Chereads / AL HIKAM / Chapter 64 - Cara Mensyukuri Nikmat Allah dan Faedahnya

Chapter 64 - Cara Mensyukuri Nikmat Allah dan Faedahnya

Bahwa hakikat hikmah kurnia Allah s.w.t. dan nikmat-nikmatNya kepada makhlukNya khususnya manusia dan jin ialah supaya tidak lupa kepada Allah, tidak mengingkari Allah dan tidak menentang Allah, tetapi mematuhi perintah-perintah dan anjuran-anjuranNya.

KeridhaanNya diikuti dan dijalani dan laranganNya dijauhi dengan sejauh-jauhnya. Jika tidak demikian, maka suatu waktu kita pasti mengakui juga kekuasaan Allah yang Maha Besar dan luar biasa.

Adakala disebabkan Allah s.w.t. menindak makhlukNya, yang demikian itu dengan peringatan-peringatan dan dengan cobaan-cobaan.

Hal keadaan ini karena ketiadaan syukurnya kepada Allah s.w.t. seperti yang disebutkan oleh yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmahnya yang ke-64, sebagai berikut:

"Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah s.w.t., maka sungguh mendatangkan ia untuk hilangnya nikmat-nikmat itu. Dan barangsiapa yang mensyukuri nikmat-nikmat, niscaya sungguh mengikatkan ia akan nikmat-nikmat itu dengan pengikatnya."

Tafsiran Kalam Hikmah ini sebagai berikut:

I. Mensyukuri nikmat Allah s.w.t., artinya mendatangkan dengan pasti untuk kekal nikmat itu dan bertambah-tambah atas nikmat-nikmat yang ada. 

Tetapi apabila nikmat-nikmat Allah s.w.t. tidak disyukuri, maka keadaan itu akan membawa kepada hilangnya nikmat-nikmat itu. Tuhan berfirman di dalam kitab suci Al-Quran, sebagai berikut:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhan kamu memberitahukan: Kalau kamu bersyukur, sudah tentu Aku akan memberikan lebih banyak dan kalau kamu tidak bersyukur, sesungguhnya siksaKu sangat keras." (Ibrahim: 7)

Dalam ayat lain Allah s.w.t. telah berfirman lagi sebagai·berikut: 

"... Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan bila Tuhan hendak (mendatangkan) bahaya kepada suatu kaum, tiadalah dapat ditolak, dan mereka tiada mempunyai pelindung selain dari Tuhan." (Ar-Ra'd: 11)

Ayat-ayat di atas memastikan pada kita bahwa jika kita mensyukuri nikmat Allah s.w.t., maka Allah akan mengekalkan nikmatNya atas kita. 

Bahkan memberikan kurnia yang lebih banyak atas nikmat-nikmat yang ada. Tetapi jika kita mengubah keadaan kita, di mana kita tidak menjalani lagi perintah-perintah Allah s.w.t. dan mengerjakan pula larangan-laranganN ya, berarti kita tidak mensyukuri nikmatNya yang telah dikurniakan olehNya atas kita. Maka suatu waktu Allah akan mencabut nikmatNya itu dari kita. lnilah tujuan firman Allah s.w.t. dalam surat Al-Anfal sebagai bcrikut:

"Demikianlah (hal keadaan itu) disebabkan bahwasanya Allah tidak mengubah nikmat yang telah dianugerahkanNya kepada suatu bangsa, sehingga bangsa itu mengubah keadaan mereka sendiri dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (Al-Anfal: 53)

Dan karena itu pula, maka para cendekiawan manusia dari berbagai bangsa sepakat pada pendapat, meskipun berlainan bangsa dan bahasa mengatakan bahwa syukur berarti mengikat nikmat. Dan syukur juga berarti memperkuat ikatan nikmat yang ada dan memancing nikmat yang belum ada.

II. Syukur atau berterima kasih terbagi atas tiga macam:

[a] Syukur qalbi. Yakni syukur hati. Maknanya ialah hati kita mengetahui, mengakui bahkan meyakini, bahwa sekalian nikmat apa pun saja sifatnya, bagaimanapun bentuknya dan berapa pun hitungannya dan ukurannya, adalah kurnia Allah s.w.t. Dari Dialah datangnya nikmat-nikmat itu dan Dialah yang menciptakan sekaliannya. lnilah pengertian firman Allah dalam AI-Quran Al-Karim sebagai berikut:

"Dan nikmat yang ada pada kamu itu datangnya dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa bahaya, maka kepadaNyalah kamu minta pertolongan." (An-Nahl: 53)

Inilah bukti bagi kita, bahwa segala nikmat yang ada pada kita bukanlah kita yang mengadakannya, bukanlah karena kepintaran kita, karena usaha kita, tetapi pada hakikatnya datang dari Allah s.w.t., melalui usaha kita, sekedar untuk saluran datangnya nikmat itu.

[b] Syukur lisan. Yakni mensyukuri nikmat Allah s.w.t. dengan lisan kita, dengan lidah kita. Pengertiannya ialah kita ucapkan puja dan puji kepada Allah s.w.t., sebab Allah telah memberi kita dengan nikmat-nikmatNya. 

Bahkan termasuk juga dalam mensyukuri nikmat Allah dengan lisan, yaitu menyebut-nyebut nikmat Allah, melahirkan nikmat Allah kepada orang banyak dan menyiarkan nikmat Allah itu kepada orang selain kita. 

Itu pun pada hakikatnya disebut juga dengan kesyukuran lisan terhadap Allah s.w.t. lnilah makna firman Allah dalam Al-Quran sebagai berikut:

"Dan kurnia Tuhan engkau, hendaklah siarkan." (Adh-Dhuha: 11) 

Dan inilah pula pengcrtian kata Saiyidina Umar bin Abdul Aziz r.a.: "Sebut-sebutlah olehmu nikmat-nikmat Allah, karena bahwasanya menyebut-nyebut nikmat Tuhan itu berarti bersyukur (kepadaNya)."

Perlu dimaklumi juga, bahwa sebagian makna syukur lisan, ialahberterima kasih atau bersyukur pada jalan-jalan di mana dengannya sampai nikmat itu kepada kita. Apakah berterima kasih itu sifatnya mengucapkan pujian terhadap yang bersangkutan ataukah memohon doa kepada Allah s.w.t. demi untuk kebaikan yang bersangkutan. 

Karena itu maka jangan lupa pula kita bersyukur kepada manusia yang sebagai perantaraan datang sesuatu nikmat atas kita, apakah manusia itu sebagai pedagang, atau sebagai pegawai, atau sebagai petani, a tau lain-lainnya. Karena nikmat Allah s.w.t. tidak turun langsung dari langit, tetapi melalui perantaraan-perantaraan, seperti dikehendaki oleh Allah s.w.t. Itulah sebabnya dalam Hadis riwayat Nu'man bin Basyir r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda sebagai berikut:

"Barang siapa yang tidak bersyukur atas nikmat yang sedikit, (pada hakikatnya) ia tidak bersyukur atas nikmat yang banyak, dan barang siapa yang tidak berterima kasih (bersyukur) pada manusia, (pada hakikatnya) ia tidak berterima kasih kepada Allah."

Hadis ini memberikan tuntunan pada kita tentang hakikat mensyukuri nikmat Allah s.w.t. Karena dalam Hadis ini diterangkan, jika kita bersyukur kepada Allah atas nikmatNya yang begitu banyak terhadap kita, tetapi kita tidak bersyukur kepadaNya, apabila nikmatNya yang datang kepada kita sedikit, maka berarti kita sama sekali belum bersyukur dan berterima kasih kepadaNya. Demikian pula jika kita bersyukur kepada Allah atas nikmatNya, tetapi tidak mau berterima kasih kepada manusia yang sebagai saluran nikmat Tuhan atas kita, maka artinya kita bdum berterima kasih kepada Allah s.w.t. Inilah makna Hadis Usamah bin Zaid r.a.: Telah bersabda Nabi Besar Muhammad s.a.w.:

"Sesyukur-syukur manusia kepada Allah itulah sesyukur-syukur mereka terhadap manusia."

Hadis ini memberikan suatu ketegasan kepada kita, bahwa manusia yang pada hakikatnya lebih bersyukur kepada Allah, ialah manusia yang lebih berterima kasih kepada manusia lainnya. 

[c] Syukur aljawarih. Yakni syukur anggota-anggota badan atau dapat dikatakan dengan syukur fisik kepada Allah s.w.t. Maksudnya dengan syukur fisik ialah anggota-anggota badan kita seperti tangan, telinga, mata dan lain-lain dihadapkan pada segala sesuatu yang diridhai oleh Allah s.w.t. 

Seperti mata melihat kepada yang baik menurut agama, telinga mendengar kepada yang baik menurut agama, demikian juga tangan, kaki dan lain-lain sebagainya. Maka menghadapkan dan mengarahkan penggunaan anggota tubuh kepada yang diridhai oleh Allah s.w.t., berarti bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas nikmatNya dan kurniaNya. Dalam satu Hadis diterangkan, bahwa Nabi kita Muhammad s.a.w. mengerjakan sembahyang malam sehingga bengkak kedua tapak kaki beliau, karena itu, sahabat-sahabatnya bertanya kepadanya: "Wahai Rasulullah! Kenapa Tuan berbuat dan mengerjakan shalat sampai sedemikian rupa, padahal Allah s.w.t. telah mengampuni dosa Tuan, maupun dosa yang lalu dan juga dosa yang akan datang." 

Nabi menjawab: "Apakah tidak seyogyanya aku (ini) menjadi hamba Allah yang berterima kasih (kepadaNya)?"

Seorang laki-laki bertanya kepada Abu Hazim r.a. seorang alim besar tasawuf: "Apakah syukur dua mata?" 

Beliau menjawab: "Apabila anda melihat kebaikan dengan kedua mata anda, maka lahirkanlah kebaikan itu pada orang lain, dan apabila anda melihat kejahatan dengan kedua mata anda, maka tutuplah kejahatan itu!" 

Lalu laki-laki itu bertanya lagi: "Maka apakah hakikat syukur dua telinga?" 

Abu Hazim menjawab: "Apabila anda dengar kebaikan dengan dua telinga anda, simpanlah kebaikan itu dengan baik dan bermanfaat. Dan apabila kebalikannya, maka kuburkanlah yang didengar itu jangan dilahirkan)." 

Si laki-laki itu bertanya lagi: "Apa pula kesyukuran kedua tangan?" 

Beliau menjawab: "Jangan anda ambil dengan tanganmu sesuatu yang bukan hakmu, dan jangan anda larang suatu hak milik Allah pada kedua tangan anda (hak Allah pada tangan, maksudnya menerima atau memberi kebaikan). 

Laki-laki itu bertanya lagi: "Apa pula hakikat kesyukuran perut?" 

Beliau menjawab: "Bahwa adalah kesabaran pada sebelah bawah perut dan bahwa adalah pengetahuan pada sebelah atasnya (maksudnya, isilah hati dengan ilmu pengetahuan dan jangan perturutkan syahwat makanan dan minuman)." 

Laki-laki itu bertanya selanjutnya, "Apakah kesyukuran kemaluan?" 

Abu Hazim menjawab: "Syukur ialah seperti maksud firman Allah s.w.t., dalam Al-Quran sebagai berikut: "Dan segala orang di mana mereka itu menjaga kehormatannya. Terkecuali kepada isterinya atau kepunyaan tangan kanannya (sahaya wanita), maka sesungguhnya mereka itu tiada tercela." (Al-Mukminun: 5-6)

Laki-laki itu bertanya lagi, "Apakah kesyukuran kedua kaki?" 

Beliau menjawab: "Jika anda lihat sesuatu yang menguntungkan (tidak bertentangan dengan agama) anda pergunakanlah kedua kaki anda padanya dan jika anda melihat sesuatu yang tidak baik, maka anda tahanlah kedua kaki anda padanya. Sambil anda bersyukur kepada Allah s.w.t. Selanjutnya Abu Hazim menambahkan: "Barangsiapa yang bersyukur dengan lidahnya, tidak bersyukur dengan semua anggota tubuhnya, niseaya laksana seorang laki-laki yang mempunyai baju, ia memegang ujung bajunya, tetapi bajunya itu tidak disarungkan, tentulah bajunya itu tidak bermanfaat baginya, baik dari panas, dari dingin, dari salju dan dari hujan.

III. Apabila kita ingin mensyukuri nikmat Allah s.w.t. dengan sekalian tubuh jasmaniah kita, maka dapat kita laksanakan secara keseluruhan dengan serentak apalagi dengan tidak serentak. Yaitu bersyukur dengan hati bahwa nikmat itu adalah dari Allah, sambil bersyukur dengan lidah, yaitu kita mengucapkan Alhamdulillah dan lain-lain sambil dibarengi pula dengan amal perbuatan, apakah tangan, apakah mata, apakah telinga dan lain-lain. 

Semuanya itu ditujukan kepada suatu hakikat pengarahan seperti yang dikatakan oleh Al-Junaid r.a. seorang alim besar dalam ilmu akhlak tasawuf ketika beliau ditanyai oleh gurunya Sariy Assaqati r. a. Beliau berkata: "Adalah aku di depan Tuan Sariy r.a., sedangkan aku pada waktu itu berumur tujuh tahun. Dan di hadapan beliau juga terdapat beberapa orang yang terpelajar yang sedang mendiskusikan tentang syukur. 

Kemudian tiba-tiba Tuan Sariy berkata kepadaku: "Hai anak kecil! Syukur itu apa?" 

Maka aku jawab: "Bahwa tidak durhaka seseorang kepada Allah dengan segala nikmatNya." 

Kemudian beliau berkata: "Mudah-mudahan engkau dibahagiakan oleh Allah dengan lidahmu." (Maksudnya, bahwa itulah jawaban yang benar tentang hakikat syukur). 

Al-Junaid melanjutkan: "Senantiasalah aku tidak sunyi dari air mata di mana aku menangis atas jawabanku itu." 

Maksudnya apakah beliau telah menjalankan dan telah melaksanakan hakikat syukur seperti yang dikatakan olehnya ataukah belum.

Kesimpulan:

1. Barangsiapa yang bersyukur pada nikmat-nikmat Allah, berarti ia mengikat nikmat-nikmat itu dengan tali yang kuat. Dan barangsiapa yang tidak mensyukurinya, berarti ia menghendaki agar nikmat-nikmat itu hilang daripadanya. 

2. Berkata penyair tentang hakikat syukur:

Syukurku tidak cukup dengan (membalas) pemberian-pemberianmu, dan tetap aku berusaha dengan sungguh menjalaninya.

Berfaedahlah kepadamu pemberian yang putih bersih daripadaku, yaitu tiga, dua tanganku, lidah dan hatiku yang terselubung.

Maksud penyair, meski bagaimanapun, terima kasihnya atas pemberian-pemberian temannya yang merupakan kurnia-kurnia Allah s.w.t., namun belum dapat memenuhi setimpal dengan kurnia-kurnia Tuhan itu. Tapi sungguhpun demikian ia berusaha dengan memberikan kesyukurannya, dari anggota-anggota tubuhnya yang ternama, yaitu tangannya, lidahnya, dan hatinya.

3. Itulah syukur dan itulah hakikat terima kasih, baik kepada Allah s.w.t. maupun kepada manusia. Syukur adalah kegembiraan hati kepada yang memberi nikmat, karena nikmatNya. Kegembiraan hati itu melampaui dan melewati kepada anggota tubuh lahiriah, maka patuhlah dan terdoronglah anggota-anggota tubuh itu melaksanakan perintah-perintah Allah dan anjuran-anjuranNya. Dan menjauhkan sekalian laranganNya dan yang tidak diridhai olehNya.

Mudah-mudahan kita dijadikan Allah sebagai hambaNya yang betul-betul bersyukur dan berterima kasih kepadaNya.

Amin, ya Rabbal-'alamin ..... !