Hujan rintik-rintik turun di sebuah panti asuhan. Seorang pemuda memakai baju koko, bersarung dan memakai peci berjalan menghindari genangan-genangan air di tanah becek dengan membawa payung. Di depan ruang kelas dia berhenti. Dari jendela dia melihat seorang remaja perempuan sedang mengajar di kelas anak-anak. Perempuan berwajah cantik itu memakai jilbab dengan sabar menghadapi murid-muridnya yang ramai dan sepertinya susah diatur. Begitu pelajaran selesai, pemuda itu menuju ke pintu yang sudah banyak anak berhamburan keluar. Lalu remaja perempuan itu terlihat di pintu dan beberapa anak mencium tangannya sebelum keluar.
"Assalamualaikum Asih," pemuda itu menyapa dengan sopan.
"Waalaikumsalam... Eh Kak Daud..." perempuan yang dipanggil Asih tidak menyangka ada seorang pemuda tampan menyapanya.
"Yang sabar ya mengajar anak-anak ini... Mohon dimaklumi, mereka ini anak-anak yang tidak punya orang tua," kata pemuda yang bernama Daud ini.
"Iya saya tahu kok Kak Daud... Justru saya yang masih belajar, ini pertama kali saya mengajar anak-anak," kata Asih merendah.
"Udah bagus kok, banyak juga kan tadi yang suka sama kamu... Nanti juga semua suka sama kamu."
"Iya terimakasih Kak Daud... minta doanya saja supaya selalu lancar mengajar anak-anak ini."
"Pastilah Sih... Kamu pasti akan menjadi guru yang baik."
"Terimakasih Kak Daud."
"Ngomong-ngomong jangan panggil Kakak dong Sih. Umur kita kan nggak terpaut jauh."
Asih hanya tersenyum tersipu.
"Kalau boleh tahu, habis ini mau kemana Sih?"
"Maaf Kak Daud, saya harus balik ke asrama , mau masak dulu."
"Terus ini gerimis, kamu bawa payung nggak Sih?"
"Nggak apa-apa Kak Daud, nanti saya lari aja sampai asrama."
"Waduh, ntar kamu sakit lho Sih... "
"Udah biasa Kak Daud, kemarin juga begitu waktu pulang dari ngaji."
"O... Gitu ya Sih... Jadi gini Sih... Tadi itu Umi kebetulan masak banyak banget, trus aku bilang aku mau ajak Asih buat makan di rumah. Kata Umi suruh Asih makan di rumah, sekalian nanti Umi minta bantuan untuk bikin kue buat pengajian besok di pesantren."
"Aduh saya jadi nggak enak sama Umi Kak Daud."
"Loh, justru tadi yang nyuruh Umi sendiri kok Sih... Sampai dia bawain dua payung... Nih satu buat kamu, Sih."
Setelah Asih menerima payung, mereka berdua berjalan menembus gerimis.
"O iya Asih, kamu masih sering lihat hantu anak kecil berbaju merah?" tanya Daud mencoba berkomunikasi saat mereka berjalan berdua di bawah payung.
"Kadang saya masih lihat di luar pagar, Kak Daud. Sepertinya dia udah nggak berani masuk halaman asrama," jawab Asih sembari mencoba menghindari genangan-genangan air.
"Iya Asih, tiga hari yang lalu Bang Sarif kan udah pagarin sekeliling asrama."
"Bang Sarif?"
"Iya, Bang Sarif murid Abi yang paling jago."
Asih mengangguk-angguk mencoba mengerti. Belum lama mereka melewati pagar, dua orang santri yang lebih muda dari Daud terlihat berlari tergopoh mendatangi mereka.
"Kak Daud! Kak Daud!" teriak salah satu santri.
"Ada apa?" tanya Daud.
"Kak Daud di rumah banyak yang kesurupan!" kata santri itu.
Daud pun berjalan cepat, mengikuti dua temannya. Asih dengan langkah kecilnya berusaha mengikuti Daud.
"Kok bisa kejadian di rumah?" tanya Daud di tengah langkahnya yang tergopoh.
"Kayaknya yang dari pohon yang mau ditebang kemarin Kak Daud," jawab temannya.
"Bang Sarif ada di sana?"
"Ada Kak Daud."
"Abi ada?"
"Ada Kak."
Daud terlihat lega karena ada Bang Sarif dan Bapaknya disana. Mereka pun sampai di pemukiman rumah-rumah dusun. Di salah satu rumah yang paling besar banyak kerumunan di depan pintu masuk. Beberapa orang terlihat sedang dirawat para santri. Tiba-tiba seseorang terlempar keluar dari dalam. Dia terjerembab jatuh di tanah becek tak jauh dari pintu.
"Bang Sarif!" teriak Daud menghampiri orang yang terjatuh tadi.
Daud berusaha membangunkan lelaki setengah baya itu.
"Bang Sarif ada apa?" tanya Daud cemas.
"Raja jin di dalam," kata Bang Sarif setelah dia bisa duduk. Nafasnya masih terengah.
"Abi mana?" tanya Daud menanyakan bapaknya.
"Ada di dalam," jawab Bang Sarif yang masih berusaha mengatur nafasnya.
Daud langsung berlari menuju pintu.
"Daud jangan masuk!" teriak Bang Sarif.
Tapi Daud sudah melewati pintu. Dan Asih berusaha mengikutinya. Sampai di dalam Daud terhenyak. Matanya terbelalak. Dia melihat ibunya sudah menggelantung di langit-langit. Kakinya dia atas, kepalanya di bawah. Jilbabnya sudah terlepas. Rambutnya terurai ke bawah.
"Umi!" teriak Daud panik. Dia berusaha maju ke depan.
"Daud! Mundur!" teriak bapaknya yang berdiri tak jauh di sebelah.
Daud menghentikan langkahnya. Matanya nanar melihat ibunya yang menggantung terbalik di langit-langit. Karena dia tidak bisa mengenali wajah ibunya di sana. Dia melihat wajah yang menyeringai dengan mata merah yang tajam menatap bapaknya.
"Saya sudah ada dari sejak raja-raja kalian naik kuda," suara berat keluar mulut ibu Daud dengan nada marah.
Badan Daud gemetar mendengar suara ibunya yang berat dan serak.
"Keluar kamu dari tubuh istri saya," bapak Daud berteriak lantang.
Lalu bapak Daud berjalan ke arah ibu Daud tergantung. Tapi sebelum dekat, ada cahaya api melingkupi bapak Daud. Bapak Daud pun tersungkur ke belakang.
"Abi!" Daud menghampiri bapaknya yang masih mencoba bangkit.
"Yang lain sudah dimasukkan botol, tinggal yang satu ini bajingan tengiknya," kata bapak Daud geram sembari menahan sesak dadanya.
"Keluar dari badan ibu saya!" Daud berdiri dan berteriak marah tapi tangan bapaknya menahannya untuk bertindak lebih lanjut. Bapak Daud pun mulai terbatuk-batuk dan Daud berusaha merawat bapaknya.
Suara tertawa nyaring keluar dari mulut ibu Daud," Saya sudah ratusan tahun menghadapi kalian. Jangan coba-coba menghancurkan kerajaan saya," kata-kata dengan suara berat keluar dari mulut ibu Daud," Kalian boleh mengambil prajurit saya tapi kalian tidak bisa mengalahkan saya. Kalian tidak bisa menebang pohon itu."
Batuk bapak Daud makin menjadi hingga keluar ludahnya bercampur dengan darah. Daud mulai cemas dengan kondisi bapaknya. Di belakang Asih berjalan pelan dari arah pintu. Dari tadi dia tidak pernah mengalihkan pandangannya pada badan ibu Daud yang menggelantung.
"Asih jangan masuk!" Daud masuk.
Tapi langkah Asih makin dekat dengan posisi ibu Daud.
"Kamu perempuan..." Asih berguman sembari masih memandangi sosok ibu Daud.
Mata merah ibu Daud mulai melototi Asih.
"Siapa kamu!" suara keluar dari mulut ibu Daud.
"Kamu perempuan... Kamu bukan raja laki-laki..." Asih berguman lagi tanpa mempedulikan pertanyaan dari mulut ibu Daud.
"Abi, Asih bisa melihat wujud aslinya..." desis Daud pada bapaknya yang masih berusaha memulihkan kekuatannya.
"Jangan mendekat!" suara dari mulut ibu Daud mulai tersirat rasa takut.
Tapi walau pelan, Asih tetap melangkahkan kakinya mendekati posisi ibu Daud tergantung.
"Berhenti di situ!" suara dari mulut ibu Daud kini bercampur marah. Tangannya seperti hendak menggapai Asih.
Asih pun tiba-tiba merasa ada yang mencekik lehernya. Dia menghentikan langkahnya dan mencoba melepaskan sesuatu tak terlihat yang seperti sedang memegang lehernya. Dengan sekuat tenaga Asih menyingkap dengan tangannya untuk membebaskan lehernya. Tangannya spontan terkibas ke samping. Dan seperti tak dinyana, tubuh ibu Daud yang tadinya tergantung, terlempar ke samping ke arah Asih mengibaskan tangannya. Suara gemeretak terdengar keras ketika tubuh ibu daud menumbuk rak perabotan. Sementara Asih masih terus mengarahkan langkahnya mengikuti tubuh ibu Daud.
"Jangan mendekat, atau saya bunuh kamu!," suara dari mulut ibu Daud marah bercampur takut.
Sosok ibu Daud berusaha bangun dan mengarahkan satu tangannya ke arah Asih. Tapi Asih seperti tidak peduli. Asih tetap berjalan pelan sembari mengamati tajam sosok yang ada di tubuh ibu Daud. Sampai akhirnya dia tinggal berjarak sejengkal dengan badan ibu Daud.
"Berhenti atau saya bunuh kamu!" suara keras yang makin serak keluar dari mulut ibu Daud. Tangannya cepat mencengkeram kaki Asih.
Asih pun berusaha melepaskan tangan yang mencengkeram kakinya. Kali ini sekuat tenaga dia angkat tangan itu dan dia kibaskan ke samping. Hingga terlihat api terlontar ke samping dan terhempas di lantai dekat pintu masuk. Bersamaan dengan itu, badan ibu Daud terlempar ke belakang. Api yang menyala di dekat pintu pun lama-lama padam dan menyisakan asap yang berbau anyir.
"Astaghfirullahaladzim, aku membunuhnya..." Asih menutup mulutnya. Matanya terbelalak ke arah lantai dekat pintu yang kini menghitam dan berabu.
Sementara Daud dan bapaknya berlari ke arah ibu Daud yang tersandar di dinding. Ibu Daud terlihat siuman. Wajah menyeramkan itu sudah tidak di sana. Bapak Daud mulai merawat istrinya yang masih lemas. Saat menemani ibunya, Daud sempat melihat Asih masih berdiri terpaku. Lalu Daud menghampiri Asih.
"Asih, kamu nggak apa-apa?" tanya Daud.
"Kak Daud, aku telah bunuh mahluk itu..." suara Asih masih terdengar shock.
"Tidak apa-apa Asih... Kamu melakukan yang benar," kata Daud,"Kamu sudah menyelamatkan Umi."
Asih mencoba menenangkan dirinya. Perasaannya bertambah tenang setelah melihat ibu Daud sudah berdiri dibantu suaminya. Justru Daud yang kini tak berhenti menatap Asih. Dia tak menyangka gadis yang baru saja belajar mengajar di kelas anak-anak ini bisa membunuh sosok yang membuat Bapaknya dan murid-muridnya kelimpungan. Dan karena Asih ibunya terselamatkan.
***
Malam jam sembilan di pondok pesantren masih ramai. Para santri dan santriwati baru saja selesai mengaji. Daud mengembalikan Alquran yang dia baca ke tempatnya lagi. Buru-buru dia keluar membaur dengan santri lainnya. Tapi langkahnya kemudian membelok ke arah para santriwati yang baru keluar. Di sana ada Asih. Dan di antara santriwati lainnya, Asih tersenyum manis ke arahnya. Ingin sekali Daud menghampiri dan menyapanya. Tapi ada suara santri lain memanggilnya.
"Kak Daud!" seorang santri yang lebih muda menghampirinya.
"Ada apa?" tanya Daud.
"Kak Daud, dipanggil Abi," kata santri itu.
Daud pun segera melangkahkan kakinya kembali ke masjid. Daud tahu bapaknya masih disana. Ketika bertemu bapaknya, masjid sudah sepi. Daud pun disuruh duduk.
"Ada apa Abi?" tanya Daud yang sudah duduk bersila di depan bapaknya.
"Daud, Abi mau bicara masalah Asih," suara bapak Daud pelan dan bijak.
"Kenapa Abi?"
"Asih itu bukan seperti Asih yang kamu kira sekarang."
"Maksud Abi?"
"Maksud Abi, kamu harus waspada, dan kalau perlu kamu awasi si Asih ini."
"Maaf Abi, Daud belum mengerti."
"Begini Daud, Abi mau cerita asal muasal Asih ada di sini. Dan demi Allah, jangan kamu cerita pada siapapun. Karena hanya Abi, Umi dan Sarif yang tahu hal ini. Ngerti ya Daud."
"Iya, saya mengerti Bi."
"Jadi begini Daud, tiga bulan yang lalu waktu Abi dan Sarif pulang dari ceramah di kecamatan seberang, biar cepet kita nyeberang sungai pakai getek. Waktu itu malem-malem Abi lihat ada anak kecil pakai baju merah di pinggir sungai manggil-manggil. Waktu Abi datangi, malah ada anak perempuan tergeletak, kayaknya dia habis tenggelam, waktu abi periksa, dia masih hidup. Terus Abi bawa dia ke asrama sama Sarif. Waktu itu dia langsung dirawat sama Umi."
"Maksud Abi, anak perempuan itu Asih?"
"Umi yang ngasih dia nama Asih. Mungkin gara-gara tenggelam, kayaknya si Asih ini kehilangan ingatan. Dia nggak tahu namanya, ditanya orang tuanya nggak tahu, ditanya asalnya nggak tahu."
"Tapi Asih itu anak yang solehah Abi..."
"Abi harap juga begitu Daud. Abi harap Asih tetap jadi Asih yang sekarang. Tidak balik ke dirinya yang dulu."
"Emang Asih yang dulu kayak gimana Bi? Abi tahu tentang Asih?"
"Abi kenal bapaknya. Dulu pernah sama-sama mondok. Tapi dia memilih aliran sesat. Dia musyrik. Sampai dia memperistri wanita yang bisa mengandung benih iblis. Anaknya sampai tiga. Tapi mereka tidak pernah punya anak laki-laki yang diharapkan."
"Jadi Asih itu anak mereka?"
"Iya. Kakak dan adiknya tewas. Mereka semua tewas dibantai penduduk yang marah."
"Mudah-mudahan Asih disini bisa tetap jadi anak yang solehah ya Abi."
"InsyaAllah... Makanya Abi berpesan sama kamu. Awasi dia. Tetap hati-hati. Jangan tergoda dengan kecantikannya. Tetap jaga jarak. Ngerti ya Daud.
"Iya, ngerti Bi..."
Daud tak bisa membayangkan masa lalu Asih. Tapi sepertinya dia tidak akan peduli. Asih yang dia kenal adalah anak perempuan yang solehah yang punya senyum manis. Dan besok dia ingin bertemu Asih lagi.