Setiap manusia yang beribadah yang mengamalkan Islamnya dengan baik, berarti telah diberikan kelebihan dan kemuliaan oleh Allah s.w.t. Kita harus memuliakan mereka dan berlaku adab dan sopan terhadap mereka, apalagi jika mereka sebagai wali-wali Allah s.w.t., karena kemuliaan ibadat dan taat mereka kepada Allah s.w.t. Mereka jangan dianggap enteng begitu saja, yakni tidak menghargakan kelebihan dan kemuliaan yang dianugerahkan Allah kepada mereka, karena hal yang demikian berarti kita jauh dari Allah, karena telah menjauhi hamba-hambaNya yang saleh. Dan bagaimana rumusan iramanya. Dalam keadaan ini Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah menyimpulkannya dalam Kalam Hikmah beliau yang ke-67, sebagai berikut:
"Apabila anda lihat hamba (Allah) yang telah Dia kurniakan akannya dengan ada wirid-wirid, dan Allah telah mengekalkan akan hamba itu atas wirid-wirid tersebut di samping berkepanjangan bantuanNya, maka janganlah anda rendahkan pemberian-pemberian Allah kepadanya, (disebabkan) karena anda tidak melihat atas orang itu tanda hamba-hamba Allah yang kenal kepadaNya, dan disebabkan karena anda tidak melihat atasnya cemerlang kebagusan orang-orang yang cinta (kepada Allah), karena jikalau tidak ada sesuatu yang datang dari Allah pasti tidak ada wirid (ibadat) yang bersifat tetap dan rutin."
Pengertian Kalam Hikmah ini sebagai berikut:
I. Bahwa manusia beriman yang mendalam keimanannya dan telah mengamalkan ajaran Islam sedemikian rupa, terbagi kepada dua macam:
1. Mereka yang telah dilebihkan oleh Allah s.w.t. dengan bermacam-macam ibadat yang diamalkannya secara tetap dan rutin seperti ibadat sembahyang, bukan hanya yang fardhu saja, tetapi segala sembahyang yang disunnatkan dikerjakannya pula. Demikian juga puasa, dan apalagi dalam berzikir mengingat Allah s.w.t., maka segala ibadat yang dikerjakannya dengan istiqamah dan rutin itu disebut dengan aurad yang kata tunggalnya adalah wirid.
Mereka itulah yang telah sampai kepada predikat Al-'Ibad dan Az-Zuhaad, yakni orang-orang yang beramal dan taat kepada Allah karena mengharapkan pahala daripadaNya, pahala dan keuntungan di hari kemudian, bukan pahala dan keuntungan di dunia, sebab perhatian mereka telah berat kepada akhirat dan tidak begitu lagi melihat dunia yang fana ini.
Dengan tujuan seperti di atas mereka beramal, beribadat dan menjalankan aturan-aturan Islam seperti yang ditentukan oleh Allah s. w.t. dalam agamaNya.
Kita tidak boleh merendahkan mereka dan menganggap bahwa mereka kelas rendahan, yakni beramal karena mengharapkan pahala dan karena takut dari iqab dan siksaan neraka, tetapi mereka belum beramal semata-mata karena Allah s.w.t. Kita tidak boleh menganggap dan memandang bahwa nilai amal mereka masih rendah karena belum terdapat ikhlas yang sempurna dan bermutu tinggi, karena anggapan demikian membawa kepada sifat-sifat takabbur dan 'ujub, seolah-olah kita lebih dari mereka. Padahal bagi hamba Allah yang betul-betul saleh tidak sampai menganggap bahwa dirinya tinggi atau lebih tinggi, tetapi orang lain kebalikannya. Sebab pada tingkatan seperti di atas, banyak sekali hamba-hamba Allah yang saleh dalam tingkatan itu, walaupun sekedar lewat dan sementara saja demi untuk naik ke tingkatan di atasnya, atau lebih tinggi dari itu.
Misalnya saja salah seorang wali Allah bernama Ibrahim bin Adham yang dikenal dalam sejarah sebagai seorang raja. Pada suatu hari beliau pergi berburu. Ketika sedang berburu beliau mendengar suara halus yang tidak diketahui asalnya. Suara itu berdengung: "Wahai Ibrahim, apakah anda dijadikan Allah untuk ini (berburu)? Ataukah anda diperintahkan Allah dengan ini (berburu)?"
Tidak lama sesudah itu beliau mendengar lagi untuk kedua kalinya suara halus yang datang dari ujung pelana kudanya, yang berbunyi': "Demi Allah, anda dijadikan Tuhan bukanlah untuk ini dan anda tidak diperintahkan dengan ini." Setelah mendengar suara ini Ibrahim bin Adham turun dari kudanya dan secara kebetulan ia melihat salah seorang gembala pembantu orang tuanya. Dengan serta-merta beliau membuka baju beliau yang indah yang menunjukkan bahwa beliau seorang raja. Beliau memanggil penggembala tadi kemudian beliau meminta bajunya, lalu beliau melepas baju kebesaran raja dan diberikan kepada penggembala dengan kudanya.
Setelah itu beliau pergi masuk dusun ke luar dusun, kampung dari kampung dan akhirnya sampailah beliau di Makkah. Di sana beliau berteman dengan ulama-ulama tauhid dan tasawuf di antaranya Sufyan Tsaury dan Fudhil bin Iyadh. Beliau hidup dengan hasil pekerjaannya seperti mengetam, menjaga kebun dan lain-lain. Pada akhirnya beliau pindah ke Syria dan meninggal di sana.
Kepada beliau ditanyakan orang satu masalah, tentang cara mencapai zuhud (meninggalkan kesenangan dunia demi kesenangan di akhirat?). Beliau menjawab: bahwa zuhud dapat dicapai dengan tiga macam:
"Aku lihat kubur meliarkan (memutuskan hati dari kecintaannya), padahal tidak ada sertaku yang menenteramkan hatiku, dan aku lihat jalan yang begitu panjang, padahal tidak ada sertaku bekalan dan aku lihat yang Maha Perkasa adalah hakim dalam memutuskan perkara, padahal tidak ada bagiku dalil dan alasan."
Tiga macam di atas yang menyebabkan Ibrahim bin Adham meninggalkan takhta kerajaannya, meninggalkan segala kecintaannya di dunia yang fana ini dan meninggalkan seluruh kesenangan duniawiah demi kesenangan di akhirat dan demi kebahagiaan yang hakiki dan abadi.
Apakah manusia yang berpredikat dengan Al-'Abid dan Az-Zahid dianggap enteng dan dianggap rendah, karena kita katakan bahwa mereka belum sampai ke tingkat beramal dan beribadat semata-mata karena Allah Ta'ala. Janganlah berkata begitu, meskipun kita ditakdirkan Allah lebih tinggi dari mereka, sebab yang menilai ibadat bukanlah manusia, tetapi Allah s.w.t.
2. Manusia Mukmin Muslim yang saleh dan telah sampai ke tingkat para 'Arifin dan Muhibbin, yakni mereka yang telah begitu kenal dan begitu cinta kepada Allah. Tujuan mereka dalam segala hal adalah untuk mencari keridhaan Allah semata-mata, bukan mengharapkan kesenangan di akhirat dan bukan takut kepada azab siksa neraka. Mereka ini sudah terang kualitas dan sudah jelas seberapa nilai ketinggian martabatnya.
Apabila kita perhatikan ajaran para aulia Allah s.w.t. maka kita tidak mengutamakan bahwa mereka yang sudah sampai kepada nilai kedua ini menganggap enteng dan rendah kepada mereka yang ada pada nilai pertama.
Sebab mereka mengetahui dengan sebenarnya, nama bermacam-macam amal ibadat yang biasa diamalkan manusia pada nilai pertama di atas, adalah kurnia Allah atas mereka dan adalah karena tajalli, dan bersinarnya cahaya ketuhanan dalam hati mereka.
Jika Allah tidak mementingkan mereka dan telah memelihara mereka sedemikian rupa, maka pasti mereka tidak mendapat kurnia Allah s.w.t.
Janganlah merendahkan orang mukmin meskipun taraf keimanannya di bawah kita, dan memang begitulah pendirian para 'Arifin dan Muhibbin terhadap Al-'Ibaad dan Az-Zuhhad.
Berkata Abul Hasan Asy-Syadzily r.a.: Jikalau dibukakan hijab pada melihat cahaya seorang mukmin yang durhaka kepada Allah, sungguh penuhlah antara langit dan bumi dengan cahaya, maka bagaimanakah sangkaan dengan orang beriman yang takut kepada Allah. Kemudian beliau berkata lagi: "Nah, muliakanlah orang-orang beriman meskipun mereka durhaka serta berdosa."
Maka apatah lagi manusia beriman yang taat kepada ajaran agamanya? Tentu kita harus lebih-lebih lagi memuliakan mereka. Karena itu timbullah filsafat,
"Sejahat-jahatnya orang beriman adalah mulia di sisi Allah, dan sebaik-baiknya orang kafir adalah jelek di sisi Allah."
Bagaimanakah kita membentengi keimanan kita hingga kita diberikan kurnia oleh Allah agar kita selalu diberi petunjuk pada jalan yang benar.
Jawabannya dapat kita temukan dari pendapat Saiyidina Umar bin Al-Khaththab:
"Benteng-benteng buat orang-orang mukmin dari syaitan tiga: Masjid itu benteng, ingat (zikir) kepada Allah itu benteng, dan membaca Al-Quran itu benteng."
Jadi dapat difahami benteng untuk mengatasi godaan syaitan buat orang-orang beriman ada tiga macam:
1. Masjid. Dikatakan demikian karena Masjid tempat berzikir dan tempat malaikat.
2. Mengingat Allah. Dengan mengingat Allah yang diucapkan dengan lidah serta hati, syaitan akan bersembunyi dan mundur teratur.
3. Membaca Al-Quran. Apalagi kalau yang dibaca adalah ayatKursi.
Apabila kita telah berada dalam benteng, berarti kita terpelihara dari musuh, justeru itu bagi kita selaku Muslim yang mukmin, jangan melupakan masjid dan sudah barang tentu tidak boleh melupakan sembahyang. Jangan lupa pada Allah jika kita menginginkan supaya selalu diingat olehNya dengan rahmat dan nikmatNya, dan jangan lupa pada ajaran AI-Quran, karena ajaran Al-Quranlah sebagai pedoman pokok petunjuk kita ke jalan yang benar.
Kesimpulan:
Ibadat-ibadat yang dikerjakan oleh Muslim dengan tetap dan istiqamah, berarti suatu kemuliaan dari Allah s.w.t. Karena itu hormatilah dan muliakanlah Muslim yang taat dalam beribadat, meskipun dia dalam menjalankan perintah agama itu semata-mata untuk maksud mendapat pahala syurga dan takut dari siksaan api neraka. Meskipun nilai-nilai ibadat yang demikian ini masih rendah dan masih di bawah nilai seseorang yang beribadat hanya semata-mata karena Allah dan semata-mata hanya mengharapkan keridhaanNya, tctapi nilai yang ada sudah jauh lebih baik dari semata-mata iman saja, tetapi tidak mengamalkan ajaran agama.
Mudah-mudahan tingkat keislaman dan keimanan kita, diperhatikan oleh Allah untuk ditingkatkan olehNya dengan lebih diberikannya petunjuk kepada kita kepada jalan yang semakin mendekatkan kita kepada Allah s.w.t. dalam arti kita selalu dalam naungan rahmat, taufiq dan hidayatNya yang berlandaskan wahyu Kalam suciNya.
Amin, ya Rabbal-'alamin!