"siapa kamu?"
Suaranya terdengar serak dan kecil. Tentu saja itu karena dia berteriak dua kali dengan seuara yang mampu menutupi teriakan kesakitan para penjaga. Teriakan yang sama yang membawaku ke sini.
"siapa kamu?"
Aku melihat tangan dia gemetar. Meskipun dia sama sekali belum melihat ke arahku dan duduk di posisi yang sama dari awal hingga sekarang. Tapi aku dating ke sini untuk menyelamatkan dia. Aku tidak paham alasan di balik ketakutannya dia. Dan aku ingin tahu mengapa.
Untuk sekarang, aku perlu menenangkan dia, dimulai dengan menjawab pertanyaannya. Jadi―
Siapakah aku?
"Aku hanyalah pendosa lainnya. Seorang wanita muda di akhir jalannya."
Ah-, Rangkaian pikiranku bocor melalui mulutku. Tidak apa - apa. Semua akan baik – baik saja untukku dan makhluk kecil ini.
Asalkan aku memulainya, asalkan aku terus berjalan maju sebagai diriku yang sekarang, aku akan menemukan jawabanku seperti bagaimana aku menemukanmu.
Untuk wanita gila sepertiku yang memegang erat alasan egoisku. Aku lanjut.
"Aku di sini karena sang kekuatan terting-, maksudku Gubernur itu mencoba untuk memperbudak aku dan rakyatku untuk pekerjaan kotor mereka. Aku di sini sebagai pelindung mereka atas apa yang mereka lakukan saat ini dan sebagai pembalas dendam atas apa yang mereka lakukan kepadaku di masa lalu," kataku, sebagai iblis yang menyamar.
Aku tidak ingin dia tahu bahwa ide menyelamatkan ribuan orang dari pemerintah menyulut egoku. Aku tidak ingin dia tahu bahwa balas dendam memuaskan hatiku. Aku tidak ingin mengakui bahwa aku mungkin berada dalam fase pemberontakkanku. Hehe~
"Sebelum aku menindaki tugasku, aku bertanya ke Gubernur untuk sesuatu yang menarik."
Bahkan seseorang dengan kekuatan tertinggi pun bertindak sama seperti manusia umumnya saat dihadapi dengan dinding yang merefleksikan ketidakberdayaan mereka. Mereka semua sama saja. Mereka berbicara tentang kehidupan mereka, tentang dimana hidup berjalan salah bagi mereka., menyalahkan predator mereka dan orang – orang di sekitarnya, dan alasan menyedihkan lainnya untuk memperpanjang hidup mereka.
Aku bersyukur ternyata Gubernur tidak berbeda dengan pendosa mana pun.
"Berkat it, Aku mengetahui keberadaaanmu."
Akhirnya, aku menemukannya. Itu adalah pikiran yang terlintas pertama saat aku mengetahui bahwa kamu ada.
" Aku membuat kesepakatan dengannya sehingga aku bisa bertemu denganmu. Dan di sinilah aku berada―"
Waktunya menjawab pertanyaannya
Jawaban yang mengdefinisikan aku sekarang. Diriku yang dating kepadamu untuk mengeluarkanmu dari sini. Untukmu, yang belum siap untuk membantu aku mencapai tujuan akhirku. Malaikat cilik yang akan membawaku ke surga."
Aku tahu pasti bahwa dialah yang selama ini kucari – cari.
Langkah pertamaku menuju jalan baru dan satu kalimat yang bisa menawarkan hatinya.
"Aku penyelamatmu, hehe~"
※ ※ ※ ※ ※
Tangan dia masih bergemetar.
"Kau tidak percaya aku?"
Bukan. Malah sebaliknya. Justru dia takut karena dia percaya. Apa yang dikatakan sang penyelamat di luar memang sedikit menakutkan. Sedangkan di "dalam" diri dia―
Sebelum dia sempat selesai berpikir, penyelamatnya mulai berjalan ke arahnya.
"…jangan mendekat."
Suara Langkah kakinya menghilang dari ruangan. Dia tahu bahwa si Wanita mud aitu menghentikan gerakannya dalam kebingungan.
"Apakah kamu takut padaku?"
Dia memberikan pertanyaan iya atau tidak. Tapi tidak ada dari pilihan tersebut yang benar untuk jawaban si kecil. Lagipula, dia kan tidak pernah mempunyai jawaban jelas. Apa yang membuatnya berbeda sekarang? Jadi, bagaimana dia akan menemukan jawabannya?
Asalkan aku memulainya, . . .
"aku bahagia kamu datang."
Dia mengabaikan maksud dari pertanyaannya dengan harapan tuk menemukan jawaban.
"aku sungguh percaya bahwa kau penyelamatku."
Dia mulai bicara dari lubuk hatinya yang terdalam. Pusat dari perasaannya yang rumit.
"aku tahu… kamu menenangkanku… dan benar – benar berusaha memberiku kenyamanan. aku tahu... aku tahu... aku..."
Dia tidak tahu lagi cara melanjutkan kata – katanya. Dia tidak pernah ada seseorang yang membantunya meluapkan tekanan mental ini.
"maaf."
Dia meminta maaf karena tidak dapat menjawab pertanyaannya.
" maaf."
Dia meminta maaf karena membuang waktunya untuk menjadi penyelamatnya.
" maaf."
Dia meminta maaf tanpa alasan.
"I'm so sorry"
Dia meminta maaf karena terus mengulangi permintaan maafnya.
"Ohhh, jadi begitu."
Dengan kepedean di mulutnya, sang penyelamat berjalan maju lagi menuju si kecil.
"menjauhlah."
"Tenang. Semuanya akan baik – baik saja."
Apa yang dikatakan penyelamatnya tidak dapat menyentuh lebih dari kulit dia yang menggigil. Dia terlihat sibuk untuk menghindari kontak mata. Jika dia dan penyelamatnya melakukan kontak mata, maka . . . maka . . . /+=-0-|――
Tidak lagi. Gak gak gak. TIDAK. Jangan ini lagi. ―Tidak ingin ini. ――Tidak ingin itu. lagi. lagi. TIDAK TIDAK TIDAK.
――AKU TIDAK MAU MEMBUNUH DIA.
"JANGAN MENDEKAT!"
Teriakannya menusuk udara. Kepala diremuk dari memikirkan yang belum terjadi. Responsnya, dia membungkus kepalanya seolah itu adalah selimut yang dapat menenangkannya.
Dia hanya bisa memohon pada perempuan muda tersebut untuk tidak membiarkan itu terjadi.
"Menjauhlah!"
"Aku paham perasaanmu. Yang kamu rasakan tidak sesimpel rasa takut, kan?"
Itu ketakutan, jelas ketakutan. Tak ada lagi yang lebih untuk dipahami. Ini hanyalah ketakutan. Perasaan simpel tapi sangat ribet sehingga membuatmu kebingungan. Dan kebingungan tersebut mengacaukanmu dari dalam. Apa lagi yang bisa dia pahammi?
"Itu adalah rasa bersalah, bukan?"
. . .
"Dilihat dari pemilihan katamu. Itu bukan sekedar ketakutan atas hal tak tertentu."
Itu ketakutan. Hanyalah rasa takut . . . takut akan . . . akan . . .
Ah, jadi begitu. Dia akhirnya melihat kesalahan dari pandangannya yang dangkal tentang emosinya. Dia menutup matanya terlalu lama sampai dia lupa tuk menghadapi inti ketakutan di depan matanya.
"Inti dari ketakutanmu adalah rasa bersalah dari kekuatan ilahimu."
Untuk pertama kali dalam hidupnya, seseorang memikat dia untuk menyambut kegelapan.
"Kamu terus mengulangi permintaan maafmu, tapi ya'know, kecenderungan manusia untuk meminta maaf biasanya dikaitkan dengan rasa bersalah yang terbawa." Saat dia mengatakannya, jarak antar kaki mereka sudah satu inci jauhnya.
Penyelamatnya meletakkan satu lutut ke lantai, mencondongkan tubuhnya ke depan, dan lanjut berbicara.
"Dilihat dari setiap bagian tubuhmu yang berusaha menutupi diri seperti kepompong, kamu cuma tidak ingin membunuhku secara tidak sengaja dengan kekuatan ilahimu dan menambahkan ke tumpukan rasa besalahmu. Apa aku benar?" dia bertanya lagi dan lagi untuk memastikan, Tidak penting jika berulang sampai busuk, seperti mayat di sekitar mereka.
Teringat akan dosanya, dia refleks memohon kepadanya dengan permintaan yang sama.
"MENJAUHLAH!"
"Kamu hampir gak bisa bicara karena tenggorokan serakmu ketika pertama kali bertemu tadi. Dan sekarang kamu berteriak seperti itu. Itu karena seseorang dengan kekuatan lahi bisa menyembuhkan rasa sakit itu jauh lebih cepat daripada manusia mana pun. Tapi ada satu lagi yang bisa memastikan keberadaan kekuatanmu."
Sang penyelamat meraih kedua tangan si kecil dengan lembut dan menjauhkannya dari kepalanya seperti membuka hadiah. Dan akhirnya memberinya dorongan terakhir,
"Lihatlah aku."
Satu kalimat bagaikan seutas benang boneka yang mengangkkat dagu si kecil, menujukkan dia tampang seorang penyelamat. Hanyalah seorang wanita muda bermandikan darah yang tersenyum di hadapannya. Rambut pirangnya dikepang rapi yang berlawanan dengan pakian atasnya yang compang - camping. Ruangan yang gelap dengan sumber cahaya satu – satunya dari pojok atas ruangan membuatnya sulit untuk mengamati penampilann keseluruhannya kecuali bagian atasnya.
Di saat itu, dia paham satu hal mengenai keindahan dari hidup untuk pertama kalinya.
Seringkali di langit yang paling gelap dimana kita melihat bintang yang paling terang.
Dengan kedua matanya terbuka, dia melihatnya di mata kiri wanita muda tersebut.
Dia tanpa sadar menyambut kegelapan yang menghiasi cahaya yang bersinar dari pupil wanita itu. Iris merahnya memperindah tatapan sang bintang.
Wanita muda tersebut menyeringai setelah mendapatkan konfirmasinya. Mata berwarna yang bersinar di kegelapan dengan kecantikan melebihi permata terelok di dunia.
Mereka berdua memiliki mata ilahi yang berbeda warna karena warnaya tergantung cerminana dari apa yang diinginkan hati. Penyelamatnya mengatakan ini tentang mata ilahinya, "Warna mata kananmu jauh lebih lembut dariku."
Mereka menatap satu sama lain dengan mata megah mereka sendiri yang dapat menarik jiwa orang dan yang menakutkan adalah hal itu benar bisa terjadi. Tapi―
"Lihat, aku masih hidup."
Terdistraksi oleh matanya yang menawan, dia telat menyadari mukjizat di saat itu. Dia menyadari keberadaan di depannya tersenyum; menatap balik dengan mata yang hidup. Pergelangan tangannya bisa merasakan kehangatan kulitnya. Jiwa, pikiran, dan hati orang dewasa yang baik itu masih utuh di dalam dirinya.
Sebuah eksistensi yang seharusnya tidak mungkin dia lihat
Kesadaran itu membuat mukanya terasa lucu karena ekspresinya yang tidak biasa. Matanya melebar dan terasa berair, bersamaan dengan senyumnya yang perlahan dan ragu.
Mata kanan mengeluarkan air mata. Tangisan terus mengalir. Membiarkan semuanya keluar. Menga
Her right eye let out a tear. Her tears kept flowing. Letting it all out. Mengalir di pipinya seperti air terjun. Akhirnya, tangisan yang sesuai warna mata kanannya.
Waktu tampak bejalan lambat setelah dia menyadari mimpinya telah menjadi kenyataan. Mimpi untuk dibebaskan dan masa depan di mana dia bisa berada. Sebuah berkah dari bulan merah. Ini adalah pertama kalinya ―
"Ini adalah pertama kalinya seseorang melihatku dengan wajah seperti itu, hehe~." Penyelamatnya menyela pikirannya.
Dia menyeka air mata si gadis kecil itu dan berkata, "Yuk, kepakkan sayapmu dan ayo pergi dari sini." Dia berdiri dan mengulurkan lengannya dengan tangan terbuka. "Bilang saja, apa yang kamu inginkan setelah kita keluar dari sini?"
Gadis itu langsung menerima tangannya dan menjawabnya tanpa ragu – ragu.
"Aku ingin makan roti. Aku ingin minum air bersih. Aku ingin memakai gaun yang megah. Aku ingin tinggal di rumah mewah. Aku ingin tidur tenang sambal menatap bulan― Tidak, aku ingin tidur di permukaan bulan. Aku ingin pergi ke bulan. Aku ingin―
"Bentar, bentar. Aku gak punya kemewahan sebanyak itu."
Makhluk kecil imut ini sedikit terlalu bersemangat dengan ide kebebasan yang ada di hadapannya. Hal itu membuatnya kurang sadar bertapa tidak mungkin tercapainya mimpi yang diutarakannya. Begitu banyak hal yang ingin dia lakukan di masa depan. Saat mereka berjalan berdapingan di koridor―dengan si gadis kecil di sebelah kuru dan orang dewasa yang baik hati di sebelah kanan, makhluk kecil imut itu telah menyingkat harapan natal awalannya kepada Santa yang dia inginkan. Sebuah harapan yang mengandung masa depan yang sangat dia dambakan untuk menjadi masa kini, yang telah menjadi masa kini.
"Untuk saat ini, aku hanya ingin berpegangan tangan di sampingmu seperti ini.
"Aku ingin sangat mencintai seseorang, agar aku bisa memeluknya, bermain dengannya, tersenyum bersamanya. Aku ingin tersenyum dan membuat dunia ini menjadi lebih baik. Aku ingin sepertimu di masa depan. Jadi tolong," Suaranya menciut dan dia menatap penyelamatnya dengan mata anak anjing― "jangan tinggalkan aku."
"Aku tak akan, malaikat kecilku," kata sang penyelamat dengan suara halusnya. Si gadis kecil memiliki senyum tulus di wajahnya setelah dia mendapatkan jawaban yang dia inginkan dari satu – satunya orang dewasa yang pernah memberikan ketenangan di batinnya,
"Ah! Aku lupa untuk bilang namaku dari awal. Namaku Koko, dan namamu?"
"Namaku? Namaku itu . . . er."
Dia terdiam sejenak. Gadis kecil itu mengalihkan pandangannya dari dia. Dia mengerutkan hidungnya. Pergerakan matanya terlihat seperti sedang mencari sesuatu dan tatapannya tampak tidak fokus.
Dia tanpa sadar telah memberikan jawabannya,
"Kamu gak tau, huh?"
"Mama."
"Ga, gak. Tidak perlu merasa bersalah atas hal kecil i. . . Ah! Kurasa itu wajar ya untuk merasa seperti itu . . . asalakan tidak berbahaya." Koko mengacak – acak rambutnya setelah memintanya untuk tidak meminta maaf. Ironisnya, dia kini merasakan itu juga.
"Argghhh, aku sedang bego ini, Maaf, angel. Hehe~," kata dia dengan pola bicara favoritnya, memperjelas kesadaran akan permintaan maafnya. Tidak ada sedetik pun baginya untuk move on dari itu.
Saat gadis kecil itu kembali melakukan kontak mata dengannya, Koko memusatkan perhatiannya pada rambut putih panjangnya yang menutupi matanya yang bersinar, mata kanan yang sama ketika si gadis kecil menceritakan mimpinya. Bersamaan dengan senyum nakal di wajah penyelamatnya, dia menyarankan,
"Bagaiman kalau Tenten? Nama yang imut untuk malaikat kecil sepertimu."
Sangaaaaat tanpa usaha. Pikiran cepat menilai nama kekanak – kanakan tersebut. Seorang Wanita yang bernama Koko baru saja memberi nama dengan dua suku kata yang mengulang.
"Bagaimana pendapatmu?"
"Itu―"
'Itu jelek' adalah pemikiran yang seharusnya keluar melalui mulutnya, Yang keluar justru respons yang berbeda dalam wujud air mata kecil. Tangisan yang tak pernah kering.
Dia menyembunyikan wajahnya untuk menyeka air matanya. Meskipun agak terlambat karena Koko sudah menepuk pundaknya sendiri. "Hehe~." Dia hanya bisa menggumpalkan pipinya sebagai pemberontakan terhadap rasa malunya. Itu membuatnya kesal, tapi itu membuatnya berpikir karena dia selalu tersenyum dengan tampang nakal,
Tenten penasaran seperti apa muka malunya.
"Hei, kamu belum memberitahuku bagaimana perasaanmu tentang namanya. Ayolah~, kasih tahu. Hehe~"
Tidak ada gunanya Tenten terlalu memikirkannya karena dia buruk dalam menanggapi.
Biarkan hatinya mencurahkan segalanya. Tapi―
"Tenten bahagia, Tenten sangaaaaat bahagia karena umm . . ."
―Dia dihadapi dengan masalah yang familiar
Mudah untuk bilang kalau dia hanya perlu mengataka apa yang ada di hatinya. Namun pikirannya selalu mencagatnya, mengatakan pada dirinya untuk tidak hanya mengatakannya seperti dia mengatakan mimpinya tadi. Dia ingin mengungkapkannya beserta motif terpendamnya.
Dia membutuhkan respon yang bisa memenuhi keserakahannya. Untuk memuaskan rasa penasarannya. Untuk mencari solusi dalam dirinya. Untuk memahami dirinya sendiri―
siapa kamu?
Eh?
Pikirannya tiba – tiba nyasar pada saat tertentu. Saat matanya masih tertutup. Di akhir hidup terisolasinya.
Di awal dari pertemuan takdir mereka.
Siapakah kamu?
Suara dari masa lalu berbentrokkan dengan pikiran masa kininya.
Dia ingat telinga berdenging dan gelitik di otaknya seolah semut berjalan di permukaannya. Hal yang sama terjadi ketika orang dewasa ada di sekitarnya ketika dia menutupi penglihatannya dari mainan iblis sebelum dia pingsan―atau mungkin otaknya bergetar karena rasa sakit fisik secara umum. Atau saat dia mencoba tidur saat semua temannya masih hidup. Banyak teori yang ia buat untuk membuat sensasi yang tidak diinginkan ini menjadi rasional, namun tidak butuh waktu lama baginya untuk menyadari keajaiban yang dianugerahkan kepadanya.
Hanya ketika dia menutup matanya, gambaran dari yang Ilahi dapat dilihat. Gambar tersebut berupa buku di dalam kepala manusia yang bisa dibacanya. Jadi ketika dia membaca orang dewasa, ibarat membaca buku sains yang penuh kata – kata sulit yang tidak pernah dia ketahui. Itu adalah salah satu kemampuan dari kekuatan ilahi yang dia miliki.
Kembali ke masa kini. Apa artinya? Mengapa sekanrang muncul? Bagaiman bisa itu memecahkan sesuatu? Dan kenapa dia ingat awal pertemuan pertama mereka?
Asalkan aku memulainya . . .
. . .
Dia sedang melihat garis startnya
Dia ingin tahu cara memulai pidato tulusnya. Dia tanpa sadar melihat kembali ke awal di mana semuanya dimulai.
Seketika, dia menemukan alasan dari pertanyaannya. Dia hanya menyadari bahwa hati dan pikirannya sudah sinkron sejak pertama kali mereka bertemu.
Dulu, pikirannya membacanya dan hatinya menerima kata – katanya.
Saat ini, pikirannya menyadari pentingnya kata-kata tersebut sementara hatinya memberinya dorongan untuk mengucapkannya di momen yang tepat.
Asalkan aku terus berjalan maju . . .
Semua realisasi itu kini menjadi bahan bakar untuk terus berjalan. Masa lalu, dorongan dan keseimbangan kedua dunianya sendiri menjadi hal yang paling dibutuhkan saat ini. Dan hal itu adalah kejujuran diri
Sebagai diriku yang sekarang . . .
Tidak mungkin untuk mengidentifikasi diri seseorang secara keseluruhan. Kalau tidak, dia akan menjebak pikirannya dalam sebuah paradoks. Yang dia butuhkan hanyalah memahami dirinya yang sekarang di saat penuh Syukur ini. Dan―
Aku akan menemukan jawabanku
seperti bagaimana Tenten menemukanmu, bukan?
Dia mengenggam tangan Koko lebih erat dan menghentikan gerakkannya sambal membalikkan punggungnya menghadapa ke jendela persegi yang tinggi― sehingga kilatan cahaya dari kaca dapat dengan jelas memperlihatkan wajah di depannya.
Kini, dengan rambut putih panjangnya yang bersinar di bawah Cahaya rembulan, sang malaikat kecil mengirimkan pesannya kepada orang yang dia kasihi.
――Untuk wanita muda ini,
"Untuk bertemu dengamu, seseorang seperti Tenten juga seseorang yang cantik."
――Untuk orang dewasa yang baik ini,
"Untuk merasa tenang dan ditunjukkan tempat di mana Tenten bisa diterima."
――Untuk penyelamatnya,
"Untuk diselamatkan olehmu, manusia yang melahirkan diriku yang bahagia ini."
――Untuk seorang enigma bernama Koko,
"Terima kasih sangaaaaat, Mama!"
Dia menatap wajah ibunya dengan antisipasi. Wajahnya tampak terkejut dengan mulut sedikit terbuka―apalagi karena pujian Tenten datang entah dari mana. Tetap saja, itu bukanlah wajah yang dia cari. Wajah yang ingin dia lihat berasal dari tanggapannya.
"Hahaha, jadi kamu adalah bayiku?"
"E―, Enggak. Bukan begitu maksud―"
"Hahaha, kamu bocah yang lucu, ya'know?" kata dia, sambil berjongkok agar salah satu tangannya bisa mencubit pipinya dan satu lagi masih memegang tangan Tenten.
Sayangnya, Tenten adalah satu-satunya yang memasang wajah memerah itu. Mengesalkan betul. Namun dia tidak menyesal mengucapkannya.
Dia hanya bisa mengakui kekalahan dengan ketidakpuasan. Atau begitulah yang dia pikirkan.
Aku lega―. Perasaan geli di kepala Tentena, sebuah kata tersembunyi dari dalam seseorang yang selalu berbicara tanpa berpikir. Ini mungkin pertama kalinya dia merasa senang dengan kekuatannya. "Ehe~"
"Napa? Ada sesuatu di mukaku?"
"Gapapaaaaaa~," Tenten meledek dia.
Mama hanya tidak jujur, dia menyeringai; meluap – luap dengan kepuasan. Tingkah lakunya barusan jelas – jelas meniru orang tertentu, seperti anak itik yang mengikuti induknya. Koko tidak terlalu bodoh dan menyadari perubahan kepribadian yang familiar ini, jadi dia bertanya,
"Bilang, bagian diriku yang mana yang kamu inginkan?"
"Pahlawan. Aku ingin menjadi pahlawan sepertimu, Mama." Jawaban yang terduga dari seorang anak. Mendengar itu, Koko memposisikan dirinya dengan berjongkok untuk mengatur tinggi badan di antara mereka, agar mereka bisa saling bertatapan dengan tekad yang saling beradu. Ia mengangkat kedua tangan mereka yang masih saling berpegangan di depan dada, dengan tangan yang satu lagi bergabung memegang punggung tangan bidadari kecil itu. Kini saatnya menjawab doanya.
"Aku akan mengabulkan permintaanmu.
"Aku akan membesarkanmu sebagai anakku jika itu yang kamu inginkan. Bersama, kita akan saling melindungi, dan menemukan kedamaian satu sama lain. Aku akan memberimu makanan, air, rumah, pakaian pantas, dan segalanya agar kamu tetap hidup. Dan ketika kamu hidup, kita akan sering berjalan seperti ini di tempat yang jauh lebih bersih. Jika kamu merasa takut, aku akan selalu ada untukmu. Jika kamu tidak bisa tidur, aku akan memberimu banyak pelukan setiap malam. Sebagai gantinya, kamu harus mewujudkan mimpiku juga, tetap hidup untukku, teruslah bersinar, tunjukkan senyumanmu, untuk hari ini, besok, dan lusa, tunjukkan padaku bukti bahwa kamu masih hidup. Demi kamu satu-satunya malaikat kecilku, dan demi aku satu-satunya penyelamatmu. Aku akan menjadi ibumu dan memperhatikan pertumbuhanmu sampai akhir hidupku. Sampai kamu siap. Hehe~.
"Ini adalah kisah pahlawanku, Dan suatu hari, aku akan membantumu mengarang ceritamu sendiri."
Di koridor suram yang penuh dengan mayat akibat perbuatan penyelamatnya, masa depannya terlintas dalam sedetik. Tangan malaikat kecil lainnya memegang punggung tangan penyelamatnya. Dia menerima surga yang ditawarkan, masa depan bagaikan cahaya yang tidak bisa dia lihat, dan dia menerimanya dengan senyuman terbuka.
"Ini janji kita, Tenten."
"Ya, janji."
Dan dengan demikian, sebuah janji dibuat di bawah bulan merah.