Dalam Ilmu Tauhid dan Ilmu Tasawuf diajarkan supaya kita meyakini aqidah yang wajib kita i'tikadkan karena bertalian dengan keimanan, maupun dalam pengamalan sebagai pelaksanaan hakikat keimanan menurut rukun-rukun iman. Sumber keyakinan yang hakiki adalah pada ketentuan Allah s.w.t. dan tidak dari lainNya. Dialah yang menciptakan dan menjadikan segala-galanya. Karena itulah jangan ada prasangka dalam hati kita seolah-olah selain dari Allah dapat pula mendatangkan manfaat pada harapan kita.
Apabila hubungan yang hakiki itu ada antara kita dengan Allah, di samping hubungan kita dengan makhluk-makhlukNya, maka apakah pengaruh hubungan-hubungan tersebut pada kita? Untuk inilah Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah merumuskan dalam Kalam Hikmahnya yang ke-62, sebagai berikut:
"Anda adalah merdeka dari segala sesuatu yang anda putus asa daripadanya, dan anda adalah hamba bagi sesuatu apa saja yang anda loba dan tamak kepadanya."
Kalam Hikmah ini menerangkan kepada kita sebagai berikut:
I. Bahwa manusia sebagai makhluk dan hamba Allah s.w.t., terbagi kepada dua:
Pertama: Makhluk yang merdeka dari perbudakan alam semesta. Manusia dalam bagian ini tempat harapannya hanya kepada Allah s.w.t. Ia tidak berhajat kepada selain Allah, tidak berhajat dalam arti tidak menggantungkan harapannya kepada selain Allah. Ia yakin bahwa selain Allah adalah lemah dan tidak boleh buat apa-apa jika tidak diizinkan oleh Allah. Kosong hatinya dan hampa kalbunya karena ia terkaya pada selain Allah. Hati dan kalbunya penuh diisi keyakinan hanya kepada Allah s.w.t. Meskipun ia bergaul dengan manusia-manusia dalam pergaulan kemanusiaan adalah tidak lebih selain dari sekedar pergaulan manusia semata-mata.
Meskipun dalam pergaulan itu pada lahirnya ia memerlukan, mengharap dan berusaha untuk mencapai keperluannya itu dari manusia lainnya tetapi tidak lebih daripada penglihatan lahiriah semata-mata. Sedangkan dalam batinnya, dalam hatinya dan dalam keyakinannya tertanam dengan kukuh suatu prinsip yang berlandaskan pada iman, bahwa hakikat pengharapan dan hakikat hasil maksud yang diharapkan adalah karena keizinan Allah s.w.t.
Dialah yang menghendaki dan Dialah yang menciptakan segala lahiriah yang kita lihat seperti di atas.
Jadi apabila kita putus asa dari selain Allah, putus asa dengan pengertian tidak ada yang Maha Berkehendak dan yang Maha Berkuasa selain hanya Allah s.w.t., barulah kita dikatakan merdeka dari perbudakan makhluk dan alam. Hanya kepada Allah s.w.t. sajalah tempat mengarahkan segala harapan dan hasilnya segala maksud dan tujuan. Orang merdeka yang begini sifatnya adalah merdeka sejati dan hakiki, sebab ia telah memiliki suatu sifat yang mulia, yaitu qana'ah, sifat yang bertentangan dengan loba dan tamak. Sifat yang mencukupi dengan apa yang ada, sifat tenang dan tenteram, meskipun tidak ada padanya yang ia inginkan yang sesuai dengan hawa nafsunya. Sifat begini merupakan perbendaharaan yang tidak pernah kering dan tidak pernah habis-habisnya, dan yang memiliki sifat ini sudah merasa cukup dengan apa yang diizinkan Allah kepadanya.
Maka jadilah ia sebagai hamba Allah yang rela dengan apa saja ketentuan Allah atasnya. Maka meningkatlah ia sebagai hamba Allah yang diridhai oleh Khaliknya, Allah s.w.t.
Janganlah kita berfikir seolah-olah tertutup pintu usaha mencari kekayaan dunia dan kesenangannya. Tidak! Islam dengan ajarannya membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk memanfaatkan sebanyak-banyaknya atau sebanyak mungkin nikmat-nikmat Tuhan dalam alam dunia ini, asal saja bertujuan untuk kebaikan seperti yang digariskan olehNya melalui Nabi-nabiNya dan Rasul-rasulNya.
Tegasnya semuanya itu jangan sampai melupakan kita kepada Allah s.w.t., tetapi hendaklah lebih mendekatkan kita kepadaNya, sebab Dialah yang menjadikan segala-galanya, dan dengan keizinanNya pula kita mencapai dan memperoleh nikmat-nikmatNya.
Kedua: Makhluk yang tamak dan loba. Orang-orang yang dalam bagian ini adakalanya tidak yakin kepada Allah, bahwa Allah itu Maha Kaya, Maha Berkuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan lain-lainnya, berupa sifat-sifat Tuhan yang Maha Agung dan Maha Sempurna. Atau keyakinannya kepada Allah lemah tidak kuat dan tidak mantap. Tidak ada keyakinannya kepada Allah atau ada keyakinannya tetapi lemah dan sangat kurang, tidak padat dan mantap.
Inilah yang menimbulkan loba dan tamak kepada selain Allah seolah-olah selain Allah lebih berkuasa, lebih sayang dan kasih dari Allah dan lain sebagainya.
Apabila hatinya sudah tergantung kepada selain Allah, maka berarti ia bukan hamba Allah lagi tetapi hamba tempat pergantungannya itu. Jika ia menggantungkan hatinya, terpaut dan terikat kepada harta karena menurutnya hartalah yang menyelamatkan dia, maka ia adalah hamba harta. Jika ia menggantungkan dirinya dalam keselamatan dan kesejahteraan hidupnya pada kedudukannya atau jabatannya, maka ia adalah budak kedudukan dan jabatan. Demikianlah seterusnya pada misal-misal yang dapat kita lihat dalam hidup dan kehidupan ini.
Jika prinsip hidup kita dalam hidup dan kehidupan ini demikian gambarannya, maka adalah hidup kita itu laksana kapal belayar dalam lautan tanpa pedoman yang membawanya ke arah tujuannya.
Inilah yang menyebabkan datang ketakutan bagi pegawai negeri, misalnya dalam menghadapi pensiun, seolah-olah keselamatan dan kesejahteraan pada gaji dan kepegawaian, padahal gaji yang ia terima tidaklah dapat menjamin hidupnya, tetapi yang menjamin itu pada hakikatnya adalah Allah s. w.t. jua.
Demikian juga bagi orang tamak dan loba untuk mempergunakan kesempatan pada pekerjaannya dan pada kedudukannya sehingga ia lupa kepada ajaran-ajaran agamanya, bahwa ia adalah pemegang amanah yang diserahkan rakyat kepadanya.
Pemegang amanah itu harus adil dalam menjalankan amanah yang dibebankan atas pundaknya, tetapi karena loba dan tamak pada memperkenankan hawa nafsu, maka ia adalah budak hawa nafsu dan bukan hamba Tuhan Yang Maha Esa.
Loba dan tamak itulah yang membawa kehancuran, kehinaan dan kemiskinan, bahkan timbul penganiayaan dengan menyalahgunakan amanat yang ia pikul. Akhirnya Allah s.w.t. bertindak atasnya bahkan bertindak pula atas keluarganya bahkan sampai kepada sahabat dan teman-temann ya.
Contoh yang begini banyak kita lihat dalam masyarakat, baik sebagai orang kaya-raya, juga sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan. Dan ingatlah, bahwa semuanya itu tidak luput dari catatan Allah s.w.t.
II. Di samping contoh-contoh merdeka yang hakiki dari makhluk alam mayapada ini, dan perbudakan yang hakiki kepada makhluk-makhluk ciptaan Tuhan menurut penilaian Tauhid dan Tasawuf, hal keadaan ini dapat dilihat dalam masyarakat dan juga dapat dikenal dari sejarah-sejarah dan riwayat-riwayat.
Menurut riwayat seorang Wali Allah bernama Fathhul Maushily r.a., pada suatu hari beliau sedang duduk di suatu tempat, maka orang bertanya kepada beliau tentang bagaimanakah gambaran orang yang memperturutkan kehendak syahwat dan hawa nafsunya, maka beliau menjawab pertanyaan itu dengan gambaran anak-anak yang sedang bermain di dekat beliau, sebagai berikut:
Ada dua orang anak yang seorang memegang sepotong roti tanpa isi, yakni roti tanpa telur atau daging. Anak yang lain memegang sepotong roti pula tetapi ada isinya, seperti daging, keju dan telur, maka berkatalah anak yang memegang roti tanpa isi kepada teman-temannya: "Berikanlah aku sedikit (sebagian) rotimu itu."
Jawab temannya: "Boleh saja dengan syarat engkau jadi seperti anjingku."
Temannya menjawab: "Ya, boleh."
Maka oleh temannya tadi diikatkan seutas tali ke leher temannya dan ia pun menarik temannya itu seperti menarik anjing. Kemudian berkata Fathhul Maushily: "Cuba lihat olehmu andaikan anak yang pertama merasa cukup dengan rotinya dan tidak tamak kepada roti temannya, tentulah ia tidak mau dijadikan anjingtemannya."
Pada zaman dahulukala ada salah seorang filosof yang hanya makan sayur-sayuran yang tumbuh di atas air. Maka berkata seorang laki-laki kepadanya, jikalau anda bekerja pada Raja, pastilah andatidak akan sampai memakan yang seperti ini.
Maka filosof itu menjawab: "Jika anda merasa cukup dengan makananku ini, maka anda tidak akan perlu bekerja pada Raja."
Maksudnya, karena laki-laki itu, hatinya tidak mencukupi dengan apa yang ada, tetapi didorong oleh tamaknya ingin senang dan lain-lain sebagainya, maka terpaksalah ia mengabdi kepada Raja, sedang si filosof yang merasa cukup dengan apa yang ada, merdekalah ia dan ia tidak perlu mengabdikan dirinya kepada Raja disebabkan loba dan tamak.
Kesimpulan:
Hubungan antara hamba dengan Allah sehingga hubungan itu sampai ke puncaknya, yakni Allah sajalah yang dapat memperkenankan segala hajat dan maksudnya, dan tidak ada makhluk yang lain, sebab semuanya itu adalah ciptaan Tuhan Allah s.w.t. Maka barang siapa yang mantap adanya keyakinan ini, maka ia adalah hamba Allah yang betul-betul merdeka yang hakiki. Tetapi jika kita masih menggantungkan nasib kita kepada selain Allah, maka kita adalah hambanya dan budaknya, bukan hamba dan budak Allah s.w.t.
Inilah konsekuensi kehinaan tamak dan kenistaan loba. Berkata penyair:
Si budak itu adalah merdeka, jika ia bersifat qana'ah.
Dan orang merdeka adalah budak jika ia tamak, dan serakah.
Maka cukupkanlah dengan yang ada dan jangan loba.
Karena tiada sesuatu yang jelek, selain tamak dan loba.
Mudah-mudahan kita dijadikan Allah sebagai hambaNya yang merdeka dari pengaruh makhlukNya, dan jangan kita dijadikanNya sebagai abdi makhluk disebabkan tidak ada pengabdian kita yang baik dan sempurna selain hanya kepada Allah s.w.t.