Chereads / Lita Perempuan Iblis / Chapter 5 - Malam Jahanam

Chapter 5 - Malam Jahanam

Kakak Lita memeluk adik bungsunya erat sebelum dibawa ke gubug pengasingan.

"Kamu yang sabar ya dek..." bisik kakak Lita di telinga adiknya.

Lalu giliran Lita. Dia peluk adiknya lebih erat. Lita tidak bisa berkata apa-apa. Lama Lita memeluk adiknya seakan dia tidak akan pernah bisa memeluk adiknya lagi. Sampai bapak Lita harus memisah mereka dan membawa adik Lita ke gubug.

Lita dan kakaknya hanya bisa memandangi adiknya dituntun masuk ke gubug. Bulan merah darah begitu besar di atas gubug. Di belakang sana, bukit keramat tampak begitu pekat. Beberapa saat kemudian, Lita masih berdiri lama sendiri di belakang rumah. Kalau saja dia diperbolehkan tidur di sebelah adiknya di dalam gubug itu. Sampai kakaknya menariknya untuk masuk ke dalam rumah meninggalkan malam yang semakin dingin.

Di pembaringan, Lita berusaha untuk memejamkan matanya. Malam ini hatinya gundah. Beberapa kali matanya terbuka. Sesekali dia melirik kakaknya yang terlelap di ranjang sebelah. Lita menduga, kakaknya hanya pura-pura tertidur. Tak berapa lama, Lita mendengar suara gemuruh. Seperti ada angin besar yang lewat di atas rumahnya. Tiba-tiba suara berdebum begitu kerasnya terdengar berkali-kali di atas atap. Lita terhenyak dan terduduk di ranjangnya. Demikian juga dengan kakaknya. Lita ingin beranjak dari ranjang tapi kakaknya menyuruhnya tetap diam di tempatnya. Seperti biasa, mereka akan menunggu sampai suara berdebum berhenti. Tapi kali ini, suara yang memekakkan itu seperti tidak berhenti. Lita dan kakaknya saling pandang. Kecemasan begitu terlihat di mata kakak Lita. Dan Lita teringat mimpi yang diceritakan kakaknya. Lita menghampiri kakaknya dan duduk di sebelahnya karena suara berdebum semakin banyak terdengar di atap. Tidak seperti biasanya hal ini terjadi.

"Kak..." Suara Lita penuh kekhawatiran pada kakaknya.

Kakak Lita tidak bisa berkata apa-apa kecuali memeluk adiknya.

Tapi seketika suasana jadi hening. Suara berdebum tidak terdengar lagi. Lalu bau benda terbakar menyengat masuk ke kamar.

"Kak... Bapak sama Ibu..." Suara Lita terbata.

Kakak Lita terlihat ragu. Kamar mereka adalah tempat yang paling aman yang dibuat orang tua Lita. Bau benda terbakar pun semakin menyengat. Dengan perasaan terpaksa kakak Lita mengajak Lita untuk keluar kamar. Tapi belum sampai pintu, tiba-tiba lampu padam. Lalu seketika kakak Lita memandang ke arah jendela yang tertutup dengan mata terbelalak.

"Ada apa Kak?" tanya Lita cemas.

"Banyak orang mau masuk ke rumah kita," kata kakak Lita dengan bibir bergetar.

Dengan berjalan agak meraba, Lita membuka jendela. Di luar terlihat banyak orang sedang memanjat pagar besi rumah Lita. Beberapa orang sudah berhasil masuk ke halaman. Mereka membawa obor dan berteriak-teriak berlari ke arah rumah. Bunuh dukun santet! Bunuh dukun santet! Lita mendengar jelas riuh teriakan mereka.

"Lita ambil ransel kamu," teriakan kakak Lita parau.

Dengan penerangan senter dari ponsel, Lita mengambil ranselnya dari lemari. Di lemari itu ada kotak kaleng. Itu kotak kaleng adiknya yang di dalamnya ada sapu tangan kakaknya dan bunga mawar dari Dion. Cepat Lita mengambilnya dan memasukkan dalam ransel.

"Lita cepat! Kita harus pergi dari sini!" Kakak Lita merasa Lita terlalu lama di depan lemari.

Suara teriakan-teriakan semakin keras terdengar. Lita dan kakaknya susah payah keluar dari jendela. Di luar gelap. Tapi cahaya-cahaya obor terlihat semakin banyak dari orang-orang yang sudah masuk halaman rumah.

"Kak... Bapak sama Ibu... Terus Dedek gimana?" tanya Lita dengan suara gemetar.

Kakak Lita seperti hendak menjawab tapi mulutnya terlihat kelu. Lalu setetes air mengalir dari matanya.

"kak?" tanya Lita lagi.

"Tidak ada waktu lagi..." suara kakak Lita lemah.

Lalu dari jauh terlihat kerumunan orang yang berteriak-teriak. Beberapa mereka ada yang membawa tubuh bapak Lita. Beberapa lagi ada yang membawa tubuh ibu Lita. Ramai-ramai mereka berjalan keluar halaman.

"Bapak! Ibu!" spontan Lita berteriak histeris.

Kakak Lita sampai menutup mulut adiknya dan menahannya untuk tidak lari ke orang-orang yang membawa tubuh orang tuanya. Ternyata beberapa orang yang membawa obor mendengar teriakan Lita. Lalu dua orang mendekat ke arah Lita dan kakaknya.

"Itu anak mereka!" salah satu dari mereka berteriak.

Orang-orang yang membawa obor itu pun berlari ke arah Lita dan kakaknya.

"Lita lari!" kakak Lita lari menggandeng adiknya.

Tapi belum lama mereka lari, beberapa orang membawa obor datang dari arah depan mereka. Lita dan kakaknya seperti dihadang dari depan dan belakang. Badan Lita gemetar. Dia dan kakaknya hanya berputar-putar tak tahu harus kemana.

"Tangkap mereka!" teriak salah satu pembawa obor yang di depan.

Dengan tangan gemetar, kakak Lita mencopot cincin logam bersisik dari jarinya.

"Lita pakai ini dan cepat lari ke sendang!" desis kakak Lita.

Lita masih terpaku. Tapi orang-orang membawa obor sudah berlari mendekati mereka.

"Lari Lita!" teriak kakak Lita.

Spontan sekuat tenaga Lita mengayunkan langkahnya berlari kencang ke arah bukit di belakang rumah mereka. Yang ada di pikirannya sekarang adalah lari secepat mungkin. Beberapa kali Lita mendengar teriakan kakaknya. Lari Lita! Lari Lita. Lita terus berlari dengan air mata bercucuran di pipinya. Kaki bukit sudah di depan Lita. Suara kakak Lita sudah terdengar lagi. Lita pun memelankan larinya ingin tahu apa yang terjadi dengan kakaknya. Saat menoleh ke belakang, Lita melihat di kegelapan, banyak orang mengerumuni kakaknya, beberapa memegang tangan dan kakinya, satu orang menindihnya, menyobek-nyobek bajunya.

"Kakak!" Lita berteriak sambil menutup tangannya.

Lita tersimpuh di tanah, lututnya terasa lemas. Tiga orang membawa obor terlihat berlari ke arahnya. Lita cepat melanjutkan larinya. Jalan di depannya sudah mendaki. Lita hanya terus berlari mengikuti jalan setapak yang diterangi temaram cahaya bulan darah. Di kegelapan gugus pohon kanan kirinya, suara berdengung mulai terdengar. Bayangan-bayangan hitam mulai merambati ranting-ranting yang bersilangan. Dengan nafas tersisa, Lita berhenti dan bersandar di salah satu batang pohon. Saat menoleh ke belakang, tiga orang yang mengejarnya tidak terlihat. Lita pikir mereka takut untuk masuk ke bukit. Lita berusaha menata nafasnya. Dari ketinggian bukit, Lisa bisa melihat rumahnya di bawah sana. Api besar menyala-nyala melahap semua bagian rumah. Lita jatuh tersimpuh di sebelah pohon, mulutnya ternganga, pipinya sudah basah dengan banjir tangis. Tidak hanya rumah utama, tapi gubug tempat adiknya diasingkan terlihat sudah terlalap api. Tangis Lita meledak di dekapan batang pohon. Lalu nyala obor terlihat dari bawah jalan setapak. Tiga orang membawa obor berlari menaiki bukit. Dengan sisa tenaga, Lita berusaha melanjutkan larinya. Langkahnya mulai berat karena tenaganya mulai habis. Lita bisa mendengar langkah-langkah di belakangnya semakin dekat dan cahaya obor sudah terlihat di sekelilingnya. Di penghabisan nafasnya, Lita terjerembab ke tanah. Dia sudah tidak kuat lagi berlari. Lalu cahaya-cahaya obor mulai meneranginya. Lita melihat kaki-kaki orang sudah mengelilinginya.

"Ini adiknya?" salah satu orang bertanya.

"Iya, kita pakai saja dia di sini. Nggak ada orang yang tahu," kata seorang lagi.

Dalam kelelahannya, Lita sudah tidak bisa berpikir lagi. Dia membayangkan apa yang terjadi pada kakaknya akan terjadi pada dirinya. Tapi Lita melihat kaki-kaki di sekelilingnya mulai mundur. Suara berdengung terdengar semakin jelas. Suara gemericik air ada di depannya. Lita berusaha mendongak ke depan. Lita baru sadar dia sudah ada di puncak bukit. Gugusan batu-batu ada di depannya. Di tengah sana ada sendang. Dan dari sana suara gemercik air terdengar. Lama-lama Lita bisa melihat sosok tegap bersisik di tengah sendang. Di sisik-sisiknya keluar cahaya berkilauan. Mata sosok itu terlihat marah.

"Ayo pergi dari sini..."kata salah satu orang yang mengejar Lita ketakutan.

Tapi belum mengambil langkah untuk pergi, Lita melihat mereka seperti ditarik ke atas. Lalu dalam keadaan terbalik tiga orang itu menggelantung di ketinggian ranting-ranting pohon. Mereka berteriak-teriak minta tolong. Tak berapa lama mereka jatuh meluncur ke bawah. Suara kepala tertumbuk tanah jelas terdengar di sepi malam. Dalam gelap, Lita masih melihat tiga sosok yang terbujur dengan kilauan darah di tanah. Suara dengungan pun lama-lama menghilang.

Lita berusaha untuk duduk. Dia melihat sosok di tengah sendang semakin jelas. Laki- laki berambut panjang, badannya tegap bersisik. Kini senyumnya menyeringai dan salah satu tangannya terjulur ke arah Lita. Lita mundur dari posisinya. Dia membayangkan mahluk ini yang telah mendatangi kakaknya. Lalu dia melihat cincin yang melingkar di jarinya.

"Jangan sentuh aku..." kata Lita ketakutan sembari berusaha mencopot cincin dari jarinya.

Susah payah Lita melepaskan cincin logam bersisik dari jarinya. Ketika cincin telah terlepas cepat-cepat dia lempar ke arah sendang. Lita pun cepat-cepat beranjak dan lari meninggalkan tempat itu. Lita tidak mungkin kembali ke jalan setapak tadi. Saking takutnya, Lita mengambil jalan yang penuh semak belukar. Walau hanya ada cahaya temaram bulan, Lita tetap nekat menerobos semak-semak tinggi di depannya. Hujan rintik pun mulai turun. Tanah yang Lita pijaki menjadi licin. Di tanah yang landai, kaki Lita tergelincir. Seketika badannya meluncur ke bawah melewati belukar di tanah landai. Hingga badan Lita tercebur ke dalam arus yang deras dan gelap. Lita berusaha untuk tetap bisa menggapai permukaan. Tapi hujan yang makin deras membuat arus semakin kuat menenggelamkannya. Lita melihat permukaan air yang gelap menjauh. Tapi dia pasrah. Toh sekarang dia sudah kehilangan kakak dan adiknya. Dia sudah tidak punya harapan hidup lagi. Tubuhnya semakin dalam tenggelam. Tapi tiba-tiba sesuatu menyeruak menyibak air yang gelap. Sosok anak kecil berambut panjang berbaju merah meluncur mendekati tubuh Lita. Tangan anak itu terulur ke arah Lita. Sadar tidak sadar, Lita berusaha menggapai tangan anak itu. Saat dia gapai tangan anak itu, kesadarannya mulai hilang. Dan selanjutnya gelap.