Chereads / AL HIKAM / Chapter 65 - Kurnia Allah dan Kedurhakaan Manusia

Chapter 65 - Kurnia Allah dan Kedurhakaan Manusia

Menurut Saiyidina Umar bin AI-Khaththab r.a. nikmat-nikmat Tuhan itu laksana binatang-binatang liar, karena itu ikatlah nikmat-nikmat itu dengan bcrsyukur kepada Allah s.w.t.

Pengertian kalimat di atas ialah, jika kita menginginkan supaya nikmat-nikmat Allah s.w.t. tidak hilang darf kita, dan jika boleh dapat bertambah-tambah, maka rahasianya, selain bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahi nikmat-nikmat itu kepada kita, kita juga harus bersyukur kepada manusia yang telah menjadi saluran-saluran nikmat itu hingga sampai kepada kita. Apabila kita mengabaikan maka suatu waktu kurnia Allah itu akan hilang dari kita.

Adakalanya yang hilang ialah sifatnya lahir-batin. Ini jelas pengertiannya. Dan adakalanya yang hilang itu sifatnya tersembunyi. Inilah yang diungkapkan oleh Al-Imam lbnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmahnya yang ke-65, sebagai berikut:

"Takutlah anda dari ada kurnia Allah kepada anda di samping anda bertentangan sertaNya (kepada Allah), bahwa yang demikian itu (merupakan) tindakan Tuhan yang beransur-ansur pada anda, (Allah berfirman): Kami akan membinasakan mereka beransur-ansur sekira mereka tidak mengetahuinya (tidak mau mengerti)."

Kalam Hikmah ini termasuk sulit juga tafsirannya. Sungguhpun demikian marilah kita cuba menjelaskannya sebagai berikut:

I. Jika Tuhan tidak pernah melupakan kita dengan nikmat-nikmatNya, atau dengan kata lain bahwa manusia yang hidup di permukaan bumi tidak sunyi dari nikmat-nikmatNya, yang sudah terang apakah nikmat-nikmat Tuhan itu sedikit atau banyak, tetapi nilai nikmat-nikmat itu tak mungkin dinilai, karena tak dapat dihitung dengan apa dan berapa. Di samping itu pula bahwa kita ini adalah manusia yang tidak sunyi dari dosa atau dari kesalahan-kesalahan. Kita bukan malaikat yang tidak mempunyai syahwat dan nafsu, karena malaikat tidak mungkin mengerjakan dosa dan kesalahan. Kita bukan Nabi dan Rasul yang tidak mustahi] mengerjakan dosa dan kesalahan kepada Allah s.w.t., bahkan juga kepada makhluk-makhlukNya.Tetapi kita adalah manusia, sekali lagi kita adalah manusia biasa. Yang menjadi problema bagi kita sesuai dengan keimanan kita ialah bahwa yang ada pada kita semuanya adalah nikmat dan kurnia Allah s.w.t. 

Bagaimanakah kita menanggapi nikmat kurnia Tuhan itu? Dalam ha! ini manusia itu terbagi kepada dua bahagian:

[a] Manusia mukminin. Yakni manusia yang betul-betul mantap keimanannya kepada Allah s.w.t. dengan segala tuntutan-tuntutannya. 

Manusia mukminin adalah manusia yang paling takut kepada Allah dengan semakin bertambah nikmat dan kurnia Allah kepadanya. Mereka takut kepada Allah kalau-kalau ia tidak dapat menanggapi nikmat kurnia Allah itu dengan kesyukurannya kepada Allah s.w.t. Takut kepada Allah artinya hatinya terbakar dengan resah gelisah kalau-kalau ia tidak dapat mengimbangi atau menyambut nikmat-nikmat Allah itu dengan sebaiknya. 

Takut kepada Allah oleh karena dia mengenal Allah dan mengenal sifat-sifatNya dengan gambaran, misalnya jika Allah berkehendak membinasakan alam dunia ini serta isinya, maka tidak perduli dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat menahan kehendakNya. Takut orang beriman kepada Allah kadang-kadang disebabkan karena ia mempunyai dosa terhadap Allah, ia mengerjakan sesuatu yang tidak diridhai Allah kalau-kalau dengannya Allah bertindak atasnya sekurang-kurangnya ia bertambah jauh dari Allah s.w.t.

Takut kepada Allah bagi orang beriman adakalanya juga disebabkan karena dua hal di atas, yaitu karena dia mengenal Allah serta keagungan sifat-sifatNya dan karena dia mengenal dirinya, selaku makhluk yang tidak sunyi dari kesalahan dan kekhilapan. Dia mengetahui bahwa yang ditanya di hari kemudian adalah dirinya dan bukan Allah. Allah s.w.t. tidak akan ditanya dan diminta laporan tanggung jawab sebagai Tuhan, tidak! Dan ini mustahil! 

Sebab Allah adalah Pencipta manusia dan alam keseluruhannya, bahkan Allah adalah Maha Pencipta.

Tetapi yang dimintai tanggung jawabnya adalah kita manusia pada khususnya. Ke mana umur yang telah kita habiskan, ke mana nikmat kurniaNya yang telah kita pergunakan, semuanya tidak luput dari catatan Allah s.w.t. dan manusia tidak dapat menyangkalnya. Karena itulah maka manusia yang paling takut kepada Allah adalah manusia yang betul-betul kenal kepada dirinya dan kepada Tuhannya. Manusia yang betul-betul kenal kepada dirinya dan kepada Tuhannya disebut dengan "Al-Ulama" sebagaimana menurut firman Allah dalam Al-Quran sebagai berikut:

" ... hanyalah yang takut kepada Allah ialah orang-orang yang berilmu di antara hamba-hambaNya." (Fathir: 28) 

Karena ayat inilah maka Rasulullah s.a.w. telah bersabda dalam Hadis Anas r.a. riwayat Al-Bukhari:

"Akulah setakut-takut kamu terhadap Allah s.w.t."

Maka apabila telah sempurna pengenalan kita kepada Allah s.w.t., maka inilah yang menimbulkan perasaan keagungan Tuhan dalam hatinya dan menimbulkan pula terbakar hati kita demi takutnya kepada kebenaran Allah s.w.t. Hati yang telah terbakar dengan kebesaran takutnya kepada Tuhan sudah pasti menimbulkan bekas dan cahaya kepada badannya, kepada anggota-anggotanya dan kepada sepak terjangnya.

Berbekas dan bercahaya kepada badannya, artinya tidak enak badannya. 

Andainya kalau dia sakit, kalau badannya kurus, bukanlah karena dunia yang ia fikirkan, tetapi karena memikirkan perjalanan hidup buat selanjutnya, yaitu apakah ia merupakan orang yang selamat ataukah tidak. Sebab tidak ada yang dapat menjaminnya selain Allah s.w.t. Sedangkan baginya gelap sama sekali tentang ilmu dan kehendak Allah s.w.t.

Berbekas dan bercahaya pada anggota-anggota tubuhnya, artinya sekalian anggota tubuhnya dicegahnya dari mengerjakan segala kedurhakaan sebagai yang telah dilarang oleh Allah s.w.t. Matanya diarahkannya kepada ketaatan, tangan dan kakinya dipergunakannya untuk kebaikan, perut dan kemaluannya diarahkan kepada yang halal, dan pendengaran telinganya selalu terbuka pada mendengarkan yang baik-baik menurut keridhaan Allah. Karena itulah maka kita menemui kata hikmah: Orang yang sebenarnya takut kepada Allah bukanlah orang yang menangis dan kemudian menghapus air matanya, tetapi ialah orang yang meninggalkan sesuatu yang ditakutinya di mana akan berbahaya terhadapnya. 

Seorang alim tasawuf bernama Abul Qasim Al-Hakim berkata:

"Barangsiapa yang takut kepada sesuatu maka ia lari daripadanya, dan barangsiapa yang takut kepada Allah, maka ia lari kepadaNya."

Inilah perbedaan antara takut kepada makhluk dengan takut kepada Allah.

Takut dalam hati, berbekas dan bercahaya pada sifat-sifat orang beriman. Artinya ditahannya dan diremnya kehendak syahwat nafsu yang ingin berkuasa pada seluruh sepak terjangnya dan tindak-tanduknya. Jika syahwat dan hawa nafsu menganggap manis dan mencintai segala larangan Allah, tetapi hatinya menetapkan dan memutuskan bahwa maksiat-maksiat itu laksana madu yang mengandung racun, jika diminum bukan menyihatkan tubuh tetapi mematikannya. Orang hanya melihat madunya saja secara lahiriah, meskipun ia telah dicampur dengan racun ialah orang yang bodoh, yang buru nafsu ingin meneguk madu. Tetapi orang yang berakal yang menginginkan kesihatan, itulah orang yang takut meminum madu itu, karena ia mengetahui bahwa madu itu telah bercampur dengan racun. 

Demikianlah sebagian gambaran Imam Ghazali mengenai hakikat takut kepada Allah s.w.t.

[b] Manusia kafirin. Ialah manusia yang tidak sedikit pun mempunyai rasa takut dalam hati pada Allah s. w.t. Manusia yang demikian adalah manusia yang tidak dipimpin oleh akalnya yang waras, tetapi dikendalikan oleh syahwat nafsunya. Semakin lapang hidupnya, bertambah rezekinya, sihat tubuhnya, sampai segala maksud dan cita-citanya, semakin tambah tidak takutnya kepada Allah s.w.t. Ibadat sering tinggal atau tidak ada sama sekali, tetapi hanyut dengan maksiat dan kelalaian terhadap ajaran agama, maka manusia yang begini adalah manusia yang kafir kepada Allah, atau tidak kafir tetapi mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat orang yang tidak beragama. Meskipun mereka beriman tetapi imannya si pembohong, karena bukan beriman yang benar-benar, cuma keimanannya atau keislamannya sekedar untuk memperlihatkan kepada manusia. Mereka itulah yang diancam oleh Allah s.w.t. dalam firmanNya pada kitab suci Al-Quran sebagai berikut:

"Dan orang-orang yang mendustakan keterangan-keterangan Kami, akan Kami ansur mereka (ke arah kebinasaan) dari sekira mereka tidak mengetahui. Dan Aku beri tempoh kepada mereka, sesungguhnya rencanaKu amat teguh." (Al-A'raf: 182-183)

Demikianlah ancaman Allah s.w.t. bahwa kepada orang yang tidak takut kepada Allah mereka akan dikenakan dengan Al-Istidraaj. Pengertiannya ialah bahwa mereka suatu waktu akan ditindak oleh Allah s.w.t. pada waktunya, di mana mereka tidak sadari, dan pada tempat yang mereka tidak maklumi. 

Meskipun mereka diberi waktu oleh Allah untuk mengecap nikmatNya dan bersenang-senang dengan kurniaNya, sehingga mereka lupa daratan sampai mengerjakan perbuatan-perbuatan yang menentang Tuhan, karena mereka tertipu seolah-olah mereka akan terus begitu tanpa siksaan dan tanpa tindakan dari yang Maha Kuasa Allah s.w.t. Pada waktu Tuhan bertindak, waktu itulah segala-galanya akan dicabut oleh Allah s.w.t. dan pada waktu itu datanglah kebingungan kepada mereka dan datanglah penyesalan yang tidak habis-habisnya.

II. Jangan kita lupa diri dengan nikmat-nikmat yang diamanatkan Allah s.w.t. kepada kita tetapi takutlah kepada Allah atas nikmat-nikmatNya yang telah dilimpahkanNya kepada kia, semoga kita dapat mempergunakan nikmat-nikmat itu sesuai dengan keridhaanNya. Dalam salah satu Hadis Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. telah menggambarkan bahwa salah seorang yang akan mendapat payung di hari kiamat ialah seseorang yang selalu ingat kepada Allah s.w.t. di mana saja dan kapan saja. Maka keluarlah air matanya (karena kesadarannya).

Berkata Abu Bakar As-Siddiq r.a.: "Barangsiapa yang mungkin menangis, maka hendaklah ia menangis, dan barangsiapa yang tidak mungkin menangis, maka carilah jalan agar ia menangis."

Berkata Abdullah bin Amr bin Ash r.a.; "Menangislah kamu, maka jika kamu tidak boleh menangis, maka carilah jalan supaya menangis, karena Allah di mana diriku dalam kekuasaanNya, jikalau salah seorang kamu mengetahui hakikat yang sebenarnya (tentang manusia buat selanjutnya) sungguh ia akan memekik sehingga habis suaranya dan sungguh ia akan sembahyang sehingga retak pinggangnya."

Berkata Abu Sulaiman: "Menangis karena takut kepada Allah, karena mengharap kasih sayangNya, dan karena goncang hatinya terhadap kesudahan hayatnya, maka tangis itu berarti tangis rindu kepada Allah."

Berkata Ka'bul Ahbar r.a.: "Demi Tuhan di mana diriku dalam kekuasaanNya, sesungguhnya aku menangis, karena takut kepada Allah sehingga meleleh air mataku adalah lebih aku cintai dari bersedekah dengan gunung emas." 

Demikianlah kelebihan takut kepada Allah di samping Allah terus saja memberi nikmat kepada kita, dan itulah hakikat syukur kepada Allah s.w.t. 

Demikian pula kerugian bagi siapa yang tidak takut kepada Allah padahal Allah selalu tidak melupakannya. Sebab akhirnya ia akan ditindak oleh Allah dengan azab dan malapetaka.

Kesimpulan:

Camkanlah pelajaran di atas, mudah-mudahan kita betul-betul menjadi orang yang beriman kepada Allah s.w.t. Tetapi jika tidak maka kita adalah mukmin yang pembohong. Bohong terhadap dirinya, bohong terhadap Allah dan atas si pembohong itulah Allah Ta'ala akan bertindak sewaktu-waktu di mana itu adalah rahasia Allah dan kita tidak dapat mengetahuinya.

Na'udzubillahi min dzalik.