Siang ini Lita tidak konsentrasi mengajar. Sejak dia membuka mata tadi pagi di ranjangnya, dia merasa bukan Asih lagi. Dia biarkan anak-anak didiknya ribut sendiri di kelas. Kadang matanya hanya menatap kosong ke depan. Gambaran kakak dan adiknya, kemudian bapak ibunya, bergantian melintas dalam pikirannya. Lalu ada anak laki-laki bernama Dion yang pernah menjadi harapannya. Kadang terlintas pikiran untuk dia tetap menjadi Asih saja, karena toh sekarang dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Dan dia ragu apakah harus berbicara dengan Daud mengenai hal ini.
Di tengah kebimbangannya, Lita dikejutkan suara ribut-ribut di luar kelas. Beberapa anak didik terlihat sedang menunjuk-nunjuk ke arah gerbang. Lita pun penasaran dan keluar kelas. Dari tempatnya berdiri dia melihat keramaian yang berkerumun di depan gerbang.
"Ada apa?" tanya Asih pada santriwati yang lebih muda yang lewat di depannya.
"Tahu tuh Kak, ada orang gila teriak-teriak nyari orang namanya Lita," jawab santriwati itu sambil menunjuk ke arah gerbang," Sudah diusir-usir tapi dia nggak mau pergi."
Lita langsung berlari ke arah gerbang. Disana terlihat makin banyak santri berkerumun. Mereka sedang mengerumuni seorang laki-laki yang berteriak-teriak seperti orang gila.
"Dion..." Suara Lita tercekat. Dia menghentikan langkahnya. Setelah ingatannya kembali, kini begitu melihat laki-laki itu, perasaan itu ikut kembali. Dia pernah merasa ingin menyerahkan segala-galanya buat laki-laki itu.
Belum sempat Lita bergerak, dari kejauhan Dion sudah melihatnya berdiri. Laki-laki itu dengan kencangnya berlari menyeruak kerumunan. Saking kencangnya Dion berlari, dia sampai hampir menabrak Lita saat berhenti. Dion langsung memegang kedua lengan Lita.
"Lita! Ini kamu Lita kan?" suara Dion bercampur dengan engahan nafasnya. Tatapannya tak lepas dari Lita.
"Dion..." Hanya itu yang keluar dari mulut Lita. Dia hanya memandangi Dion, seakan tak percaya akan melihat laki-laki itu lagi.
Dion sempat menoleh ke belakang. Orang-orang yang tadi mengerumuninya, kini mengejarnya, dan mereka tak jauh lagi darinya. Sementara Daud dan kelompoknya baru muncul dari gerbang ikut mengejar.
"Lita dimana kamu tinggal?" cepat-cepat Dion bertanya pada Lita.
Lita menunjuk ke arah bangunan asrama dimana dia tinggal.
"Lita nanti malam..." Belum selesai Dion bicara, orang-orang yang mengejarnya sudah memeganginya dan Daud sudah di depan Dion menghalanginya dari Lita.
"Bung! Lo udah sinting ya, datang ke sini kayak orang gila!" suara Daud lantang menunjuk-nunjuk Dion,"Nggak ada yang namanya Lita di sini! Pergi lo dari sini! Jangan balik lagi ke sini!"
Orang-orang mulai menyeret Dion. Walau tidak berontak, Dion seperti tidak peduli. Kadang dia terjerembab karena didorong banyak orang. Tapi pandangannya tak pernah berpaling pada Lita. Sampai lama-lama dia terseret keluar gerbang. Lita hanya terpaku di tempatnya berdiri, terpana melihat Dion diperlakukan seperti itu.
"Asih, kamu nggak apa-apa?" Daud melihat wajah Lita yang bingung."Asih, kamu nggak apa-apa kan?" Daud mengulangi pertanyaannya karena Lita masih bengong.
"Nggak... nggak apa-apa Kak Daud," kata Lita terbata berusaha menutupi kegalauannya.
"Kamu tenang aja, Sih. Orang gila itu nggak bakalan balik lagi," kata Daud menenangkan.
Lita mengangguk pelan. Dia merasa lebih baik Daud masih menganggapnya Asih.
***
Malam Lita tidak bisa tidur. Perasaannya kuat mengatakan bahwa Dion akan datang malam ini. Pelan dia turun dari ranjangnya. Dengan berjingkat dia keluar kamar. Langkahnya kecil-kecil menuju pintu keluar. Di luar gelap dan dingin. Jauh di keremangan malam, Lita melihat bayangan orang sedang mengendap di balik pagar. Lalu orang itu jelas terlihat saat memanjat pagar.
"Dion..." guman Lita saat melihat orang yang sedang berusaha melewati pagar.
Lita pun berlari kecil ke arah sana, berusaha untuk tidak menimbulkan suara, karena Dion sudah terlihat masuk ke dalam.
"Lita..." desis Dion melihat Lita yang mendekat ke arahnya.
Lita langsung menarik tangan Dion, mengajaknya ke tempat yang lebih tersembunyi. Di balik tumpukan meja-meja bekas Lita membawa Dion. Tapi Dion masih menoleh ke kanan ke kiri seperti ada sesuatu yang dicarinya.
"Kenapa Dion?" bisik Lita, karena Dion terlihat sedang mencari-cari sesuatu.
"Tadi ada anak kecil pakai baju merah menyuruh aku lewat pagar itu," kata Dion pelan, dia masih mencari-cari.
Lita tahu siapa yang dilihat Dion, tapi dia berusaha untuk tidak membahas masalah itu.
"Dion kenapa kamu mencari aku?" tanya Lita.
Dion memandang Lita sejenak, walau gelap kecantikan gadis itu masih terlihat jelas,"Lita... sejak peristiwa itu, aku selalu mencari kamu..." kata Dion.
Lita tercenung, karena kata-kata Dion mengarahkannya pada peristiwa malam jahanam yang akan selalu menggores dalam relung hatinya.
"Maafkan aku Lita... Atas apa yang menimpa keluarga kamu," kata Dion, karena dia melihat kesedihan muncul di wajah Lita.
"Kamu tahu orang tuaku...?" Lita tidak meneruskan pertanyaannya.
Dion mengangguk pelan," Mereka ditemukan sudah meninggal Lita... Tapi orang-orang tidak mau mereka dikuburkan di desa kamu..."
"Mereka dikubur dimana Dion?"
"Itu yang juga masih aku cari... seperti aku selalu mencarimu... Dari awal aku tahu kamu masih hidup Lita..."
Lita makin tercenung memandangi Dion.
"Lita... pagi itu pas jam istirahat aku tunggu kamu di tempat biasa... Aku ingin tunjukin kamu sesuatu... Tapi kamu nggak muncul... Ternyata kamu nggak masuk... Pulang sekolah aku ke rumahmu... Aku baru tahu semalam telah terjadi sesuatu di rumah kamu..."
Lalu Dion mengeluarkan ponselnya, dia perlihatkan rekaman video saat Dion waktu itu sampai di sana. Lita memperhatikan dengan serius. Rumah Lita terlihat dikelilingi oleh garis polisi. Ada satu mobil ambulan masuk ke halaman. Lalu kamera Dion mengarah ke rumah Lita yang sudah jadi bongkahan-bongkahan abu. Asap sisa-sisa kobaran tadi malam masih terlihat mengepul. Lita sempat menutup mulut dengan tangannya saat dia lihat gubug tempat pengasingan adiknya juga sudah menjadi abu yang rata dengan tanah. Melihat hal itu Dion mematikan videonya.
"Adikku ada di gubug itu..." suara Lita tertahan.
"Maafin aku Lita," kata Dion yang ikut sedih," Aku juga melihat tubuh kakak kamu, cuma tertutup kain, dimasukkan ke ambulan... Tapi mereka tidak menemukan kamu... Malah ada tiga mayat penduduk ditemukan di atas bukit... Aku langsung mengira itu ada kaitannya sama kamu... Dan aku selalu percaya kalau kamu masih hidup."
Lita memandangi Dion. Dia tak menyangka, sampai sejauh itu Dion berusaha mencarinya.
"Lita, tiga hari yang lalu aku lewat rumahmu lagi," suara Dion kali ini serius," Waktu itu malem-malem, banyak penduduk pada dateng. Kayaknya ada semacam dukun datang ke sana juga. Terus ada ritual disana. Aku sempet tanya-tanya. Katanya mereka sedang menetralisir bekas rumah kamu. Soalnya banyak penduduk yang mati minggu-minggu lalu. Dan katanya, yang pada mati itu orang-orang yang dulu pernah mendatangi rumah kamu."
"Beneran, Dion?"
"Iya, itu yang merela bilang... Katanya ada sisa-sisa tinggalan iblis yang mau membalas dendam. Makanya mereka bikin ritual."
Lita terdiam. Mencoba memikirkan semua yang dikatakan Dion.
"Ada yang membalas dendamkan perbuatan mereka pada keluargamu Lita..." pelan Dion mencoba menyimpulkan.
Lita mengangguk dan menatap Dion dalam-dalam. Wajah mereka dari tadi memang saling berdekatan, karena mereka harus bersembunyi di ruang yang cukup sempit. Dan Lita belum bisa berpikir lebih jauh lagi atas apa yang terjadi kecuali wajah laki-laki menawan di depannya yang kini sedang dia pandangi.
"Dion... Aku mau tanya..." Lita setengah berbisik.
"Kenapa Lita?"
"Dion, waktu kamu tunggu aku di sekolah waktu itu... katanya kamu mau tunjukin sesuatu..."
"Iya Lita... Tapi kamunya nggak datang-datang."
"Tunjukin apaan?"
Dion pun mulai menyingsingkan lengan bajunya. Dia tunjukkan pangkal lengannya ke Lita. Di sana ada tato besar bertuliskan LITA. Perasaan Lita meleleh saat itu juga. Tapi belum lama perasaan Lita teraduk-aduk, suara gaduh terdengar di sekitar mereka. Ada suara langkah-langkah orang yang makin dekat.
"Hoi! Siapa di situ?" suara keras terdengar dari langkah-langkah yang datang mendekat.
Lita dan Dion reflek beringsut lebih dalam ke bawah meja-meja rusak. Karena sempit, mereka pun harus berpelukan satu sama lain. Wajah mereka pun sudah tak berjarak lagi. Tapi suara langkah-langkah makin jelas terdengar. Kaki-kali yang melangkah terlihat melewati mereka. Dion mendekap Lita lebih erat, melindungi gadis itu dari pandangan mereka. Kaki-kaki itu sempat berhenti di depan mereka. Dion dan Lita sampai menahan nafas, berharap mereka tak terlihat di bawah tumpukan meja. Lalu salah satu dari mereka menunjuk-nunjuk ke arah pagar asrama. Di balik pagar terlihat sosok anak kecil memakai baju merah melayang-layang di atas tanah. Mereka pun berlarian tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Ini mungkin kesempatan buat Dion untuk keluar dari situ.
"Lita aku harus pergi dari sini," kata Dion dengan muka menyesal karena sebenarnya dia tidak mau meninggalkan Lita.
Sama dengan Lita, dia masih tercenung memandangi Dion, seakan tidak mau ditinggal laki-laki itu.
"Dion...Bawa aku pergi dari sini..."desah Lita pelan.
Dion memandangi Lita lama," Kamu yakin?" Tanya Dion.
Lita mengangguk,"Kakakku mungkin masih hidup..." suara Lita mengambang.
"Maksud kamu?" Dion masih belum mengerti.
"Aku pikir kakakku yang membunuh orang-orang itu... Kakakku pasti akan melakukannya demi orang tua kami..." Suara Lita agak serak. Matanya mulai berkaca-kaca," Dia pasti akan melakukannya... Karena dia telah diperlakukan seperti..." Lita menutup mulut dengan kedua tangannya, tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Dion jadi trenyuh dengan apa yang menjadi pikiran Lita. Walau dia melihat dengan kepalanya sendiri tubuh kakak Lita dimasukkan ke ambulan dan dia tidak tahu bagaimana kakak Lita bisa melakukannya jika pun dia masih hidup. Tapi kata-kata itu keluar dari mulut Lita. Hatinya akan selalu menerima kegalauan gadis polos yang ada di depannya.
"Mungkin kamu nggak percaya Dion... Tapi aku yakin kakakku masih hidup."
"Dari mana kamu tahu..."
"Ya... Karena dia adalah kakakku..."
Sekali lagi, Dion akan selalu merasa untuk membela apapun kegalauan gadis yang kini terlihat begitu sedih.
"Ok, gini Lita," Dion menarik nafas sebentar dan melihat sekitar, khawatir orang-orang tadi akan kembali," Besok jam segini aku akan datang lagi ke sini... Kamu bersiap-siaplah... Nanti aku bawa mobil... Aku akan bawa kamu pergi dari sini... Dan kita akan mencari kakakmu."