Chereads / AL HIKAM / Chapter 66 - Tidak Sopan dan Adab Dengan Segala Akibat-Akibatnya

Chapter 66 - Tidak Sopan dan Adab Dengan Segala Akibat-Akibatnya

Apabila Allah s.w.t. senantiasa memberikan kurnia-kurniaNya kepada kita, padahal kita sering pula bertentangan denganNya, hendaklah kita takuti hal keadaan itu termasuk dalam ancaman Tuhan yang pada suatu waktu Allah s.w.t. akan bertindak terhadap kita. Meskipun pada zaman-zaman sebdumnya kita tetap seperti biasa dalam anugerah kurnia nikmat Allah s.w.t. 

Pertentangan dengan Allah mempunyai arti luas. Bukanlah artinya terbatas pada tidak melaksanakan perintah-perintahNya atau mengerjakan larangan-laranganNya, tetapi bertentangan dengan Allah termasuk pula tidak sopan kepadaNya, seperti rumusan yang diungkapkan oleh Al-Imam lbnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmahnya yang ke-66 sebagai berikut:

"Sebagian kejahilan murid bahwa jelek adabnya, maka diperlambat siksaan daripadanya. Maka si murid berkata, andainya ini merupakan kejelekan adab, pasti Allah memutuskan bantuan dan pasti Allah menctapkan penjauhan. Karena kadang-kadang Allah memutuskan bantuan daripadaNya padahal seseorang itu tidak menyadari. Dan jikalau tidaklah ada selain mencegah tambahan bantuan (Allah) adalah yang demikian itu dianggap cukup pada putus bantuan. Kadang-kadang seseorang itu ditempatkan pada status jauh (dari Allah) padahal yang bersangkutan tidak mengetahui dan jikalau tidaklah ada selain Dia membiarkan dan apa yang anda kehendaki (sungguh hal keadaan itu) cukup pada status jauh dengan Allah."

Kalam Hikmah ini meskipun agak panjang dan agak sulit dimengerti, tetapi marilah kita cuba menafsirkan sebagai berikut:

I. Bahwa sebagian dari macam-macam Al-Istidraj, yakni tidak ada keseimbangan antara nikmat dan rahmat Allah atas kita, dengan terima kasih kita kepadaNya. Tegasnya, kita masih belum begitu serius mengingatNya, apalagi jika kita melupakanNya. Sebenarnya keadaan itu disebabkan karena kita masih jahil, yakni kita belum merasakan hakikat sopan santun yang diperlukan bagi kita sebagai hamba Allah yang sedang berjalan di jalanNya dengan maksud untuk sampai kepadaNya atau dekat kepadaNya.

Kejahilan kita pada hakikat kesopanan yang diperlukan dalam perjalanan kepada Allah itulah yang membawa kepada Al-Istidraj atas kita. Maka kejahilan pada hakikat kebaikan kesopanan yang diperlukan itu adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada sopan santun atau tidak baik adab kita pada Allah s.w.t., yakni kita seolah-olah bersifat kasar terhadap Allah, misalnya, hati kita bertentangan atau tidak sejalan, tegasnya mendebat Allah s.w.t. pada perbuatanNya yang Maha Agung dan Maha Kuasa. Misalnya hati kita berkata kiranya sesuatu itu ada, maka anu tidak akan ada. Atau lebih tegas dalam contohnya, sudah sekian banyak aku beribadat kepada Allah, tentu sepantasnya Allah Ta'ala tidak menjadikan aku sakit, miskin, dan sebagainya.

Misalnya juga, perasaan keberatan kita dalam mengerjakan perintah-perintah Allah. Seolah-olah perintah-perintah Allah itu membawa kerepotan atau membawa kerugian pada diri kita atau pada orang lain, sehingga karenanya lidah kita mengadu dan menyampaikan kepada makhluk-makhluk manusia, seolah-olah ajaran agama itu menghambat kemajuan kita, bahkan juga merugikan kepada kesempatan-kesempatan duniawi yang kita dapat mengejarnya andaikata kita tidak mengamalkan ajaran agama. Itulah hal-hal yang disebut kurang adab kepada Allah, bahkan tidak ada adab sama sekali kepadaNya seperti dalam gambaran di atas adalah paling keji dari segala macam gambaran tidak sopan dalam arti yang luas. Apabila kita sudah demikian hendaklah kita cepat bertaubat kepada Allah dan mengharapkan keampunanNya, karena kita takut apabila Allah bertindak terhadap kita tanpa kita ketahui dan tanpa kita sadari.

Bahkan wali-wali Allah s.w.t. begitu ketat memelihara dan menjaga adab dan sopan santunnya terhadap Allah s.w.t. sehingga tidak terfikirkan oleh kita seperti yang mereka fikirkan. Misalnya saja seorang alim besar tasawuf bernama Sariy As-Saqaty r.a. berkata: "Pada suatu malam setelah sembahyang Isya aku pun mengerjakan wirid (ibadat rutin seperti zikir, membaca Al-Quran, salawat dan lain-lain). Kemudian aku lunjurkan kakiku (mungkin karena capek) arah ke mihrab (kiblat). Maka datanglah satu suara (yang tidak dikenal orangnya) berseru kepadaku: "Wahai Sariy, demikiankahcara dudukmu di depan raja? 

Kemudian aku pun menarik kakiku dan kemudian aku berkata: "Demi kemegahan Engkau (ya Allah)dan demi kebesaran Engkau, aku tidak akan melunjurkan kakiku selama-lamanya."

Berkata Al-Junaid r.a.: "Maka begitulah keadaan Tuan Sariy selama 60 tahun tidak melunjurkan kakinya lagi, baik di malam hari maupun di siang hari."

Ini menuajukkan kepada kita sebagian contoh perhatian yangbesar dari wali-wali Allah yang begitu kuat memelihara adab dan sopan kepada Allah s.w.t. Dalam contoh di atas kita lihat bahwa melunjurkankaki dalam ibadat atau bukan dalam ibadat, tetapi sedang dalam ingatan yang terarah kepada Allah merupakan tindakan yang tidak beradab terhadap Allah.

2. Tidak berlaku adab, atau kurang sopan bahkan tidak sopan sama sekali pada guru atau orang yang menuntun kita dalam perjalanan di jalan Allah demi untuk sampainya kita kepada Allah; tidak berlaku adab kepada guru yang sebagai penuntun kita kepada jalan kebaikan; misalnya hati kita memprotes guru kita, atau dengan kata lain hati kita merendahkan a tau menghina guru kita, apalagi jika hati kita tidak menerima nasihat-nasihat dan tuntunan-tuntunan yang disampaikan guru kita kepada kita, adalah kurang ajar namanya. Sebab itu hati kita tidak boleh berkata terhadap guru dengan pertanyaan hati yang kurang puas, seperti kenapa demikian, betapa begitu dan tidak adakah yang lebih baik dari itu dan lain sebagainya. Atas tujuan inilah para ulama Tasawuf berkata:

"Barangsiapa yang berkata kepada gurunya "kenapa", maka orang yang demikian tidak akan menang (tetapi adalah rugi dan tidak beruntung)."

Maka berlaku adab dan sopan kepada guru seperti gambaran di atas, tempatnya adalah pada guru yang bukan hanya sekedar memberi ilmu saja kepada kita, tetapi guru yang dimaksudkan, lebih dari itu. Yakni guru yang memberikan ilmu pengetahuan kepada kita, di samping juga ia adalah mursyid kita, pembimbing kita kepada jalan kebenaran, bahkan juga sebagai dokter kita yang selalu memimpin dan menuntun jiwa dan amaliah kita untuk dekat kepada Allah s.w.t. 

Itulah guru yang dikehendaki dan yang dimaksudkan dalam ilmu tasawuf Islam.

Hal keadaan di atas dapat kita lihat contohnya pada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada Tuan Ad-Daqaq, seorang guru besar ilmu tasawuf dalam zamannya. Beliau ditanyai orang lain tentang 'agaimanakah seorang Muslim boleh betul dan lurus, bahkan juga meluruskan kebengkokan-kebengkokan yang ada pada diri seseorang?' Beliau menjawab, hal keadaan itu adalah dengan beradab kepada guru, sebab pada orang yang tidak beradab pada gurunya adalah rugi dan bahkan sangat rugi. Demikian Ad-Daqaq r.a.

Memang harus demikian, sebab fungsi guru dalam keilmuan ialah memberi tuntunan dan bimbingan dalam membentuk pribadi yang baik terhadap Allah dan sesama makhluk, adalah sebagai pahlawan bahkan lebih tinggi dari itu. Karena fungsi yang terpenting adalah dalam ilmunya, dalam amalnya, dan dalam memberikan tuntunannya pada ummat beragama pada khususnya. Itulah sebabnya ada Ha dis Rasulullah s.a.w. seperti yang disebutkan oleh Ibnu Ibad An-Nafzy Ar-Randy dalam kitab syarah hikamnya sebagai berikut:

"Bahwasanya seorang kiyai dalam keluarganya (ahlinya) adalah laksana Nabi di tengah-tengah ummatnya."

Jadi pada hakikatnya, berlaku adab kepada guru yang sifat keguruannya seperti di atas adalah luas pengertiannya. Bahkan hanya dalam gambaran seperti di atas saja, tetapi juga tidak berlaku sombong atas gurunya, tidak ada maksud ingin menyaingi gurunya, tidak berlaku khianat kepada gurunya dan lain-lain sebagainya. Apabila perasaannya sudah lain kepada guru, maka hendaklah cepat ia menghapuskan perasaan itu dan menghilangkannya sebelum perasaan tersebut tumbuh urat dan akar dalam hati. Jika ada suatu prasangka dalam hatinya terhadap gurunya hendaklah ia tafsirkan kepada tafsiran yang baik selama masih ada lubang-lubang penafsiran kepada yang baik demi untuk mencegah prasangka yang buruk itu. Sebab prasangka yang demikian sifatnya terlarang dalam agama, karena dapat memutuskan hubungan ukhuwah Islamiah pada umumnya dan hubungan khusus pada sifat-sifat kekhususan. Sehubungan dengan hal itu seorang alim besar tasawuf Abul Qasim Al-Qusyairy r.a. berkata:

"Barangsiapa yang berguru dan ia telah menjadi sahabat gurunya, kemudian hatinya tidak senang kepada gurunya, maka putuslah tali persahabatan keguruan (antara murid dan guru) dan wajiblah orang itu bertaubat kepada Allah s.w.t. Jika ia masih demikian, pasti ia tidak akan sampai kepada tujuannya. Hendaklah dimaklumi, bahwa sesuatu yang pasti yang menjadikan matahati tertutup adalah ketidak-senangan kepada guru. Sebab guru-guru itu berfungsi perantara-perantara (dari Allah kepada murid-murid)."

Demikianlah pandangan akhlak tasawuf dalam menjaga hubungan yang baik antara murid dan guru, sebab dengan hubungan yang baik itulah maka Allah s.w.t. memberikan bantuan kepada sang murid dengan sebab berkah tuntunan yang diterimanya dari gurunya.

3. Juga demi hubungan baik kita dengan Allah s.w.t. tidak rusak, di samping adab-adab yang harus kita pelihara seperti tersebut di atas, kita pun harus pula memelihara adab dan sopan santun di antara kita, sesama ummat manusia. Yakni kita harus berbaik sangka kepada manusia dan kita tidak boleh menanggapi manusia dari tanggapan-tanggapan yang negatif selama sangka baik dan tanggapan positif masih dapat kita cari dan masih ada jalannya. 

Sebagai contoh dalam masalah ini ialah kejadian yang dialami oleh Al-Imam Al-Junaid r.a., yaitu pada suatu kali beliau melihat seorang fakir yang kerjanya meminta-minta dari satu pintu rumah ke pintu rumah lainnya.

Lantas beliau berkata dalam hatinya, jikalau si fakir itu bekerja (tidak malas dan tidak menganggur) adalah lebih baik, karena pekerjaannya berarti memelihara dirinya. Tidak lama kemudian pada malam itu juga beliau capek sekali dan lantas tertidur. Dalam tidurnya beliau bermimpi melihat serombongan manusia yang datang kepadanya membawa si fakir itu dalam sebuah piring makanan yang besar. Mereka berkata kepada beliau: Silakan makan daging si laki-laki ini, karena Tuan telah mencelanya (di dalam hati). 

Ia pun bangun dan pada pagi harinya beliau memeriksa dan mencari si fakir yang dilihatnya kemarin itu, hingga beliau bertemu dengannya dan lantas memberi salam kepadanya. Si fakir itu berkata kepada beliau: "Wahai Abul Qasim (gelar Al-Junaid) rupanya Tuan mau mengulang lagi?"

Beliau menjawab: "Tidak!" Si fakir itu berkata kepada beliau: "(Kalau begitu) mudah-mudahan Allah s.w.t. mengampuni dosa anda, mudah-mudahan."

4. Harus beradab pula kepada diri sendiri, yakni kita tidak dikomandokan oleh nafsu kita dan oleh syahwat kita, meskipun pada hal-hal yang halal menurut agama, misalnya saja dalam mengamalkan syariat Islam kita lebih mengutamakan yang mudah-mudah dan yang enteng-enteng, baik untuk pengalaman buat diri kita apalagi untuk mempengaruhi orang lain pula. 

Misalnya saja dalam sembahyang tarawih yang menurut hukum Islam adalah 20 rakaat, tetapi dia mengerjakan 8 rakaat, bahkan mempengaruhi orang lain pula untuk itu. Atau misalnya dalam upacara Jum'at, hukum Islam menyebutkan bahwa azan pertama ialah sunnah, tetapi azan pertama tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tetapi yang azan bukan manusia, melainkan kaset yang diputarnya atau tidak ada azan yang pertama, tetapi mengumumkan kepada jamaah untuk diberikan kesempatan mengerjakan sunnat qabliyah sebelum khatib naik ke mimbar. Hal tersebut menunjukkan pengutamaan pada ibadat syariat yang ringan-ringan dan yang mudah-mudah. Ya, meskipun sifatnya sunnat apabila tidak dikerjakan juga tidak ada apa-apanya, yakni tidak berdosa, tetapi sikap-sikap yang demikian itu berarti kita tidak menempatkan diri kita pada tempat yang wajar dalam mengamalkan ibadat syariat pada khususnya, seperti diaajurkan oleh agama demi untuk keyakinan atau ketenteraman hati kita atas penerimaan Allah s.w.t. bagi amal ibadat kita.

II. Apabila kita tidak menjaga adab-adab seperti tersebut di atas, meskipun pada lahirnya tidak ada tindakan-tindakan Allah pada lahiriah kita, dan juga pada batiniah kita, menurut perasaan kita, tetapi awaslah bahwa kita tidak luput dari ancaman Allah s.w.t. yang sifatnya disebut dengan Al-lstidraj. 

Tunggulah satu waktu Allah s.w.t. tidak akan lupa pada janjiNya sebagai balasan atas tidak adabnya kita kepadaNya.

Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan tindakan Allah yang bersifat lahiriah seperti bala, musibah, penyakit dan lain-lain, sedangkan tindakan Allah yang bersifat batiniah seperti tidak ada ketenangan hati, tidak ada ketenteraman jiwa, penyakit hati semakin bertambah dan kita bertambah jauh dari Allah s.w.t.

III. Orang yang tidak memelihara adab-adab seperti di atas, itulah orang yang selalu merasa optimis pada hakikat kenyataan yang negatif. Orang yang demikian adalah orang yang tertipu dengan keselamatan lahiriah yang masih menjadi tanda tanya untuk mencap kebaikan batiniahnya, padahal mungkin jauh dari kenyataan yang sesungguhnya. Orang itulah yang sering timbul dalam ucapannya perkataan-perkataan yang nadanya sebagai berikut: "Jikalau keadaan saya tidak baik menurut Allah dan Rasul, menurut guru-guru saya, teman-teman saya dan pandangan akal saya tentu Allah memutuskan bantuannya kepadaku dan tentu Allah akan mengambil segala-galanya daripadaku dan tentu Allah akan menjadikan aku untuk tidak ingat kepadaNya."

Demikianlah kira-kira perasaannya. Tetapi orang itu lupa bahwa ia berperasaan demikian adalah karena jahilnya, dan karena tidak mau sadar terhadap Allah s.w.t. yang telah memberikan nikmat dan kurniaNya kepada orang tersebut. Sebab pada hakikatnya, Allah s.w.t. pada suatu waktu dapat menghentikan bantuanNya tanpa diketahui dan tanpa disadari oleh yang bersangkutan. Kalaupun Tuhan tidak memutuskan bantuan-bantuanNya, tetapi mungkin juga Tuhan mencukupkan dengan nikmat-nikmat yang ada tanpa ditambah, dan tanpa diberikan tambahan atas nikmat-nikmat itu. Yang demikian itu pun berarti juga putus bantuan dari Allah s.w.t. Jikalau kita sudah berperasaan seperti di atas terhadap Allah s.w.t. disebabkan secara adat karena tidak melaksanakan adab-adab sopan santun seperti di atas, maka hilanglah kemurnian perasaan dari hati kita dan lenyaplah pula fungsi akal dari otak kita. Pada waktu itu gugurlah kita dari perhatian Allah, dan berarti pula telah terbalik dan telah terselubung hati kita dengan hijab-hijab yang tebal, sehingga gelaplah hati kita dan mulailah bertukar ketenteraman jiwa dan hati dengan kegelisahan dan serba keragu-raguan pada jalan hidup yang dihadapinya. 

Apabila telah sampai ke taraf begini beransur-ansur turunlah nilai aqidah dan nilai keimanannya sehingga boleh menimbulkan malapetaka bagi hidup dan kehidupan.

IV. Bagi orang-orang yang sudah merosot keimanannya disebabkan tidak melaksanakan adab-adab sopan santun seperti tersebut di atas, maka mereka itu berarti telah mulai jauh dari pandangan Allah s.w.t. meskipun mereka sembah yang, puasa dan lain-lain.

Tetapi taat dan ibadatnya sudah tidak bernilai lagi seperti sebelumnya. Dan yang demikian itu tidak diketahuinya dan tidak disadarinya, sehingga kadang-kadang hatinya mengira bahwa ia masih seperti sediakala juga, yaitu dalam hubungan yang baik dengan Allah, tetapi pada hakikatnya tali perhubungan itu sudah lapuk dan tidak sekuat sediakala.

Kita taruhlah bahwa ia masih belum jauh dari jalan Allah s.w.t. tetapi Allah tidak memberikan perhatianNya lagi kepadanya, sebab Allah telah membiarkan kehendak-kemauannya menurut hawa dan nafsunya, seolah-olah Allah berkata: "Terserahlah menurut semaumu, dan Aku tidak· akan memberikan bantuan kepadamu lagi seperti biasa ...." Kalaulah Allah sudah demikian terhadap hambaNya yang bersangkutan, maka ini adalah lebih celaka dari segala-galanya. Itulah sebabnya salah seorang wali Allah Ibnul Mubarak r.a. berkata:

"Kami lebih perlu kepada adab sedikit daripada ilmu yang banyak (tanpa adab)."

Kesimpulan:

Jika kita betul-betul takut kepada tindakan Allah karena kita tidak sejalan dengan kehendak nikmat-nikmatNya dan kurnia-kurniaNya, maka cepatlah kembali kepadaNya dan bertaubat kepadaNya.

Di samping menjaga dan memelihara adab-adab sopan santun terhadapNya, terhadap utusan-utusanNya, seperti para Nabi, para Rasul dan para ulama. Sebab mereka itu telah berjasa kepada kita dengan tuntunan keagamaan buat mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Demikian juga hubungan kesopanan antara sesama kita, ini juga perlu dijaga, sebab Allah Ta'ala mau beserta kita dengan rahmat dan nikmatNya jika kita memelihara hubungan yang baik sesama hambaNya. Tetapi jika kebalikannya, maka kebalikannya pulalah yang akan kita temui di sisiNya berupa malapetaka lahiriah dan malapetaka batiniah, na'udzubillahi min dzalik.

Cuma, permohonan kita kepada Allah s.w.t. sajalah yang kita pentingkan. Semoga kita tidak dilupakan dari taufiq dan hidayahNya, demi untuk keselamatan dan kebahagiaan kita dunia akhirat.

Amin ..... !