Chereads / Lita Perempuan Iblis / Chapter 7 - Asih Sang Pengusir Hantu

Chapter 7 - Asih Sang Pengusir Hantu

Hari ini sekolah libur, Asih tidak ada jadwal mengajar. Di bawah terik matahari dia bersama teman-teman sebayanya sedang menjemur baju dan sprei di sebelah asrama.

"Eh sih, tadi malam gimana, adiknya kepala sekolah, emang dia kesurupan apa?" kata teman Asih di samping sembari menggantung selembar sprei.

"Ya biasa lah, mahluk kayak gitu emang suka gangguin kita," jawab Asih merendah tanpa mau membahas lebih panjang. " Alhamdulillah sih adiknya Bu Kepsek sekarang udah baikan."

"Eh terus kamu dibayar nggak sih?" tanya teman Asih satu lagi yang sedang memeras baju.

"Aku sih di kasih amplop sama Bu Kepsek, tapi aku kasih ke Kak Daud buat ditaruh di kotak amal," jawab Asih.

"Eh enak banget sih kamu bisa pergi-pergi sama Kak Daud, sama orang cakep, anak yang punya pesantren lagi," celetuk yang lain lagi. Walau bercanda, dia terlihat cemburu Asih bisa sering bersama Daud yang diidolakan santri-santriwati.

"Apaan sih.." Asih tampak risih mendengar komentar temannya.

"Eh... ngomong-ngomong sudah berapa orang kesurupan yang kamu selametin, Sih?" temennya yang lain mencoba menetralisir suasana.

"Mmm nggak tahu ya... Aku nggak ngitung..." Jawab Asih sembari sibuk memilah-milah baju yang masih basah.

Lalu dari depan, seorang anak perempuan lebih muda datang dengan setengah berlari.

"Kak Asih... Kak Asih... Ada Kak Daud," kata anak itu di depan Asih.

Asih memandangi anak itu heran, karena dari tadi mukanya senyum-senyum sendiri.

"Kak Asih, itu ada Kak Daud nunggu di depan," kata anak itu lagi.

"Iya, iya, suruh dia tunggu bentar. Bilangin lagi jemur baju, ntar lagi kelar," kata Asih.

"Iya Kak, nanti aku sampaiin," kata anak itu.

"Eh, ngapain kamu senyum-senyum gitu?" tanya teman Asih.

"Abis Kak Daudnya cakep sih," jawab anak itu sembari berbalik ingin cepat-cepat menyampaikan pesan Asih ke Daud idolanya.

"Sih, cepetan sana temuin Kak Daud, gimana sih kamu, jangan biarin dia nungguin," kata teman Asih cekikikan menggoda Asih. Yang lain pun ikut ketawa ketiwi.

Asih pun cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Lalu dia buru-buru berjalan ke aula. Di sana Daud terlihat sedang berdiri menunggu bersama satu orang lagi yang seumuran dengan Daud.

"Assalamualaikum Asih... " Daud menyapa duluan.

"Waalaikumsalam Kak Daud," jawab Asih sopan.

"Asih, ini kenalin temen aku, Bilal..." Daud menunjuk teman di sebelahnya.

Pemuda yang bernama Bilal menyapa. Asih membalas dengan melipat tangannya.

"Jadi gini, Sih," Daud menjelaskan,"Bilal ini temen waktu kecil, dulu kita tetangga, sekarang dia pindah ke desa di lereng gunung sana. Dia ingin minta tolong, Sih... Katanya kakaknya ada yang ngerasukin... Udah seminggu didatengin orang pinter tapi belum sembuh juga."

Asih mengangguk-angguk mencoba mengerti.

"Aku minta tolong Sih. Mudah-mudahan kamu mau membantu temenku ini, seperti yang sebelum-sebelumnya," suara Daud memohon," Ntar kamu nggak usah masak Sih, nanti makan di rumah aja. Kamu udah ditungguin Umi tuh."

"Bukan masalah itu Kak Daud..." kata Asih," Tapi habis ini aku sama temen-teman disuruh bersih-bersih aula..."

"O, gampang itu, Sih... Nanti aku yang bilang sama Abi..." kata Daud.

Akhirnya Asih ikut Daud untuk menolong kakaknya Bilal. Asih naik motor membonceng Daud. Sementara Bilal menjalankan motornya di depan. Setelah melewati kampung-kampung dusun, mereka masuk ke desa kecamatan yang jalannya sudah beraspal. Setelah itu jalan mulai menanjak. Sepanjang perjalanan, Asih memperhatikan sekitarnya. Ada yang aneh dia rasakan ketika mereka mulai masuk desa kecamatan. Dia seperti pernah melihat tempat-tempat itu, terutama ketika tadi dia melewati sebuah sekolah. Jalan semakin menanjak. Udara mulai dingin. Pegunungan makin terlihat besar. Asih mulai melawati jalan yang naik turun melewati bukit-bukit. Ada satu bukit yang Asih tidak bisa berpaling darinya. Bukit itu berbeda dari lainnya. Pepohonannya yang begitu rimbun membuat bukit itu tampak lebih kelam. Perasaan Asih seperti tertarik ke sana. Tapi Asih mencoba untuk tidak mempedulikannya. Hingga akhirnya mereka sampai ke perumahan sederhana. Bilal berhenti di salah satu rumah.

"Kak Asih maaf, bukan bermaksud mengecilkan," Bilal bicara pada Asih sebelum mereka masuk," Nanti hati-hati menghadapi kakak saya, kelihatannya dia biasa-biasa saja, tapi kemarin ada orang pinter yang muntah darah."

"Tenang Bro, Asih ini sudah beberapa kali ketemu raja jin," Kata Daud menenangkan karena Bilal terlihat ragu. Bilal melihat Asih seperti anak perempuan biasa saja," InsyaAllah Asih bisa menyembuhkan kakak Antum."

Bilal mengangguk mencoba percaya pada temannya. Sementara Asih tidak mempedulikan perkataan Daud dan Bilal. Dari tadi dia memperhatikan rumah Bilal. Sesuatu yang jahat bersemayam di rumah itu. Lalu Bilal mempersilahkan Asih dan Daud masuk. Asih melihat rumah yang tidak terurus. Banyak perabotan berantakan disana-sini. Bilal pun menunjukkan kamar kakaknya yang pintunya masih tertutup. Daud menanyakan nama kakak Bilal, lalu dia maju membuka pintu kamar. Suasana redup karena hanya ada cahaya matahari yang masuk menembus tirau yang tertutup. Bau pengap pun menusuk hidung.

"Assalamualaikum," pelan Daud masuk ke kamar diikuti Asih. Bilal sengaja hanya berdiri di belakang.

Seorang perempuan muda terlihat duduk di pinggir ranjang sedang tertunduk.

"Assalamualaikum," Daud memberi salam lagi.

Perempuan itu masih diam. Tapi beberapa saat kemudian, pelan dia menoleh ke arah Daud. Wajah perempuan itu pucat, tapi ada sedikit senyum tersungging di sana.

"Kalian siapa?" suara perempuan itu lembut.

"Saya Daud, ini teman saya Asih, Kak Rumi," Daud menyebut nama kakak Bilal, karena suaranya masih terdengar normal.

"Kalian mau apa?" suara kakak Bilal masih lembut.

"Kami temannya Bilal, Kak Rumi. Kami cuma mau silaturahmi," jawab Daud sopan.

Sementara dari tadi Asih tidak pernah berhenti memperhatikan kakak Bilal. Meski wajahnya pucat, Kakak Bilal masih memaksakan untuk tersenyum lembut. Dan Asih melihat di belakang kakak Bilal ada bayangan hitam besar. Lalu ada tangan hitam melingkar di leher kakak Bilal dengan kuku-kuku panjang.

"Iya sini masuk," suara kakak Bilal pelan," Tapi aku nggak mau temanmu ikut masuk."

"Maaf Kak Rumi, justru temen saya Asih ini yang ingin ketemu Kakak," kilah Daud.

Asih pun pelan melangkahkan kakinya mendekat ke ranjang.

"Jangan mendekat!" suara kakak Bilal kini bercampur dengan suara serak dan berat.

Tapi walau pelan, Asih tetap bergerak menuju ranjang. Lalu sekonyong, meja kecil di pinggir ranjang bergerak sendiri. Dengan suara berdenyit, meja itu bergeser cepat dan berhenti tepat di depan Asih berdiri hingga menghalangi langkah Asih.

"Pergi kamu dari sini! apa urusanmu di sini!" kini suara yang keluar dari mulut kakak Bilal benar-benar suara yang serak dan berat.

"Keluar kamu dari badan Kak Rumi..." desis Asih.

Suara tawa keras keluar dari kakak Bilal. Lalu beberapa benda-benda kecil seperti sisir, bedak, gunting dan lain-lain beterbangan melesat ke arah Asih. Asih sempat menghindari benda-benda itu, tapi ada satu benda kecil yang mengenai lengannya.

"Asih! Kamu tak apa-apa?" Daud yang cemas mendekati Asih.

"Aku nggak apa-apa Kak Daud..." kata Asih tanpa mengalihkan pandangannya ke arah kakak Bilal yang wajahnya jadi menyeramkan. Mata kakak Bilal kini sepenuhnya berwarna putih.

Asih menyingkirkan meja kecil di depannya. Dia ingin melangkah tapi kipas angin yang ada di meja rias tiba-tiba terlempar ke arahnya. Kali ingin dengan sigap Asih menyilangkan tangannganya seakan sedang menahan benda besi yang sedikit lagi akan menumbuk badannya. Daud terbelalak melihat kejadian barusan. Asih tidak memegang kipas angin itu, tapi benda itu seakan melayang dan berhenti di depan Asih. Wajah Asih pun mulai terlihat marah. Dia kibaskan tangannya dan kipas angin itu pun terlempar ke samping. Benda besi itu jatuh ke lantai dengan suara gemeretak yang keras.

"Keluar kamu dari badan Kak Rumi!" kali ini suara Asih keras tertahan.

Belum pernah Daud melihat Asih semarah ini. Seakan yang dia lihat sekarang bukan Asih.

"Mau apa kamu!" suara keras yang keluar dari kakak Bilal menyiratkan rasa takut.

Asih mengulurkan tangannya, seakan dia ingin mencengkeram sesuatu yang ada di depannya.

"Apa yang kamu lakukan!" suara serak keluar dari mulut kakak Bilal seakan dia sedang tercekik," Apa yang kamu lakukan!" suara itu semakin terdengar tersiksa.

Mata Asih tajam menatap badan kakak Bilal. Daud melihat raut Asih seperti wajah bengis yang tak menyisakan rasa belas kasihan. Dia tak melihat Asih yang lembut yang dia tahu. Lalu tangan Asih mulai terlihat mencengkeram dan badan kakak Bilal seperti kelojotan. Tangannya memegang leher seperti hendak melepaskan sesuatu dari sana. Dengan dingin Asih mengibaskan tangannya hingga terdengar suara keras yang menyayat dan cahaya api muncul melesat hingga menghantam tembok dengan dentuman yang keras. Seketika itu juga badan kakak Bilal terhempas ke kasur. Api yang menyala di tembok makin lama redup hingga menyisakan jelaga dan bau anyir.

"Bilal..." kakak Bilal tersadar di atas ranjangnya. "Bilal..." suara kakak Bilal yang lemah memanggil lagi adiknya.

Bilal pun menghambur masuk kamar dan memeluk kakaknya. Daud menyusul dan membaca doa untuk merawat kakak Bilal. Lalu Daud mencari Asih, karena anak perempuan itu sudah tidak ada di kamar. Daud pun keluar rumah. Dan di teras dia menemukan Asih berdiri di teras menghadap ke jalan. Asih menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Asih! Kamu ngga apa-apa?" tanya Daud cemas.

"Astaghfirullah Aladzim..." suara Asih lirih sembari menghela nafas panjang. Asih mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya setelah tadi di dalam begitu pengap.

"Asih kamu nggak apa-apa kan?" Daud bertanya lagi.

"Kak Daud aku tadi jahat sekali... Aku telah bunuh mahluk itu..." kata Asih. Matanya sudah lembam dan basah," Aku sudah banyak membunuh mereka..."

"Kamu melakukan yang benar Asih... Kamu sudah menolong kakaknya Bilal," kata Daud menenangkan.

"Kayaknya aku nggak bisa ngelakuin ini lagi..." kata Asih di tengah sesenggukannya.

"Iya, iya, Asih... Ini yang terakhir... Aku janji ini yang terakhir," kata Daud menenangkan Asih.

Perlahan Asih mulai terlihat tenang. Daud masih berusaha menenangkan Asih. Sekilas Daud sempat melihat ke luar pagar. Di sana ada motor berhenti. Pengendaranya seorang anak berseragam SMA. Dari tadi anak itu lama menatap ke arah Asih. Lalu Bilal muncul ke teras. Cepat-cepat dia menemui Asih.

"Asih, terimakasih, terimakasih... Kalau tidak ada kamu, aku nggak tahu jadi apa kakakku..." Bilal seperti minta maaf karena pada awalnya dia sempat meragukan Asih.

Sebagai teman Daud dan Bilal saling berpelukan. Lalu Daud dan Asih berpamitan. Bilal mengantarnya ke luar pagar. Saat Daud sedang menyiapkan motornya, seorang laki-laki berseragam SMA mendatangi mereka.

"Lita..." Anak berseragam SMA itu bersuara sembari menatap Asih tanpa berkedip.

Asih, Daud dan Bilal jadi merasa aneh, tiba-tiba ada orang mendatangi mereka. Terutama Asih, karena anak itu tak berhenti menatapnya.

"Lita..." anak itu mulai mendekati Asih.

Spontan Daud menghalanginya.

"Asih kamu kenal orang ini?" tanya Daud ke Asih.

Asih terlihat ragu. Tapi pelan dia menggelengkan kepalanya.

"Bro, mau apa kamu, kita nggak ada yang kenal sama kamu!" suara Daud agak keras.

Bilal sudah ancang-ancang membela temannya. Sementara Asih malah terlihat bingung.

"Lita... Ini aku Dion..." anak itu tetap bicara pada Asih walau Daud menghalanginya.

"Hei Bro, aku peringatkan ya! Lo jangan sok kenal! " suara Daud keras memperingatkan.

Suasana semakin panas karena anak itu benar-benar tidak mau pergi. Sampai Bilal ikut campur dan anak itu mundur karena dipojokkan oleh Daud dan Bilal. Anak itu sudah kembali ke motornya. Sepertinya dia tidak mempedulikan Daud dan Bilal. Dari tadi dia tidak pernah memalingkan wajahnya pada Asih. Daud pun mengajak Asih untuk tidak mempedulikan anak itu. Daud buru-buru menyalakan motornya, mengajak Asih untuk cepat pergi dari tempat itu. Di sepanjang perjalanan, Asih masih memikirkan anak laki-laki berseragam SMA tadi. Seperti ada sesuatu yang telah lalu muncul dalam pikirannya. Dan anak laki-laki tadi memanggilnya Lita.