Aku membaringkan dia di kursi belakang mobil dan kata – kata ajaibnya
"Mimpi indah, manisku."
Ciuman di pipinya dan kami siap bergerak.
"Ada banyak orang di sana," kata Domdom dalam upaya memulai percakapan.
Jika kamu melihat ke luar jendela, kamu akan melihat sekelompok orang memarkir mobil mereka dan berpakaian rapi― setidaknya beberapa orang tidak seperti serangga ini dengan pakaian kasual mereka―ke acara tertentu.
"Umatku di sini untuk memujiku lebih awal."
Semua orang berkumpul untuk menciptakan pemandangan indah ini―kecuali kamu, serangga dengan pakaian kasualmu.
"Apakah ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan orang - orang fanatik ini."
"Gak ada, sayangnya. Iri ya, Domdom?" Aku menggodanya sedikit.
"Aku hanya khawatir, mengetahui statusmu dan… Nevermind."
"Jutaan pesonaku, bukan?"
"Bukan."
Terkadang, aku tidak tahu apakah dia orang yang bebal atau balik menggodaku dengan wajah dan respons datarnya. Oke, kembali ke topik.
"Tapi ini bagus, bukan? Bandingkan dengan apa yang kita miliki sebelumnya."
Ketika aku melihat ke luar jendela, yang kulihat hanyalah kumpulan manusia, kumpulan yang tiba ketika matahari masih berada di atas cakrawala di barat.
"Hanya sekelompok orang yang mencari penebusan di sini. Pasangan itu ada di sana agar cinta mereka dilindungi. Para tunawisma―bahkan dengan kemeja compang-camping―datang dengan kondisi sobek, tidak seperti orang biasa lainnya. Laki-laki dan perempuan hadir untuk menyucikan dosa-dosa mereka. Dan mereka semua berdoa kepada malaikat yang melindungi mereka dari antara matahari dan bulan."
Aku melihat pantulan diriku di jendela kaca ini dan kerumunan orang di belakangnya. Semuanya adalah wajah puas.
"Statistik populasi tentu setuju dengan hal itu," katanya ketika mobil mulai menjauh dari taman.
"Um, oke?" Kaku seperti biasanya.
"Kamu kedengaran seperti geregi karatan, Dom."
Dia selalu seperti ini, jika mobil kuno ini tidak cukup buktinya. Ada suatu saat aku ingat dengan jelas bahwa dia suka membaca atlas sebagai buku masa kecilnya―yang membuat kita berdua menjadi sama dalam hal keanehan. Dia selalu seperti ini. Dia selalu―
"Karatan…"
Saat aku sedang dalam trip memoriku, kata itu secara khusus memicu sesuatu di kepalaku. Saat itu juga, aku menarik napas dari mulutku sebelum menyatakan,
"Aku baru ingat sesuatu."
Domini bertanya padaku tentang apa yang kumaksud. Apa yang aku ingat. Apa yang menurut aku aneh tentangnya. Sesuatu yang kutemukan di taman. Bukan tentang mayatnya. Tidak ditemukan oleh mata.
Baunya.
"Ehhhh, kita bahas nanti aja."
Aku menguap sedikit, merilekskan kepalaku, dan tidak ada sedikit pun gas yang tersisa di pembuluh darahku. Waktu yang dihabiskan main sepak bola, berjalan sambal menggendong Tenten dan ransel kita dan tidur larut malam akhirnya menangkap aku.
"Domini, bisa minta tolong tidak?"
"Apapun untukmu, partner."
Aku melihat kea rah putriku di kursi belakang, memandang malaikat kecil yang tertidur dengan mataku terkulai setiap detiknya.
Ahhhhhh~ tak baik nih~ Aku akan mati. Lebih baik aku mengirimkan kata terakhirku. Harapan terakhirku.
"Bangunkan aku kalau dah sampai!"
Lalu, otakku yang terlalu dramatis bisa beristirahat dengan tenang.
Dan telingaku dengan jelas mendengar kata-kata terakhir dari Domini dengan suaranya yang menenangkan.
"Tidur nyenyak, kalian berdua."
Kenyamanan ini, mengingatkanku pada masa kecilku.
Dulu ketika aku melihat langit biru untuk pertama kalinya, aku mengira awan adalah tempat tidur yang semua orang harapkan Bagaimanapun, tempat tidur apa pun lebih baik daripada yang aku miliki saat itu. Bayangkan kekecewaanku ketika menyadari bahwa manusia tidak bisa tidur di gumpalan uap air. Itu jika kamu seorang manusia biasa.
Kenyamanan ini, ini dia, seperti roh hanyut. Aku melayang. Matahari menggosok kulitku dalam perawatannya dan awan lembut sebagai permukaannya. Aku…mengkontradiksi diriku sendiri?
…
Sejak kapan aku bisa terbang?
…
"Urghh."
Aku merintih seolah aku tenggelam―dalam air liurku. Terus, aku berenang ke atas menuju kenyataan.
"Huaaaaaaah~."
Aku mengangkat tubuhku dari tempat tidur yang nyaman ini. Detik yang diperlukan untuk duduk di tepinya, keburaman mulai menjadi lebih jelas. Jiwaku memperhatikan dari mata dan melihat sebuah ruangan.
Dinding bata yang tidak dicat, meja tidak spesial, souvenir yang tertata rapi di rak yang terdiri dari; banyak sekali miniatur Angel of Sin, jam tangan mahal, cincin berlian, perlengkapan 'kerja,' foto keluarga, dan satu set riasan. Ini kamarku, oke.
Kenapa aku di sini lagi?
Bangunkan aku kalau dah sampai!
Benar juga! Rencanaku adalah untuk dia membangunkanku, jadi aku bisa menggendong putriku ke rumahnya. Namun, bukan itu yang terjadi jika aku masih tertidur sampai sekarang.
Untungnya, aku menyadari kertas terselip kepalan tanganku ketika aku tertidur. Di situ tertulis,
Maaf telah menggendongmu Bersama putrimu. Saya sudah mencoba membangunkanmu dengan berbagai cara. Mencolek pipimu, memanggil namamu, bahkan berteriak sedikit tanpa hasil. Jadi, aku memutuskan untuk tidak mengganggu kalian berdua. Kalian berdua terlihat damai. Sekali lagi, saya minta maaf atas perilaku saya yang tidak pantas.
Dengan terhormat, Domini.
"Hehe~"
Apa yang bisa kukatakan? Tak bisa tidak bersyukur dengan piring di atas meja, ya'know. Meski begitu, aku tidak tahu apa yang harus aku pikirkan tentang seorang ibu dewasa yang putrinya digendong ke kamar tidur mereka. Aku akan memberitahunya saat kita bertemu lagi nanti.
"Masih ada lagi."
Aku, yang membalikkan selembar kertas itu, menemukan catatan lain di belakangnya. Pesan khusus untukku, bukan, untuk 'dia.'
Saya bisa memikirkannya nanti, bersama dengan topik 'itu' dalam pikiran saya.
Aku masih punya sisa tiga puluh menit lagi sebelum 'kencan malam' kita. Aku perlu melakukan aktivitas sehari – hariku di malam hari. Mandi, makan malam, dan memeriksa putriku. Lebih baik langsung ke prioritasku, aku mengunjungi kamar putriku―tepat di samping kamarku.
Tak ada seorang pun di sini. Huh?
"Tenten!"
Aku meneriakkan namanya. Hanya deburan ombak di pantai luar yang terdengar. Oh tidak.
"Jangan main petak umpet denganku, Tenten!"
Aku meneriakkan Namanya lebih keras. Hasilnya tetap sama. Tidak tidak tidak, kamu dimana?
"Tenten!"
Dimana? Dimana? Dimana? Rumah ini hanya memiliki empat ruangan utama, kamar mandi, dua kamar tidur, dan dapur bercampur dengan ruang tamu. Solusi termudah adalah dengan menutup mataku dan mendeteksi keberadaan fisik / gambar termal di rumah ini. Hasilnya,
Tidak ada orang yang berada dalam radius 500 meternya.
…/+-=0: -|!――
Tidak, tenanglah. Mari kita pikirkan hal ini dengan pikiran jernih. Memproses fakta dalam gawatnya situasi ini. Tenten adalah anak yang kuat, dia punya peluang besar untuk bertahan dari bahaya apa pun. Dan, hanya ada dua kemungkinan mengenai keberadaannya. Entah dia pergi dengan kemauannya sendiri, atau/+-=. Ini tidak membantu.
Mari kita perjelas satu hal sebelum mengambil kesimpulan. Benarkah tidak ada petunjuk atau catatan di rumah ini? Ternyata, ada satu.
Baunya.
Gak seperti mayat, ini kebalikan dari busuk. Ini adalah baud aging ikan yang baru dimasak bercampur dengan aroma minyak zaitun murni dari rumput segar. Sepiring paprika isi daging di meja makan kami, dan piring bersih di wastafel. Di sinilah aku menghela nafas lega saat melihat sebuah catatan tertulis di atas meja makan.
Selamat malam, Mama, atau pagi? Tenten berharap Mama menemukan catatan ini sebelum Mama panik. Tenten sudah memasakkan Mama paprika isi daging yang kami janjikan di taruhan sebelumnya. Tenten harap Mama menyukainya. Sayangnya, tidak ada garam di dapur kita. Kebetulan, Tenten akan berangkat untuk kerjaan komunitas di teater. Mungkin mencoba keberuntungan Tenten selama perjalanan. Siapa tahu Tenten akan mendapatkan garan dari salah satu anggota teater atau Paman Dom jika dia ada di sana. Tenten akan pulang saat matahari terbit. Jangan khawatir, ya!
P.S. Tenten menolak untuk makan paprikanya. Bantuin Tenten untuk tidak menyisakannya, ok? Sayang Mama!
-Tenten.
"Terkadang aku penasaran siapa ibunya di keluarga ini."
Aku membalikkan kertasnya lagi dan menemukan kartu bingo―dengan judul, Menebak Mama Setelah Pulang. Semua dua puluh lima kotaknya telah dilingkari.
Ribuan hal yang bisa kuucapkan sekarang tentang aku sebagai ibu yang bangga dan sebagainya. Akhirnya, aku bisa menenangkan hatiku. Untuk sekarang.
Aku mengambil piring kosong, mengisi piring dengan paprika berisi daging itu, dan menuangkan saus tomat di sampingnya. Aku mencicipinya
"Kebanyakan minyak zaitun," aku mengulasnya. Rasanya yang kuat membuatnya delapan dari sepuluh. Tapi semua hidangan adalah sepuluh dari sepuluh jika dibuat oleh orang yang dicintai―apalagi jika diiringi suara ombak di luar jendela. Nahhhh canda, itu berkat saus tomatnya. Ini sepuluh dari sepuluh berkat saus tomatnya. Maaf, koki profesional di seluruh dunia.
Makasih atas makanannya, kataku dalam hati.
Lalu, aku mandi sebentar, mengenakan pakaian kerjaku― jaket yang berisi perlengkapan mewahku, dan menjepitkan poni kiriku. Bulan merah terbuka untuk menatap kembali bulan sabit di langit.
"Waktunya bangun, tuan anggun?"
Aku menelpon seseorang. Karena ini adalah waktunya kencan malam kita.
"Mari segera masuk ke bisnis, Angel of Sin."
"Pertama, selamat atas misi Anda menyusup ke ruang bawah tanah pemerintah. Pelayanan Anda telah memenuhi harapan kami. Kami berharap hal yang sama untuk malam ini." tentang waktu dia menggendongku tadi
Sisi dingin di sini membuatnya susah untuk percakapan santai― tentang waktu dia menggendongku tadi. Suhu malam merasuki jiwa Domini, atau harus saya sebut "Sheep of Judgement." Na-nah, "partner" akan selalu terdengar lebih natural untukku.
"Laporan yang baru saja Anda kirim tentang pabrikan, data mereka dari setiap anggota terkemuka, dan rute titik utama saluran pembuangan tidak akan terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa ini mungkin dapat menjadi titik balik bagi kita.
"Hanya masalah waktu sebelum Kaisar kita bergerak."
Kakek itu tak pernah gagal menjadi bayangan yang mengikuti kita kemana-mana, terutama Domini. Setidaknya kejayaan depannya berpusat di sekitarku.
Sementara aku di tengah - tengah uraiannya dia, pikiranku berkelana lebih dari biasanya pada malam ini. Patroli yang biasanya itu sendiri terakhir satu bulan yang lalu karena ada harimau yang perlu kutangani di kebun binatangnya. Patroli kali ini adalah apa yang kuanggap sebagai bagian dari liburan saya, aku dengan hobiku.
"Ayolah, langsung ke misiku atau berikan pembayaranku!"
Ketidaksabaran mulai tumbuh dalam diriku setelah satu bulan penuh sabar di kebun binatang. Aku melihat ke kiri dan ke kanan menuju lorong sempit sebagai satu-satunya menara pengawas yang dimiliki kota ini dan menyibukkan diriku tanpa ada kejadian apapun.
"Sebelum menuju ke ringkasan misimu," Domini berkata. "Saya ingin memberi tahumu tentang latar belakangnya terlebih dahulu―bersabarlah bersama saya di sini.
"Kemarin malam, salah satu anak buahku menghilang." Dengar itu, Aku ucakan belasungkawaku meski kataku tidak sesuai dengan yang di dalam.
"Kemarin, kita sedang dalam ketika dia hilang di tempat misimu malam ini. Dia membuntuti salah satu eksekutif pemerintah dari ruang bawah tanah tempat Anda ditugaskan," terang Domini.
"Ya, kamu membiarkan salah satu tikusnya hidup Bukan untuk menyalahkanmu. Seperti yang saya katakan sebelumnya, layanan Anda telah memenuhi ekspetasi kami. Sama sekali bukan melebihinya."
Saya tidak ingin membela diri atau apa pun. Misi adalah misi. Saya harus mendengarnya seperti karyawan yang baik sambil menjaga keinginan bebas saya dari orang tua itu. Seperti misinya, aku adalah aku, seorang kapten terang – terangan dan Angel of Sin.
"Dimana terakhir dia hilang?" tanya kau dan dia menjawab,
"Taman Oripeccatum."
Taman yang kami kunjungi sebelumnya. Kerajaan yang memanggilku dari jauh.
"Aku sudah menuju ke situ."
"Sudah?" Domini bertanya. Segera, dia menutup pertanyaan itu dengan kesimpulannya. "Pantas terdengar Anda sedang lari."
Langkahku konsisten berlari menuju tempat itu. Itu cukup keras untuk terdengar dari telepon.
"Kamu bilang kamu punya sesuatu untuk didiskusikan setelah kamu mengunjungi taman itu."
"Kebetulan sekali, bukan?" Terlalu banyak kebetulan setelah apa yang kulakukan, pada waktu saat ini di kalender. Semua potongan imajinasiku, atau yang harus kusebut prediksiku, berkumpul dengan sendirinya. Berlawanan dengan kekacauan yang campur aduk di dalam dadaku karena membayangkan teka-teki visioner.
Saya menempatkan salah satu potongan puzzle dengan probabilitas tinggi.
"Ada kemungkinan bahwa mereka tahu siapa aku, benar?"
"Benar."
Potongannya cocok.
"Laporan dia lewat panggilan mengatakan bahwa bos dan pengikutnya membawa banyak ledakan ke taman. Kemudian―"
"Mereka semua tiba-tiba menghilang, dan hanya ada dua kemungkinan mengenai keberadaan orangmu dan para tikus itu. Di upaya kolaboratif mereka untuk menghilangkan mayat anak buahmu termasuk barang buktinya atau mereka semua ditelan bumi termasuk semua tikus itu." Aku pernah di sini sebelumnya, tapi saya tidak bisa membayangkan rasanya jika tidak ada petunjuk konkret. Mirisnya tumpuka kebetulan ini, membuatku percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini terhubung. Atau mungkin memang demikian.
Bukanlah kejutan lagi ketika Domini mengkonfirmasi prediksiku. Sejauh ini, prediksi ini lebih condong ke arah prekognisi.
Keberantakan campur aduk kita yang memainkan otak kita adalah salah satu hal yang terhubung di dunia ini. Hanya satu perbedaan di antara kita.
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Domdom, tertinggal dalam ketidakpastian. Sementara aku menyadari hal yang tak terhindarkan, bukan dengan mata merah ini tapi dengan―
"Bau darahnya."
Baunya seperti logam berkarat, manis dan menyengat, menembus lubang hidung hanya untuk membuat Anda tercekik. Satu tetes baunya harum keras; ada yang bilang dapat membangkitkan orang mati. Sementara tumpahannya―
"Seperti di sarang lebah berhantu― bercampur dengan bau logam berkarat. Bau harum pekatnya menyengat, manis tapi di mana - mana dan hanya bernanah dengan sisa-sisa lebah yang mati."
Sementara itu, taman Oripeccatum terlihat dari sini. Aku semakin dekat ke taman, sementara percakapan kami masih belum selesai.
"Di mana - mana?" tanya Domdom.
Di taman ini, sebuah taman yang muat untuk mansion Presiden KW dan lapangan sepak bola lain di belakangnya. Saya merinci bahwa baunya hanya sekitar dua puluh hingga lima puluh persen dari taman ― Saya membayangkan ukurannya sebesar ikan paus. Ada dimana-mana, apalagi di dekat gerbang masuk, dekat air mancur, sekitar patung.
"Namun tidak ada darah yang terlihat di mana pun."
Itu meningkatkan probabilitas sang pemerintah yang berkolaborasi untuk menghilangkan bukti.
Hanya saja ada dua hal yang membantahnya.
"Kondisi jenazah salah satu anggotanya yang mengenaskan." Mayat siang yang bertato di balik pakaiannya yang compang-camping, penuh sobekan tajam dan lubang peluru.
"Patung tak tercemar itu." Meskipun dikelilingi oleh bau darah, "Tidak ada satu pun bau darah yang menodainya"
Ada pihak ketiga yang membunuh sekelompok mafia, berhasil membersihkan seluruh taman, dan memiliki cinta tak bersyarat terhadap patung tersebut.
Bau darah semakin menyengat hidungku semakin aku mendekat ke taman. Saya tidak tahu lagi alasan di balik kelemasan pengap ini. tu pasti karena darahnya, kan? Saya harus mencari ketidakpastian dari "kepastian". Aku perlu melihatnya dengan mata kepala sendiri. Kepastiannya…
"Saya lupa mengatakannya. Hal terakhir sebelum dia menghilang, saya mendengar dari panggilan kami." Sebelum saya tiba di gerbang masuk tamannya, potongan terakhir dari puzzle membuat pandanganku jelas.
"Ada lagu bahasa raban."
". . ."
"Misimu sederhana. Cari dan singkirkan dalang di baliknya."
". . ."
"Semoga beruntung." Domini berharap dengan nada kaku dan acuh tak acuh sampai akhir panggilan kami.
". . ."
Dekat dan makin dekat, kesesakan ini mencekik nafasku. Berat, seperti beban di kakiku. Hal terbaik yang bisa dan selalu kulakukan adalah terus bergerak maju meskipun aku harus menyeret kakiku.
". . ."
Akhirnya aku di sini,
berdiri membeku di dekat gerbang masuk. Di bawah bulan, lagu itu menyapaku.
"E mi et le escontina~."
Kulihat dari kejauhan sebuah siluet dari bayangan panjang tersebar di depan patung. Bayangan itu tampak familiar, terlalu familiar. Begitu familiarnya hingga dia menyesal mempertanyakan identitasnya.
Sayap sang malaikat jatuh
"O plenitas o colindia~."
Lampu tiang menyinariku saat bebannya makin seiring langkah yang kuambil. Kuseret bola dan rantai tak kasat matanya sehingga aku bisa berdiri tegak di hadapannya. Selain wajah sedihku, apa yang ada di depanku adalah satu-satunya hal yang jelas.
Warna yang menetralkan semua warna.
"Mi mortis sicle ha juus costro~."
Hatiku sakit. Aku menekan tanganku di dada dan meremas jari-jariku. Detak jantung yang hancur mengetahui bahwa aku tidak dapat memundurkan waktu. Penyesalan dan rasa bersalah. Semuanya berantakan. Dengan jantung yang tak mau berhenti berdetak, ia merasa bersalah karena merasa melodi itu menebus kekacauannya.
Lagu dari surga.
"Mawé poco entalius~."
Dari kehidupan sebelumnya, lagu oleh putriku.
"Taan ma taan."
"La la lu la la loo."
"Plaute tai mi fai o gunema."
Takdir sekali lagi memutuskan kita untuk bertemu lagi dikelilingi oleh mayat-mayat ini.
"Hei, Tenten."
Kepala si gadis kecil― menghadap ke arah patung―bereaksi terhadap nama itu.
"Siapa kamu?"
Ouch! Sakit mendengarnya. Seolah takdir menyuruhnya untuk mengulang kejadian tersebut. Sungguh nostalgia. Anehnya, detak jantungku ini tidak lagi terasa sakit.
Aku tak tertolong. Aku tak tertolong ketika seseorang bertanya tentangku Lagipula tidak ada gunanya merosot dalam penyesalanku. Ini adalah kebangganku Ini adalah misiku. Aku harus melakukan apa yang ibu harus lakukan. Untuk menghukum kesalahan anak mereka.
Waktunya membuat ini benar.
"Aku adalah penyelamatmu dan―"
Saya menghadapinya sekali lagi setelah tujuh tahun. Menjadi apa yang telah saya abaikan.
"Aku penjahatmu."
Bulan merah di mataku memperhatikan putriku dengan penuh semangat.
Bulan biru balas menatap dengan keji.
"Dewasa jahat terdeteksi."