Asih terhenyak. Dia terduduk di atas ranjangnya. Nafasnya memburu. Peluh memenuhi wajahnya. Mimpi buruk itu berulang kali menghantuinya. Mimpi orang-orang beringas dengan obor yang dinyalakan. Mereka menyeret dua tubuh yang tak berdaya. Lalu ada jalan setapak yang gelap dan menanjak. Bayangan-bayangan hitam merambati ranting-ranting yang rapat di kanan kirinya. Lalu bunyi berdengung itu yang lama-lama memekak membangunkannya.
Pelan Asih turun dari ranjang susunnya. Keempat teman asramanya masih lelap tertidur. Dengan mengendap, dia menyusuri lorong keluar asrama. Di luar gelap dan dingin. Tapi Asih ingin menhirup udara bebas sebanyak-banyaknya. Sampai dia mulai tenang dan mencoba melupakan mimpinya. Saat hendak kembali ke dalam, di luar pagar, Asih melihat sosok itu lagi. Anak perempuan berambut panjang, berbaju merah. Sosok itu hanya berdiri melayang-layang di sana, seperti tidak berani melewati pagar. Beberapa kali Asih melihat sosok itu di sana. Kali ini Asih menggerakkan kakinya mendekat ke sana. Asih hanya berjarak beberapa meter dari pagar. Beberapa saat Asih melihat wajah pucat sosok itu.
"Lita..." suara anak kecil keluar dari sosok itu.
Asih mundur sejengkal. Jantungnya berdegup. Selain anak laki-laki yang mengendarai motor waktu itu, ada lagi sosok ini yang memanggilnya Lita. Kepala Asih mulai serasa berputar. Buru-buru dia melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Sampai di kamarnya, Asih langsung naik ke ranjang. Dia benamkan wajahnya ke bantal karena kepalanya makin serasa berputar. Sekuat mungkin, dia berusaha memejamkan matanya. Hingga kantuk kembali menidurkannya.
***
Bagda Isya, setelah mengaji, Asih berjalan keluar masjid bersama-sama temannya. Mereka menuju ke arah asrama yatim. Tapi dari tadi Asih selalu memperhatikan arah pintu utama dimana para santri sedang berkerumun keluar. Begitu melihat Daud, Asih langsung berlari ke sana dan membuat teman-temannya heran.
"Asih mau kemana?" kata seorang temannya.
Tapi begitu melihat Daud yang dituju, mereka malah tertawa cekikikan.
Sementara Asih dengan suara kecilnya berusaha memanggil Daud. Tapi sepertinya Daud sedang sibuk bercakap dengan teman-temannya.
"Kak Daud!" Asih mengeraskan suara dan memajukan langkahnya.
Begitu Daud melihat Asih tak jauh darinya, dia langsung meninggalkan teman-temannya yang belum selesai mengobrol.
"Asih, ada apa?" Daud heran malam-malam Asih mendatanginya. Tapi sebenarnya dia senang malam ini bisa melihat Asih.
"Assalamualaikum Kak Daud..."
"Assalamualaikum Asih..."
"Kak Daud ada yang ingin aku tanyakan... Penting..."
Melihat Asih yang serius, Daud menyuruh temannya meninggalkannya dulu, nanti dia menyusul, karena sepertinya mereka sedang ada acara.
"Kenapa, Sih," tanya Daud penasaran.
"Kak Daud aku mau tanya... Tahu nggak waktu aku pertama di sini... Kok aku nggak tahu ya... Kayak nggak ingat apa-apa..."
"Mmm, memang kenapa, Sih!" Daud teringat cerita bapaknya, dia harus hati-hati bicara dengan Asih mengenai hal ini.
"Gimana ya Kak Daud... Akhir-akhir ini aku sering mimpi buruk, terus kepala pusing..." kata Asih dengan wajah memelas.
"Mungkin sebaiknya kamu nggak usah berusaha mengingat yang sudah berlalu, Sih... Disini kan kamu sudah banyak saudara... kamu guru yang baik disini dan disukai anak-anak... kamu termasuk santriwati yang pintar disini..." Daud berusaha menghibur Asih, karena Asih terlihat seperti orang bingung.
"Mohon dengan sangat Kak Daud... saat ini aku bingung banget... Pada siapa lagi aku bisa bicara kalau bukan sama Kak Daud..."
Daud memandangi lama Asih. Daud pun merasa iba. Wajah manis Asih kini terlihat begitu sedih. Apalagi sekarang mata Asih mulai berkaca-kaca. Ada keinginan terdalam dari Daud untuk bicara apa adanya apa yang dia ketahui, tapi dia melihat masih banyak santri yang lalu lalang.
"Gini, Asih... Besok sehabis kamu mengajar anak-anak, aku akan temui kamu di sana ya..."
Asih pun setuju. Dia mengucapkan terimakasih kepada Daud. Dan Asih tidak sabar untuk besok bertemu dengan Daud.
***
Besoknya, menjelang siang, saat anak-anak riuh keluar kelas, Daud menyusup masuk. Di sudut ruang, Asih terlihat duduk di depan meja membereskan kertas-kertas. Begitu melihat Daud, Asih tersenyum manis, mempersilahkan Daud masuk. Daud pun duduk di kursi di depan Asih, melihat wajah gadis itu yang akhir-akhir ini terlihat sayu.
"Kamu masih mimpi buruk Sih?" tanya Daud membuka pembicaraan.
"Masih Kak Daud... Entah sampai kapan aku begini..." kata Asih sembari menghela nafas panjang.
"Asih, sebenarnya ada yang aku ingin ceritakan sama kamu..." Daud berusaha menata suaranya pelan. Sebentar dia melihat sekitar, memastikan tidak ada orang di dekat mereka," Tapi sebelumnya, aku minta kamu tetap berpikir jernih, Sih... tetap tenang... dan yang paling penting kamu harus mensyukuri apa yang ada pada kamu sekarang ini..."
"Iya Kak Daud..." Asih mencoba menurut.
Lalu Daud menceritakan apa yang pernah diceritakan bapaknya saat Asih ditemukan di pinggir sungai. Spontan Asih menutup mulut dengan kedua tangannya. Matanya terbelalak menatap Daud. Baru sebentar mendengar cerita Daud, dia sudah terlihat 'shock'.
"Tenang, Sih... Kamu harus tenang... Tarik nafas dalam-dalam..." Daud menenangkan Asih.
Asih menuruti apa kata Daud. Beberapa kali dia menarik nafas mencoba untuk bersikap tenang.
"Kamu nggak usah sedih, Sih... Banyak teman-teman kamu yang senasib disini..." Daud menasehati, sengaja tidak menceritakan lebih jauh tentang masa lalu Asih yang dia tahu," Lagian apa yang kamu khawatirkan, Sih... Ada aku disini... Kapanpun kamu butuh aku, aku akan ada buat kamu..."
Asih jadi tersipu. Senyumnya mulai tersungging.
"Terimakasih ya Kak, Daud... Selama ini udah baik sama aku..."
"Iya Sih... Apapun kulakuin buat kamu Sih..."
"Iya Kak Daud... Tapi aku boleh tanya sesuatu nggak Kak Daud?"
"Kenapa, Sih?"
"Waktu Abi nemuin aku... Ada barang-barang aku... Atau sesuatu yang tersisa nggak Kak Daud... kayak baju atau apa gitu..."
"Mmm setahu aku... Baju kamu sudah kena lumpur... "Daud mencoba mengingat-ingat," Trus ada tas ransel juga penuh lumpur sampek baju-baju di dalamnya... Seingatku udah dibuang sama Umi... Kecuali ada satu kotak kaleng yang dibersihin sama Umi..."
"Kotak kaleng Kak Daud?"
"Iya, Sih... Kalau nggak salah Umi simpen di lemari..."
"Kak Daud... Aku boleh lihat nggak?"
"Kayaknya Umi sengaja sembunyiin deh Sih..."
Asih seperti kecewa karena untuk mengungkap apa yang tersisa pun tidak mungkin buatnya.
"Mmm gini Sih... Kalau kamu memang pengen lihat, aku bisa ambil sebentar kotaknya," Daud melihat kekecewaan di wajah Asih," Tapi nanti aku balikin ke tempatnya lagi. Jadi nggak usah cerita-cerita ke Umi ya..."
Asih pun berkali-kali mengucapkan terimakasih pada Daud. Nanti malam Daud berjanji akan menaruh kotak yang dimaksud ke laci meja Asih di kelas. Kalau Asih sudah melihatnya, diminta dikembalikan ke laci lagi.
***
Malamnya setelah mengaji, Asih buru-buru meninggalkan teman-temannya . Dia bilang hendak ke toilet. Sebenarnya Asih sedang menuju ke kelas tempat dia mengajar anak-anak. Di laci mejanya, dia temukan bungkusan plastik berwarna hitam. Cepat Asih mengambil bungkusan itu dan membawanya dalam dekapan seakan sedang menyembunyikan benda itu.
Sesampai di asrama, buru-buru Asih menuju kamarnya. Tapi di depan kamar, Asih mendengar teman-teman sekamarnya sudah kembali. Mereka terdengar sedang berguncing di dalam. Asih tidak mungkin membuka bungkusan itu di kamar. Lalu Asih menuju ke toilet. Sebelum masuk toilet, Asih menoleh kanan kiri memastikan tidak ada orang ke situ. Asih pun masuk dan mengunci pintunya. Bungkusan plastik hitam itu dia letakkan di pinggir bak mandi. Asih duduk di toilet. Dia pandangi lama benda itu seakan dia butuh waktu untuk mengumpulkan keberaniannya dulu.
Sampai Asih tersadar, dia harus membuka bungkusan itu sebelum ada orang masuk ke toilet. Dan dia harus mengembalikannya lagi ke laci mejanya malam ini juga. Pelan Asih membuka ikatan plastik pembukusnya. Di dalamnya ada kotak kaleng berwarna putih. Dengan tangan gemetar Asih keluarkan kotak itu. Asih mundur sejengkal dan memandangi kotak itu. Benda itu pernah ada di ingatannya dan kini muncul kembali. Kotak itu memunculkan seseorang yang begitu dia sayangi. Ya, dia adiknya, yang punya kotak ini. Sedikit-sedikit bayangan-bayangan itu muncul. Senyum adiknya yang ceria memberikan kotak ini padanya. Jantung Asih berdegup kencang. Pelan dia mulai membuka tutup kotaknya. Asih terbelalak. Sapu tangan lusuh berbercak ada di dalamnya. Lalu ada setangkai bunga layu yang sudah jadi serpihan. Bayangan seseorang mulai muncul di pikirannya. Wajah kakaknya yang senantiasa melindunginya. Sapu tangan itu pemberian kakaknya. Dia gunakan untuk menyeka darah yang keluar dari hidung seorang anak laki-laki. Ya, anak laki-laki yang pernah menjadi harapannya. Yang memberinya setangkai bunga. Lalu satu persatu ingatan itu mulai kembali. Asih mentutup mulut dengan kedua tangannya. Kini seleruh tubuhnya gemetar. Perlahan ingatan-ingatan itu mulai tersambung satu sama lain seperti puzzle yang tersusun hingga muncul gambarnya. Sampai Asih merasa lemas dan tak kuat berdiri. Dia tersimpuh di lantai kamar mandi yang basah. Dan ingatan tentang malam jahanam itu begitu jelas. Tubuh kedua orang tuanya yang diseret orang-orang beringas. Kini seluruh badannya ambruk ke lantai. Dia telentang dia antara ceceran air kamar mandi. Mulutnya ternganga ingin berteriak. Tapi tak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Wajah kakak dan adiknya ada di langit-langit. Dan air tak berhenti mengalir dari matanya.
Malam ini angin bertiup kencang. Ranting dan dahan bergoyang-goyang. Bunyi gesekannya mengalahkan suara jangkrik di rerumputan. Asih ada di depan gerbang asrama. Dia duduk di atas pembatas selokan. Bungkusan plastik hitam ada di pangkuannya. Wajahnya kosong ke depan. Di depannya sosok anak kecil berbaju merah berdiri melayang di balik jeruji gerbang.
"Aku telah meninggalkan kakakku... meninggalkan adikku..." Pelan Asih berguman sendiri. Walau seakan dia bicara pada sosok di depannya, tapi sebenarnya dia asal menumpahkan segala yang harus dia ungkapkan dari kegalauan di kepalanya.
"Itu bukan salahmu Lita..." suara anak kecil keluar dari sosok bermuka pucat di depan Asih.
"Seharusnya aku bisa balik ke sana menyelamatkan kakakku... Menyelamatkan adikku..." suara Asih masih datar, seakan tak butuh tanggapan.
"Itu bukan salahmu Lita..." suara anak kecil itu hanya diulang-ulang.
"Seharusnya aku bisa bersekutu dengan iblis itu dan menyelamatkan mereka..." Asih ingin menangis, tapi sepertinya air matanya sudah habis.
"Aku yang menyelamatkanmu Lita..." sosok di depan Lita bersuara lagi.
Asih memandangi sosok di depannya. Sosok anak perempuan berambut panjang dan berbaju merah. Dia selalu melayang di atas tanah dengan kaki pucat yang terjulur ke bawah. Semua ingatannya kini telah kembali, dia begitu mengenal sosok di depannya. Sosok yang menjadi temannya saat dia kecil. Saat dia tidak punya teman sama sekali.
"Terimakasih sudah menyelamatkanku..." kata Asih. Dia sadar, saat beranjak dewasa dia selalu tak menghiraukannya.
Asih harus mengembalikan lagi bungkusan yang ada di tangannya. Dia berjalan melewati lorong-lorong gelap menuju ke ruang kelas. Malam ini semuanya telah berubah. Malam ini dia bukan Asih lagi. Dia adalah Lita.