"Ladies and Gentlemen."
Dia menunduk hormat seperti pemain biola di akhir pertunjukkannya. Ini adalah waktunya sekali dalam setahun, waktu akhir untuk awal yang lain.
"Inilah saat yang telah kamu nantikan."
Tenggelam dalam paduan suara kesedihan, wanita itu membuka tirai di depannya di mana patung itu berdiri. Karena inilah saatnya―
"UNTUK ACARA UTAMANYA!"
Jeritan di belakang si kecil semakin intensif sementara matanya menilik balik sang wanita di depan patung dengan banyak bahan peledak di dekatnya. Sosoknya agak berkabut di mata gadis kecil itu. Anehnya, melalui rasa nostalgia, mereka merasa mampu saling berhadapan dengan jelas di alam mimpi hitam mereka sendiri.
"Di sini lah kita untuk merayakan anniversary Angel of Sin ke-7."
Mata hanya menjumpai kegelapan dari ruang angkasa dan memori dari ruang batin. Penonton, mayat-mayat di sepanjang jalan, masa kini, dan segalanya. Semua itu diabaikan hingga terlupakan. Hanya satu hal di sini yang menarik perhatiannya.
"Lihatlah aku!"
Sang enigma itu, wanita yang melemparkan dinamit ke langit tinggi dan meledak, meninggalkan kilatan cahaya dan asap.
"Dengan kembang api itu, mari kita memulai tahun baru penebusan untuk kalian semua.
"Terima kasih sudah datang. Terima kasih kepada kalian yang ikut menyanyikan requiem kami, kepada kalian para serangga yang tidak bisa berbuat apa-apa, dan kepada kalian putra – putra bego yang datang dua kkali dalam seminggu. Kalian benar-benar meramaikan pesta ini dengan kehadiran kalian. Jadi, sebagai imbalannya…
"…mari kita ubah game-nya."
Dia turun dari patungnya untuk menghadapi kekacauan dengan kepala menunduk. Dia mengangkat tangannya sejajar dengan bahunya dengan kedua telapak tangan menghadap gadis kecil di depannya.
"Perkenalkan bintang utama dari pesta ini," dengan energi nyaring yang bisa membakar seluruh mansion, dia mengumumkan, "Memasuki debutnya! Malaikat kecil yang melindungi kerajaan ini. Anak pengharapan atas dosamu. Pahlawan yang naik daun di permulaan."
"Tenten!"
Ketika dia menyebut namanya, dia bisa mendengar bisikan. Tidak diketahui dari mana asalnya, itu bertanya padanya,
Apa yang kamu lihat?
Sang malaikat kecil bahkan tidak tahu apakah matanya terpejam atau tidak ketika mendengarnya. Dan untuk menjawab pertanyaan itu, yang dia lihat hanyalah cahaya yang dia inginkan. Tidak ada apa-apa, kecuali tiang gawang di dalam dirinya. Tidak ada apa pun, kecuali pemandangan mimpi masa lalu. Tidak ada apa-apa, kecuali dirinya sendiri dan sang penyelamat.
"Dan lawannya," dengan tangan terbuka di sampingnya, dia mengumumkan, "si sinting yang membangun kerajaan ini, penjahat di atas segalanya, dan penyelamat orang tidak bersalah."
"Sang legenda, sang mitos itu sendiri. Angel of Sin!"
Dan dengan itu, kedua pihak telah mempersiapkan diri untuk apa yang akan terjadi selanjutnya.
Satu bersumpah untuk "mengalahkan Mama," dan satunya lagi bertindak sebagai tembok untuk menghentikannya. Yang mana di antara mereka yang akan terus bangkit, baru diketahui setelah mereka memulainya. Setelah mereka terus bergerak maju.
"Saksikan siapa di antara kita yang akan menghentikan amukan ini."
"Untuk hari ini, di surga ketujuh dari jiwa kita."
"Mari kita tertawa sepuasnya!"
Dengan gelora emosi, mereka saling menyerang.
"HA! HA! HA! HA! HA! HA! HA! HA! HA!
HA! HA! HA! HA! HA! HA! HA! HA! HA!
HA! HA! HA! HA! HA! HA! HA! HA! HA!
HA! HA! HA! HA! HA! HA! HA! HA! HA!"
Diawali dengan konfeti merah meletus dari kepala zombie. Dari satu zombie ke lainnya. Tak lama lagi, hal itu akan mewarnai watak tawuran ini.
Perkelahian bukanlah hal yang menyenangkan. Seringkali, mereka muram dan cepat. Pisau di leher dan peluru menembus kepala mereka sudah lebih dari cukup untuk mengeluarkan tenaga hidup mereka.
"Aku bisa melakukan ini dengan mata tertutup," yakin si wanita.
Karena lawan yang dihadapi kedua belah pihak, semua orang menutup mata. Kekuatan ilahi tidak dapat memengaruhi mereka dengan cara ini sementara para zombie masih memiliki caranya sendiri untuk menavigasi posisi targetnya. Namun wanita itu tetap mendapat keuntungan.
Beberapa zombie tersandung mayat; ada pula yang terpancing untuk menabrak tiang lampu. Tawa wanita itu mengolok-olok kurangnya pengalaman mereka dalam pertarungan buta selama tujuh tahun sambil menghindari semua rintangan tersebut. Ditambah itu, tidak ada peluru yang bisa menembus kulitnya. Namun dia masih belum tak terkalahkan ketika dia mendapati dirinya mundur. Dia tidak bisa membiarkan angka tersebut menguasai dirinya, tapi dia juga tidak bisa terus mundur. Karena malaikat kecilnya tersesat di tengah keramaian.
"Kamu tidak bisa menghilang begitu saja dua kali dalam semalam, Tenten."
Tapi tidak seperti sebelumnya, dia tidak bisa memikirkannya dengan matang. Pikirannya tidak punya ruang untuk berpikir. Jadi ketika dia menghadapi tembok manusia yang menghalangi jalannya, dia berkata,
"Ini tidak cukup untuk mengalahkanku."
Lalu, aku melaju ke tempat di mana malaikat takut untuk melangkah. Berlebihan? Mungkin, mirip kaya apa yang baru saja dia deklarasikan mungkin tidak sejalan dengan gawatnya situasi.
Untuk menghampiri mereka, dia membutuhkan strategi. Tapi karena dia tidak bisa berpikir, dia menggunakan "strategi" yang melekat padanya. Itu disebut insting dan disebut juga kekerasan.
Dia menghajar salah satu dari mereka. Keras. Menggunakan tubuh tak sadar itu sebagai tameng daging, dia menyerbu maju. Dia melempar tameng tubuh itu ke arah mereka dan berhasil menerobos garis depan, hanya untuk disambut oleh lebih banyak zombie.
Dia terus membunuh mereka, tapi dengan jarak ini? Para zombie akan menahan dia cepat atau lambat. Dia harus segera menemukan malaikat kecilnya. Cepat.
Entah bagaimana, mata ilahi ini tidak dapat menemukan figur termal kecil. Penglihatan ini mencapai ke luar dirinya mereka, namun tidak mencapai dirinya.
Dalam keputusasaan, dia memanggil namanya, "Tenten."
Dia mengulangi nama itu. Nama yang dia berikan tujuh tahun yang lalu. Tanggung jawab yang dia pegang…apakah dia melakukan pekerjaan yang baik?
Scrooot!
Wanita itu menanamkan pisau di leher zombie, kehilangan pisau tersebut selagi melakukannya. Dia ragu - ragu menembak. Tinjunya lebih berbobot.
Dia terus mengulangi namanya, tidak sekalipun mengencangkan suaranya meski tenggelam dalam teriakan para zombie. Jumlah mereka berkurang, bersama dengan pelurunya, dan begitu pula staminanya. Tubuhnya terus bertindak cepat, namun waktu berjalan lambat.
Setiap kali dia menyebut namanya, sebuah
Setiap kali dia menyebut namanya, sebuah kenangan tersorot. Dia mengingat saat dia melatih dia ketika dia bisa menjalani kehidupan normal. Dia mengingat masa dia meninggalkan putrinya di tengah malam saat dia bisa tidur di sampingnya. Dia mengingat waktu si malaikat kecilnya akan menyambut keberedaannya yang penuh noda darah di paginya. Dia mengingat semua hal bodoh yang dia ajarkan ketika dia tidak tahu apa-apa. Menggelikan.
Apakah dia serius ketika dia melakukan semua hal ini? Dia ingat bersenda gurau dengan satu sama lain di kebanyakan omongan kami. Dia mengenang malaikat kecilnya menertawakan hal-hal bodoh yang dia ajarkan. Dia mengenang ketika malaikat kecilnya menjadi guru yang lebih baik sambil mengajarinya memasak. Dia mengenang saat mereka sedang makan malam. Dia mengenang senyumannya.
Jika aku bisa mencapainya melalui kata-kataku …
"Terima kasih."
Koko jatuh berlutut. Dia telah mencurahkan segalanya dalam perkelahian ini. Semangatnya, keringatnya, bahkan rasa terima kasihnya terhadap bintang harapan. Tetapi sebenarnya, malaikat kecil itu mengabulkan permintaannya.
Selama ini, malaikat kecil itu berkamuflase dari pembacaan termalnya di salah satu punggung zombie, bergelantungan. Koko segera menyadarinya ketika malaikat kecilnya keluar dari persembunyiannya. Di saat Koko dalam keadaan rentan, malaikat kecil itu melompat dari punggung zombie dan duduk di bahu ibunya. Apa yang tampak seperti permainan cilukba sebenarnya adalah usahanya untuk mencungkil mata Koko.
"AAAAAAAGH!"
Teriakannya memikat para zombie. Mereka menahan dia dari tangan hingga perut. Namun, kekhawatiran Koko tidak ada di sana, bukan berasal dari pundaknya juga, dan kekhawatirannya tidak berlama-lama di dalam dirinya sejak awal.
"Aaghhaahahaha. Dah kuduga."
Bagai anak dan ibunya
"Kau tak tidak akan puas dengan kemenangan seperti itu," katanya sambil melempar dia ke penggemarnya yang lesu.
"AKU MASIH PUNYA BAHAN BAKAR CUKUP UNTUK BERTERIAK." Dia melempar seseorang yang menahannya dan mengubur malaikat kecilnya dengan itu.
"Sekarang, aku menemukanmu." Koko bergegas menghampiri dia.
Dia menyeret semua beban di belakangnya. Dia menembakkan semua sisa peluru terakhirnya ke zombie yang mendekat. Ketika dia tersandung, dia berlari dengan keempat kakinya. Saat malaikat kecilnya berusaha melarikan diri, Koko menguburkannya dengan terus melemparkan mayat - mayat ke arahnya.
Sepuluh detik penuh dengan bilas dan pengulangan, roda yang berputar seolah bergelinding menuruni bukit; dipompa oleh stimulasi di mana dia kehilangan waktu antar cepat dan lambat. Karena itulah tugas dia. Teruslah berenang melewati lautan manusia. Teruslah terbangun ketika dosa dirinya mengubur dia. Teruslah membuka luka dengan pisau dia tuk membuka jalan yang lain. Teruslah maju.
Hingga dia mencapainya.
"Buka matamu!"
Clap!
Koko menepak pipi sembab Tenten.
…
Di momen itu, kilatan Cahaya menghantam Tenten diikuti dengan siulan bernada tinggi. Jantungnya hancur karena keterkejutan yang tiba-tiba itu. Melalui semua itu, ada ketenangan.
"Apa yang Tenten lakukan di sini?" Tenten kebingungan.
Semua orang hanya berdiri tegak. Tenang dan diam. Hanya untuk dikhianati dengan melihat ibunya batuk darah.
"Ma…ma?"
Terkejut akan itu, dia menyadari bahwa tangannya baru saja melepaskan cengkeramannya pada sesuatu. Sesuatu itu adalah pisau yang ditancapkan pada putri ibunya. Dia mengalihkan pandangannya ke tangannya yang gemetar tak terkendali.
"Selamat pagi!"
Koko memaksakan senyumnya. Wajahnya berkedut dan matanya bersinar, tapi binarnya hilang. Dia tampak lemas seperti orang yang baru bangun tidur.
"Ini…nyata?"
Tidak peduli seberapa keras dia berusaha memalingkan muka, matanya terus menemukan pemandangan yang menyedihkan. Dia menutup mulutnya. Dia menelan kenyataan dari situasi ini. Menjijikkan.
"Tidak apa – apa," jawab Koko setelah mengatur napas. "Kita di sini bersama - sama. Semua akan baik – baik saja."
Setelah dia mencoba menenangkannya, dia kemudian meraih dalam jaketnya dan berkata,
"Waktunya menghilangkan kengantukkan kita."
Jika Tenten belum cukup bingung, ibunya menyenandungkan sebuah lagu sebagai pengisi suara malam tak bersuara.
… Do it all to get them off their feet…
Ibunya mengeluarkan dinamit dan korek api dari jaketnya.
…the crowd in here, about to blow…
Tubuhnya terhuyung-huyung di dekat kunang-kunang dari pemantik api.
…waitin' for me to start the show…
Ibunya menyalakan sumbu dinamitnya.
… Out the curtain, lights go up, I'm home…
"WOOOOOAAAAAH-OHHHHHH!"
Dia melemparkannya jauh-jauh dengan setiap ledakan energi terakhirnya yang dia miliki dalam teriakannya.
"Mama!"
Refleks mencoba meraih dinamit yang melayang, dia bertanya apa yang sedang dilakukan ibunya. Ibunya memeluknya dan menjawab,
"Menyingkirkan dalangnya!"
Dengan pandangannya dari balik bahu ibunya, dinamit itu melintasi seluruh kerumunan, mendarat di dekat patung, di dekat orang mati yang berdiri, di dekat bahan peledak.
"Hanya kamu saja sudah cukup."
Dia tidak membutuhkan nilai dari seratus orang, satu sudah cukup, satu yang dia janjikan, satu yang paling dia ingin hargai.
"Lihatlah aku!"
Boom!
Lampu menyala. Dengarkan kerumunan orang yang ditutupi dengan piroteknik di belakangnya.
Rasa gecar yang tiba – tiba menghantam dinding dada; meluap bagaikan ledakan dan akhirnya melepaskan adrenalinnya.
Tiupan angin mengepakkan sayapnya yang berlumuran darah sebagai kenangan akan waktu singkat yang tidak akan pernah bisa dia hilangkan dalam waktu dekat.
Sampai debu menempel di pandangannya.