Chereads / Angel of Sin [INDONESIA] / Chapter 4 - Chapter 0 Epilog: Cahaya di Belakang Penyelamatnya.

Chapter 4 - Chapter 0 Epilog: Cahaya di Belakang Penyelamatnya.

Badai, sang pencipta visi kehilangan.

Sayap kupu-kupu, sang alasannya.

Hubungan dasar teori kekacauan.

Selalu bersarang pada manusia.

. . .

Bak lautan bintang, kekacauan muncul.

Dan sang narsis jadi yang terpesona.

Lihatlah kekacauan yang lebih unggul.

Sebagai bintang terbesar di malamnya.

-Koko, September 27th.

※ ※ ※ ※ ※

Sangaaaaat keren.

Otak Tenten menggigil sedikit. Entah alasannya karena efek samping kecil dari kekuatannya atau karena kekaguman pertama kalinya mendengar puisi masih belum diketahui. Ketidakpastian.

Berbicara tentang itu, sekitarnya penuh dengan darah yang melukis dinding dan lantai, atmosfir yang seolah jiwa orang dewasa ini mengutuk mereka yang hidup, bersama dengan kegelapan yang mengusap kulitnya ditemani dengan dengan cahaya kecil yang melewati jendela itu membuatnya meraasa aneh―tak perlu menebak lagi siap pelukis di balik pemandangan ini.

Biasanya, ini hanyalah jalur biasa antara penjaranya dan lab eksperimen. Sebuah koridor dengan jendela – jendela besar yang berjajar dengan indah. Sebagian yang dia lihat di balik jendela itu hanyalah semak-semak yang menutupi sebagian besar bagian bawah jendela dan kadang-kadang pohon besar juga muncul, tapi tidak terlalu sering.

Di antara jendela tersebut adalah pintu besi dengan papan angka tiga digit di sampingnya. Tidak ada yang benar – benar tahu selain orang dewasa mengenai arti dibalik angka tersebut, lagipula itu tidak penting bagi semua anak berkerudung merah yang memasuki pintu, dimakan para serigala, dan tidak pernah kembali seperti nenek dalam dongeng.

Namun mereka tidak perlu takut lagi pada mereka karena serigala-serigala ini telah kembali ke rumah ke tempat sepatutnya. Dia tidak bisa menahan senyum kecilnya dengan giginya yang tidak teratur.

Meski dengan kepuasan kecil itu, tubuhnya masih merasa tidak nyama tanpa alasan. Ketidakpastian.

Alasan dari kejanggalan dalam dirinya mungkin karena hal yang ada di depan mereka, sebuah pintu besi dua daun di ujung koridor.

Saat mereka semakin dekat menuju pintu keluarnya, jantungnya berdetak, menggelepar, dan berdebar dengan kencang menghadap ketegangan yang datang di balik itu. Ibunya memperingatinya untuk menjepit hidung sebelum melewati pintunya, namun dia tidak menjelaskan lebih lanjut alasanya. Tanpa disengaja, dia membuat Tenten bersemangat dengan detak di jantungnya semakin keras.

Akhirnya, kedua pasang ibu dan anak―masih saling berpegangan tangan―sampai di ujung koridor. Ibunya, Koko, membuka pintu. Di belakangnya, tampak sebuah aula besar. Terdapat lampu kristal besar tiga lapis di tengah langit-langit aula, bersama dengan tangga melengkung panjang dan banyak arsitektur mewah lainnya. Sederhananya, mereka berada di dalam sebuah mansion.

Di sekeliling aulanya berantakan dengan banyak perabotan rusak, kemungkinan adalah salah satu jejak liar Mamanya―terlihat lemari raksasa di depan mereka tergeletak di lantai sebagai barang yang paling mencolok selain mayat – mayat ini. Jejak lainnya sama dengan yang ada di koridor sebelumnya dengan satu-satunya perbedaan adalah bau tajam dari bau kimia manis yang menggelitik bola penciumannya―meskipun dia sudah menjepit hidungnya.

Secara keseluruhan, itu cukup mengecewakan. Secara keseluruhan, itu cukup mengecewakan. Detak jantungnya sedikit melambat, namun perasaan janggalnya tidak kunjung hilang. Dan ini menjadi lebih buruk ketika suspensi lainnya muncul dari pintu dua daun lainnya―lebih ramah dan lebih mewah dari pintu sebelumnya―tepat di depan mereka. Kali ini menuju dunia luar, dikonfirmasi oleh perkataan ibunya di aula.

Apakah ini akan menjadi kekecewaan lagi baginya? Siapa tahu? Satu-satunya hal yang malaikat kecil ini tidak ragukan adalah antisipasi yang membunuhnya.

Kapan terakhir kali perasaan ini muncul? Tiga tahun yang lalu? Apakah saat para orang dewasa yang tidak dia kenal membawanya ke tempat aneh ini? Apakah juga saat orang dewasa yang sama mengikatnya di meja untuk pertama kalinya? Atau mungkin sebelum dia menyadari kekuatan 'membaca' yang dimilikinya? Dia tidak yakin akan hal itu. Ketidakpastian.

"Kamu gapapa?" Koko bertanya pada putrinya dengan cemas.

"Eh?" Tenten menoleh ke ibunya, menatapnya dengan satu tangan menjept hidungnya." Dia menyeka sedikit keringat di dahi putrinya dengan jari telunjuknya.

"Tanganmu sudah bergemetar beberapa saat sekarang. Ada keringat dingin yang terlihat jelas di sini juga. "Apakah kamu hanya merasa anxious?"

Anxious? Sebuah kata baru untuk kosa kata gadis kecil itu. Jadi, dia bertanya padanya tentang hal itu.

"Anxiety?" Ibunya terdiam sebelum menjawab, "Itu apa yang kamu rasakan sekarang. Itu saja sudah cukup jelas, kan?

Itu adalah penjelasan setengah – setengah kepada malaikat yang kebingungan.

Tidak terkesan.

Kata-katanya mungkin bukan penjelasan pembuka mata seperti sebelumnya, atau kata-kata yang ingin dia dengar darinya. Namun tidak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan apa yang ingin didengarnya.

"Hal seperti ini itu oke, ya'know? Anxiety adalah reaksi normal dan sesekali muncul terhadap ketidakpastian tentang apa yang terjadi selanjutnya."

Dia memberikan putrinya kesimpulan sederhana dibalik pemikiran cemasnya tentang satu kata penting yang menghantunya. Ketidakpastian.

"Ohhhhhhhhhhh."

Sekarang dia menyadarinya, dia langsung mempertanyakan kelemahan di balik kesimpulan tersebut daru melihat dia. Ketidakpastian.

Wanita ini, Koko, adalah kontradiksi dari konsep tersebut. Menurut "kamusnya," dia seharusnya dianggap asing baginya karena mereka baru bertemu kurang dari setengah jam yang lalu.

Tapi kenapa Tenten―

"Semua akan baik – baik saja, malaikat kecilku."

. . .

Kata – kata penenang yang memberinya kesimpulan yang sederhana. Kesimpulan yang sejelas langit pagi saat Tenten memandang dia dengan pikiran khawatirnya mereda.

Dengan senyum lebar di muka Koko, dia bilang, "Aku jamin, setelah kita keluar dari sini. Perasaan itu akan berubah menjadi abu olehku."

Itulah kata-kata yang ingin dia dengar darinya.

"Ayo, jalan. Menuju acara utama malammu. Menuju dunia luar. Dan akhirnya, kebebasan kamu. Hehe~"

Saat mereka bergerak ke arah itu, malaikat kecil itu merasa puas dengan dirinya sendiri. Tangannya berhenti gemetar dan jantungnya kembali tenang meskipun dia belum mencapai dunia luar. Karena dunianya ada di sini.

Berkat kehangatan dan cahaya yang diberiakannya, dia mencapai kesimpulannya.

Ini bukan tentang sudah berapa lama kita bertemu, melainkan tentang seberapa berartinya dia bagi Tenten di saat – saat singkat itu.

Di belakangnya, dukungannya adalah energi untuk mendorongnya dan mengatasi segala rintangan di jalannya. Bagian terbaiknya adalah kejujuran yang bisa dia deteksi hanya dengan menutup matanya. Itu berarti segalanya baginya. Dia menunjukkan kehangatan bulan melalui warnanya.

Ini bukan tentang hidup di masa lalu, tapi tentang hidup di masa kini dan masa depan.

Di hadapannya, sebuah jalan terang menunjukkan arahnya di antara cabang kemungkinan tak terbatas yang menuntunnya menuju perubahan ideal yang diinginkannya. Lebih baik menatap ke depan dengan harapan yang tinggi daripada memaksakan diri untuk kembali terpuruk. Dia menunjukkan padanya cahaya bulan melalui dirinya, dengan mata kirinya memantulkannya.

Itu benar, tempat di mana Tenten diterima―

Sebelum dia menyelesaikan kalimat terakhir dari kesimpulannya, ibunya membuka pelan pintunya, menuntun putrinya menuju kebebasan. Inilah yang ia tunggu-tunggu selama tiga tahun, namun anehnya hal itu tidak menjadi fokus utama pandangannya. Saat itu, fokusnya tertuju pada bagian kiri wajah ibunya, dengan bulan di belakangnya menyerupai warna merah karat pada mata kirinya.

―Tempat dimana Tenten diterima berada di bawah bulan merah dengan semangat untuk malam yang lebih baik.

Saat itum dia belum menyadari bahwa mereka sedang berada di depan kerumunan orang dengan pakaian yang sama. Menempatkan mereka berdua menjadi pusat sorotan dengan senapan menodong ke arah mereka, khususnya ke arah Koko.

Mereka akhirnya sampai di acara utama.

"It's show time, bay bay."

※ ※ ※ ※ ※

Saat dia tersadarkan kembali, dia telah mengambil dua puluh langkah ke depan atau lebih dari pintu masuk, meremukkan setiap daun dengan warna yang sama dengan gerhana di atas sana.

Mata Koko, ibunya, sibuk melihat sekelilingnya. Di depan, belakang, kiri, kanan, atas, dan di bawah. Matanya terfokus pada segalanya. Di tengah kebingungan, gadis kecil bernama Tenten meniru perbuatan ibunya.

Ada sebuah pohon dengan dahan penuh daun yang sama dengan yang ada di bawah kakinya. Apa yang ada di balik dedaunan berguguran di tanah adalah lempengan batu dengan pola konsisten yang memanjang menjadi jalan lurus sepanjang empat puluh meter yang tampak bagus. Di antara jalan lurus ini, terdapat taman - taman indah yang bentuknya mencerminkan satu sama lain, lapangan hijau yang sama dengan air mancur yang sama, serta semak dan pohon yang sama yang pernah dilihatnya di tepi jalan lurus yang sama. Dan di ujung jalan ini, di situlah orang-orang dewasa berada, menghalangi jalan mereka.

Jadi, inilah dunia luar?

"Tenten, tutup mata kananmu dan sembunyi di belakangku, sekarang!" dia berbisik dengan punggung menunduk ke sisi kiri bawahnya. Tenten menutup kedua matanya dan bersembunyi di balik kakinya mengikuti perintah yang datang dari telinga kanannya.

"Ngapain aj sih lama banget?" kata dia, dengan nada cukup arogans. Dia tidak tahu dengan siapa dia berbicara. Untuk memuaskan rasa penasarannya, dia mengintip sedikit dari mata kirinya. Leher ibunya menjepit sebuah teknologi berbentuk datar yang memungkinkannya melakukan percakapan jarak jauh.

Setelah rasa penasarannya sedikit mereda, Tenten kembali memejamkan matanya. Semua fokus sekarang pada pendengarannya.

"Berani – beraninya kamu menelepon kami dengan HP-nya!" Suara yang dalam dan serak, mungkin suara laki – laki, berasal dari benda yang disebut 'HP' di lehernya. "Hei, kamu belum menjawabku, tolol," katanya kali ini dengan nada jengkel. Ada keheningan yang nyata dari telepon. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Masih tidak ada jawaban.

Meskipun dia menanyakannya, dia sudah mengetahui jawaban di balik pertanyaannya sendiri.

Toh, si tolol ini sudah menceritakan semua jawaban dari panggilan telepon kita sebelumnya, Hehe~. Itulah yang dibaca gadis kecil itu.

Yang mengikuti pikiran itu adalah kata – kata acak tanpa konteksnya. Kata – kata itu adalah ledakan, jarak jauh, satu jam, bala bantuan, dll.

Tujuh detik. Koko Koko belum mendapatkan jawaban yang sudah dia ketahui. Jadi, dia berinisiatif memecahkan keheningannya terlebih dahulu. "Apakah hanya ini yang kamu punya?" Dia tidak dapat memahami alasan meremehkan mereka, karena Tenten melihat berbeda gawatnya situasi ini. Ada sekitar seratus, atau dua kali, bahkan mungkin tiga kali lipat jumlah orang di depannya. Mereka semua bersenjata lengkap dan dilengkapi dengan rompi kokoh

"Angkat tanganmu, sekarang." Suara melengking jauh meledak keras menggunakan teknologi penguat suara berbentuk kerucut. Itu adalah suara serak yang sama dari orang dewasa di HP tadi dan dia tidak menganggap enteng hinaan itu./

"Dimana Presiden?" orang dewasa bertanya lewat HP.

"Siapa tuh?" dia bertanya balik. "Ah! Maksudmu Presiden KW di negara tak asli ini?" dia ucapkan dengan lantang hanya untuk memberikan dirinya kesempatan untuk mengatakan jawaban itu, atau lebih tepatnya, hinaan.

"Kuperjelasin, nih." Koko punya tanggapan di pikirannya untuk melawan balik ancamannya, meninggikan tanah pijaknya tuk menguntungkannya. "Aku menghancurkan ribuan dari kaummu sendirian di sepenjuru pulau ini, kamu bisa percaya atau tidak tapi itulah kenyataannya. Itu sungguh nyata. dan kusarankan kau memberiku penghargaan nobel untuk itu, tolol." Dia melawan api dengan api. Simpel, Terlalu simpel. Setidaknya sederhana lebih baik daripada menambahkan kerumitan di akhir seperti yang dia lakukan saat ini.

"Kamu yang perlu paham." Orang dewasa itu bicara balik "Saya tidak tahu apakah mentalmu gila atau sekedar bodoh, tapi saya ingatkan bahwa kami telah mengepungmu, ini bukan stand-up comedy dan leluconmu tidak lucu."

"Aku mengenal musuh saya dan diri saya sendiri dengan sangat baik. Kalian orang barbar di tengah manusia adalah orang-orang yang perlu memahami siapakah Tuhan di antara kita di sini,"

"Oh hebat, salah satu remaja itu."

Kedua orang tersebut memasuki percakapan bolak - balik untuk menegaskan otoritas mereka atas situasi tersebut, sementara Tenten masih bersembunyi di balik kaki ibunya dengan mata masih tertutup.

"Dimana Presiden?"

"Entah di mana yaaaaa~," katanya dengan nada menggoda, "'Dimana O dimana tuan KW itu saat ini?' itu yang kamu minta, tapi kamu tidak pernah bertanya 'bagaimana kabar presiden?' Pacarmu akan patah hati, tahu." Yang terjadi selanjutnya adalah tawa histeris yang menertawakan leluconnya sendiri. Dia melanjutkan ejekannya.

"Lalu bagaimana kalau kamu bertanya dengan baik seperti bayi laki-laki yang manis? Tapi itu tidak perlu, kan? Karena kamu tahu takdir orang-orang di sekitarku, orang yang gila mentalnya atau sekedar bodoh yaitu aku. Paham? Kata – katamu! Hahahaha! MENGGELIKAN."

Keringat kecil mulai turun dari dahi gadis kecil itu sementara dia mempertanyakan alasan di balik provokasinya. Tenten mungkin tidak punya pengalaman memberontak seperti ibunya, tapi dia pun tahu konsekuensinya. Seperti api yang sama yang dia lawan dengan api sebelumnya dan cahaya panas darinya menunjukkan kepada orang yang berakal sehat hasil yang jelas darinya.

Orang yang melawan api dengan api akan berakhir menjadi abu.

Dan nyala api itu siap menelan mereka berdua.

"Angkat tanganmu sekarang atau kami akan mulai menembak." Suara melengking lainnya terdengar keras. Tenten mengintip untuk memastikan situasinya. Dia melihat cahaya yang membuat mereka menjadi sorotan tadi menjadi lebih terang. Mainan mereka―mainan yang sama yang digunakan oleh penjaga laboratorium yang disebut senapan―diarahkan ke mereka berdua.

Kemudian dia memejamkan mata untuk melihat, mendengar, dan 'membaca' sisi situasi yang tidak terlihat. Suara kicauan banyak burung menggetarkan sel otaknya. Berbeda dengan dulu ketika kata-kata mereka saling bertumpang tindih dan tidak terbaca oleh otak kecilnya, kini kicauan mereka penuh dengan kata-kata yang lebih konsisten. Perintah. Perintah. dan Perintah.

Semua ini menunjukkan arah badai yang sedang menuju ke arah mereka. Namun Koko tetap bertahan menghadapi muka dari badai.

"Ini adalah kesempatan terakhirmu," dia deklarasikan sambal menekankan dua kata terakhir itu, "Belum terlambat untuk menghilangkan rasa superioritasmu dan menye—"

"Seolah kamu akan membiarkan aku hidup. Apa yang membuatmu berpirik bahwa kamu bisa membunuhku?"

"Dengan anak di sampingmu itu, apa yang membuatmu berpikir kamu bisa melakukan apapun?" Untuk pertama kalinya, keberadaannya diakui, namun sebagai sandera.

Orang dewasa itu seperti binatang buas yang menggeram agar terlihat kuat. Meskipun perbandingan tersebut mungkin tidak akurat untuk orang dewasa yang menggunakan ancaman rendahan.

Mengesampingkan rasa jijik sang malaikat kecil dengan kebencian, tidak ada yang bisa mengubah fakta bahwa 'senjata' mereka―taring dan cakar mereka yang disebut senapan―adalah ancaman nyata. Jadi, apa yang bisa dia lakukan?

Apa yang membuatmu berpikir kamu bisa melakukan apapun?

Pertanyaan itu terulang kembali di kepala sang ibu. Petanda dilemma untuk jawaban yang tak terbatas. Memikirkannya secara matang adalah hal yang normal demi keakuratan untuk melancarkan dampak dengan niat kedua orang yang dimasukkan ke dalam pemikirannya. Itu kalau mereka normal.

Dia mencapai kesimpulannya tanpa satu kata pun terlintas dalam pikirannya. Apa yang Tenten lihat di benaknya adalah gambaran agung tentang diri ibunya yang sedang berlutut, pinggang terangkat tegak, dan lengannya terentang lebar. Segera, dia melakukannya tanpa ragu-ragu.

Dia membuka matanya dan melihat kenyataan yang familiar dengan satu-satunya perbedaan adalah ponselnya masih terjepit di antara bahu dan pipinya. Tiba-tiba melepaskan tangan Tenten yang tidak ingin dilepaskannya. Sebagai gantinya, siluet punggungnya―ditutupi oleh rambut pirangnya yang berantakan―memanggilnya.

Membisiki angin untuk datang dan menyambutnya.

Panggilan sayap merah untuk melihatnya.

Seolah – olah dia adalah pusat galaksi.

"Apakah aku mendapat perhatian semua orang sekarang?"

Terbungkus dalam rasa kagum dengan pemandangan di depannya, tubuhnya ditarik olehnya dan dia bergerak sesuai dengan perintah samar ibunya untuk berlindung. Apakah perintah itu benar - benar dimaksudkan atau tidak, itu tidak penting. Dia hanya ingin menempel ibunya.

"Kita belum memperkenalkan diri, eh?" Hal itu tidak diperlukan, biasanya, untuk situasi seperti ini. Presentasi pribadi dari satu orang ke orang lain. Pekerjaan yang mereka lakukan dan percakapan yang mereka lakukan sudah cukup jelas untuk mengetahui dengan siapa mereka berbicara. Itu memang cukup jelas untuk memahami alasannya.

Koko membuka tangannya lebar – lebar untuk mereka, para musuh – musuhnya dan putringa, dan menawarkan mereka kesempatan.

"Aku akan memberimu kesempatan pertama untuk memperkenalkan dirimu."

Dia membuat keputusan yang membuka jalan dari refleksi bulan darah. Setelah itu, mereka bertukar kata-kata terakhir.

"Kita jamin otak bodohmu akan laku."

"Gigit aku, macan."

Dimikianlah menandai akhir dari awal . . .

"Dalam aba – aba saya,"

. . . dan awal dari akhir.

"TEMBAK"

Di tengah mata topan, dia memeluknya dan menghadapi kematian.

――

―――

Nol detik telah berlalu.

Telinganya langsung tuli mendengar rintik – rintik air hujan bertubi – tubi yang jauh lebih keras dari biasanya.

Satu detik telah berlalu.

Matanya terpejam tanpa ada orang cacat di sekitarnya. Naluri mempertahankan dirinya telah hilang, menyisakannya hanya dengan penerimaan nasibnya sendiri. Tetapi . . .

Dua detik,

―Tiga detik,

――Empat detik,

―――Lima detik.

Tetapi dia masih hidup.

Sang topan mengamuk seharusnya menampar mereka hingga ketidaktahuan, mendorong mereka menuju kehancuran. Guntur telah menyambar mereka pada momen kefanaan yang tak terelakkan lima detik sebelumnya. Namun setelah semua itu baru terwujud sebuah mukjizat yang berdiri di hadapannya.

Enam detik telah berlalu.

Dia masih hidup berkat penyelamatnya.

Itu tidak menembus tubuhnya melainkan berbenturan dengannya, seperti tetesan air hujan ketika menyentuh tanah. Tekanannya terasa dari punggungnya. Itu mendorong tubuh ibunya, seringkali tubuhnya sedikit tersentak ke belakang.

Delapan detik telah berlalu.

Itu adalah tempat sempit untuk bersembunyi tepat di tengah punggungnya yang mengakibatkan perasaan campur aduk selama sepuluh detik karena nalurinya yang penuh naik turun.

Fear. Relief. Awe. Anxious.

She can only watch the madness unfold while anticipating what will happen next.

Sepuluh detik telah berlalu.

Masih "hujan" deras. Ini mencekiknya. Jantung dan telinganya tidak terbiasa "meledak" karena suara keras yang terus menerus. Segalanya dari hati ke pikiran lebih cepat dari biasanya, berharap ini akan segera berakhir.

Takut. Lega. Kekaguman. Anxious.

Dia hanya bisa menyaksikan kegilaan yang terjadi sambil mengantisipasi apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tiga belas detik telah berlalu.

Mereka terus maju. Mereka hanya terus maju. Mereka mati-matian terus bergerak maju. Tetap. Terus. Bergerak. Maju.

Hingga mereka mendengar tawa maniak yang menghempaskan badai.

Lima belas detik telah berlalu.

Kertak-kertak-kertak.

Tubuhnya menghangat. Dan dia tidak setidakpeka itu untuk menyadari lidah api yang menjilat punggungnya.

Woooosh!

Dia menoleh ke belakang untuk melihatnya. Sebuah kenyataan yang familiar. Sekali lagi, dia merasa memiliki kemampuan untuk melihat tiga langkah ke masa depan hanya dengan membaca pikirannya ketika dia tertawa seperti orang gila sebelumnya. Sebuah kepercayaan akan kekacauan yang sebenarnya.

Jika aku melingkungi diri dengan api persiapanku. Refleksi dari semua itu akan menunjukkan mahakaryaku yang paling bersinar.

"Aku berjanji padamu. Akan ku ubah semuanya menjadi abu"

Dia menoleh ke belakang untuk melihat cahaya di belakang penyelamatnya.

Woooosh!

Raungan api. Seekor binatang buas telah dibangunkan oleh kaumnya sendiri.

Semua orang terpikat dengan apa yang baru saja mereka lihat. Api menyebar dengan cepat ke atas. Terlihat seperti manifestasi seseorang dan memandang rendah kaum awam. Kami semua hanya sekadar hadir untuk penampilannya.

Saat dia berdiri dengan tangan terbuka, sekali lagi mendapatkan kembali perhatiannya, semua orang memfokuskan kembali senapan mereka ke arah orang yang telah menelan bayangan siluetnya sendiri. Seorang megastar telah bangkit. Di saat yang sama, mata kirinya bersinar terang saat dia melihat ke bulan.

"Lihatlah aku!"

Dia meletakkan kedua jari tengahnya ke ibu jarinya. Kemudian―

Snap!

Seketika, para orang dewasa jahat―dengan punggung condong ke depan―jatuh ke tanah. Mereka tampak melakukannya bukan atas kemauan mereka sendiri. Atau lebih buruk lagi, mereka tampak melakukannya karena mereka tidak memiliki kekuatan untuk berdiri, melakukan apapun berdasarkan penampilan mereka yang terjatuh dengan lesu sebelumnya. Mereka terjatuh begitu saja seolah langit yang mereka tatap mendorong mereka hingga jatuh ke bumi. Hasilnya, cahaya merah tua di langit malam menciptakan pemandangan ini.

Deru api menarik panas penontonnya, membuat musuhnya melepaskan tembakannya, dan menyalakan cairan kimia di belakangnya. Kemudian jentikkannya membekukan perhatian mereka pada dia dan hanya dia seorang sambil bersujud, membuat musuh-musuhnya mencium tanah di bawah kakinya. Sebuah jentikkan yang mendorong ego dan harga dirinya untuk mengaktifkan kekuatan sucinya.

"Tunduk padaku!"

Untuk dia, seorang enigma akhir dengan kontrol sepenuhnya atas situasi ini.

"Hei, Tenten,"

Tiba-tiba, dia berbalik ke arah dia yang dipanggil namanya.

"Aku sudah menepati janjiku, jadi sebagai gantinya, bisakah kamu mengawasiku dari sana, dari barisan depan," Jarinya menunjuk ke arah ratusan orang yang sedang sujud padanya.

"Setelah itu, kita berdua akan setara."

Dengan api yang masih menyala di belakang punggungnya, melelehkan dia, Tenten tidak punya pilihan selain melakukannya. Awalnya enggan, karena dia ingin dekat dengannya, tapi dia tidak mengungkapkannya.

Setara. Mendengar kata - kata itu membuatnya menganggukkan kepalanya seperti anak baik. Dia terus berlari seperti anak kecil yang tidak pernah berlari selama tiga tahun terakhir. Menuju tempat yang dia tunjuk tadi. Untuk pertama kalinya, dia tidak terlalu memikirkan tindakannya sekarang.

Dia akhirnya mencapai destinasi akhir dari janjinya. Berdiri di depan orang-orang dewasa yang jahat dengan sebagian mata melihat kaki telanjangnya. Dia membalikkan tubuhnya. Saat wajah tersenyum mereka menular satu sama lain, sang ibu membuka tangannya. Satu. Tearkhir. Kali.

"Izinkan aku memperkenalkan diri.

"Akulah sang satu di atas segalnya, berdiri di sini saat ini sebagai pahlawan berbaju zirah dengan pedang yang dipilih oleh Tuhan sendiri, lahir di neraka dan membasmi iblis bukan untuk misi tapi untuk hiburannya sendiri. Sudah seperti itu sejak pertama kali sang pahlawan bermandikan darah mereka.

"Semua ini berkat kalian semua para serangga, ras yang menciptakan kekhasan ini. Keserakahanmu yang tak terukur. Kegilaan abadimu. Kebodohanmu yang tidak bisa ditebak. Menakjubkan. Menakjubkan. Menakjubkan. Kekacauanmu telah menyelimuti pulau ini dan aku. Sekarang akulah kekacauan itu sendiri. HAHAHAHAHAHA HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAAAA~

"Dengarkan aku! Tunduk padaku! Lihat! Lihat cahayaku! Lihatlah aku! Aku! Aku! AKU! Untuk waktu yang lama, aku telah memberikan penyelamatan bagi para serangga sepertimu atas perbuatan maksiatmu dengan menghancurkannya dan membersihkan nodanya. Tapi bersukacitalah untuk hari ini, wahai kaum awam! Tidak lagi dalam kematian. Dosa-dosa hati yang tak terampuni tidak perlu berhenti berdetak.

"Karena aku di sini.

"Di sinilah aku tuk memberi tahu keberadaanku di alam duniamu, para serangga. Untuk membuka jalan keselamatan baru yang aku janjikan. Oleh karena itu, aku perintahkan kalian semua untuk hidup! Hidup! Penuhi takdirmu yang tak berdaya! Mulai sekarang, doakan keselamatanmu untukku dan berharap malam yang lebih baik untukku. Ceritakan kepada orang lain tentang pengalamanmu di dua jalan antara neraka dan surga. Sebarkan kata - kata terakhirku nanti, keberadaanku, penampilanku, segalanya untukku! Beritahu mereka sebuah bintang turun ke bumi ini! Beritahu mereka tentang saya! Untuk aku, seniman yang lebih cemerlang dari kekacauan dunia ini dengan karya seninya. Aku nyatakan kepada kalian semua.

"Sang Angel of Sin telah lahir!"

Tirai ditutup malam itu dengan ledakan tawa gila yang terdengar di seluruh dunia, membuka hari baru dan siklus awal dan akhir baru bagi para pendosa.

※ ※ ※ ※ ※

――

―――

――――

―――――

――――――

―――――――

Sekarang bukalah matamu.

Apa yang kamu lihat?

Penonton memberimu tepuk tangan di bawah telapak kakimu.

Semua orang saddar bahwa kamu memainkan peranmu dengan terbaik.

Apakah kamu merasakan kebanggaan yang aku alami hari itu? Aku penasaran.

Satu hal pasti adalah aku merasakan kebanggaan yang sama melihatmu, putriku.

Aku bangga telah memilihmu untuk berada di sisiku.

Setiap hari, kamu semakin mengingatkanku pada masa muda pemberontakkanku.

Apalagi sekarang kamu menjadi pemeran utama legenda hidupku tujuh tahun lalu.

Aku sayang kamu,

Malaikat kecilku.

Kamu pantas mendapatkan senyuman dan air matamu. Aku akan segera menyusulmu.