Chereads / AL HIKAM / Chapter 59 - Tidak Melihat Pada Amal, Adalah Fakta Ibadat Hamba-Hamba Allah

Chapter 59 - Tidak Melihat Pada Amal, Adalah Fakta Ibadat Hamba-Hamba Allah

Dalam Kalam Hikmah yang ke-51 telah diterangkan bahwa amal ibadat atau amal kebajikan yang diharapkan diterima Allah s.w.t. ialah amal yang tidak diterima dan tidak ada artinya dalam pandangan kita, karena kita masih menganggap bahwa kita belum mengerjakan amal itu dengan baik dan sempurna, sesuai seperti kehendak pelaksanaan yang sebenarnya menurut ajaran agama kita. Bagaimanakah hal keadaan tidak melihat adanya amal itu, maka untuk keterangan mengenai hakikatnya yang terperinci telah diungkapkan oleh yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmahnya yang ke-59 sebagai berikut:

"Telah melarang Allah Ta'ala akan segala orang yang berjalan mereka itu kepadaNya dan akan segala orang yang sampai mereka itu kepadaNya, (dilarang itu) dari melihat segala amal mereka dan dari memandang segala hal keadaan mereka. Adapun As-Saa'irun (yang masih menuju kepada Allah), maka adalah bahwasanya mereka belum dapat memastikan "benar" serta Allah dalam amal dan keadaan. Adapun Al-Waashiluun (yang sudah sampai kepada Allah), maka adalah karena telah ditenggelamkan Allah mereka itu dengan melihatNya, jauh dari melihat amal dan keadaan."

Kalam Hikmah ini termasuk sulit juga memahaminya, tetapi marilah kita cuba mempelajarinya mudah-mudahan kita sampai pada hakikat pengertiannya.

Pengertian Kalam Hikmah ini ialah sebagai berikut:

I. Allah s.w.t. telah menganugerahkan nikmatNya yang bersifat pendekatan dengan kemantapan hakikat tauhid dan keimanan kepada dua macam golongan hambaNya:

Pertama, hamba-hamba Allah yang disebut dengan As-Saa'irun, atau As-Salikun. Mereka ini beramal ibadat, baik yang sifatnya wajib atau yang sifatnya sunnah, maupun yang sifatnya dapat dilihat secara lahiriah, yakni amal ibadat yang dikerjakannya atau tidak. Mereka ini dalam bcramal sama sekali tidak melihat, bahwa mereka telah beramal dengan baik atau dengan sebaik-baiknya. 

Mereka ini selalu melihat ada saja kekurangan dalam ibadat mcrcka, seperti mereka merasakan bahwa hatinya belum dapat sejalan dengan ibadat mereka.

Mereka masih mengira bahwa khusyuk mereka masih kurang. Keikhlasan mereka masih belum ada dan hati mereka masih belum suci dari hal-hal yang sifatnya seperti penyakit-penyakit hati. Inilah yang menyebabkan bahwa mereka meskipun telah beribadat dan meskipun telah mematuhi perintah Allah s.w.t., tetapi hati mereka sama sekali belum melihat bahwa ibadat yang tdah dikerjakan itu telah memenuhi kehendak PenciptaNya, yaitu Allah s.w.t.

Mereka yang beginilah yang dirnaksud dengan pendapat tasawuf, bahwasanya sebagian orang yang telah dipimpin oleh Allah, telah dituntun oleh Allah hal keadaannya, maka orang yang demikian itu melihat bahwa ikhlasnya masih kurang, bahwa kelalaiannya masih banyak dan lain-lain sebagainya. 

Maka seluruh keadaannya menurut anggapan yang bersangkutan masih belum diridhai oleh Allah s. w.t. Karena itulah rnaka bertambah kelaliannya kepada Allah pada maksudnya dan pada perjalanannya, sehingga dengan perasaan kelalian yang bertambah itu, maka tenggelamlah ia, yakni tidak terlihat olehnya segala sesuatu pun, selain Allah s.w.t. Inilah mereka dan itulah anggapan dan perasaan mereka. Tegasnya, mereka melihat, bahkan mereka merasakan, bahwa semua amal ibadat mereka adalah riya' dan semua keadaan mereka yang dicapai berupa nikmat-nikmat yang halus-halus, rnereka lihat sebagai belum ada yang layak dan pantas.

Kedua, ialah Al-Waashilun. Mereka telah sampai kepada Allah s.w.t. menurut penglihatan dan anggapan orang lain, bukan menurut penilaian mereka sendiri. Mereka ini selalu beribadat dan mengerjakan taat kepada Allah serta menjauhkan segala laranganNya sama sekali. Mereka keluar dari daya dan kekuatan mereka. Sama sekali tidak terlihat lagi bagi mereka amal-amal yang mereka kerjakan. Sebab perasaan mereka secara keseluruhan dilihat Allah atau melihatNya dalam arti tidak seumpama dengan sesuatu. 

Sudah barang tentu, apabila penglihatan dan perasaan telah tertujupada Allah, maka selain Allah tidak terlihat lagi dan hilanglah semuanya itu karena asyik dengan penglihatan perasaan yang semata-mata tertuju kepada Allah Subhana wa Ta'ala. 

II. Adapun perbedaan antara As-Saa'irun dan Al-Waashilun sebagai berikut:

As-Saa'irun, yakni mereka yang masih dalam perjalanan kepada Allah s.w.t. Mereka ini meskipun kelak sampai kepada perasaan, bahwa mereka tidak tergantung lagi pada amal, perbuatan dan keadaan-keadaan mereka, tetapi ketahuilah, bahwa mereka dapat merasakan yang demikian adalah dengan jalan yang banyak sedikitnya bersifat memaksa dan terpaksa. Memaksa untuk melepaskan tali pergantungan mereka kepada amal perbuatan dan keadaan, sebab mereka yakin bahwa tidak ada sesuatu yang berkuasa dan menggerakkan semuanya, selain Allah s.w.t. Karena itu melupakan yang selain Allah, meskipun dapat juga mereka laksanakan, tetapi karena terpaksa harus demikian.

Al-Waashilun, yakni mereka yang telah sampai di ujung jalan Allah s.w.t. Perasaan seperti tersebut di atas sifatnya tidak lagi memaksa dan terpaksa, tetapi telah merupakan penghayatannya, di mana kedatangannya telah sampai pada tingkat kedatangan tanpa mengusahakan. Hal keadaan ini disebabkan karena mereka telah merasakan kelezatan syuhud kepada Allah s.w.t. Yakni perasaan ihsan seperti yang tersebut dalam Hadis Nabi, bahwasanya ihsan itu seolah-olah anda melihat Allah dalam anda beribadat. Dan jika anda belum sampai pada merasakan melihat Allah, maka yakinlah dan rasakanlah bahwa Allah melihat anda.

Status Al-Waashilun adalah lebih mulia dari status As-Saa 'irun, seperti yang dapat kita fahami dari keterangan di atas. 

Karena itu pada waktu seorang ahli tasawuf yang bernama Al-Wasithy telah memasuki kota Nisabur, beliau bertanya kepada sahabat-sahabat Abu Usman r.a.: "Apakah yang telah diperintahkan (dianjurkan) kepada kamu oleh gurumu?" Mereka menjawab: "Guru kami memerintahkan kami melazimi taat, melazimi ibadat serta melihat bahwa kita selalu tidak sempurna pada taat yang dikerjakan dan yang diamalkan." Al-Wasithy berkata kepada mereka: 

"Kalau begitu gurumu telah memerintahkan kamu dengan ajaran Majusi semata-mata. Kenapakah gurumu tidak memerintahkan kamu supaya kamu jangan sampai melihat kepada taat itu, disebabkan penglihatan yang mantap kepada yang menciptakan taat itu."

Tentang tujuan perkataan Al-Wasithy di atas, berkata Al-Ustaz Abul Qasim Al-Qushairy r.a.: "Maksud perkataan Al-Wasithy ialah menjaga mereka dari kerusakan 'ujub, agar supaya himmah mereka dan kemauan mereka lebih tinggi lagi, yakni naik ke status berkenalan langsung dengan Allah s.w.t. 

(Maqaamul Irfan), bukan menghinakan, merendahkan dan memandang belum sempurna apa yang telah mereka laksanakan. Dan itu adalah sebagian dari ihsan (sedangkan himmah hendaklah lebih dari itu)."

Kesimpulan:

Ajarlah diri kita supaya jangan sampai merasa sempurna dengan apa yang telah kita kerjakan. Seperti ibadat dan amal-amal taat lainnya. Dengan demikian maka kita akan terus mencari jalan untuk lebih sempurna dengan jalan selalu jangan lupa kepada Allah s.w.t. Dengan berzikir, dengan membaca Al-Quran dan dengan tafakkur kepada alam mayapada ini dari manakah ia, dan sedang di mana serta akan ke mana.

Hal yang demikian itulah terus dalam pengamalan kita dan dalam perasaan kita. Apabila kita sewaktu-waktu tidak demikian, maka kita rasakan bahwa itu suatu dosa. Insya Allah kita akan dapat berkenalan dengan Allah, karena kita telah mengenal Allah. Baik secara ilmu maupun secara perasaan yang menimbulkan kita terarah lahir danbatin kepada Allah s.w.t., hingga betul-betul amal kita suci darisegala yang mengeruhkannya, dan sudah barang pasti pula tidak ada lagi pada kita segala penyakit-penyakit hati dan pengaruh-pengaruh hawa nafsu yang boleh menimbulkan dosa pada anggota-anggota lahiriah.

Mudah-mudahan Allah s.w.t. akan menuntun kita kepada jalan ini, sehingga sampailah kita kepada tujuan jalan itu, yaitu kita dekatdengan Allah s.w.t. dalam arti yang luas dan sempurna. Amin.