Chereads / Angel of Sin [INDONESIA] / Chapter 6 - Chapter 2: Bau Masa Lalu (1/3): Stimulasi Anniversary di Taman

Chapter 6 - Chapter 2: Bau Masa Lalu (1/3): Stimulasi Anniversary di Taman

Adrenalin mengalir melalui pembuluh darahku, menyulut tubuh berkobarku. Seluruh tubuhku terus bergoyang tuk memadamkan api, sehingga otak bisa memusatkan fokus.

Menyelia sambungannya, dan kamu akan mendapatkan kendali penuh marionettenya 

Prinsip yang sama dapat diterapkan di mana saja, terutama di sini, pada otak dan tubuh Anda. Ngomong-ngomong, bahkan tangan seorang ahli marionette pada intinya juga dikendalikan oleh otak. Ini hanya soal mengontrolkan kendalinya menjadi kendali mutlak. Adrenalin adalah kuncinya.

Tidak membiarkan darah dan oksigen masuk, kamu akan menjadi orang bodoh. Membiarkan adrenalin mendominasi tubuh dan otakmu, kamu akan mabuk. Adrenalin harus ditujukan untuk meningkatkan keterampilan dan otak kita hingga kapasitas maksimal.

Itulah keadaan yang saya alami saat ini bersama putri saya dalam permainan sepak bola ini.

Di dua kali lipatkan oleh adrenalin, dua puluh hingga lima puluh kata diproses setiap detik dengan cara kriptik yang kami pahami sepenuhnya. Sungguh program yang penuh teka-teki di dalam tengkorak kita. Menakjubkan.

Tapi hanya di ruang inilah lecepatanku menyamai kecepatan putriku.

"Apakah itu yang terbaik dari Mama?" dia menyatakan sambal mencuri bolaku dari celah di antara kedua kakiku.

  Aku menanggapi dengan menhalanginya menuju tiang gawang. Kali ini, aku fokus pada posisi kakiku agar dia tidak memanfaatkan celah yang sama seperti yang baru saja dia lakukan.

  "Kamu bukan yang terbaik kalau aku ada," 

Dan responnya adalah dengan mempercepat dribelnya seperti orang gila. Bola itu terus bergerak di bawah pusarnya seolah-olah itu adalah rekan dansa Tenten. Luar biasa, harus saya katakan.

Sejauh itulah yang bisa saya komentari tentang anak muda dewasa ini sebelum waktunya ini dengan kelicikannya. 

"Ini tidak cukup untuk mengalahkanku, Tenten."

Apa yang kurang dalam kecepatan diimbangi dengan fisik dan pengalaman. Dengan pengalamanku, naluriku telah makin tajam. Dengan fisik saya, tubuh saya akan mencapai celah dalam pola dribblingnya.

Tak peduli seberapa cepat putriku di sini, ketika dia tumbuh, or aspek lainnya di hidupnya. Jika kamu ingin memenuhi janjimu kepadaku. Aku akan menjadi dindingmu.

"Victory!"

Ah, cita rasa manis dari krim stroberi ditambah wajah kekalahannya sebagai toppingnya. Aku berlari, mengambil bola di dalam tiang gawang, dan membanggakannya di depan wajahnya. Hahahaha! 

Lagipula, kemenangan harus di selebrasikan. Selebrasi sinonim dengan kembang api. Karena tidak ada kembang api yang diluncurkan, aku meluncurkan bola ke langit dengan sepatu sang juara.

"Yeah!" 

Tenten hanya menonton aku. Matanya menyipit, dan bibir eratnya membentuk garis lurus. Aku seorang sadis untuk menyukai wajah itu.

Oh tidak, aku merasa bersalah.

"Simpan sarkasmenya, Ma"

Matanya sangat-sangat menyipit hingga tertutup oleh beban rasa frustasinya. Yang mana, jika saya menyadarinya lebih awal, saya akan mengatakannya lebih lantang. "Humph," Tenten ngambek. 

Baiklah, baiklah. Aku tak mau mengulur ini lebih lama. Aku meminta maaf kepadanya. Dan untuk menebus itu, "Aku akan membelikanmu minuman sambal mengambil bolanya." 

Tidak banyak, tapi tindakan kecil kasih sayang orang tua sama dengan udara segar di sekitar kita, ya'know.

Aku perlu berangkat, sekarang. Untuk si bola manis putriku. 

"Tunggu!" Sebuah suara mencegatku, tergenang dalam keringat dan napasnya. Sambil duduk di tengah lapangan, dia berkata, "Bawa Tenten bersama Mama."

Dia memberi isyarat dengan keempat jarinya di kedua telapak tangan menghadapku dan menunjuk ke arahku.

"Kaki Tenten seperti jeli," dia menambah.

"Baiklah, kurasa aku pantas menerimanya,"― Aku menawarkan punggungku padanya dan dia menaikinya―"sama seperti aku pantas mendapatkan kemenanganku." 

Saat aku bilang itu, dia meraih bahuku, duduk di atasnya, dan meraih awan.

"Jangan lupa janji kita. Paprika isi daging untuk makan malam ki― ow ow-Ow-OW." Dia mencubit pipiku, meninggalkan bekas semerah rasa frustasinya. Aku harap tidak semerah mata kiriku. 

"Aku akan kalahkan Mama, selanjutnya." 

Deklarasi yang pernah kudengar sebelumnya. Di bawah langit biru.

"Bukankah kamu mengatakan hal yang sama sebelumnya? Kalau begitu, di manakah ikan goreng kita untuk makan malam?"

Aku sedikit menjengkelkan dia, tak menahannya karena kebiasaan lama sulit dihilangkan.

"Aku akan kalahkan Mama, selanjutnya." Kata terakhir yang tegas diucapkan dari lidah pahitnya. Sebaiknya aku segera menyegarkannya dengan minuman.

Sementara itu, lebih baik aku menebus diriku untuk menjaga harga diriku sebagai seorang ibu. Aku hanya harus jujur ​​padanya. 

"Tidak sabar menunggu hari itu tiba, ya'know. Hari di mana kamu akan merawatku di masa pensiun."

"Tenten sudah melakukannya, kalau tidak, tak kan ada hidangan apapun di paginya." Benar. Itulah alasan lain mengapa aku tidak boleh membuatnya membenciku, atau dia tidak mau memberiku makan di pagi hari.

"Haha. . ." Tawa gugup menunjukkan dua hal; entah karena pemikiran barusan atau karena aku baru saja mendapat kenyataan yang mencoreng harga diri keibuanku. Pada akhirnya, tidak ada hal yang bersifat pribadi karena dia hanya menyampaikan fakta―yang tidak aku keluhkan.

"Apa yang kamu katakan tidak salah, tapi izinkan aku menyampaikan faktaku sendiri."

Kami tiba di depan mesin penjual otomatis.

Memasukkan uangku, aku membayar perhatiannya dengan ini.

"Besok, pada tanggal 28 September, akan menjadi anniversary ke-7 dari Angel of Sin, the day you were reborn. hari dimana kamu dilahirkan kembali. Ditambah lagi tiga tahun sebelumnya, totalnya menjadi sepuluh tahun."

Menekan pilihan minuman dinginnya, aku mendambakan semilir angin bulan selanjutnya. 

"Satu dekade penuh 'pemurnian', seribu orang menentang yang tak terhindarkan dari aku, tidak ada satupun yang berani melawan 10 tahun karir saya. Jadi―"

Untuk malaikat kecilku di awan, kutukarkan hadiahku karena rasa penasaran akan prolepsisnya.

"Gimana kamu akan mengalahkanmu, Tenten?"

Tenten meremukkan permukaan kaleng dengan tanganku yang masih memegangnya. Dengan itu, dia menjawab,

"Tenten hanya perlu menjadi sehebat Mama." 

Deklarasi yang pernah kudengar sebelumnya. Di bawah bulan biru

"Itu tak semudah itu, ya'know. Untuk dulu dan tidak akann pernah mudah.

"Baik dulu, sekarang, atau di masa depan, Kamu harus mengalahkan aku untuk menjadi aku."

Janji sungguh merupakan hal yang indah.

Tidak banyak gerakkan yang kami lakukan saat ini selain berjalan mencari bola yang hilang. Pidatoku barusan hanya untuk mengisi keheningan seperti biasa, seperti aku menikmati masakan putriku biasanya.

"Lebih hebat dari Mama untuk menjadi Mama, heh?" dia heran.

"Tidak masuk akal jika kamu mengucapkannya, huh? Haha."

"Tidak, itu masuk akal bagi Tenten."

Kuharap begitu, karena aku tidak terlalu memikirkan kata-kataku. Melainkan saya hanya mengucapkan janji yang saya yakini, kami yakini, selama 7 tahun terakhir, tanpa ada tanda-tanda penangguhan masa depan kami.

"Jangan mati sebelum itu terjadi."

"Nyawaku milikkmu, malaikat kecilku."

Aku tidak bisa melihat ekspresinya dari balik bahuku. Tapi aku bersyukur dia tidak bisa melihat sedikit pun duka di wajahku juga. 

"Berapa menit lagi yang tersisa, Tenten?"

"Lima belas menit sebelum Paman Dom menjemput kita menurut kalungnya." Dia memanfaatkan hadiahku dengan baik rupanya.

"Kenapa tanya?"

Mengapa? 

"Aku hanya berharap ketenangan ini bertahan selamanya."