mana di 'sana' itu.

"Yeah, yuk ke 'sana.'"

Kami berjalan maju empat puluh meter menuju tujuan dari gerbang masuk taman, saling bergandengan tangan. 

"Ini aneh, bukan?" Tenten bertanya.

"Huh, apanya?" Aku tanya kembali dan Tenten mengayunkan tangan kanannya yang mengunci tangan kiriku.

"Ini gak memalukan untukku." Ah! Aku paham maksudnya, meski aku tidak mengerti kenapa dia menanyakan hal itu.

"Aku menyukainya, koh. Terasa nostalgia."

"Yeah, Tenten juga."

"Dan, itu jawabanmu, bukan?"

"Uh-huh. Itu jelas," dia mengangguk. Sekali lagi, aku tidak paham alasannya mengangkat topik ini. Lebih baik aku tanya langsung tentang hal itu.

"Mengapa, ya? Hanya pikiran serampangan di kepala Tenten. Bukankah Tenten harusnya malu karena Tenten akan menjadi dewasa?"

Mengesampingkan persepsi kelirunya tentang usia, aku berikan penjelasanku saat kami baru saja melewati air mancur kembar―tak lagi menyemburkan air―di kiri dan kanan kami, dua puluh empat meter dari gerbang masuk. Setelah aku melihat sekilas ke sekelilingku untuk menyusun gagasanku, aku meyakinkannya,

"Pendapatku, kamu tak perlu. Asalkan kamu menyukai atau nyaman dengan apa yang kamu lakukan, dan bahagia karenanya. Jadi, jangan biarkan akal sehat orang lain mengatakan yang lain dari keyakinanmu."

"Yeah. Terdengar benar untuk Tenten," dia mengangguk seperti sebelumnya.

Nah, itulah salah satu cara untuk menutupi kesunyian dalam perjalanan kita. Tiga puluh dua meter sejak menit terakhir, aku menghabiskan delapan meter terakhir perjalanan saya untuk mengapresiasi kembali taman dan bunganya. Ini bukanlah perjalanan terpanjang yang pernah saya lakukan. Tapi tujuannya adalah yang terpenting. Dari sini sudah terlihat jelas. 

"Masih cantik seperti biasanya."

Kita sampai, di depan patung kecantikan sejati seukuran manusia dari alam surga itu sendiri. Bikin ingin tahu siap cantik tak berwajah in― Nah! Yang ngga – ngga aja? Patung itu jelas aku di masa terjayaku, dipahat untuk banyak generasi mendatang.

Tiga jam dari aku mencari pose yang tepat akhirnya membuahkan hasil jangka panjang, Aku mengomentari patung tanpa muka dengan pose yang masih sempur―

"Semua berkat pemahat dan mereka yang merawat patungnya, Mama."

". . ." 

Terkadang, aku lupa dia bisa membaca sekaligus meramal pikiranku.

Bahkan menutup bibirku pun tidak akan banyak membantu. Dia mungkin bisa membaca pemikiran ini juga dalam kondisinya saat ini, jadi lebih baik aku menjadi kapten - terangan, dan tidak berpikir sama sekali.

Saat ini, dia menutup matany dambil menundukkan kepalanya. Melepaskan tangannya dariku sehingga dia bisa meletakkan kelima jarinya dengan benar di antara jari-jarinya. Dia berdoa.

―  ―  ―

Sekarang dia membuka matanya.

"Ini aneh juga, bukan?" Dia melirik ke arahku dan patung di sampingku. "Setiap hari adalah doa untuk Mama ketika Tenten bersama Mama. Saat Tenten tidak bersama Mama, itulah yang seharusnya menjadi doa, pesan ke suatu tempat yang tidak bisa kita jangkau, ungkapan rasa syukur atau permohonan dari hati."

Tenten kembali menggenggam tanganku. Aku membiarkannya melamun sendiri, karena satu hal yang kutemukan saat aku pergi, saat melihatnya tumbuh dewasa, aku tahu dia mampu melakukannya sendiri.

"Kamu tahu jawaban untuk ini juga, kan?"

Dia mengangguk sambil tersenyum, tidak, sambil terseringai lembut. 

"Doa adalah tindakan hati. Untuk menyerahkan diri dan membiarkan kita mengalir mengikuti waktu. Tidak ada yang lebih menghangatkan hati Tenten selain itu. Seperti yang Mama katakan tadi, Itu adalah cinta yang membuatku nyaman untuk mereka yang di atas sana."

Tangannya mencengkeram lebih erat denganku. Tangannya yang ramping dan kuat―untuk anak seusianya―tidak akan melepaskanku kecuali jika diperlukan. Hehe~.

"Hei, ayok ke lapangannya!"

Tanpa memberiku waktu, dia berlari menuju lapangan hijau tepat di belakang patung ini. Lagipula, kami tidak pernah diberi cukup waktu. Kita hanya harus hidup semaksimal mungkin dan menghargai kehidupan. Intinya, aku merasa tua.

Mungkin, Tenten benar mengenai usiaku, haha.

Melihat sayap putih dari rambut panjangnya dari belakang, membuatku berharap untuk keabadian . . Mengapa waktu menjadi suatu hal? Apa itu waktu di hadapanku? Siapa yang menciptakan waktu?

"Mama, yuk yuk!"

Saya menghampiri putri saya dengan beban yang masih ada dalam pikiran saya. 

"Hey, Tenten."

Dengan rasa penasaran yang masih utuh, aku bertanya ke malaikat kecilku, "Apakah kamu percaya pada Tuhan?" 

Mendengar pertanyaanku, dia sedikit memiringkan kepalanya. Hanya sesaat kemudian dia mengangkat kepalanya dengan sinar. "Ya!" 

"Mengapa?"

Dengan kecepatan cahaya dan tidak meninggalkan sedikit pun keraguan, dia menjawab, "Karena Tuhan mengutus Mama sebagai penyelamat di hari itu."

Kesimpulannya adalah sesuatu tak bernoda yang kuharapkan tuk dilindungi sebagai penyelamatnya.

"Gimana dengan Mama?"

"Aku?" Dia mengklarifikasi lagi bahwa ya, dia menginginkan pemikiranku tentang Tuhan sebagai balasannya.

"Aku percaya dengan ajarannya, dan…aku percaya dengan diriku sendiri."

"Oh. Booooo~."

"Ayolah, ya'know kamu kenal aku." Cekatan kami berakhir di firma saya yang ternama sebagai kekuasaan tertinggi dalam hierarki manusia. Saya biasanya sungguh percaya bahwa aku percaya … "biasanya."

"Yup, jadi yuklah. Main sepak bola!"

Sekali lagi, dia berlari ke lapangan hijau tanpa memberi aku waktu untuk berpikir, menggunakan pikiran retrospektifku. Hanya saja, aku sudah terbiasa mengatakan siapa diriku pada serangga-serangga ini jadi rasanya aneh sekarang memikirkan bahwa,

Aku biasanya menganggap diriku seperti itu

Putriku menoleh ke arahku. Hanya menatapku selama lima detik sebelum dia melambaikan tangannya ke atas.

Wajahnya khawatir; kurasa karena jarak kami membuatnya tidak jelas. Karena aku tidak mengikutinya, atau… Tidak penting. Yang aku tahu hanyalah aku ingin dia memasang wajah Bahagia.

Jadi, aku berlari secepat mungkin; menyeruduk dia, dan berteriak "Spear!" dari ujung teratas paru - paruku. Tidak ada yang terluka dalam bidang profesionalisme saya dan kami berdua bisa menertawakannya.