Chereads / Angel of Sin [INDONESIA] / Chapter 11 - Chapter 3: Adrenaline in My Soul (3/3): And My Mother Said.

Chapter 11 - Chapter 3: Adrenaline in My Soul (3/3): And My Mother Said.

Hening.

Kehampaan dari ketiadaan yang tidak bisa dihindari; bayangan yang mengikuti pecahan kaca, meredupkan lampu taman yang menandakan berakhirnya pertunjukan musik dengan gerbang keluar adalah satu - satunya yang masih menyala.

Ibunya tertatih - tatih, berusaha berdiri. Meski begitu, dia menawarkan tangannya. Namun, Tenten bertanya - tanya mengapa dia tidak menerimanya saat itu.

Crunchcrunch

Dia berjalan dengan kaki telanjang di jalan setapak yang penuh dengan dedaunan merah, merah, merah. Kaca lampu tiang pecah di seluruh tanah saat angin dingin menggelitik kulitnya. Dia membeku.

Penonton tertidur di tanah. Ada yang masih utuh tubuhnya, ada pula yang sudah kembali ke tempat asalnya. Apa yang disaksikan si kecil adalah jalan menuju tempat di mana orang berdosa seharusnya berada.

Ini adalah hadiah perpisahan mereka.

Mereka mempersembahkan anggur dan roti mereka dalam bentuk darah dan daging. Ususnya kalau diinjak terasa seperti agar-agar. Bau pengap dari sisa pembakaran. Sebuah tulang menyembul dari lengan yang terpotong.

Ekspresi mereka…seolah-olah jiwa mereka diterima oleh tanah bumi, turun dan terus turun hingga terbakar di inti bumi. Kenyataannya, mereka tidak cukup beruntung untuk mendapatkan kremasi yang layak. Ekspresi mereka. Mereka semua seperti si gadis kecil itu.

Sebuah [emosi] dihadapan kematian.

"Setelah semuanya hilang, rasa sakitnya sungguh menyebalkan bukan? Hahaha."

Pelaku kedua di balik pemandangan ini menertawakannya.

Mata Tenten melotot sambal melirik mata merah ibunya yang memantulkan genangan air di bawahnya.

"Ada apa?" tanya Koko.

"Ini aneh, bukan?" Saat keningnya mengernyit tanpa henti, Tenten bertanya, "Apakah Tenten harus menangis?"

Tenten menunduk―memandang kaki ibunya yang terhenti di atas genangan air.

Dia tidak bisa mempertahankan kontak mata, jadi dia mencoba mencari dirinya sendiri. Tenten melirik ke arah genangan air untuk mencari refleksi, tapi itu hanya harapan kosong untuk permukaan darah. 

"Tenten membunuh orang – orang ini."

Jiwa orang mati menghakiminya… atau itulah yang ingin dia pikirkan tentang mereka ketika pada kenyataannya, pantulan darah mereka yang sangat kecil pun tidak melihat Tenten. 

"Berantakan." 

Dia mengaku telah mengamati sekelilingnya, namun dia tetap menundukkan kepalanya. Dia 'mengamati' sekelilingnya, seolah dia krhilangan sesuatu. Dia dikelilingi, merasa tercekik oleh genangan air mereka.

Dia melakukan semua ini. 

"Berantakan, kacau. Kacau. Berantakan!"

Dia menginjak genangan air di bawahnya seperti orang bodoh, tidak menyadari bahwa genangan air itu telah mengering. Dia menginjak - injak darah kering itu lagi, lagi, dan lagi hingga serpihan kaca membuat kakinya merasakan sesuatu yang segar. 

"Haduh, Tenten."

Ibunya mencondongkan tubuh ke arahnya dengan satu lutut di tanah. Dia mengobati serpihan di kaki Tenten. 

"Shuuush~ tenang. Tenang."

Ibunya berbisik di bawahnya sambil membelai kakinya yang gemetar dan sudah mulai beregenerasi. 

"Lihat, sudah sembuh, kaya luka perutku."

Kedua mengunci tatapan mereka, atau lebih tepatnya, sang ibulah yang melakukan kontak mata dengan mata putrinya yang sudah terkunci dan tertunduk.

Mereka saling memandang dengan kesadaran diri yang teringat dari bulan ilahi. Tenten kembali memalingkan muka dari ibunya namun langsung menatap dia kembali dengan mulut terkatup, sebelum memalingkan muka lagi, dan lagi.

Pertanyaan akan muncul terlihat dari tatapan mata anak anjing hilang dia. 

"Bagaimana?"

Tenten menghadapi dia dengan mata tertutup.

"Apa yang harus Tenten lakukan? Apa kesalahan Tenten?"

Tangan terkepal, bibir terkepal, mata terkepal――kepalkepalkepal. Dia frustrasi mencari jalan keluar dari [emosi] ini.

"Bagaimana Tenten bisa seperti Mama?"

"Mama kuat dan luar biasa. Mama kebal, tidak seperti Tenten. Bagaimana Tenten bisa menelan rasa jijik ini? Bagaimana? Tenten tidak menginginkan ini. Tapi, Tenten ingin melakukan ini. Itu munafik, bukan? Lalu apa yang membedakan Tenten dengan orang dewasa tersebut? Bagaimana aku bisa menjadi Mama dengan itu?"

Seluruh kepalanya dipenuhi keringat dingin. Air matanya terus mengalir, tidak seperti air matanya yang tak pernah keluar. 

"Beritahukan Tenten! Bagaimana? Andai saja Tenten lebih sadar akan janjinya, Tenten tidak akan menodai peninggalan Mama." 

"Itu tidak be―"

"Itu benar. Itu benar – benar berantakan, hanya berantakan, berantakan."

Dia masih memejamkan mata meski merasa terganggu atas apa yang dia lihat.

Pikiran ibunya diabaikan karena tidak dapat dibaca; karena kata-kata yang lebih besar di dalam kepalanya jauh lebih besar. Kata-kata yang sama yang mengasingkan pandangannya hingga terkunci rapat.

"Tenten," ibunya menyebut namanya. "Mamalah yang mengacaukan tempat ini, bukan kamu, ya'know."

"Tenten tahu. Tapi―"

"Faktanya, kamu melakukannya lebih baik dari Mama. Kamu adalah bintang utamanya di sana."

"…Tapi―"

Percakapan mereka terhenti karena Tenten bimbang.

Tenten melepaskan semua genggamannya; lengannya tergantung mengikuti angin, mulutnya terbuka, dan matanya melihat apa yang seharusnya menjadi dia.

"―Tenten tetap bukan Mama.

"Tenten bukanlah penyelamat seperti Mama. Tenten bukanlah pahlawan bagi Mama. Tenten… bukan apa-apa. Tented tidak pantas mengalahkan Mama seperti itu. Tenten sama seperti mereka. 

"Tenten seharusnya bersama mereka."

Langsung dari kekacauan yang mengelilingi pikirannya. 

"Tenten adalah pendo―"

Clap!

Tiba-tiba, ibunya menjepit Tenten tepat di pipinya. Terkejut, udara pun keluar dari hidung dan mulut Tenten. 

"Kamu belum sepenuhnya bangun," kata ibunya. "Jad, Tenten merasa bersalah karena telah berdosa, benar?"

Tenten tidak menanggapi. Syok masih ada dalam dirinya; berlama-lama dengan rasa penasaran saat ibunya meletakkan kedua tangannya di bahu Tenten.

"Kalau begitu, ulangi apa yang kukatakan."

Dia berdehem, menutup matanya dan menundukkan kepalanya, dan― 

"Ya Tuhan, kami sungguh-sungguh menyesal telah menyinggung Engkau."

Huh?

"Dan kami membenci semua dosa kami, karena hukumanmu yang adil."

"Apa yang mama lakukan?"

"Shuuuush!"

Dia melanjutkan seolah tidak ada yang salah dengan hal itu. 

"Tetapi terutama karena mereka menyinggung Engkau, Tuhanku, yang serba baik dan layak mendapatkan semua cinta kami."

Tidak, tidak. Tidak peduli bagaimana kamu melihatnya, itu sangat salah sampai dia bahkan menggelengkan kepalanya. Bahkan mimpi pun tidak dapat membayangkan skenario ini. Saking acaknya, salah satu sudut bibir Tenten terangkat paksa.

"Kami bertekad kuat, dengan bantuan kasih karunia-Mu, untuk tidak berbuat dosa lagi dan menghindari kesempatan dosa yang terdekat."

Dia jarang berbicara seperti itu. Sungguh keterlaluan, hampir menakjubkan. Dia tidak tahu bagaimana perasaannya mengenai hal itu. 

"Amin."

Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi 

"Pffft.

"Hahahahahahahahahahaha."

Sungguh, apa ini? Bukankah Tenten seharusnya menangis saat ini? Seharusnya iya, atau begitulah pikirnya. Tapi yang muncul justru adalah tawa Tenten. 

"Haha, Mama ngapain sih?"

Tenten tertawa terbahak-bahak pada ibunya. Tertawa di tengah kekacauannya yang lagi-lagi, dia telah berdosa karenanya. Namun dia tidak berhenti, sang pahlawan tidak bertindak kebalikan dari sikap dinginnya. Tenten tidak terpengaruh oleh keadaan tak bernyawa di sekitarnya. Tawa ini sama sekali tidak menebusnya, begitulah seharusnya tangisan, itulah sebabnya dia pantas bersedih, menderita karena kesedihan. Namun dia masih merasa…segar. 

"Lihat, kamu lebih cocok dengan senyum itu," nyengir ibunya.

"Aku tahu kamu khawatir. Itu bukanlah hal yang salah. Semua orang pernah mengalaminya sesekali. Tetapi―"

Dia menatap ibunya. Rambut Tenten yang menutupi wajahnya berantakan, namun dunianya seakan berubah. Itu tertulis di seluruh wajahnya, di senyumannya. Jika itu dengan ibunya. 

"―kita di sini bersama - sama.

"Kamu merasa [emosi] kamu rumit, benar? Memang benar dan akan selalu begitu. Anggap saja seperti bongkahan es. Di permukaan, kamu bisa menyebutnya sebagai frustrasi. Tapi, di bawahnya ada kumpulan [emosi] milikmu yang mendalam dari masalah yang menumpuk seiring berjalannya waktu. Kamu marah, tetapi kamu tidak tahu apa yang harus kau lakukan.

"Kamu hanya perlu memilah pikiranmu. Itu sebabnya Mama ada di sini. Itu sebabnya ada hari anniversary."

Pada tanggal 27 September, ibunya mengarahkannya pada pandangan baru dalam kehidupan Tenten.

"Setiap hari disaat kita sibuk dengan permasalahan kita saat ini, seringkali kita melupakan masa lalu. Kita tak dapat menyusut di situ tapi kita juga tidak bisa mengabaikannya. Biarkan pintu masa lalu tetap terbuka, agar kita bisa terus melangkah maju. Namun jika kita hidup di masa lalu, kita pasti akan terjebak di dalamnya. Itulah sebabnya anniversary memberkahi kita dengan ruang, bagi kita untuk memberikan kehidupan pada masa lalu.

"Di sana, kita melihat momen yang kita hargai, momen yang kita sesali, atau sekadar ketiadaan masa lalu yang biasa-biasa saja. Tidak meyakinkan, ya? Sama seperti [emosi] kamu sekarang. Namun ketika kamu melihat semua itu, tidakkah kamu merasa bangga dengan kemajuan yang telah kamu capai? Tapi ketika kamu melihat itu semua, bukankah kamu merasa bangga dengan seberapa jauh perjuanganmu? Ingatlah alasanmu berada di sini, momen itu membawamu ke momen ini. Kamu berada di tempat ini untuk melindungi tempat ini seperti yang kamu lakukan kemarin. Kamu melakukannya atas kemauanmu sendiri. Kamu bisa melakukan lebih baik dari ini, tetapi jangan biarkan rasa malu mengurangi dirimu sendiri. Kita bisa mendiskusikannya besok. Seberat apapun bebanmu, Mama akan selalu ada untukmu atau Domdom sebagai orang yang lebih bisa diandalkan dari Mama. Tidak perlu terburu-buru karena hal itu akan datang kepada kamu secara alami, disadari atau tidak. Apapun hal 'itu', hanya kehidupan yang akan membawa kamu ke 'itu'. Untuk saat ini, untuk membuat Mama bangga. 

"Kamu sudah melakukan cukup banyak, teruskan saja."

Ibunya menepuk kepalanya.

Semua pencerahan itu tidak memberinya apa yang pantas dia dapatkan, tapi apa yang dia butuhkan. Akhirnya, dia mengizinkan dirinya menangis.

Mukanya mendarat di bahu ibunya dan menangis. hanya menangis dan menangis sampai tidak ada cukup kolam di dunia untuk menampung air matanya.

Akhirnya mereka saling menerima satu sama lain dengan pelukan. Akhirnya, dia memeluk dirinya sendiri.

Akhirnya.

Waktu tuk mengenang telah menyambut masa baru dengan air mata dan senyuman.

"Selamat ulang tahun, malaikat kecilku!"