"Kak aku mau kabur," Lita berguman pelan. Dia rebah di ranjangnya. Tatapannya menerawang ke langit-langit kamar.
Kakak Lita yang baru saja naik ranjang di sebelah memandang Lita sebentar," Kamu mau kabur kemana sih Lita," katanya sembari memasang selimutnya.
"Aku mau kabur sama Dion," kata Lita tanpa peduli komentar kakaknya. Tatapannya masih ke atas.
Kakak Lita memalingkan rebahnya ke ranjang Lita. Dia tersenyum geli melihat adiknya yang kasmaran.
"Mmm, jadi kalau udah sama Dion gitu ya..." Kakak Lita bercanda," Jadi nggak sayang sama kakak, sama dedek lagi."
Lita tahu kakaknya tidak serius menanggapinya. Tapi tekadnya untuk kabur Bersama Dion sudah bulat. Dia melihat kakaknya sudah terpejam. Lalu dia berpaling ke adiknya di ranjang yang satu lagi. Sudah dari tadi adiknya terlelap di bawah selimut. Tapi dia amati lagi, sepertinya adiknya tidur dengan gelisah. Beberapa kali kepalanya terpaling ke kiri dan ke kanan. Lalu adiknya terdengar mengerang.
"Dedek..." desis Lita. Dia cemas adiknya tidur seperti itu.
Erangan adiknya semakin keras. Lalu selimut yang dipakai adiknya bergerak-gerak seperti ada getaran di sana. Lampu kamar mulai redup. Lita sudah berniat membangunkan kakaknya. Tapi barang-barang kecil di sekitar mulai bergetar. Lampu kamar mati nyala.
"Kak..." desis Lita berusaha membangunkan kakaknya.
Belum kakak Lita terbangun, tiba-tiba adiknya terduduk di ranjangnya dengan teriakan yang memekakkan telinga. Selimutnya terbang terlempar. Benda pecah belah di sekitar hancur berkeping. Sinar lampu menyala makin silau.
"Dedek!" Lita hanya bisa berteriak cemas melihat adiknya yang tak berhenti berteriak.
Kakak Lita sudah berlari menghampiri adik bungsunya. Tapi begitu memegang lengan adiknya, badannya terpental hingga menatap tembok. Giliran Lita melompat dari ranjangnya. Dia hendak menenangkan adiknya, tapi kakaknya melarangnya.
"jangan pegang dia!" walau lemas kakak Lita masih berusaha berteriak.
Lita sudah di dekat adiknya," Dedek kamu kenapa?" Lita hanya bisa berteriak panik. Dia melihat ada noda darah di sprei di antara paha adiknya.
Lalu bapak dan ibu Lita masuk kamar. Bapak Lita langsung memegang dahi adik Lita yang membuatnya terdiam dan lemas terbujur di kasur. Bapak Lita masih memegang dahi anaknya sampai dia terlihat pulas tertidur. Lampu kamar pun kembali menyala seperti biasa.
"Ini menstruasi pertamanya," suara ibu Lita setengah berbisik pada suaminya.
Bapak Lita mengangguk lalu dia memandang ke atas.
"Bulan sedang berwarna merah..." desis bapak Lita menatap istrinya serius.
"Berapa hari lagi?" tanya ibu Lita cemas.
"Dua hari..." kata bapak Lita.
Bapak dan ibu Lita masih saling menatap.
"Dia membuat Grondong terbunuh..." Guman ibu Lita.
"Iya... Yang lain sudah menyingkir ke bukit..." Bapak Lita tampak sedang berpikir keras.
Lalu ibu Lita mengganti sprei di ranjang anak bungsunya. Kakak Lita disuruh menyiapkan sebaskom air hangat dan Lita mengambil pembalut untuk adiknya. Dari pembicaraan bapak ibunya, Lita tahu malam ini adiknya akan dipindah ke gubug pengasingan tak jauh dari rumah utama mereka. Gubug itu kadang dipakai untuk pasien yang harus menginap dan tidur sendiri untuk semalam. Saat adik Lita terbangun dan berteriak tadi, sesuatu keluar dari tubuhnya. Lita melihat sendiri kakaknya terlontar begitu menyentuh badan adiknya. Karena itu pula, Grondong, mahluk yang ada di rumah mereka jadi terbunuh. Lita tahu, Grondong adalah sosok hitam yang selalu menjaga pintu ruang tengah.
Bapak Lita membopong adiknya ke gubug. Lita di sebelah kakak dan ibunya melihat dari pintu belakang rumah utama. Setelah memastikan adik Lita masih tertidur, bapak Lita terlihat keluar gubug dan menaburkan garam di atap dan sekeliling gubug. Besok pagi ibunya akan masuk ke sana untuk membangunkan adiknya. Lita melihat langit luas di atas gubug. Langit bersih tanpa awan. Bulan penuh terlihat besar dengan warna merah darah.
Lita terbaring di ranjangnya. Kakaknya sudah terlelap di ranjang sebelah. Tadi kakaknya menyuruh untuk cepat tidur karena besok mereka harus sekolah. Tapi Lita tidak merasa mengantuk walau badannya capai setelah bersih-bersih kamar karena banyak pecahan disana-sini. Lita masih memikirkan adiknya. Dia kasihan dengan kejadian yang menimpa adiknya malam ini. Dua hari bulan darah akan menggantung di langit. Dua hari adiknya harus diasingkan di gubug belakang rumah supaya kejadian malam ini tidak terjadi lagi. Dia berjanji, saat pagi menyingsing, saat ibunya membangunkan adiknya, dia akan ada disana.
Ketika kantuk mulai merambati matanya, Lita melihat kakaknya tiba-tiba terbangun dan duduk di ranjangnya. Lita mengusap matanya. Dia melihat nafas kakaknya terengah, bulir-bulir keringat bercucuran di wajah kakaknya.
"Kak kenapa?" tanya Lita di tengah kantuknya.
Kakaknya masih diam. Walau nafasnya sudah teratur tapi pandangannya masih kosong. Lalu setetes air meleleh dari matanya. Lita beranjak dari ranjangnya duduk di sebelah kakaknya.
"Kakak kenapa?" suara Lita serius.
"Aku tadi mimpi..." Kakak Lita tidak meneruskan kata-katanya. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Mimpi apa kak?" Lita jadi cemas. Kakakn ya memang sering memimpikan sesuatu. Tapi melihat kakaknya yang sesenggukan menahan tangis, Lita jadi bertambah cemas.
"Aku mimpi kita bertiga. Aku, kamu, dedek..." Kakak Lita berusaha menata suaranya.
"Mimpi apaan...?" Lita jadi penasaran.
"Aku mimpi kamu tenggelam di air yang gelap...." suara kakak Lita pelan.
"Terus?" tanya Lita.
"Terus aku mimpi dedek..."
"Dedek kenapa?"
"Aku mimpi dedek terbakar di api yang menyala-nyala..."
"Terus?"
"Terus aku mimpi banyak orang menyobek-nyobek bajuku... Lalu aku dicekik sampai aku nggak bisa nafas..." Kakak Lita bicara sambil memegangi lehernya.
Lita jadi tercenung mendengar cerita kakaknya.
"Lita..." Kakak Lita memandang lekat adiknya,"Jika sesuatu terjadi di antara kita... Aku ingin kamu tahu... Aku sayang sama kalian berdua..."
Spontan Lita memeluk kakaknya. Tangisnya tumpah di pipinya.
"Nggak akan terjadi apa-apa kak... Itu cuman mimpi" kata Lita sesenggukan," maafin aku ya... Aku nggak akan ninggalin kakak sama dedek... Aku nggak akan kabur..." Tangis Lita meledak di pelukan kakaknya.
Malam ini mereka tidur berhadap-hadapan satu ranjang. Di tengah lelapnya, Lita tidak pernah melepas tangan kakaknya. Saat alarm ponselnya bunyi, dia bangunkan kakaknya. Ibunya sudah siap-siap menjemput adiknya. Lita dan kakaknya ada di belakang ibunya menembus pagi yang gelap. Kabut tebal membuat udara makin dingin. Di langit, bulan sudah tidak terlihat. Ibu Lita terlihat sudah keluar menuntun anak bungsunya. Selimut tebal diselubungkan ke badan anaknya. Lita dan kakaknya berhamburan menyambut adiknya. Mereka disuruh menemani adiknya ke kamar. Adik Lita langsung naik ranjang sesampai di kamar. Lita tidak pernah meninggalkan adiknya. Dia usap-usap rambut adiknya yang matanya masih redup.
"Dek kamu nggak apa-apa kan?" tanya Lita mengajak bicara.
"Aku kenapa Kak?" suara Adik Lita masih lemah.
Lita merasa susah menjawab. Tapi kakaknya sudah duduk di sebelahnya.
"Dedek nggak kenapa-kenapa..." kata kakak Lita bijak,"Dedek udah menstruasi... Sekarang dedek udah dewasa..."
"Eh... Dedek kan pakai pembalut aku," Lita mengajak bercanda.
Tapi badan adik Lita masih lemas.
"Hari ini dedek nggak usah masuk sekolah dulu," kakak Lita memijit kaki adik bungsunya," Ntar kakak yang ijinin."
Lita tak berhenti mengusap rambut adiknya sampai dia terlelap. Lalu Lita mulai bersiap-siap. Pagi-pagi dia harus berangkat sekolah.
***
Jam istirahat di sekolah kini jadi saat-saat yang paling indah buat Lita. Di sudut sekolah tempat buangan bangku-bangku bekas. Di tempat yang singup yang tak ada satu murid pun berani datang ke situ. Orang bilang ada gendruwo tinggal di situ. Tapi disitu Lita bahagia. Dia Bersama Dion siang ini. Kali ini Lita membawa dua kotak makan. Mereka makan siang bersama dan minum dari botol Lita.
"Jadi kapan kita mau kabur?" tanya Dion setelah menenggak air dari botol Lita.
"Dion... Aku nggak jadi kabur..." jawab Lita dengan suara ragu.
"Lho kenapa?" tanya Dion santai.
"Aku... aku harus tetap bersama kakak dan adikku," jawab Lita pelan.
Lalu Lita menceritakan kejadian yang menimpa adiknya tadi malam. Juga tentang mimpi kakaknya.
"Kalau nggak... Kita kabur... Terus ajak kakak dan adik kamu... Aku bisa bawa mobil..." kata Dion tanpa beban.
Lita jadi tertawa. Tapi Dion tetap serius.
"Emang kita mau kabur kemana?" tanya Lita mencoba menanggapi Dion.
"Kemana aja... Ntar kita bisa cari kerja apa aja..." jawab Dion.
Lama Lita memandangi Dion. Itu mungkin hal yang mustahil buat Lita pikirkan. Tapi bagi Lita, Dion adalah sebuah harapan.
"Aku mau bikin tato..." Dion bersuara setelah membalas tatapan Lita lama.
"Bikin tato? Emang boleh?" tanya Lita.
"Di sini..." Dion menyingsingkan lengan bajunya, menunjukkan lengan atasnya. Disana tatonya tidak akan terlihat.
"Tato apaan?" Lita berusaha menanggapi.
"Aku mau tulis nama kamu disini," Dion menunjuk lengan atasnya.
Sekali lagi Lita harus memandangi Dion lama. Jika saja wajah anak laki-laki ini bisa lebih dekat lagi dengan wajahnya. Tapi suara bel masuk membuyarkan lamunannya.
***
Pulang sekolah Lita ingin sekali bercerita pada kakaknya. Tapi dari keluar gerbang sekolah hingga di angkot tadi, kakaknya seperti sedang memikirkan sesuatu. Sepanjang jalan dia tidak berkata sepatah katapun. Sampai di kamar mereka pun, kakak Lita masih susah diajak berinteraksi. Lita melihat adiknya masih pulas di ranjang. Lalu suara kakaknya memanggil dengan berbisik. Dia ada di kamar mandi membiarkan pintunya terbuka.
"Ada apa kak?" tanya Lita.
Kakak Lita meletakkan telunjuk di depan mulutnya sembari memastikan adik bungsunnya masih tertidur.
"Kamu kapan mau kabur sama Dion?" tanya kakak Lita dengan suara pelan.
Lita masih heran dengan pertanyaan kakaknya.
"Aku... Aku nggak jadi kabur Kak," suara Lita bergetar," Aku akan selalu bersama kakak, sama dedek..." mata Lita mulai berkaca-kaca.
"Lita..." wajah kakak Lita serius," Jika malam ini terjadi sesuatu... kamu harus cepat pergi dari sini... Dan kabur sama Dion..."
Mulut Lita ternganga. Bukannya dia tidak mau kabur bersama Dion. Tapi dia benar-benar tidak ingin terjadi sesuatu dengan kakak dan adiknya.
"Nggak akan terjadi sesuatu malam ini..." Lita mencoba menyangkal kata-kata kakaknya. Sebulir air sudah mengalir dari matanya.
"Kakak juga ingin semua baik-baik saja," Kakak Lita mencoba menenangkan Lita," Tapi untuk kali ini saja... Kamu harus percaya sama kakak...Ok Lita?"
Lita mengangguk. Tidak pernah sekalipun dia tidak percaya pada kakaknya.
"Sekarang denger Lita," wajah kakak Lita begitu dekat,"Siapkan beberapa baju kamu dan apapun yang diperlukan. Masukkan ke tas kamu... Jika malam ini tidak terjadi apa-apa, besok kamu boleh balik-balikin lagi barang-barang kamu."
Lita menatap sebentar wajah kakaknya yang begitu dekat. Lalu dia peluk kakaknya erat. Dia berharap malam ini tidak akan terjadi apa-apa.