Chereads / Angel of Sin [INDONESIA] / Chapter 7 - Chapter 2: Bau Masa Lalu (2/3): Lagu dari Kehidupan Sebelumnya.

Chapter 7 - Chapter 2: Bau Masa Lalu (2/3): Lagu dari Kehidupan Sebelumnya.

"Huhuhuhump~ Hu Hum Hump~ Huuuump~"

Sang malaikat kecil, menggumamkan nada lagu tersebut untuk memeriahkan atmosfir yang sudah disayangi. Sebagaimana seharusnya di taman ciptaannya, asal muasal sejuta senyuman.

"Hum Humhumhump~ Hu HuhumhuUUMhummp~~"

Saat ibunya mencari bola di hutan mini ini, dia bergumam tak karuan. Menghadap ke langit dengan tatapan mata yang lembut terbawa oleh alunan melodi tenang dari seruling angin. Itu semua menyebabkan dia memejamkan mata dan membiarkan liris tak karuannya dari pikiran para pengunjung menumpuk, namun itu tetap saja keindahan alam tempat ini selama penciptaannya. 

"Na-Nana Naaana Naaaa~ NaAa NAaAaNa~"

Ketenangan badai, peluang di tengah kekacauan. Tujuh tahun sejak itu, dalam jumlah angka keberuntungan itu, dia cukup beruntung bisa merasakan mimpi sederhana, cinta, dan keinginannya untuk memiliki lebih banyak keinginan. Banyak hal telah berubah dan tidak berubah di tempat ini. Janji sepanjang masa mereka adalah buktinya.

"Nana Nanaa~ Nanananaaaa~"

Biarkan dia menggumamkan kenangan yang jauh, melampaui tragedi itu, diiringi kicauan burung sebagai paduan suaranya. 

"Laaaaala laaa"

"La la lu la la lo"

"Lala laa~~ la laa~~ la lalala."

". . ."

Melodi bagai bidadari oleh malaikat kecilmu.

"Nemu suatu di atas sana?"

Sang ibu bertanya apa yang dilihatnya dari langit. Apakah dia melihat pesawat, surga, atau bola sepak yang mereka cari? 

"Tidak ada. Tidak nemu apapun dari mata Tenten,

"…kecuali dari baunya," catat Tenten. 

Baunya asam, agak menyengat di hidung Tenten. Sesuatu tentang hal itu memengaruhi Tenten. 

"Ini bau yang biasanya. Baunya sudah seperti itu sejak kita menginjakkan kaki di taman ini." ibunya mengangguk mendengar pernyataan Tenten.

"Tapi," Ada ketidakkonsistenan, ada yang tidak sejalan dengan bau di sini. "tidak ada sesuatu pun yang busuk di sini."

Tenten melihat ke kiri dan ke kanan, mencari untuk apapun. Mendengar perkataan Tenten, Koko menambahkan, "Baunya ada di mana-mana, tidak akan membantu kita menemukan apa pun."

"Di mana - mana, huh…" Benar juga. Tempat ini menjadi pengingat banyak memori bagi Tenten. "seperti kehidupan Tenten sebelumnya."

Bau itu memengaruhi Tenten lebih dari yang dia sadari.

"Kamu gapapa kan?"

"Tentang?" tanya Tenten.

Sebelum Koko dapat meralat kekhawatirannya, Tenten menjawab pertanyaannya sendiri.

"Kalau tentang kehidupan Tenten sebelumnya, tidak perlu khawatir karena Tenten sudah dewasa sekarang. Ehe~."

"Ha! Itulah semangat."

Dia memberikan tanggapan untuk mendorong jiwanya. Oleh karena itu, pencarian mereka untuk menemukan bola sepak tersebut terus berlanjut. Tenten memberi tahu bahwa sepuluh menit tersisa sebelum mereka hendak pulang.

"Hai, tentang topik kita sebelumnya. Aku nemu biang jijiknya di bawah sini."

Dia menyatakan begitu telinganya mendeteksi suatu temuan. Dengung banyak lalat. Baunya sudah tercium dari tadi. Mayat.

"Gak  perlu dilihat, Tenten."

Meski sudah diperingatkan, dia mengamati mayat pria itu dari atas bahunya. Di matanya yang melotot terlihat pembuluh darah kecil. Kaos polosnya robek―menampakkan beberapa tato di tubuhnya―dan bagian bawah tubuhnya ditutupi semak - semak. Dan ekspresinya, wajah yang sama ketika semua orang mencium gerbang neraka.

Duka. Horor. Suram. 

"Dia tampak familiar."

Gadis kecil itu tidak bisa melepaskan pandangannya dari wajah mayat ini. Bukan karena dia sadis―karena hukum kewajaran manusia menatap mayat orang asing dianggap aneh. Alasannya cukup sederhana.

"Tenten kenal dia."

Seketika dia menyebutkannya, bagian dalam dirinya melembung. Dia berhasil menahannya, tapi rasanya seperti menelan obat. Tak tertolong lagi, dia mengeluarkan suara hampir muntah.

"Tenten, jangan lihat!" 

Ibunya menggendong tubuhnya yang menggigil dan meletakkan kakinya di tanah. Alasan Tenten untuk digendong ibunya―karena kaki jelinya―kini lebih benar dari sebelumnya.

Sesaat dia menginjakkan kakinya ke tanah, dia tersandung ke belakang dan terjatuh.

"Tenten!"

"T―Ten…Tenten baik sa―"

"Gak, jelas tidak."

Berbaring di tanah dengan ibunya di depan membantunya menghalangi pandangannya ke arah mayat itu. Ibunya memeluknya di dada, namun dia tidak bisa menghargai usahanya. Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri.

Mengapa? Mengapa? Mengapa? 

Dia masih tidak tahu mengapa?

Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa?

Mengapa ini? Mengapa itu? Mengapa dia mempertanyakan jawaban atas pertanyaan mengapa? Mengapa dipertanyakan untuk mendapatkan jawaban hanya untuk beralasan dengan pertanyaan mengapa? Dia merasa jijik.

Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa?

Saat tangan tak kasat mata itu mencakar ke atas punggungnya, ke lehernya, dia tersedak oleh pertanyaan ini. Jijik.

Mengapa?

Inti rasa jijiknya belum terjawab.

Seharusnya sudah muntah sejak lama. Penampakan mayatnya? Organ kental yang bisa menggantikan kakinya kapan saja?

Apa yang membedakannya dengan mayat lain?

Semakin dia mempertanyakan hal ini, semakin ibunya diliputi kekhawatiran.

Semakin dia khawatir, semakin banyak pikiran Tenten yang bertumpuk, semakin banyak pula khayalan yang melintas di kepalanya. Lebih seperti mimpi buruk baginya. Jijik.

Jijik. Jijik. Jijik. Jijik. Jijik. Jijik. Jijik. Jijik. Jijik. Jijik. Jijik. Jijik. Jijik. 

Ini menjijikan. Ini… ini, huh? Ini apa? Haha.

PERGILAH.

"URMPHHHHHH"

Tenten yang menyegel mulutnya tuk mencegah teriakan dan muntahannya keluar, namun sebagian kecil dari jeritan itu masih keluar.

Segera, muntahannya menyusul.

※ ※ ※ ※ ※

Setelah menghabiskan tujuh menit, dia sudah tenang. Tiga menit lagi, tapi mengenal Domini, dia bisa menunggu.

Suhu sekarang lebih cocok untuk langit malam sekitar pukul tiga hingga empat. Berbaring di bangku ini, Tenten tidak menyangka kalau kalung jam itu bakal sangaaaaat berguna. Linimasa hari itu terasa lebih jelas ketika kamu bisa membawanya kemana - mana.

Dia juga lega dia belajar matematika di waktu luangnya.

Minumlah air dan tenangkan dirimu!

Sekitar satu menit yang lalu, ibunya menganjukan untuk melakukan itu.

Memang efektif untuk membuatnya kembali tenang. Menghabiskan satu menit lagi dalam keadaan seperti itu, dia bisa saja meminum air matanya sendiri.

Tetaplah di sini!

Dengan perintah tertanam di dalam dirinya, dia hanya bisa berbaring seperti ini untuk sementara waktu. Untuk menyibukkan dirinya, dia hanya memperhatikan punggungnya―masih menghalangi mayat―dan apa pun yang dilakukan ibunya untuk mengamati mayat itu.

 

Hal itu membuat gadis kecil itu penasaran, sama seperti tadi saat dia melihat gambaran sekilas.

Apa sebenarnya gambar itu?

Mimpi buruk? Kehidupan sebelumnya? Atau―

"Kamu baik – baik saja?"

Ibunya kembali untuk memeriksa dia. Dia meletakkan telapak tangannya di dahiku demi kesehatannya. Tenten menegaskannya lebih jauh dengan kata-katanya. 

"Tenten baik – baik saja, maaf dah membuat khawatir."

"Oh, syukurlah," dia lega sambil memeluk Tenten.

Dia tidak tahu apakah kenyamanan ini lebih bermanfaat baginya atau ibunya. Namun jika hal itu memberikan kenyamanan bagi ibunya, dia sungguh – sungguh bahagia. Keduanya membutuhkannya sebelum mereka mengungkapkan kekhawatiran mereka.

Koko menatap wajahnya. Poni pirangnya menutupi mata kirinya sementara kanannya sangat serius. 

"Kapan kamu melihat mayat itu?" dia bertanya, lebih seperti menginterogasinya.

"Ten…Tenten ti―"

"Apakah dia melakukan sesuatu padamu? Apakah ini ada hubungannya dengan kehi―"

"TENTEN TIDAK TAHU."

"…"

Hening. Ini latar sempurna buat keduanya untuk merenung.

Ibunya, Koko, berkata, "Maaf." Satu kata yang memadai penyesalannya dalam hal ini. Tenten menjawab dengan kata yang sama―sementara mereka sama-sama menyatakan dan menyalahkan diri mereka masing-masing.

Koko memelankan diri untuk menebus kesalahannya. "Jika kamu tidak ingin mengatakannya, tidak apa-apa, tapi aku perlu tahu apa yang terjadi denganmu sebelumnya."

Meskipun interogasinya lebih lembut, Tenten merasakan tekanan untuk menjawab ibunya. Itu mendorong otaknya untuk bekerja dan mencari jawabannya dalam perenungannya.  Alasan yang dapat diterima, teori yang masuk akal, dan logika yang konsisten untuk memecahkan kebingungannya. Dan dia menjawab, "…tidak tahu."

"Tenten minta maaf. Tenten berusaha sangaaaaat keras untuk ingat, tapi Tenten tidak bisa. Tenten hanya…

"…tidak tahu."

Sungguh mengecewakan berada dalam kondisi tidak berdaya seperti ini. Hampir sepanjang hidupnya, dia mencoba melakukan yang sebaliknya. Mengapa seperti ini?

"Menjijikan."

Rasa frustrasi akibat pertandingan sepak bola tadi lebih seperti amukan anak-anak dibandingkan dengan ini. Semua yang dia perlukan adalah tinggal melakukan yang dikatakannya. Itulah yang dia butuhkan untuk menghindari frustrasinya. Semua yang dia inginkan adalah―

"Kamu luar biasa, malaikat kecilku." 

Ah!

Sang ibu membelai rambutnya dan Tenten membuka matanya terhadap kenyataan. Angin kencang terasa menggoyang rambutnya. Dan, ibumu juga ada untukmu; memelukmu. 

"Lebih baik, bukan?"

"Haha, yeah." Meski tidak seberapa, Koko akhirnya bisa memberikan jawabannya

Dia mengelus lengan atas ibunya sebagai jawaban.

"Itu yang terpenting, untuk saat ini."

Itu adalah keringanan untuk hatinya. Itu adalah ketenangan di momen ini. Apakah dia menginginkannya selamanya? Ini adalah jawaban untuk hari lain seiring berjalannya waktu. Berbeda dengan es di ruang kepalanya, air pada kenyataannya terus mengalir.

"Mari kita akhiri ini, oke?" 

Ini sudah jam 4.

"Waktunya pulang."

Dia menggendongnya menuju mobil pick-up yang dijanjikan. Angin mulai kehilangan kehangatannya dan berubah menjadi semilir. Punggung ibunya sendiri adalah kehangatan yang hilang. Dia mengenang masa lalu. Segala hal seperti suara retakan yang keras, bahaya, atau orang dewasa di sekitarnya menghilang menjadi bayangan. Senang rasanya mengatakan bahwa dia bisa mendapatkan mimpi indah.